Gambaran Self Disclosure pada remaja etnis India Tamil

(1)

GAMBARAN SELF DISCLOSURE PADA REMAJA

ETNIS INDIA TAMIL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

MAYRINDA FAMELLA

081301102

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL 2012/2013


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India (Tamil)”

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Februari 2013


(3)

Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil

Mayrinda Famella dan Rahmi Putri Rangkuti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil. Self disclosure merupakan salah satu bagian dari komunikasi yang dimiliki individu dimana individu tersebut dengan sengaja membicarakan segala sesuatu mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dimana informasi ini melibatkan tentang nilai diri, kepercayaan, keinginan, perilaku dan kualitas diri.

Subjek penelitian adalah remaja etnis India Tamil yang berdomisili di Medan sebanyak 107 orang yang berusia 13-18 tahun. Sampel diperoleh melaui teknik non probability secara purposive sampling. Alat ukur berupa skala self disclosure yang disusun berdasarkan teori Devito (1986) yang mencakup 5 dimensi yaitu, amount, valence, accuracy/honesty, intention dan intimacy.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori rendah artinya remaja etnis India Tamil kurang dapat membuka dirinya serta kurang memberikan informasi dirinya kepada orang lain, kurang dalam hal melibatkan tentang nilai diri, kurangnya kepercayaan diri dan kepercayaan kepada orang lain, kurangnya terhadap keinginan, perilaku, dan kualitas diri atau karakteristik diri sehingga membuat mereka tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri dan tertutup.


(4)

Description of Self Disclosure on Indian Tamil Adolescents Mayrinda Famella and Rahmi Putri Rangkuti

ABSTRACT

The aim of this study is to describe self disclosure on Indian Tamil adolescents. Self disclosure is one part of the communication of the individual where the individual has explicitly discusses everything about themselves to others, which includes information about self-worth, confidence, desire, behavior and quality.

This study involves 107 Indian Tamil Adolescents who live in Medan aged 13-18 years. It uses the Purposive Sampling technique in taking the sample.

The Likert’s scale method is used as the measuring instrument, using the self

disclosure scale image based on the theory of Devito (1986) which includes 5 dimensions, amount, valence, accuracy/honesty, intention and intimacy.

The Study is a descriptive study. The result indicates that the Self Disclosure on Indian Tamil Adolescents is in the low category, it means the adolescents with India’s Ethnic (Tamil) are less opened as well as less giving information to others, lack of self-worth, lack of confidence and trust in others, lack of desire, behavior, and quality of self or personal characteristics that makes them unable to adjust to, lack of confidence, there is a sense of fear, anxiety, low self-esteem and introvert.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia, kemudahan, dan ridho-Nya dalam penyelesaian skripsi ini dengan judul “GambaranSelf Disclosure pada remaja etnis India Tamil”.Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orangtua terhebat, terbaik dan terinspiratif Alm.Fachri.M.Amin S.H ayah yang saya cinta yang telah bekerja keras membesarkan saya. Dra.Wirdatultiflah seorang ibu yang sangat saya cinta dimana beliau selalu membantu saya dan memberi semangat kepada saya serta selalu mendoakan saya. Terima kasih atas doa yang tidak henti dan dukungannya baik moril maupun materil. Semoga Allah selalu mencurahkan kebahagian kepada mereka di dunia dan akhirat. Tak lupa pula kepada adik saya Aulia Lexmana yang bersedia mengantar saya kemana-mana.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak baik sejak masa perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, maka sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(6)

2. Kakak Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, kesabaran extra dan keluangan waktu yang telah diberikan sejak pengerjaan seminar hingga penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas motivasi dan bimbingannya.

3. Ibu Etty Rahmawati, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang bersedia meluangkan waktunya selama masa perkuliahan untuk membimbing saya. 4. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog selaku dosen penguji II yang

telah memberikan banyak saran-saran terhadap skripsi ini.

5. Ibu Ika Sari D S.Psi, Psikolog selaku dosen penguji III yang telah memberikan masukan-masukan terhadap skripsi ini.

6. Seluruh jajaran staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

7. Keluarga besar, om, tante dan sepupu-sepupu saya.

8. Teman terdekat, Thamir Albion. Terima kasih telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih atas waktu dan bantuan yang tak terhingga kepada Dita Ardhina dan Kinanti Mayangsari

10.GANGSTER. Annisa Emen Hsb, Ririn Jens Fardhani, Annisa Caca Asrin, Annisa Kitty, Vindy L, Dennise Lazzaroni, Karisa Pratiwi, Suri Ichwani . Terima kasih suka duka yang dibagi bersama, tawa di setiap harinya dan segala kenangan selama menyandang status mahasiswa, semoga kebersamaan ini berlanjut sampai tua.


(7)

11.Seluruh Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih kenangan masa-masa perkuliahannya. Angkatan terheboh dan terkompak. Sukses!

12.Kepada Bapak Moses, Om Murti, dan Ibu Citra yang banyak membantu dan mempermudah saya dalam mengambil data .

13.Seluruh responden penelitian yang merupakan remaja-remaja India Tamil di Medan.

14.Segala pihak dan teman-teman yang mendukung proses penyelesaian penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

15.Pak Aswan yang telah banyak membantu dalam menyemangati untuk sidang ini.

Penulis menyadari bahwa isi dari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun sebagai masukan yang berguna bagi pengembangan penelitian ini kedepannya. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Medan, Februari 2013


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Sistematiksa Penulisan ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Self Disclosure ... 15

1. Definisi Self Disclosure ... 15

2. Dimensi-Dimensi Self Disclosure ... 16

3. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Self Disclosure ... 18

4. Tujuan Self Disclosure ... 22

5. Tahapan Self Disclosure ... 23

6. Dampak positif dan negatif Self Disclosure ... 25

B. Remaja ... 29

1. Definisi Remaja ... 29

2. Karakteristik Remaja ... 31

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 32

4. Perkembangan Sosial Remaja... 33

C. Etnis India Tamil ... 35

1. Definisi Etnis India Tamil ... 35

2. Etnis India Tamil di Medan ... 36


(9)

4. Budaya Tamil ... 39

D. Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 45

B. Definisi Operasional ... 45

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 46

1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 46

2. Metode Pengambilan Sampel ... 47

D. Alat Ukur Yang Digunakan ... 47

E. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur ... 53

1. Validitas Alat Ukur ... 53

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 53

3. Uji Daya Beda Aitem ... 55

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 56

G. Prosedur Penelitian ... 58

1. Tahap Persiapan ... 58

2. Tahap Pelaksanaan ... 59

3. Tahap Pengolahan Data ... 60

H. Metode Analisis Data ... 60

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 62

1. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 62

2. Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia... 63

B. Hasil Penelitian ... 64

1. Uji Normalitas ... 64

2. Gambaran Umum Self Disclosure Remaja Etnis India Tamil.. 66

3. Gambaran Umum Skor Self Disclosure pada Remaja Etnis India Tamil... 68

C. Hasil Tambahan ... 79


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

1. Saran Metodologis ... 86

2. Saran Praktis ... 87


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Cara Penilaian Skala Gambaran Self Disclosure ... 50

Tabel 2 Blue Print Distribusi aitem Skala Gambaran Self Disclosure Sebelum Uji Coba ... 51

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil Setelah Uji Coba ... 56

Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil Saat Penelitian ... 58

Tabel 5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 6 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 7 Hasil Uji Normalitas Data Penelitian ... 65

Tabel 8 Gambaran Mean, Nilai Minimum, Nilai Maksimum, Self Disclosure 66 Tabel 9 Deskripsi Kategorisasi Skor Gambaran Self Disclosure pada remaja etnis India Tamil ... .... 67

Tabel 10 Deskripsi Kategorisasi Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil ... 67

Tabel 11 Skor Tiap Dimensi Self Disclosure ... 68

Tabel 12 Gambaran Umum Self Disclosure Pada Dimensi Amount ... 69

Tabel 13 Gambaran Kategorisasi Skor Pada Dimensi Amount ... 70

Tabel 14 Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Amount ... 70

Tabel 15 Gambaran Umum Self Disclosure Pada Dimensi Valence ... 71

Tabel 16 Gambaran Kategorisasi Skor Pada Dimensi Valence ... 72

Tabel 17 Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Valence ... 72

Tabel 18 Gambaran Umum Self Disclosure Pada Dimensi Accurary / Honesty ... 73

Tabel 19 Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Accurary / Honesty ... 74

Tabel 20 Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Accurary / Honesty ... 74


(12)

Tabel 22 Gambaran Kategorisasi Skor Pada Intention... 76

Tabel 23 Gambaran Kategorisasi Pada Dimensi Intention... 76

Tabel 24 Gambaran Umum Self Disclosure Pada Dimensi Intimacy ... 77

Tabel 25 Deskripsi Kategorisasi Skor Dimensi Intimacy ... 78

Tabel 26 Deskripsi Kategorisasi Dimensi Intimacy ... 78

Tabel 27 Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil Berdasarkan Jenis Kelamin ... 79

