Pola komunikasi antar umat beragama (studi komunikasi antarbudaya tionghoa dengan muslim pribumi di rw 04 kelurahan mekarsari tangerang)

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S.Kom. I)

Oleh :

SITI ASIYAH 108051000157

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H / 2013


(2)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul POLA KOMUNIKASI ANTAR UMAT BERAGAMA (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang), telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 29 Januari 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 0 1 Februari 20 I 3 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekeretari s Merangkap Anggota ,-1 ,')

,/iv

/ Ve"*

Anggota,

NIP: 197506062007101001 Drs. Jumroni. M.Si

NIP: 1 9635 1il9920031006

19601202199503 I 00 I

N I P : 1 9 7 1 0 8 1

Pembimbing

Dr. Armawbti Arbi. M. Si NIP: 1 9650207 199 10322002


(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S.Kom. I)

O l e h : Siti Asiyah 1 0805 1 000 1 57

NIP : 1965020719910322002

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H / 2013

DosentpS*'


(4)

r

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

Skripi ini adalah mumi hasil karya pribadi berdasarkan penelitian yang dilakukan semua kutipan yang ada dalam skripsi ini disertai dengan mencantumkan sumbernya.

Skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan karya ilmiah yang ditentukan oleh Univeitas Islm Negeri Hidayatulah Jakarta.

Jika terbukti melakukan plagiat atau kecurangan lainnya, maka penulis bersedia diberi sanksi sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh universitas.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

J akarta, 29 J arruari 20 13


(5)

i

Warga Tionghoa yang tinggal di kelurahan Mekarsari Tangerang merupakan etnis yang sudah sejak lama hidup berdampingan dengan warga pribumi, meski dahulu mereka mengalami pendiskriminasian dari kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi mereka masih tetap bertahan hingga saat ini meski hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lain dan mereka kini sudah berakulturasi dengan warga setempat sehingga tercipta hubungan yang harmonis, namun hal ini tidak terlepas dari hambatan-hambatan yang mengganggu jalannya proses komunikasi.

Tujuan penelitian ini dilakukan karena untuk mengetahui proses komunikasi dalam akulturasi, asimilasi dan enkulturasi budaya yang terjadi pada warga Tionghoa dan Pribumi melalui beberapa variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi, asimilasi dan enkulturasi.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis melakukan penelitian di Kelurahan Mekarsari Tangerang tepatnya di RW 04 Desa Sewan Lebak Wangi. Adapun pertanyaan yang dirumuskan adalah : Bagaimana pola komunikasi dalam proses akulturasi, yang terjadi antara Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang? Bagaimana pola komunikasi dalam proses asimilasi yang terjadi antara Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang? Bagaimana pola komunikasi dalam proses enkulturasi yang terjadi antara Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04Kelurahan Mekarsari Tangerang?

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan kualitatif peneliti melakukan pengumpulan data melalui wawancara , Focus Group Discussion ke beberapa narasumber yang dianggap tepat dalam memberikan informasi dan juga dokumentasi, beberapa data yang bersifat teoritis berupa buku-buku, data-data dari dokumen yang berupa data-data formal, internet dan sebagainya yang bersangkutan dengan judul, peneliti juga melakukan observasi dengan mendatangi langsung lingkungan RW 04 Desa Sewan Lebak Wangi sebagai studi penelitian.

Adapun pola komunikasi yang berlangsung antara etnis Tionghua dengan muslim pribumi yaitu: pola komunikasi antarpribadi yang yang terjadi dalam sebuah keluarga dalam hubungannya dengan masyarkat sekitar khususnya ketika mereka saling bertemu, atau sedang dalam proses jual beli, adapun pola komunikasi kelompok terjadi ketika kedua pihak tersebut berkumpul dalam musyawarah pembangunan dan sebagainya. Pada hambatan komuniaksi salah satunya karena adanya stereotyping yang berkembang dimasyarakat, merasa budayanya paling benar dan lain sebagainya. Serta untuk faktor pendukungnya ialah mengenali diri sendiri, menggunakan kode yang sama, jangan terburu-buru, meningkatkan keterampilan komunikasi dan mengebangkan empati.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, yang telah memerintahkan umat-Nya dengan nuun wal qolam, Sang Pencipta yang telah memberi kemampuan umat-Nya untuk selalu berfikir, bergerak dan mengahsilkan karya yang bermanfaat.