Tabel 28 Gambaran Kategorisasi Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Penyebaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 63

Gambar 2 Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 64

Gambar 3 Hasil Uji Normalitas Data Penelitian dari Skala Gambaran Self Disclosure pada remaja etnis India Tamil ... 65

Gambar 4 Penyebaran Kategorisasi Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil ... 68

Gambar 5 Penyebaran Skor Pada Dimensi Self Disclosure ... 69

Gambar 6 Kategorisasi Pada Dimensi Amount ... 71

Gambar 7 Deskripsi Kategorisasi Pada Dimensi Valence ... 73

Gambar 8 Penyebaran Kategorisasi Pada Dimensi Accurary / Honesty ... 75

Gambar 9 Penyebaran Kategorisasi Pada Dimensi Intention ... 77

Gambar 10 Penyebaran Kategorisasi Pada Dimensi Intimacy ... 79

Gambar 11 Penyebaran Kategorisasi Self Disclosure pada remaja etnis India Tamil Berdasarkan Jenis Kelamin ... 80


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data (mentah) dan Hasil Uji Coba

Lampiran 2 Gambaran umum Subjek Penelitian


(15)

Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil

Mayrinda Famella dan Rahmi Putri Rangkuti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil. Self disclosure merupakan salah satu bagian dari komunikasi yang dimiliki individu dimana individu tersebut dengan sengaja membicarakan segala sesuatu mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dimana informasi ini melibatkan tentang nilai diri, kepercayaan, keinginan, perilaku dan kualitas diri.

Subjek penelitian adalah remaja etnis India Tamil yang berdomisili di Medan sebanyak 107 orang yang berusia 13-18 tahun. Sampel diperoleh melaui teknik non probability secara purposive sampling. Alat ukur berupa skala self disclosure yang disusun berdasarkan teori Devito (1986) yang mencakup 5 dimensi yaitu, amount, valence, accuracy/honesty, intention dan intimacy.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori rendah artinya remaja etnis India Tamil kurang dapat membuka dirinya serta kurang memberikan informasi dirinya kepada orang lain, kurang dalam hal melibatkan tentang nilai diri, kurangnya kepercayaan diri dan kepercayaan kepada orang lain, kurangnya terhadap keinginan, perilaku, dan kualitas diri atau karakteristik diri sehingga membuat mereka tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri dan tertutup.


(16)

Description of Self Disclosure on Indian Tamil Adolescents Mayrinda Famella and Rahmi Putri Rangkuti

ABSTRACT

The aim of this study is to describe self disclosure on Indian Tamil adolescents. Self disclosure is one part of the communication of the individual where the individual has explicitly discusses everything about themselves to others, which includes information about self-worth, confidence, desire, behavior and quality.

This study involves 107 Indian Tamil Adolescents who live in Medan aged 13-18 years. It uses the Purposive Sampling technique in taking the sample.

The Likert’s scale method is used as the measuring instrument, using the self

disclosure scale image based on the theory of Devito (1986) which includes 5 dimensions, amount, valence, accuracy/honesty, intention and intimacy.

The Study is a descriptive study. The result indicates that the Self Disclosure on Indian Tamil Adolescents is in the low category, it means the adolescents with India’s Ethnic (Tamil) are less opened as well as less giving information to others, lack of self-worth, lack of confidence and trust in others, lack of desire, behavior, and quality of self or personal characteristics that makes them unable to adjust to, lack of confidence, there is a sense of fear, anxiety, low self-esteem and introvert.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun (Papalia & Olds, 2001). Masa remaja menurut Hurlock terbagi atas remaja awal dan remaja akhir. Masa remaja awal dimulai dari usia tiga belas tahun sampai enam belas tahun dan masa remaja akhir dimulai dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai usia delapan belas tahun (Hurlock, 2008).

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang paling sulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja juga harus membuat banyak penyesuaian baru yaitu penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial serta nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin. Selain itu remaja juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga, sekolah dan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada (Hurlock, 1999). Menjalin hubungan dengan individu lain merupakan bagian yang tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dalam kehidupann manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh


(18)

karena itu setiap individu membutuhkan keterampilan sosial untuk membangun sebuah hubungan yang harmonis dengan individu yang lain (Gainau, 2008).

Agar individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, maka individu membutuhkan keterampilan sosial. Keterampilan sosial menunjang keberhasilan dalam bergaul serta syarat tercapainya penyesuaian sosial yang baik dalam kehidupan individu (Gainau, 2008). Salah satu aspek yang penting dalam keterampilan sosial adalah self disclosure (Buhrmester, 1998). Morton (dalam Sears, 1989) juga berpendapat, salah satu bentuk keterampilan sosial adalah self disclosure, self disclosure merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Menurut Lumsden (1996) self disclosure dapat membantu seseorang berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan kepercayaan diri serta hubungan menjadi lebih akrab. Selain itu, self disclosure

dapat melepaskan perasaan bersalah dan cemas (Calhoun dan Acocella, 1990).

Self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu remaja dalam mencapai kesuksesan akademik dan penyesuaian diri. Apabila remaja tersebut tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Tanpa self disclosure, individu cenderung mendapat penerimaan sosial kurang baik sehingga berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya.

Menurut DeVito (2001) self disclosure merupakan salah satu bagian penting dari komunikasi interpersonal dimana seseorang memberikan informasi tentang dirinya kepada orang lain, yang melibatkan tentang nilai diri, kepercayaan, dan keinginan, tentang perilaku, dan tentang kualitas diri atau


(19)

karakteristik diri. Papu (2002) juga menyatakan self disclosure diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita dan sebagainya. Menurut Pearson (1983), self disclosure merupakan metode yang paling dapat dikontrol dalam menjelaskan diri sendiri kepada orang lain. Individu dapat mempresentasikan dirinya sebagai orang bijak atau orang bodoh tergantung dari caranya mengungkapkan perasaan, tingkah laku, dan kebiasaannya.

Self Disclosure merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam interaksi sosial (Gainau, 2008). Menurut Taylor & Belrgrave (dalam Gainau, 2008). Remaja yang terampil melakukan self disclosure

mempunyai ciri-ciri lebih memiliki rasa tertarik pada orang lain daripada mereka yang kurang terbuka, percaya diri sendiri, dan percaya kepada orang lain. Sebagai salah satu aspek penting dalam hubungan sosial, self disclosure juga perlu bagi remaja, karena masa remaja merupakan periode individu belajar menggunakan kemampuannya untuk memberi dan menerima dalam berhubungan dengan orang lain. Sesuai dengan perkembangannya, remaja dituntut lebih belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas dan majemuk.

Keterampilan self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu remaja dalam mencapai kesuksesan akademik dan penyesuaian diri. Apabila remaja tersebut tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya dalam lingkungan sekolah banyak dijumpai adanya komunikasi yang kurang efektif


(20)

antara siswa dengan guru, dan siswa dengan teman-temannya. Salah satu penyebab adalah kurangnya self disclosure. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala seperti tidak bisa mengeluarkan pendapat, tidak mampu mengemukakan ide atau gagasan yang ada pada dirinya, merasa was-was atau takut jika hendak mengemukakan sesuatu (Johnson, 1990).

Penelitian lainnya yang dilakukan Johnson (1990) menunjukkan bahwa individu yang mampu dalam self disclosure akan dapat mengungkapkan diri secara tepat; terbukti mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya diri sendiri, lebih kompeten, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif, percaya terhadap orang lain, lebih objektif, dan terbuka. Sebaliknya individu yang kurang mampu dalam self disclosure terbukti tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri, dan tertutup. Johnson mengatakan bahwa ciri-ciri self disclosure tersebut, mempengaruhi kesehatan mental seseorang.

Self disclosure dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang bertingkah laku. Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan komunikasi seseorang adalah faktor lingkungan meliputi: pola asuh, budaya, stereotipe, sosial ekonomi, jenis kelamin, dan pendidikan seseorang (Alberti dan Emmons, 2002). Lingkungan mempengaruhi terbentuknya kebudayaan, salah satunya tingkah laku sosial sehingga terdapat hubungan antara kebudayaan dengan tingkah laku sosial (Triandis, 1994). Dengan demikian kebudayaan berarti semua cara hidup (ways of life) yang telah dikembangkan oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Kebudayaan tersebut terdiri dari cara berpikir, cara bertindak, dan cara yang


(21)

dimanifestasikan, seperti dalam agama, hukum, bahasa, seni, dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga budaya berpengaruh terhadap self disclosure masing-masing individu.

Ada budaya yang cenderung menutup diri, ada juga yang terbuka. Misalkan di Indonesia khususnya pada budaya Jawa. Suseno dan Reksosusilo (dalam Gainau, 2008), beranggapan orang yang diam atau tertutup itu dinilai baik dan orang yang terbuka dianggap masih tabu, karena self disclosure dipandang sebagai sikap menyombongkan diri, angkuh, tinggi hati dan lain-lain. Nilai budaya ini akan terus dibawa oleh individu, karena dimulai dari awal kehidupannya sudah diberikan pelajaran untuk dapat menerima dan tidak menerima dalam menyatakan diri pada orang lain. Serta individu sudah seharusnya menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh orang lain. Dengan demikian lama kelamaan benteng pertahanan diri sangat kuat sehingga untuk terbuka kepada orang lain sangat sedikit.

Self disclosure antar budaya sering dibahas dalam literatur berkaitan dengan apakah budaya itu individualistik atau kolektivistik. Budaya individualistis cenderung kebalikan dari budaya kolektif dalam hal karakteristik yang mempromosikan self disclosure. Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa budaya individualistik memiliki pandangan independen dan budaya kolektivis memiliki pandangan saling tergantung (Kito, 2005). Adams, Anderson dan Adonu (2004) menemukan budaya individualistis melihat pengungkapan diri sebagai faktor penting yang digunakan untuk membangun hubungan yang akrab (Marshall, 2008). Gudykunst dan Matsumoto (1996) menemukan budaya


(22)

individualistis menempatkan penekanan yang kuat pada gaya komunikasi verbal, eksplisit, langsung, dan ekspresif yang memungkinkan untuk lebih terbuka dalam

self disclosure (seperti yang dikutip di Marshall, 2008). Budaya individualistis memegang pandangan yang independen, mereka menekankan kemampuan untuk mengekspresikan diri (Kito, 2005). Budaya kolektivis percaya self disclosure

bukan merupakan faktor penting ketika membangun hubungan yang akrab. Budaya kolektif menggunakan gaya komunikasi tidak langsung, nonverbal, ambigu, kontekstual, dan kurang ekspresif yang membuat lebih sulit untuk mengungkapkan diri secara bebas dibandingkan dengan budaya individualistik (Marshall, 2008).

Di Indonesia terdapat berbagai macam suku, budaya, dan etnis. Selain penduduk asli Indonesia terdapat juga penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas di antaranya adalah China, India, dan Arab. Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman etnis budaya adalah Sumatera Utara khususnya Medan. Medan merupakan kota yang diwarnai dengan budaya berbagai etnis yang menempatinya, tidak hanya etnis asli Indonesia, tetapi juga berbagai etnis pendatang seperti India, Tionghoa, dan Arab yang telah bermukim di Indonesia (Coast, 2010).

Salah satu etnis yang eksistensinya tidak dapat dikesampingkan begitu saja adalah etnis India Tamil, karena mereka juga turut menyumbang terhadap multikulturalisme dan multietnis di daerah ini. Jumlah etnis India di Indonesia, menurut sensus penduduk tahun 2000 yang direkam oleh A. Mani (2008) sekitar 22.047 atau 64% tinggal di Sumatera Utara sementara di Jakarta berjumlah 3.632


(23)

atau 11% saja. Wilayah lain di mana terdapat jumlah etnis India yang cukup besar adalah Sumatera Selatan (1.245 atau 4%), Jawa Timur (1.164 atau 3%), Kalimantan Barat (1.150 atau 3%), dan Jawa Barat (1.033 atau 3%).

Walau pada awalnya jumlah mereka relatif kecil sehingga tidak ditemukan pada laporan Biro Pusat Statistik, tetapi eksistensinya tidak dapat begitu saja dihiraukan. Di Medan sendiri terdapat kampung yang bernama Kampung Madras atau Kampung Keling. Di Kampung Keling ini puluhan bangunan tua khas zaman kolonial Belanda masih bisa ditemukan di sini. Bangunan-bangunan ini adalah bangunan bersejarah peninggalan masa keemasan tembakau deli. Di kawasan inilah dahulu masyarakat India tinggal dan bermukim. Sekarang tak banyak memang lagi warga keturunan India yang tinggal di sana. Karena tekanan ekonomi kelompok masyarakat inipun banyak yang tergusur ke pinggiran. Sekarang populasi terbesar mereka berada di Kampung Angrung dan Kampung Kubur, di sekitar kawasan Jalan Monginsidi, Medan (Rehulin, 2010).

Etnis India Tamil merupakan jumlah terbanyak yang ada di kota Medan. Dr. Phil Ichwan Azhari MS, seorang sejarawan Universitas Negeri Medan, menyatakan bahwa dengan jumlah yang cukup banyak, sangat disayangkan tema-tema tentang etnis India hampir tidak pernah dibahas secara ilmiah melalui seminar terutama di jenjang Perguruan Tinggi. Masyarakat Tamil masih berpegang teguh terhadap budaya dan adat istiadat mereka. Mereka memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Masyarakat Tamil di kota Medan maupun di kota–kota besar lainnya di Indonesia. Coast (2010) menyatakan bahwa orang Indonesia dengan


(24)

keturunan India bersifat tertutup. India merupakan salah satu negara yang menganut budaya kolektif. Marshall (2008) menyatakan bahwa budaya kolektif menggunakan gaya komunikasi tidak langsung dan kurang ekspresif yang membuat lebih sulit untuk mengungkapkan diri.

Seperti kutipan wawancara di bawah ini :

“Cerita-cerita sama orang-orang kek aku lah kak. Jadi, ya ngomong sama orang itu sekedarnya aja sih kak” (komunikasi personal, 13 Juni 2012).

“Kawan aku di sekolah banyak juga kak orang indonesia tapi aku kalo pigi-pigi kumpul-kumpul sama kawan-kawan aku yang kayak aku juga

kak, lebih enak aja rasaku kak” (komunikasi personal, 18 juni 2012)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti remaja India tersebut kurang terbuka dan enggan untuk bergabung dengan penduduk lokal. Salah satu remaja India menyatakan bahwa memang dirinya kurang terbuka dengan orang lain di luar etnisnya. Namun sebenarnya ia tidak keberatan untuk bergaul dengan yang lain, hanya saya dirinya kurang nyaman akan pandangan orang lain yang kurang menyenangkan. Untuk itu ia membatasi dirinya hanya bergaul sebatas di sekolah sedangkan di luar sekolah tidak.

Seperti kutipan wawancara di bawah ini :

“Pulang sekolah langsung pulang kak. Enggak pernah main-main. Ya bekawan–kawannya di sekolah aja kak. Itupun aku enggak pernah curhat-curhatan gitu kak mau sama kawan sama-sama india kek aku juga aku gak pernah curhat kak.” (komunikasi interpersonal, 04 oktober 2012).

“Kalo di sekolah kadang gabung-gabung juga kak sama yang lain cuma kalo pulang sekolah ya pulang kak disuruh pulang sama ayahku. Ya kalo curhat-curhat gitu enggak suka aku kak.” (komunikasi interpersonal, 04 oktober 2012).


(25)

Dari kutipan wawancara tersebut remaja india tersebut terlihat jarang membagikan cerita dengan teman-temannya yang seetnis maupun tidak seetnis dengannya. Mereka juga terlihat jarang berkumpul dengan teman-temannya setelah pulang sekolah tidak seperti remaja kebanyakan. Orangtua dari remaja etnis India Tamil tersebut tidak membiarkan anak-anaknya bermain di luar jam sekolah.

Etnis India Tamil juga merupakan kelompok minoritas yang ada di kota Medan. Minoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Minoritas merupakan suatu jumlah persentase kelompok yang besarnya kurang dari 50% (UTC, 2006). Dalam analisis klasik, kelompok minoritas menurut Louis Wirth (dalam Liliweri, 2005), diartikan sebagai kelompok yang memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian ditunjukkan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada. Akibatnya, kelompok itu diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi.

Keberadaan minoritas dalam suatu komunitas menunjukkan hubungan mereka dengan eksistensi kelompok mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan. Perilaku dan karakteristik dari kelompok minoritas selalu distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.


(26)

Kelompok-kelompok dengan identitas khusus secara tipikal memiliki pendapatan yang lebih rendah dan mereka kurang memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa dan pendidikan. Jadi minoritas adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibawah 50% dimana jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Walaupun mereka sudah berbaur di Medan sendiri namun, warga minoritas ini merasa belum diperlakukan sama sehingga mereka merasa didiskriminasi karena ada nya streotype negatif tentang mereka (Etnis, 2011).

Seperti kutipan wawancara di bawah ini :

“ Temen-temen aku sih kebanyakan orang kek aku jugalah kak, cemanalah

soalnya kalo gabung sama orang-orang itu payah kayaknya orang itu mandang kami beda trus lebih nyambung” (komunikasi personal, 13 juni 2012).