Shalawat dan salam terlimpah curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang selalu memberikan petunjuk dan pencerahan bagi kehidupan, yang telah membawa umatnya minadzulumati ilannur, dan kesejahteraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabat-Nya, tabi’in-tabi’utabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak. Amin.

Sungguh tak ada dzat yang Maha Dahsyat selain Illahi Rabbi, karena dengan izin-Nya lah skripsi ini dapat diselesaikan, meski harus diiringi dengan keringat dan airmata, tapi kekuatan dapat terkumpulkan, dan menjadi karya yang diharapkan bermanfaat bagi sesama. Hambatan dan rintangan yang ada selama proses penyusunan skripsi ini juga merupakan sebuah anugrah yang luar biasa dari-Nya, karena tanpa hambatan dan rintangan mustahil skripsi ini dapat menjadi skripsi yang layak untuk dipublikasikan.

Tak ada alasan terbesar peneliti menyelesaikan karya ilmiah ini, kecuali untuk Mengungkapkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga peneliti tercinta terutama kepada kedua orang tua ayahanda Nanang dan ibunda Maesaroh


(7)

iii

yang telah memberikan dukungannya baik moril maupun materil sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih emak dan abah atas segala peluh dan air mata dalam setiap doa yang kalian panjatkan.

Dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran diri, peneliti sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, sudah sepatutnya peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan demi terselesaikan penelitian skripsi ini. Maka peneliti berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pembantu Dekan Bid. Akademik Drs. Wahidin Saputra, MA, Pembantu Dekan Bid. Adm. Umum Drs. Mahmud Jalal, M.A, Pembantu Dekan Bid. Kemahasiswaan Drs. Studi Rizal LK, M.A.

3. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang banyak membantu penulis.

4. Drs. Cecep Castrawijaya, M.A, Selaku Pembimbing Akademik yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk berdiskusi dan memberikan saran mengenai judul skripsi.


(8)

iv

5. Dr. Armawati Arbi. M.Si, dosen pembimbing yang selalu sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini, semoga ilmunya bermanfaat.

6. Para dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mewariskan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis dan masyarakat serta menjadi amal sholeh yang akan terus mengalir bagi para dosen.

7. Bapak Cwe Fak Liem dan Ibu Tan Lie Yen (een) yang banyak membantu penulis dalam mencari informasi ditempat penelitian.

8. Para pegawai perpustakaan baik fakultas maupun Perpustakaan Utama yang bersedia melayani penulis meminjam buku dengan penuh senyuman dan keramahan.

9. Kakak-kakakku dan adikku, kak Uchi, kak Sukma, Kak Asep,Teh Oyenk,Teh Memey ,Teh Engkoy, dan De Nur terima kasih atas segala dukungan yang luar biasa yang kalian berikan kepada penulis, tetap semangat untuk membangun keluarga yang berpendidikan.

10. Keponakanku yang cantik-cantik dan tampan ka Nayya, de Halwa dan aa Fatih yang selalu memberikan keceriaan dan semangat kepada penulis jika sedang bosan dan hampir putus asa untuk mengerjakan skripsi ini.


(9)

v

11. Sevi Maulana yang selalu memberikan dukungan kepada penulis, terima kasih untuk buku-buku yang kau belikan dan laptop yang bersedia engkau pinjamkan selama penulis belum punya sehingga penulis tetap semangat dalam menyusun skripsi ini.

12. Kak Ali Akbar yang selalu memberikan pesan positif setiap harinya kepada penulis.

13. Teman-teman KPI E Multitalenta dan Angakatan 2008 yang telah menjadi teman seperjuangan selama masa perkuliahan, Anna, Billy, Deniza, Nia, Nadia, Farhah dan Rini ,Tetap semangat dan salam sukses.

14. Kawan-kawan KKN TIME kelompok 22 2011, Mario Haliandar ketua yang OK, Riris Agustya, Retno Suci Ningsih, Muhammad Ikhwan, Uwaisul Firdaus, Laily Qudsiyah, Hendrik Permana, Ilham Muttaqin, Agus, Syifa Fauziah, Mama Shika, dan Hananah, Rini, Farhah, Nia, dan Anna. Sukses untuk kita semua.

15. Sahabat-sahabatku satu kostan Assalam Dede, Fartiah, Ama, Indah dan Nana yang selalu menyemangati peneliti dan selalu bisa membuat penulis tersenyum dan tertawa meski dalam keadaan stress tingkat tinggi.

16. Last but not Least semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Jakarta, 29 Januari 2013


(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Kerangka Konsep ... 10

F. Metodologi Penelitian ... 11

G. SistematikaPenulisan ... 16

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Dakwah Kultural ... 18

B. Komunikasi Antarbudaya Sebagai Fenomena Sosial ... 21

1. Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya ... 24

2. Unsur-unsur Budaya/Pola Budaya ... 26

3. Akulturai, Asimilasi, dan Enkulturasi ... 30

4. Derajat Perbedaan dan Derajat Kesamaan ... 35

5. Problem Potensial/Hambatan Komunikasi Antarbudaya... 38

6. Faktor Pendukung Solusi dalam Pola Komunikasi Antarbudaya ... 42

C. Sejarah Singkat Etnis Tionghoa di Inonesia ... 44


(11)

vii

A. Gambaran Umum Kelurahan Mekarsari Tangerang ... 59

1. Kependudukan ... 59

2. Agama dan Kepercayaan ... 53

3. Mata Pencaharian ... 54

4. Pendidikan... 56

B. Sejarah Singkat Etnis Tionghua di Tangerang ... 57

1. Etnis Tionghoa di Tangerang ... 57

2. Klenteng/ Vihara Tjong Tek Bio ... 59

BAB IV POLA KOMUNIKASI ETNIS TIONGHOA DENGAN MUSLIM PRIBUMI DI RW 04 KELURAHAN MEKARSARI TANGERANG A. Pola Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi, Asimilasi dan Enkulturasi ... 62

1. Pola Komunikasi dalam Proses Akulturasi ... 62

2. Pola Komunikasi dalam Proses Asimilasi ... 73

3. Pola Komunikasi dalam Proses Enkulturasi ... 74

B. Hambatan Komunikasi dalam Pola Komunikasi Antarbudaya ... 75

C. Faktor Pendukung dalam Pola Komunikasi Antarbudaya ... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 88

B. Saran-saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(12)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin………...50

Table 2 Jumlah Penduduk Menurut Usia Kelompok Pendidikan……...……...51

Table 3 Jumlah Penduduk Menurut Usia Kelompok Kerja………...…...52

Tabel 4 Penganut Agama/ Kepercayaan Masyarakat Kelurahan Mekarsari...53

Tabel 5 Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Mekarsari………...55

Tabel 6 Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Mekarsari………...57

Tabel 7 Dielek atau pengucapan bahasa sehari-hari………..……...68


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud mengubah prilaku. Sehubungan dengan kenyataan bahwa komunikasi adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas seorang manusia. Dalam komunikasi dikenal dengan pola-pola tertentu sebagai manifestasi prilaku manusia dalam berkomunikasi. Ditinjau dari pola yang dilakukan ada beberapa jenis yang dikomunikasikan. Beberapa sarjana Amerika membagi pola komunikasi menjadi lima, yakni komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi massa dan komunikasi publik. Istilah pola komunikasi biasa disebut sebagai model, yaitu sistem yang terdiri dari atas berbagai komponen yang berhubungan satu sama lainnya untuk mendapatkan tujuan secara bersama, Joseph A. Devito membagi pola komunikasi menjadi empat yakni komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa.1

Budaya bangsa Indonesia merupakan Negara yang mempunyai keragaman budaya, hal tersebut tercermin dalam semboyan Negara yaitu

“Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Karenanya Indonesia adalah Negara kompleks karena memiliki perbedaan budaya dan di Indonesia golongan etnis meliputi etnis asli dan etnis keturunan. Etnis turunan tidak hanya dikenakan kepada orang peranakan melainkan juga orang asing yang

1

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia, ( Jakarta, PT Grafindo Persada : 2007) Hal. 26-28.


(14)

2

sepenuhnya asing tanpa nenek moyang pribumi.2 Adapun golongan etnis keturunan ialah etnis yang sudah mengalami percampuran dengan nenek moyang pribumi yaitu dengan melakukan pernikahan dengan nenek moyang pribumi. Adapun etnis keturunan di Indonesia di antaranya keurunan Cina, Arab, India, Pakistan dan sebagainya.