Dari hasil kutipan wawancara di atas terlihat bahwa remaja etnis India Tamil lebih memilih berteman dengan yang seetnis dengan mereka karena adanya pandangan berbeda dari kelompok mayoritas.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan dapat dilihat bahwa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak dan dewasa, dimana remaja memiliki berbagai tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan remaja yang paling sulit adalah melakukan penyesuain diri terhadap lingkungan sosial. Remaja harus memiliki keterampilan sosial dalam melakukan penyesuaian diri yang salah satunya adalah self disclosure. Ada beberapa hal yang mempengaruhi self disclosure dan menurut Gainau (2008) salah satu yang sangat berpengaruh adalah


(27)

faktor budaya. Budaya individualistik melihat self disclosure sebagai salah satu faktor penting dalam membangun suatu hubungan sedangkan budaya kolektivis percaya bahwa self disclosure bukan merupakan hal penting dalam membangun suatu hubungan.

Beberapa budaya individualistik termasuk Eropa dan Amerika sementara budaya kolektif termasuk Cina, India dan Jepang. Etnis India Tamil sendiri juga merupakan salah satu kelompok minoritas yang ada di kota Medan. Kelompok minoritas tersebut harus melakukan penyesuaian diri terhadap etnis setempat. Dalam melakukan penyesuaian diri tersebut mereka harus memiliki keterampilan sosial yang salah satunya adalah self disclosure. Oleh karena itu peneliti ingin melihat bagaimana gambaran self disclosure pada Remaja India Tamil di Medan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil dan bagaimana self disclosure pada remaja etnis India Tamil ditinjau dari kelima dimensi self disclosure.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran self disclosure


(28)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Menambah referensi pengetahuan dalam ruang lingkup Psikologi, khususnya psikologi perkembangan yang menyangkut perkembangan remaja dan self disclosure pada remaja india.

b. Dapat di jadikan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya yang berminat meneliti tentang self disclosure.

2. Manfaat praktis

a. Bagi konselor dan orang tua : Dapat digunakan untuk konseling sehubungan dengan masalah self disclosure pada remaja etnis india agar lebih dapat memahami bahwa seorang remaja memerlukan tempat yang tepat untuk berbagi pikiran dan perasaan, sehingga guru dan orang tua dapat menjadi orang tua sekaligus teman bagi merekadan dapat membimbing dan membantu remaja dalam keterbukaan diri agar remaja dapat bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya.

b. Bagi remaja : Dapat mengetahui tentang pentingnya melakukan self disclosure karena self disclosure sebagai salah satu keterampilan sosial akan mempermudah mereka untuk terjun di lingkungan sosial dan dapat membina dan meningkatkan hubungan sosial yang baik dengan semua orang.


(29)

E. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian serta manfaat penelitian. BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang Self Disclosure, teori tentang Remaja

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari self disclosure, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengambilan data, uji validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur, metode analisa data serta hasil uji coba alat ukur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisis Data

Bab ini berisi analisa data dan pembahasan. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai analisa data hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan mengenai hasil berkenaan dengan Gambaran Self Disclosure Pada Remaja Etnis India Tamil.


(30)

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini mengenai kesimpulan dan saran. Pada bagian ini berisi uraian yang akan membahas mengenai kesimpulan peneliti mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodologis dan saran praktis bagi penelitian selanjutnya.


(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self Disclosure

1. Definisi Self Disclosure

Self disclosure adalah merupakan salah satu bagian penting dari komunikasi interpersonal dimana seseorang memberikan informasi tentang dirinya kepada orang lain, yang melibatkan tentang nilai diri, kepercayaan, keinginan, perilaku, dan kualitas diri atau karakteristik diri (DeVito, 2001). Self disclosure yang dikemukakan oleh Johson (dalam Supratiknya, 1995) merupakan pengungkapan reaksi atau tanggapan individu terhadap situasi yang sedang dihadapinya serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau berguna untuk memahami tanggapan individu tersebut.Rogers (dalam Baron, 1994) mendefinisikan self disclosure sebagai suatu keuntungan yang potensial dari pengungkapan diri kita kepada orang lain. Menurut Morton (dalam Baron, dkk, 1994) self disclosure adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa self disclosure adalah suatu pola komunikasi interpersonal yang memberikan informasi tentang dirinya kepada orang lain.


(32)

2. Dimensi-Dimensi Self Disclosure

Self disclosure berbeda bagi setiap individu dalam hal kelima dimensi di bawah ini (Devito, 1986):

1. Amount

Kuantitas dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi dengan siapa individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan self disclosure atau waktu yang diperlukan untuk mengutarakan statement self disclosure individu tersebut terhadap orang lain.

2. Valence

Valensi merupakan hal yang positif atau negatif dari self disclosure. Individu dapat mengungkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau menjelek-jelekkan diri individu sendiri.

3. Accuracy/Honesty

Ketepatan dan kejujuran individu dalam self disclosure. Ketepatan dari self disclosure individu dibatasi oleh tingkat dimana individu mengetahui dirinya sendiri. Self disclosure dapat berbeda dalam hal kejujuran. Individu dapat saja jujur secara total atau dilebih-lebihkan, melewatkan bagian penting atau berbohong.

4. Intention

Dalam melakukan self disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba mengungkapkan


(33)

pada saat untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self disclosure itu maka kita pun melakukan kontrol atas self disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebih-lebihkan atau berbohong dalam melakukan self disclosure pada satu sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol agar mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.

5. Intimacy

Self disclosure bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik. Sejauh mana kedalaman dalam self disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam

self disclosure yang diungkapkan. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita.


(34)

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Disclosure

Sejumlah faktor mempengaruhi apa yang akan diungkapkan seseorang,dan kepada siapa akan diungkapkan. Diantara faktor yang paling penting adalah who you are, budaya, gender, siapa yang menjadi pendengar, dan apa topik yang diungkapkan (Devito, 2001).

1. Who you are

Orang yang memiliki sosialisasi yang tinggi dan orang yang extrovert

memiliki pengungkapan diri yang lebih daripada mereka yang kurang bersosialisasi dan lebih tertutup. Orang yang kurang cakap dalam berbicara pada umumnya juga kurang membuka diri daripada mereka yang lebih nyaman dalam berkomunikasi. Orang yang kompeten memiliki self disclosure yang lebih baik daripada orang yang kurang kompeten. Mungkin orang yang kompeten memiliki hal-hal seperti rasa percaya diri yang besar dan hal yang lebih positif untuk diungkapkan. Demikian pula, percaya diri mereka dapat membuat mereka lebih bersedia mengambil risiko reaksi negatif yang mungkin (McCroskey dan Wheeless, 1976).

2. Budaya

Budaya yang berbeda memiliki pandangan yang berbeda terhadap self disclosure. Orang-orang di Amerika Serikat lebih terbuka daripada orang-orang di Inggris, Jerman, Jepang, Puerto Rico (Gudykunst 1983). Siswa Amerika juga lebih terbuka daripada siswa dari Negara Timur Tengah (Jourard, 1971). Demikian pula, mahasiswa Amerika lebih terbuka tentang berbagai isu kontroversial dan juga lebih terbuka untuk berbagai jenis orang daripada


(35)

mahasiswa Cina (Chen 1992). Mahasiswa Cina lebih mempertimbangkan topik yang tabu dan tidak pantas untuk diungkapkan daripada rekan-rekan Inggris mereka (Goodwin dan Lee 1994). Di antara Kabre Togo, kerahasiaan adalah bagian utama dari interaksi sehari-hari mereka (Piot 1993).

Beberapa budaya (terutama yang tinggi dalam maskulinitas) melihat pengungkapan perasaan batin seseorang sebagai kelemahan. Di antara beberapa kelompok, itu akan dianggap tidak pada tempatnya bagi seorang pria untuk menangis pada peristiwa yang menyenangkan seperti pernikahan. Demikian pula, di Jepang itu dianggap tidak diinginkan bagi rekan-rekan untuk mengungkapkan informasi pribadi, sedangkan di banyak negara negara bersatu itu diharapkan (Barlund 1989,Hall dan Hal 1987).

Dalam beberapa budaya atau misalnya, Meksiko ada penekanan kuat yang membahas segala hal dalam mode positif, dan ini pasti mempengaruhi cara orang Meksiko dalam pengungkapan diri. Self disclosure yang negatif, biasanya dibuat untuk menutup keintiman dan setelah hubungan berlalu dalam waktu yang cukup lama. Pola ini konsisten dengan bukti yang menunjukkan bahwa keterbukaan diri dan kepercayaan berhubungan positif (Wheeles dan Grotz, 1977).

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, ada juga kesamaan lintas budaya. Misalnya, orang dari Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Puerto Rico semua lebih cenderung untuk mengungkapkan informasi pribadi, hobi, minat, sikap, dan opini yang objektif tentang politik dan agama daripada informasi tentang seks keuangan, kepribadian, dan hubungan interpersonal (Jourard, 1970).


(36)

3. Your gender

Stereotip populer dari perbedaan gender dalam self disclosure menekankan keengganan pria untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Untuk sebagian besar, penelitian mendukung pandangan ini dan menunjukkan bahwa wanita mengungkapkan lebih daripada pria. Hal ini terutama berlaku di jenis kelamin yang sama; wanita mengungkapkan lebih dekat (dan dengan emosi lebih) ketika berbicara dengan wanita lain daripada dengan laki-laki (Shaffer, Pegalis, dan Bazzini 1996).

Lebih khusus lagi, perempuan mengungkapkan lebih dari laki-laki tentang hubungan romantis mereka sebelumnya, perasaan mereka tentang teman-teman terdekat mereka yang berjenis kelamin yang sama, ketakutan terbesar mereka, dan apa yang mereka tidak suka tentang pasangan mereka (Sprecher, 1987). Perempuan juga tampaknya meningkatkan kedalaman diri mereka sebagai pengungkapan hubungan menjadi lebih intim, sedangkan laki-laki tampaknya tidak mengubah tingkat keterbukaan diri mereka. Pria misalnya, memiliki topik lebih tabu bahwa mereka tidak akan mengungkapkan kepada teman-teman mereka daripada wanita (Goodwin dan Lee 1994). Akhirnya, wanita bahkan diri lebih terbuka kepada anggota keluarga besar mereka dibandingkan laki-laki (Komarovsky 1964, Argyle dan Henderson 1985, Moghaddam, Taylor dan Wright 1993). Satu pengecualian terjadi pada pertemuan awal. Pria akan mengungkapkan lebih intim daripada wanita, mungkin untuk mengontrol perkembangan hubungan tersebut (Derlega, Winstead, dan Hunter, 1985).


(37)

4. Your listeners

Self disclosure lebih mudah terjadi dalam kelompok kecil daripada dalam kelompok besar. Individu dapat memantau pengungkapan, jika ada dukungan dari pendengar dan berhenti jika tidak ada. Dengan lebih dari satu pendengar, pemantauan seperti ini semakin sulit karena respon pendengar bervariasi. Karena seseorang akan mengungkapkan dirinya, umumnya paling tidak, atas dasar dukungan yang seseorang terima, seseorang mungkin mengungkapkan kepada orang yang disuka (Derlega, Winstead, Wong, dan Greenspan, 1987,Collins dan Miller 1994). Dan orang yang dipercaya (Wheeless dan Grotz, 1977). Tidak mengherankan, apabila seseorang akan lebih mudah untuk melakukan self disclosure kepada orang-orang yang dekat dengan usia anda (Parker dan Parrott, 1995).

Pada saat-saat self disclosure terjadi yang bersifat sementara dari hubungan permanen misalnya, antara orang asing di kereta atau pesawat, semacam "dalam keintiman perjalanan" (McGill, 1985). Dalam situasi ini, dua orang mengatur hubungan diri selama periode perjalanan singkat. Dalam cara yang sama, seseorang mungkin mengatur hubungan dengan satu orang atau beberapa di internet dan terlibat dalam pengungkapan signifikan. Mungkin mengetahui anda tidak akan pernah melihat orang-orang lain dan bahwa mereka tidak akan pernah tahu di mana seseorang itu tinggal atau bekerja itu terlihat seperti membuatnya sedikit lebih mudah.


(38)

5. Your topic

Seseorang akan lebih mudah untuk mengungkapkan tentang beberapa topik dari topik yang lain. Sebagai contoh, seseorang lebih mungkin untuk mengungkapkan informasi tentang pekerjaan atau hobi daripada tentang kehidupan seks atau situasi keuangan (Jourard, 1971). Seseorang juga lebih cenderung untuk mengungkapkan informasi yang menguntungkan dari informasi yang tidak menguntungkan. Jadi, umumnya seseorang akan semakin kecil membuka diri untuk hal yang lebih pribadi dan topik negatif.

4. Tujuan Self-Disclosure

Menurut Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000), lima fungsi dari self disclosure diantaranya :

a. Expression

Mengekspresikan perasaan merupakan fungsi seseorang melakukan pengungkapan diri.

b. Self clarification

Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu mungkin mendapat self awareness (kasadaran diri) dan pemahaman yang lebih baik. Bicara kepada orang lain mengenai masalah dapat membantu individu untuk mengklarifikasi pikirannya tentang situasi yang ada.

c. Social validation

Dengan melihat bagaimana reaksi pendengar saat self disclosure

berlangsung, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketetapan pandangannya.


(39)

d. Social control

Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya yang dimaksudkan untuk mengatur tingkah laku individual dalam kelompok. Individu mungkin memperhatikan topik, kepercayaan atau ide untuk membentuk kesan yang baik tentang dirinya.

e. Relationship development

Berbagi informasi dan kepercayaan adalah jalan yang penting untuk memulai hubungan dan untuk meningkatkan intimasi.

5. Tahapan Self-Disclosure

Self disclosure melibatkan konsekuensi positif dan negatif. Keputusan untuk mengungkapkan diri bersifat individual dan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Adapun tahapan dalam melakukan self disclosure adalah sebagai berikut :

a. Pertimbangan akan motivasi melakukan self disclosure

Setiap self disclosure ditimbulkan oleh motivasi yang berbeda-beda pada setiap individu. Self disclosure sebaiknya didorong oleh pertimbangan dan perhatian yang ada terhadap hubungan yang dijalani oleh individu, terhadap orang lain yang berada disekeliling individu dan terhadap diri sendiri. Self disclosure

sebaiknya berguna bagi semua orang yang terlibat. b. Pertimbangan pantas atau tidaknya self disclosure

Self disclosure sebaiknya sesuai dengan konteks dan hubungan yang terjalin antara pembicara dan pendengar. Individu harus memperhatikan waktu dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan diri. Pendengar yang dipilih


(40)

biasanya adalah orang yang memiliki hubungan yang dekat dengan individu. Penting untuk dipertimbangkan apakah pendengar mau mendengarkan self disclosure individu. Apakah pendengar dapat mengerti hal yang diungkapkan oleh individu. Menurut DeVito (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), jika pendengar merupakan orang yang menyenangkan dan membuat individu merasa nyaman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan untuk membuka diri akan semakin besar. Sebaliknya, individu akan menutup diri pada orang-orang tertentu karena merasa kurang percaya.

c. Pertimbangan akan respon yang terbuka dan jujur.

Self disclosure sebaiknya dilakukan di lingkungan yang mendukung adanya respon yang jujur dan terbuka. Hindari self disclosure jika pendengar sedang terburu-buru atau ketika mereka berada pada situasi yang tidak memungkinkan adanya respon yang jujur dan terbuka.

d. Pertimbangan akan kejelasan dari self disclosure

Tujuan dari self disclosure adalah untuk menginformasikan bukan membuat orang lain kebingungan. Seringkali individu hanya mengungkapkan informasi yang tidak lengkap yang membingungkan pendengar. Sebaiknya individu mempertimbangkan informasi apa yang hendak diungkapkan, dan mempersiapkan diri pada konsekuensi untuk mengungkapkan diri lebih dalam lagi supaya pendengar dapat mengerti.


(41)

e. Pertimbangan kemungkinan self disclosure pendengar

Selama mengungkapkan self disclosure, berikan pendengar kesempatan untuk mengungkapkan self disclosure dirinya. Raven & Rubin (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bila individu menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi, pendengar akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya individu mengharapkan orang lain memperlakukannya sama seperti individu memperlakukan orang lain tersebut. Self disclosure pendengar merupakan suatu tanda self disclosure individu diterima atau sesuai.

f. Pertimbangan akan resiko yang mungkin terjadi akibat self disclosure

Self disclosure sebaiknya diikuti dengan pertimbangan konsekuensi yang terjadi dari self disclosure tersebut. Self disclosure tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang positif seperti pemahaman dan penerimaan dari pendengar tetapi juga kemungkinan akan adanya konsekuensi negatif seperti penolakan dan ketegangan. Franke & Leary (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) menyebutkan, bahwa individu dengan orientasi seksual yang berbeda berkeinginan untuk mengungkapkan self disclosure, tetapi mereka takut bahwa self disclosure yang mereka lakukan akan menyebabkan kemarahan, penolakan dan atau diskriminasi.