Manusia merupakan makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya, karena bagaimanapun manusia saling membutuhkan satu sama lain guna memenuhi kebutuhan hidup. Karenanya manusia tidak luput dari aktivitas komunikasi baik antarpribadi maupun kelompok dengan berbagai latar perbedaan budaya.

Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan yang berbeda akan mempengaruhi pola komunikasi, karena perbedaan budaya memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda.3 Sehingga kerap kali menemui hambatan-hambatan seperti bahasa, norma dan adat suatu kelompok masyarakat tertentu yang menjadikanya pedoman oleh mereka dalam bersikap dan berinteraksi, karenanya akan banyak perbedaan yang muncul, dan perbedaan tersebut jika tidak dipahami dengan baik akan menjadi kendala dalam proses komunikasi, dan juga dapat menimbulkan konflik yang mengarah pada perpecahan dan berpengaruh pada keutuhan Negara. Hal tersebut tentunya sangat tidak sesuai dengan landasan ideal Panca Sila yaitu sila

2

Bambang Prabowo, dkk. Stereotip Etnik, Asimilasi Integrasi Sosial, (Jakarta: PT Pustaka Grafika, 1988),h. 172

3

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2005). H. vii


(15)

ke-3”Persatuan Indonesia”.4 Hal tersebut tentunya disebabkan oleh banyak faktor, tetapi salah satu faktornya adalah adanya perbedaan-perbedaan budaya. Dengan demikian, komunikasi dalam sebuah hubungan yang multi etnis perlu dilakukan, sebagai salah satu alternatif dalam menciptakan hubungan yang harmonis. Dalam masyarakat akan terwujud sebuah kesadaran sebagai satu komunitas yang berada dalam satu wilayah Negara Indonesia, serta dapat saling menerima dan menghormati perbedaan-perbedaan tersebut.

Melihat peran komunikasi yang begitu penting dalam menciptakan hubungan harmonis yang multi etnis dan penuh perbedaan budaya, maka penulis tertarik untuk lebih jauh mengkajinya dalam ruang lingkup komunikasi antarbudaya. Untuk itu penulis akan meneliti sebuah pola komunikasi yang terjadi pada golongan etnis Tionghua dengan etnis asli Indonesia atau masyarakat pribumi.

Adapun penelitian ini dilakukan pada etnis Tionghua di Kelurahan Mekarsari Kecamatan Neglasari Tangerang, kelurahan ini letaknya tidak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta. Etnis Tionghua di Indonesia termasuk golongan yang minoritas, dimana mereka pada dasarnya memiliki pola kebudayaan yang berakar dari negeri Cina yang berbeda dengan pola kebudayaan masyarakat muslim pribumi, namun hampir semua etnis Tionghua di Indonesia saat ini sudah dilahirkan dan hidup berdampingan sejak lama di Indonesia sehingga secara langsung terjalin hubungan komunikasi antara Tionghoa dengan masyarakat pribumi.

4

Departemen Agama, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Litbang, 2003), h.i


(16)

4

Begitupun dengan keturunan Tionghua yang berada di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Kecamatan Neglasari Tangerang yang biasa disebut dengan Cina Benteng ini terlihat adanya hubungan komunikasi dengan masyarakat pribumi didaerah tersebut, keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya perkawinan, kepercayaan dan perdagangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut yakni Tionghua dan Pribumi.

Hubungan komunikasi yang akan timbul antara Tionghua yang mempunyai pola kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Pribumi ialah hubungan komunikasi antarbudaya yaitu sebuah hubungan komunikasi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya di Tangerang, dimana orang yang terlibat dalam komunikasi memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Karenanya budaya mempunyai timbal balik dengan komunikasi, seperti dua sisi dari satu mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan, atau mewariskannya.5

Adanya hubungan komunikasi yang terjalin antara Tionghoa dengan masyarakat pribumi mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip yang tumbuh dalam hubungan yang terjadi serta melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut. Untuk itu penulis akan menyusun penelitian ini dalam bentuk skripsi dengan judul

5


(17)

POLA KOMUNIKASI ANTAR UMAT BERAGAMA

(Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dalam penelitian ini penulis mengidentifikasi masalah yaitu ingin menggambarkan secara jelas mengenai pola komunikasi yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan masyarakat muslim pribumi yang terjadi di lingkungan Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang atau biasa disebut dengan Cina Benteng, serta menghubungkannya dalam berbagai konteks kegiatan seperti ekonomi, perkawinan, dan keagamaan, penggunaan bahasa, prasangka dan stereotip.

2. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti, agar lebih terfokus dan efektif dalam penelitian ini penulis membatasi beberapa masalah terkait dengan penelitian. Pertama terkait dengan masalah tempat penelitian penulis membatasi wilayah atau tempat yang menjadi objek penelitian yakni hanya terfokus pada lingkungan Rw 04 Kelurahan Mekarsari Kecamatan Neglasari Tangerang. Data yang penulis temukan memiliki jumlah penduduk etnis Tionghua yang paling banyak bermukim yaitu sekitar 350 kepala keluarga. Selain itu penulis juga membatasi siapa orang yang tepat untuk menjadi informan dalam penelitian ini yaitu kepala keluarga dari pasangan suami istri Tionghoa dan muslim Pribumi. Akan tetapi jika tidak ada maka bisa juga dilakukan kepada keluarga yang lain seperti ibu dan anak.


(18)

6

Kedua terkait dengan masalah bentuk pola komunikasi yang akan penulis teliti terbatas hanya dalam bentuk komunikasi antarpribadi dan kelompok secara langsung tanpa media massa sebagai sarana komunikasi.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimana pola komunikasi antarbudaya yang terjadi antara Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang?

Berdasarkan masalah diatas maka yang menjadi pertanyaan turunan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola komunikasi dalam proses akulturasi, yang terjadi antara Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang? 2. Bagaimana pola komunikasi dalam proses asimilasi yang terjadi antara

Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang? 3. Bagaimana pola komunikasi dalam proses enkulturasi yang terjadi antara

Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pola komunikasi dalam proses akulturasi yang terjadi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang.


(19)

b. Untuk mengetahui pola komunikasi dalam proses asimilasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang.

c. Untuk mengetahui pola komunikasi dalam proses enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di Rw 04 kelurahan Mekarsari tangerang.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu dakwah dan ilmu komunikasi melalui konsep komunikasi antarbudaya dan metode penelitian kualitatif.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dan akademisi ilmuan komunikasi dan penyiaran islam untuk dapat mencegah konflik, akibat kesalahpahaman cara pandang dalam memahami dan menafsirkan sebuah pesan yang digunakan oleh komunikator yang berbeda budaya.

D. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, peneliti juga mengadakan tinjauan pustaka. Dengan mengadakan tinjauan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Peneliti melakukan tinjauan pustaka ini guna memastikan apakah ada judul atau tema yang sama dengan penelitian ini.


(20)

8

Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, peneliti menemukan beberapa skripsi yaitu:

a. Ahmad Syukri menulis Komunikasi antarbudaya : Studi pada pola komunikasi masyarakat suku Betawi dengan Madura dikelurahn Condet Batu Ampar.

Menemukan bahwa pola komunikasi yang terjadi antara kedua budaya tersebut lebih banyak menggunakan pola komunikasi antar pribadi dan kelompok, dalam kegiatan komunikasi sehari, sedangkan komunikasi kelompok digunakan jika ada acra-acara tertentu saja.

Adapun perbedaan skripsi yang di tulis oleh Ahmad dan peneliti ialah tentu saja terletak pada objek penelitiannya yaitu objek penelitian yang peneliti tulis tentu saja etnis Tionghua dan masyaraat muslim pribumi di kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan persamaannya ialah terletak pada subjek serta metedologi penelitiannya yaitu subyeknya ialah pola komunikasi antarbudaya sedangkan metodologinya menggunakan pendekatan kualitatif.6

b. Ali Abdul Rodzik menulis Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghua :Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah. Menemukan bahwa adanya akulturasi budaya betawi dengan tionghua dalam kesenian gamang kromong yang sudah tercipta sejak

6

Ahmad Syukri, Komunikasi Antarbudaya : Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan Madura diKelurahan Condet Batu Ampar, KPI, UIN Jakarta, 2006.


(21)

dahulu,hingga saat ini dan menjadi budanyanya etnik betawi. Dalam proses akulturasi tersebut komunikasi pribadi terjadi pada saat orang-orang tionghua mengadu nasib ke batavia dalam kurun waktu yang lama, mereka mempelajari pola-pola relasi, aturan,aturan dan sistem-sistem komunikasi orang-orang betawi. hal ini membuktikan bahwa dua kebudayaan yang hidup berdampingan dalam satu wilayah tidak selamanya menimbulkan konflik yang berkepenjangan bahkan dua kebudayaan yang berbeda dapat disatupadukan menjadi kebudayaan yang baru.