6. Dampak positif dan negatif self disclosure

Self disclosure sebagai bentuk komunikasi yang penting dalam perkembangan suatu hubungan memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan/dampak positif yang diperoleh dengan melakukan self disclosure:


(42)

a. Knowledge of self

Salah satu argumen yang mendukung self disclosure adalah seseorang mungkin tidak dapat sepenuhnya mengetahui dirinya jika tidak mengungkapkan

self disclosure kepada orang lain setidaknya kepada salah satu individu yang lain. Dengan self disclosure, seseorang memperoleh sebuah perspektif baru mengenai dirinya sendiri, pemahaman yang lebih mendalam mengenai perilakunya.

b. Ability to cope

Self disclosure dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah terutama rasa bersalah. Dengan self disclosure seseorang merasa lebih mendapatkan kekuatan daripada penolakan. Mereka yang telah melakukan self disclosure merasa lebih dapat menerima diri mereka, dan dapat mengembangkan respon-respon positif bagi diri mereka sendiri.

c. Energy release

Menyimpan rahasia dalam diri dan tidak mengatakan siapa diri pada orang lain membutuhkan energi yang besar jumlahnya, dan hanya mengakibatkan orang tesrsebut kekurangan energi untuk hal lain.

d. Communication effectiveness

Self disclosure juga membantu dalam meningkatkan efisiensi dalam berkomunikasi. Mereka yang telah mengenal seseorang dengan baik akan lebih mengerti pesan yang disampaikan oleh orang tersebut. Hal ini memungkinkan untuk dapat lebih mengerti dan mengetahui kapan seseorang itu serius atau cuma bercanda, kapan orang dapat menjadi sarkastik dan sebagainya. Self disclosure


(43)

dirinya seutuhnya, maka akan sulit untuk mengenali orang tersebut dan memahami perilaku yang dimunculkannya.

e. Meaningful of relationship

Self disclosure penting jika dua orang sedang membina suatu hubungan yang bemakna (meaningful relationships). Tanpa self disclosure hubungan yang berarti tidak akan mungkin untuk dikembangkan. Dengan self disclosure, seseorang didorong untuk mengatakan kepada teman-temannya bahwa orang tersebut mempercayai mereka dan perduli pada hubungan yang mereka miliki sehingga mau menunjukan dirinya kepada mereka. Ini dapat mendorong orang lain untuk mengungkapkan diri mereka juga. Hal ini dapat memunculkan suatu hubungan yang bermakna, yaitu suatu hubungan jujur dan terbuka.

f. Psychological health

Penelitian Pennebacker, seorang ahli psikologi (dalam DeVito, 1986), mendemonstrasikan bahwa orang yang mengungkapkan diri tidak mudah terserang penyakit. Self disclosure akan melindungi tubuh dari stress yang merusak. Sebagai contoh wanita yang menderita trauma seksual mengalami berbagai variasi dari penyakit misalnya sakit kepala ataupun bermasalah dengan perutnya. Wanita yang hanya menyimpan pengalaman ini senidiri dan tidak menceritakannnya pada orang lain akan lebih menderita gangguan-gangguan tersebut daripada wanita yang menceritakan trauma tersebut kepada orang lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self disclosure merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan karena dapat membantu meringankan masalah yang dihadapi seseorang.


(44)

Namun selain memiliki keuntungan, tidak dapat disangkal bahwa self disclosure juga memiliki beberapa kelemahan atau dampak negatif.:

DeVito (1986) mengatakan, selain memiliki dampak positif self disclosure

juga memiliki kelemahan. Self disclosure dapat menghasilkan dampak yang tidak menyenangkan. Beberapa dampak negatif dari self disclosure adalah :

a. Personal and social rejection

Seseorang tidak akan melakukan self disclosure pada sembarang orang. Umumnya self disclosure hanya akan dilakukan pada orang yang dirasa akan mendukung dirinya. Namun hal ini tidak dapat dipastikan. Orang yang dianggap pasti akan mendukung, bisa saja menolak dan menjauh setelah self disclosure

dilakukan. Orang tua yang umumnya selalu mendukung anaknya bisa saja berbalik menolak ketika mengetahui anaknya adalah homoseksual, atau menikah dengan orang yang berbeda agama. Sahabat atau pacar bisa saja memberikan reaksi yang sama, ketika mengetahui bahwa teman atau pasangannya mengidap penyakit yang mematikan.

b. Material loss

Tidak jarang self disclosure menyebabkan seseorang akan kehilangan materi dengan berbagai cara. Orang yang diketahui homoseksual akan dikeluarkan dari pekerjaannya. Karyawan yang mengaku menggunakan narkotika atau mencuri sesuatu akan mendapatkan pemecatan dan tindakan kriminal sebagai hasilnya. Self disclosure tidak selalu menghasilkan sesuatu yang menyenangkan.

Self disclosure yang berisi informasi negatif umumnya akan menimbulkan dampak negatif pula.


(45)

c. Intrapersonal difficulties

Ketika reaksi dari hasil self disclosure yang dilakukan tidak seperti apa yang diperkirakan, maka kesulitan hubungan intrapersonal bisa saja terjadi. Ketika seseorang mengharapkan dukungan, namun yang diterima ternyata adalah penolakan, ketika seseorang membutuhkan pelukan, yang didapat adalah usiran, ketika yang mengharapkan penguatan yang diterima justru pengabaian. Self disclosure dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam hubungan intrapersonal.

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata Adolescere (kata benda dari Adolescentia), yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Istilah Adolescence yang digunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosi, sosial, dan fisik (Hurlock, 1990). Hal ini dikuatkan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1990) bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak merasa lagi dibawah tingkat orang tua yang lebih tua, melainkan berada pada tingkat yang kurang lebih sama, berhubungan dengan masa puber, perubahan intelektual yang mencolok, transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja dalam mencapai integrasi dalam hubungan sosial.

Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan


(46)

dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Sedangkan menurut Thornburg (dalam Dariyo, 2004) remaja digolongkan dalam tiga tahap, yaitu remaja awal dalam rentang usia 12-14 tahun, remaja tengah dalam rentang usia 15-17 tahun, dan remaja akhir dalam rentang usia 18-21 tahun.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa dimana anak mengalami masa perubahan fisik dan psikis untuk terbentuknya suatu kepribadian yang berbeda dari sebelumnya yang dapat memenuhi kebutuhan dalam dirinya. Masa remaja dimulai dari usia 12-21 tahun.


(47)

2. Karakteristik Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

b. Remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :


(48)

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.


(49)

4. Perkembangan Sosial Remaja

Sumber penting dari dukungan emosional selama masa transisi remaja, terlihat dari keterlibatan remaja dengan teman sebaya. Teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, dan bimbingan moral serta tempat untuk membentuk hubungan yang akrab. Pada masa kanak-kanak biasanya anak-anak bermain sendiri-sendiri sedangkan menuju masa remaja, remaja lebih banyak membentuk kelompok sosial. Intensitas menghabiskan waktu bersama teman paling banyak dilakukan pada masa remaja (Papalia & Olds, 2001).

Menurut Buhrmester (dalam Papalia & Olds, 2001) peningkatan keakraban dalam persahabatan remaja mencerminkan kognitif serta perkembangan emosionalnya. Remaja lebih senang mengekspresikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain sehingga remaja dapat mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Maka akan lebih mudah bagi mereka untuk memahami pikiran dan perasaan teman-temannya. Peningkatan keakraban pada masa remaja mencerminkan kepedulian remaja dengan mengenal diri mereka sendiri. Berbagi cerita pada seorang teman membantu remaja mengeksplorasi perasaan mereka sendiri, mendefinisikan identitas mereka, dan memvalidasi nilai diri mereka.

Menurut Hurlock (1999) salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan sebelumnya yang belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah


(50)

penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.

a. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Karena keremajaan itu selalu maju, maka pengaruh kelompok sebaya pun mulai berkurang. Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, sebagian besar remaja ingin menjadi individu yang berdiri sendiri dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Faktor kedua timbul akibat pemilhan sahabat. Remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan besar seperti pada waktu kanak-kanak.

b. Perubahan dalam perilaku sosial

Dari semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan perilaku sosial, yang paling menonjol terjadi di bidang hubungan heteroseksual. Dalam waktu yang singkat remaja membuat perubahan dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya. Bertambah dan berkurangnya prasangka dan diskriminasi selama masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Remaja sebagai kelompok cenderung lebih memilih-milih teman. Oleh karena itu, remaja yang latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi.