Perbedaan antara skripsi yang di tulis oleh Abdul Rodzik dengan skripsi yang peneliti tulis ialah sangat jelas yaitu terletak pada subjek serta objek penelitiannya, sedangkan persamaannya ialah terletak pada metodologi penelitiannya yaitu sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif.7

c. Pipit Pitriani menulis Akulturasi Budaya antara Tradisi Sunda Wiwitan dengan Islam dalam Bentuk Ritual Sesajen di Desa Narimbang, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, menemukan bahwa ada tiga bentuk wajah tradisi sesajen di desa Narimbang, pertama adanya bentuk peneguhan tradisi kedua adanya bentuk akulturasi dan ketiga adanya bentuk islamisasi,

7

Ali Abdul Rodzik, Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghua : Studi Komunikasi Antar budaya pada Kesenian Gambang Kromong diPerkmpungn Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah KPI UIN Jakarta,2008.


(22)

10

Dari hasil pengamatan pada skripsi yang ditulis oleh Pipit Pitriani ini tidak jauh bebeda dengan penelitian yang sebelumnya yaitu perbedaannya ialah terletak pada subjek dan objek penelitiannya sedangkan persamaannya adalah terletak peda metodologi

penelitiannya.8

E. Kerangka Konsep

Bagan-1

F. Metodologi Penelitian

8

Pipit Pitriani, Akulturasi Budaya antara Tradisi Sunda Wiwitan dengan Islam dalam Bentuk Ritual Sesajen di Desa Narimbang, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, KPI, UIN Jakarta, 2010.

Pola Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghua dengan Muslim Pribumi diKelurahan Mekarsari Tangerang

TIGA DIMENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

KONTEKS 1. Pendidikan 2. Keagamaan 3. Ekonomi 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Budaya 7. Politik

Problem potensial KAB + Solusi KAB (Penghambat) (Pendukung) Akulturasi, Asimilasi, dan Enkulturasi

TINGKAT KOMUNIKATOR

1. Komunikasi Interpersonal 2. Komunikasi Antarpribadi 3. Komunikasi Komunitas 4. Komunikasi Organisasi 5. Komunikasi Massa 6. Komunikasi Politik 7. Komunikasi Internasional 8. Komuniakasi Antarbudaya

SALURAN

1. Media 2. Nonmedia


(23)

F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.9

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan format penelitian deskriptif analisis, dimana data-data yang telah diperoleh dideskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah menitik beratkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasi variabel.10

2. Subjek Penelitian

Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu yang berkaitan dengan apa atau siapa yang ditelaah.11 Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian ini ialah warga Thionghoa dan masyarakat muslim

9

Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya,(Bandung; Remaja Rosdakarya. 2006) cet, ke-5, hlm.145.

10

Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi di lengkapi Contoh Statistik, (Bandung, Remaja Rosda karya 2000), h.24-25.

11

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2001) hl.66.


(24)

12

pribumi yang tinggal di Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari Kota Tangerang di Lingkungan RW 04. Adapun warganya ialah keluarga generasi tua ialah keluarga bapak Cuan Young (90/1947) dan keluarga bapak Suhadi (85/1949), generasi sedang ialah keluarga ibu Tan Lie Yen (46/1990), dan generasi muda atau generasi zaman modern yaitu keluarga ibu Vanline vanianto (20/2010).

3. Objek Penelitian

Adapun yang menjadi objek penelitian ialah pola komunikasi yang terjadi pada etnis tionghoa dan masyarakat muslim pribumi dalam kajian komunikasi antarbudaya yang berdasarkan pada konteks-konteks tertentu.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mengadakan pratinjau sebelum penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada Januari-Februari 2012, sepanjang itu penulis melihat dan mengenali lingkungan serta mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Adapun proses penelitianya dilakukan pada 25 Maret – 30 Juni 2012 dan penelitian lanjutan dilakukan pada 06 November - 06 Desember 2012 dan 28 Desember 2012 – 10 Januari 2013.

Adapun tempat yang dijadikan objek dalam penelitian ini ialah di Kelurahan Mekarsari Kabupaten Tangerang tepatnya dilingkungan Rw 04.

a. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi

Observasi atau pengamatan langsung merupakan metode pertama yang digunakan dalam penelitian, dan merupakan alat pengumpulan data yang


(25)

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara langsung gejala yang diselidiki.12

Obserrvasi ini dilakukan dengan mendatangi daerah tersebut untuk menentukan lokasi yang tepat untuk dijadikan tempat peneliatian, kemudian penulis melihat, mendengar dan merasakan gejala-gejala komunikasi yang terjadi dilingkungan Rw 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang.

2. Wawancara Mendalam

Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan melakukan proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, yang dilakukan dua orang atau lebih dengan bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi. Adapun wawancara mendalam dilakukan dengan beberapa warga Kelurahan Mekarsari tepatnya dilingkungan RW 04.

3. Dokumentasi

Berkaitan dengan data dokumentasi yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku gambaran demografi dan monografi serta catatan kependudukan masyarakat Kelurahan Mekarsari khususnya lingkungan Rw 04.

4. Focus Group Discussion (FGD)

Focus Group Discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan suatu kelompok berdasarkan hasil

12

Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Teori Aplikasi), (Yogyakarta: Gintanyali, 2004),h,70.


(26)

14

diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.13 Irwanto menyebutkan bahwa FGD mempunyai tiga ciri utama yaitu diskusi, kelompok dan terfokus. 14 peserta FGD biasanya terdiri dari 6-12 orang peserta.

Focus Group Discussion ini digunakan oleh peneliti untuk memperkuat data yang telah ditemukan sebelumnya baik melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Dalam menentukan informan penulis menggunakan metode key person15 yaitu orang yang dianggap lebih mengetahui tentang objek penelitian yang akan diteliti, dalam hal ini yang dijadikan key person oleh peneliti ialah bapak RW 04 Kelurahan Mekasari Tangerang.

Focus group discussion dilaksanankan di vihara Tjong Tek Bio setelah acara pembentukan panitia pada peryaan imlek yang jatuh pada bulan Februari mendatang, FGD ini berlangsung tertutup dengan diikuti oleh delapan orang peserta dengan empat orang warga keturunan tionghua yang beragama budha dan empat orang lagi warga pribumi, yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. FGD ini berlangsung dari pukul 14.00-16.00 dengan posisi duduk melingkar dengan menggunakan kursi yang telah disediakan tuan rumah. FGD ini dipandu oleh penulis sebagai modertor dan dibantu oleh seorang notulis.

13

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif,( Jakarta : Kencana, 2010). h, 223-224. 14

Irwanto, Focused Group Discussion: Sebuah Pengantar Praktis (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 1.

15


(27)

b. Prosedur Pengumpulan Data

Bagan-2 Lingkaran Prosedur

Pengumpulan Data (a data collection circle)16

Sumber: Arikunto (Prosedur Penelitian: Suatu Pendetan Praktek, 2002, h. 133)

Model lingkaran pengumpulan data dari Creswell tersebut diatas mengandung pemahaman bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan tidak bisa terpisah melakukan satu sama lain saling terhubung dan menjadi kesatuan utuh prosedur. Titik permulaan prosedur dalam pandangan Creswell adalah penentuan tempat atau individu.

Penulisan skripsi ini berdasarkan pedoman Ceqda yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Hidayatulah Jakarta.

16

Suharsimi Arinto, Prosedur Penelitan: Suatu Pendektan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet-5,h. 133).


(28)

16

c. Analisis Data

Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur uraian data. Mengorganisasikannya kedalam pola, kategori, dan satu uraian dasar.17

Data yang terkumpul dalam wawancara mendalam dan dokumen-dokumen diklasifikasikan kedalam kategori-kategori tertentu.18

Dalam analisis data yang telah terkumpul kemudian dianalisis, peneliti melakukan dengan analisis deskriptif interpretatif, yaitu dengan menganalisis setiap data atau fakta yang ditemukan lebih dekat, mendalam, mengakar, dan menyeluruh.

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini lebih sistematis sehingga tampak adanya gambaran yang terarah, logis dan saling berhubungan antara satu bab dengan bab berikutnya, maka penelitian ini disusun kedalam lima bagian yaitu:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, pembatasan dan Perumusan Masalah, Tinjauan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

Dilanjutkan dengan bab II berisikan tentang pola komunikasi antarbudaya, komunikasi antarbudaya menjelaskan pengertian kebudayaan, dan komunikasi antarbudaya.