(51)

c. Pengelompokan sosial baru

Geng pada masa kanak-kanak berangsur-angsur bubar pada masa puber dan awal masa remaja ketika minat individu beralih dari kegiatan bermain yang melelahkan menjadi minat kepada kegiatan sosial yang lebih formal dan kurang melelahkan. Maka terbentuklah kelompok sosial baru. Dalam berlangsungnya masa remaja, terdapat perubahan pada beberapa pengelompokan sosial.

d. Nilai baru dalam memilih teman

Para remaja tidak lagi memilih-milih teman berdasarkan kemudahannya entah di sekolah atau di lingkungan tetangga sebagaimana halnya pada masa kanak-kanak, dan kegemaran pada kegiatan-kegiatan yang sama tidak lagi merupakan faktor penting dalam pemilihan teman. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan dapat dipercaya dalam berbagi masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua dan guru.

e. Nilai baru dalam penerimaan sosial

Seperti halnya adanya nilai-nilai baru mengenai teman-temannya, remaja juga mempunyai nilai baru dalam menerima atau tidak menerima atau tidak menerima anngota kelompok sebaya. Nilai ini terutama didasarkan pada nilai kelompok sebaya yang digunakan untuk menilai anggota-anggota kelompok. Remaja segera mengerti ia dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai orang lain.


(52)

f. Nilai baru dalam memilih pemimpin

Remaja merasa pemimpin kelompok sebaya mewakili mereka dalam masyarakat, mereka menginginkan pemimpin yang berkemampuan tinggi yang akan dikagumi dan dihormati oleh orang lain dan dengan demikian akan menguntungkan mereka. Faktor utama yang terpenting dalam kepemimpinan adalah kepribadian. Pemimpin harus lebih bertanggung jawab, lebih ekstrovert, lebih bersemangat, lebih banyak akal, dan lebih dapat mengambil inisiatif. Emosinya stabil, penyesuaian dirinya baik, dan hanya memiliki sedikit kecenderungan neurotik.

C. Etnis India Tamil

1. Definisi Etnis India Tamil

Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di Indonesia, yaitu kelompok suku masyarakat Tamil dari India Selatan yang banyak terdapat di daerah Sumatera Utara (Medan, Pematang Siantar, dll). Banyak dari mereka yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Inggris untuk bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut (Gonda, 1952). Jumlah etnis India di Indonesia menurut sensus penduduk tahun 2000 yang direkam oleh A. Mani (2008) sekitar 22.047 atau 64% tinggal di Sumatera Utara. Sementara di Jakarta berjumlah 3.632 atau 11% saja. Wilayah lain di mana terdapat jumlah etnis India yang cukup besar adalah Sumatera Selatan (1.245 atau 4%), Jawa Timur (1.164 atau 3%), Kalimantan Barat (1.150 atau 3%), dan Jawa Barat (1.033 atau 3%).


(53)

Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang bernama Indonesia Tamil Tamram. Organisasi ini bergerak dalam pelestarian bahasa dan budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia, dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan kursus bahasa dan budaya, membagikan literatur dalam bahasa Tamil, menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait, seperti debat, drama, tarian, dan musik, mendatangkan artis-artis terkenal dari India dalam bidang tari, musik, drama, dan lain-lain (Indoindians, 2010).

2. Etnis India Tamil di Medan

Pada 1863, perkebunan tembakau pertama dibuka di Tanah Deli. Pada saat itu, etnis Melayu yang merupakan penduduk asli di Tanah Deli tidak tertarik pada pekerjaan perkebunan sehingga buruh-buruh dari berbagai daerah dan bangsa, seperti China, India, dan Pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (Bangkaru, 2000). Etnis India Tamil dibawa oleh Belanda di awal pembangunan industri perkebunan. Saat itu, agen-agen pencari kerja mengunjungi desa di Kerajaan Drawidia di India Selatan dan mengajak etnis India Tamil untuk datang ke Tanah Deli. Kemudian sesampainya di Tanah Deli, Etnis India Tamil dijadikan sebagai buruh kasar dan harus bekerja dalam kondisi yang keras. Ketika kontrak kerja mereka selesai, sebagian orang Tamil dibawa kembali ke India. Di akhir 1940-an banyak orang Tamil yang mendapat kesempatan untuk kembali dan meninggalkan Tanah Deli, tetapi kemungkinan 5-10.000 etnis IndiaTamil tetap tinggal di


(54)

Sumatera Utara, dimana kebanyakan dari mereka tetap tinggal di Medan dan lainnya menyebar ke daerah-daerah lain yang ada di Sumatera Utara (Bangkaru, 2000).

Sekarang, populasi Tamil di Sumatera Utara kira-kira 67.000. Mereka telah tinggal di Medan lebih dari dua generasi bahkan juga tinggal berdampingan dan menikah dengan kelompok etnik lainnya serta telah berwarga negara Indonesia (Bangkaru, 2000). Etnis India Tamil dalam kehidupannya sehari-hari telah mengikuti kebiasan lokal Indonesia pada umumnya, makan-makanan Melayu, Batak, Jawa, dan juga Tamil, serta menggunakan pakaian Indonesia sehingga mereka jarang memiliki konflik dengan etnis non India Tamil lainnya. Selain itu, mereka juga masih mempertahankan budaya dan adat istiadat mereka (Mani, 1987). Saat ini, kebanyakan etnis India Tamil bekerja di bidang perdagangan, seperti berjualan makanan, martabak keliling, bumbu, alat-alat olahraga, tekstil, dan sebagainya. Beberapa dari mereka juga bekerja menjadi kontraktor dan pegawai pemerintah walaupun dengan jumlah yang masih sedikit. Selain itu, terdapat sejumlah orang Tamil yang sukses sebagai pengusaha di level daerah maupun nasional (Lubis, 2005).

3. Ciri-ciri Etnis India Tamil

Etnis India Tamil merupakan kelompok etnis Dravida yang berasal dari kebudayaan daerah India Selatan. Etnis India Tamil yang berada di kota Medan umumnya tinggal di daerah kampung Madras, yaitu di kawasan jl. Zainul Arifin (yang dulunya brnama jalan Calcutta), tetapi kawasan ini lebih terkenal dengan sebutan kampung keling. Lokasi perkampungan Tamil terletak di pinggiran


(55)

Sungai Babura yaitu sebuah sungai yang membelah kota Medan merupakan jalur utama transportasi di masa lampau. Pada saat sekarang ini pemukiman orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh Medan dan sekitarnya. Orang-orang Tamil yang secara mandiri datang ke Medan biasanya bermata pencaharian sebagai pedagang. Diantaranya menjadi pedagang tekstil, dan pedagang rempah-rempah di pusat-pusat pasar di Medan. Selain itu mereka juga banyak yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko China dan menyewakan alat-alat pesta. Selain itu banyak juga yang melakoni usaha sebagai penjual makanan, seperti martabak. Pada umumnya mereka yang berjualan rempah-rempah, tekstil, dan makanan adalah orang-orang Tamil yang beragama Islam (Kumar, 2011).

Etnis Tamil yang merupakan kelompok etnik bangsa Dravida dan pendukung kebudayaan Tamil yang berasal atau mempunyai daerah kebudayaan dari India Selatan. Mereka dapat dengan mudah dikenali dari ciri-ciri fisiknya seperti memiliki kulit yang berwarna hitam atau gelap, dengan jambang atau bulu dada, di samping memiliki gigi yang putih bersih dan juga hidung mancung, berkumis lebat merupkan ciri khas etnik Tamil. Bagi perempuan Tamil ada ciri-ciri lain yaitu adanya potte (tanda bulat yang diletakkan di dahinya dengan warna seperti kuning, merah, hitam, biru dan lain-lain). Pemakaian Wallewi (gelang plastik berwarna merah, hijau, biru atau kuning tercampur warna emas), pemakaian sari dan manggal sutra (Manjakaure atau Thalli), tanda kawin yang telah menikah. Tanda kawin ini terbuat dari tali yang biasanya digantung pada leher. Namun seiring perkembangan zaman dan meningkatnya taraf hidup etnik


(56)

Tamil, tanda kawin ini diganti dengan kalung emas khusus bagi mereka yang taraf hidupnya menengah ke atas (Kumar, 2011).

Namun saat ini ciri-ciri tersebut tidak begitu tampak. Seiring berjalannya waktu terjadi pula perubahan pada diri etnik Tamil. Penyebabnya antara lain karena terjadinya perkawinan campuran pada etnik lain, proses adaptasi sosial agar bisa berbaur dengan komunitas di luar Tamil dan lain sebagainya (Kumar, 2011).

4. Budaya Tamil

Komunitas India yang tinggal di Jakarta biasanya berasal dari keturunan kelompok masyarakat Punjabi yang berasal dari India Utara. Kebanyakan dari mereka adalah orang Sikh, yang bukan merupakan penganut agama Hindu, melainkan agama Sikh dengan guru besarnya, guru Nanak. Komunitas Punjabi sendiri banyak terdapat di pesisir Jawa, terbanyak di Surabaya, dan beberapa di Bandung dan Yogyakarta. Kebanyakan profesi dari keturunan Punjabi adalah pedagang, baik pedagang textile, export import, dan lain sebagainya. Raam Punjabi adalah salah seorang keturunan Punjab yang terkenal sebagai boss film film di Indonesia (Coats, 2010).

Komunitas yang berdiam di Sumatera kebanyakan berasal dari India Selatan atau daerah Tamil. Sebagian besar dari keturunan ini bekerja di sektor perkebunan. Tokoh yang terkenal dari keturunan Tamil adalah Marimutu Sinivasan, boss kapas Indonesia. Komunitas India Utara dan India Selatan biasanya tidak bercampur satu sama lain. Budaya, Bahasa, Makanan, dan adat istiadat mereka jauh berbeda. Arrange married atau pernikahan yang dijodohkan


(1)

a. Self disclosure pada dimensi amount pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori rendah yang berarti kurangnya kuantitas dengan frekuensi yang rendah dan durasi yang tidak lama dalam mengutarakan statementself disclosure pada remaja etnis India Tamil.

b. Self disclosure pada dimensi valence pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori rendah yang berarti remaja etnis India Tamil kurang dapat membuka diri terhadap hal-hal positif maupun negatif tentang dirinya c. Self disclosure pada dimensi accuracy/honesty pada remaja etnis India

Tamil berada pada kategori tinggi yang berarti remaja etnis India Tamil dapat secara tepat dan jujur dalam hal keterbukaaan dirinya

d. Self disclosure pada dimensi intention pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori rendah yang berarti remaja etnis India Tamil kurang dapat mengontrol informasi yang disampaikan agar maksud dan tujuan self disclosure tersebuat tercapai

e. Self disclosure pada dimensi intimacy pada remaja etnis India Tamil berada pada kategori tinggi yang berarti remaja etnis India Tamil dapat menyatakan kedalaman tingkat informasi yang diberikan ditentukan oleh tingkat keakraban

3. Terdapat perbedaan terhadap self disclosure pada remaja etnis India Tamil berdasarkan jenis kelamin. Self disclosure pada remaja etnis India Tamil perempuan memiliki kategorisasi tinggi sedangkan pada remaja etnis India Tamil laki-laki memiliki self disclosure pada kategori rendah.


(2)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gambaran self disclosure pada remaja etnis India Tamil.

1. Saran Metodologis

Penelitian ini tidak luput dari kekurangan baik secara metodologis ataupun secara praktis. Peneliti menyampaikan beberapa saran metodologis yang diharapkan nantinya dapat menjadi bahan masukan yang cukup berarti untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa saran metodologis yang penting untuk dipertimbangkan

a. Bagi peneliti yang tertarik melakukan penelitian mengenai self disclosure

dengan menggunakan alat ukur yang sama dapat membandingkan self disclosure pada tiap etnis atau budaya yang berbeda agar terlihat perbedaan antara self disclosure pada budaya satu dan yang lain

b. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya mampu mengembangkan pengetahuan tentang self disclosure dalam ruang lingkup yang lebih luas, misalnya faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat self disclosure atau mungkin memberikan suatu pelatihan bagaimana melakukan self-disclosure yang baik dan memberikan pelatihan tentang pentingnya melakukan self disclosure. Sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan keilmuan terutama dalam kajian self disclosure.


(3)

c. Bagi penelitian selanjutnya juga disarankan untuk menggali data secara kualitatif agar dapat menganalisa data lebih dalam dan mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik.

2. Saran Praktis

Terkait hasil penelitian yaitu dimana remaja etnis India Tamil secara umum memiliki self disclosure dalam kategori sedang dan sepertiga hasil penelitian dalam kategori rendah dengan ini ada beberapa saran yang dikemukakan oleh peneliti, yaitu :.

a. Bagi remaja hendaknya mengikuti kegiatan yang dapat meningkatkan self disclosure, karena self disclosure sebagai salah satu bentuk keterampilan sosial yang akan mempermudah mereka untuk dapat diterima di lingkungan sosialnya.

b. Bagi guru bimbingan konseling hendaknya dapat memberikan layanan bimbingan konseling dalam bentuk layanan informasi mengenai self disclosure, dan hendaknya memberikan dampingan dan memberi solusi bagi remaja yang sedang mengalami permasalahan.

c. Bagi orangtua hendaknya orangtua lebih memperhatikan perkembangan anak mereka, karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa yaitu masa dimana mereka sedang mencari jati dirinya untuk membentuk pribadi yang diharapkan. Oleh karena itu orangtua memilki peran penting terhadap perkembangan mereka, sehingga mereka dapat melakukan self disclosure dengan baik dan tujuannya tercapai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alberti, R & Emons, M. (2002). Your Perfect Right. Alih Bahasa: Budithjahya, G. U. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

A. Mani, (1993). Indians in North Sumatra dalam K. S. Sandhu and A. Manni, eds., Indian Communities in Southeast Asia (Singapore: ISEAS).

Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________. (2005). Penyusunan Skala Pesikologi, Pustaka Pelajar,Offset cetakan

ke V, Yogyakarta

________. 2007. Metodologi penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Bangkaru, M (2001). Handbook to North Sumtra Indonesia. Banda Aceh:Penerbit Balohan

Baron & Byrne. (1994). Social Psychologi: Understanding Human Interaction (sixth edition). USA: Nedham Heights Allyn & Bacon inc

Buhrmester, F. W & Reis. (1998). Five Domains Of Interpersonal Competence. Jurnal of Personality & Social Psychology. Vol 24 no1

Coats, Ria. (2010). Mengenal Budaya India di Indonesia. Artikel. Tanggal akses 11 Februari 2010 http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/11/mengenal-budaya-india-di-indonesia/

Dayakisni, T. & Hudaniah. (2003). Psikologi sosial. Universitas Muhammadiyah: Malang.

DeVito, Joseph. (1986).The Interpersonal Communication Book (fourth edition). New York : Harper & Row Publiser.

____________. (2001). TheInterpersonal Communication Book (ninth edition).

New York : Hunter College of City University.

Gainau, M.B. (2008). Pengembangan Inventori Self-Disclosure Bagi Siswa Usia Sekolah Menengah Atas. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 15, No. 3 : 169-174

Gainau, M.B. (2009). Keterbukaan diri (self disclosure) siswa dalam perspektif budaya dan implikasinya bagi konseling. Jurnal.

http://www.puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/jiw/artikel/view/17061. Hadi, Sutrisno. (2000). Statistik, jilid 2. Andi Yogyakarta.


(5)

Hasan, I. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi penelitian dan Aplikasinya.

Jakarta : Ghalia Indonesia.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Jan Gonda. (1952). Sanskrit in Indonesia. New Delhi: International Academy of Indian Culture.

Johnson.W. David. (1990). Reaching Out; Interpersonal Effectivenss and Self Actualization. Printice Internasional Jersey.

Kumar, S. (2011). Pluralitas Tamil di Kota Medan. Tanggal Akses 10 Januari 2011. http://siwakumar.blogspot.com/2011/01/pluralitas-tamil-di-kota-medan.html

Jourard.S. M. (1971). Self Disclosure; An Experimental Analysis of the Transparent Self. New York: Publishing Company Huntington.

Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Lubis, Z (2005). Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan:Adaptasi dan Jaringan Sosial. Jurnal Antropolgi Sosial Budaya.

Etnovisi. Vol 1. No. 3.

Lumsden,G. & Lumsden, D. (1996).Communicating with Credibility of Confidence. Boston: Wadsworth Publishing Company, A Division International Thomson Publishing Inc.

Markus, H. R & Kitayama, S (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98, 224-253 Matsumoto, D (2000). Culture and Psychology. Pacivic Grove, CA. Brooks Cole. Mendatu, A. (2010). Prasangka Etnik. Yogyakarta: Psikoedu.

Monks. (1999). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Papalia, Olds & Fieldman. (2001). Human Development 8th edition. New York: Mc Graw Hill.

Pearson. J. C. (1983). Interpersonal Communication : Clarity, Confidence, Concern. Illinois: Scott, Foremand Company.


(6)

Rehulin, Eka. (2010). Kampung Madras, Sejarah Kecil Kota Medan. Artikel.

Tanggal Akses 21 Januari 2010.

http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/21/kampung-madras-sejarah-kecil-kota-medan/

Taylor, S.E, Peplau, L. A, Sears, D.O. (1997). Social Psycology. Prentice Hall: New Jersey.

Triton, P.B. (2006). SPSS 13.0 Tarapan: Reset Statistik Parametrik. Yogyakarta: Andi Offset.

Sue,D.W & Sue,D. (1990). Counseling the Cultually Different: Theory and Practice. New York: John Wiley & Sons.

Supratiknya, A. (1995). Komunikasi antar pribadi : tinjauan psikologis. Yogyakarta : Kanisius.