Bab III bab ini berisi tentang gambaran umum masyarakat kelurahan mekarsari kecamatan Neglasari kota Tangerang, yaitu membahas gambaran

17

Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1993),h 103.

18

Rachmat Kriyatono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 193.


(29)

masyarakat yang dilihat dari beberapa keadaan yaitu: demografi penduduk dan monografi yang meliputi letak daerah, kegiatan ekonomi, pendidikan, mata pencaharian dan keagamaan.

Bab IV bab ini akan memaparkan hasil penelitian variable, yaitu pola komunikasi antarpribadi dan antarkelompok etnis Tionghua dengan masyarakat muslim pribumi. Bab V bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran.


(30)

18

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Dakwah Kultural

Dakwah kultural adalah aktifitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara islam politik atau islam dan negara.1

Islam kultural demikian pula dakwah kultural memiliki peran sangat penting bagi kontinuitas misi islam dimuka bumi, suatu peran yang tidak di warisi Islam Politik atau islam struktural yang hanya mengajar kekuasaan yang instan, karena selamanya islam kultural harus tetap eksis hingga akhir zaman.2

Menurut Kuntowijoyo, setidaknya ada lima program kultural, yaitu menggembalikan dan mengembangkan, pertama, tradisi rasional, kedua, tradisi egalitarian, ketiga, tradisi berbudaya, keempat, tradisi ilmiah,dan kelima, tradisi kosmopolitan.3

Dakwah memasukkan aktivitas penyiaran (tabligh), pendidikan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai islam, baik untuk mad’u muslim maupun nonmuslim. Untuk muslim dakwah berfungsi sebagai proses peningkatan kualitas penerapan ajaran agama islam sedang untuk nonmuslim fungsi dakwah minimal adalah memperkenalkan dan mengajak mereka agar

1

Drs. Samsul Munir Amin, M.A. Ilmu Dakwah ,(Amzah, Jakarta, 2009), h. 161. 2

Ibid.h. 162. 3


(31)

memeluk ajaran islam secara sukarela. Penerimaan sukarela bagi mad’u nonmuslim ini menjadi tekanan serius, seperti ditunjukkan oleh Rasulallah sendiri ketika membiarkan orang-orang kristen yang tidak menerima dakwah untuk tetap memeluk agamanya.4

Dalam pengertian pengembangan masyarakat muslim, dakwah antara lain berbentuk peningkatan kesejahteraan sosial. Bagi umat islam, ide pengembangan masyarakat sebagai bagian dari cakupan dakwah adalah bukan ide yang dimasukkan begitu saja dalam dakwah. Ia adalah pemunculan kembali apa yang sebenarnya ditunjukkan oleh istilah dakwah yang pernah tertutup oleh dominasi aktivisme dakwah struktural.

Dakwah kultural memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi keatas dan fungsi kebawah. Fungsi dakwah kultural kelapisan atas antara lain adalah tindakan dakwah mengartikulasikan aspirasi rakyat (umat islam) terhadap kekuasaan. Fungsi ini dijalankan karena rakyat tidak mampu mengekspresikan aspirasi mereka sendiri dan karena ketidakmampuan parlemen untuk sepenuhnya mengaartikulasikan aspirasi rakyat. Akan tetapi dakwah kultural jenis ini tetap menekankan posisinya diluar kekuasaan yaitu tidak bermaksud mendirikan agama Islam dan tidak menekankan pada islamisasi negara dan birokrasi pemerintah. Selain itu fungsi - fungsi dakwah kultural ke lapisan atas ini adalah mempelajari berbagai kecenderungan masyarakat yang sedang berubah kearah modern-industrial sebagai langkah strategis dalam mengantisipasi perubahan sosial yang ada.

4


(32)

20

Fungsi dakwah kultural lapisan kebawah berarti penyelenggaraan dakwah dalam bentuk penerjemahan ide-ide intelektual tingkat atas bagi umat islam serta rakyat pada umumnya untuk membawakan transformasi sosial, dengan mentransformasikan ide-ide tersebut kedalam konsep operasional yang dapat dikerjakan oleh umat. Hal yang utama dalam fungsi ini adalah penerjemahan sumber-sumber agama (al-qur’an dan sunnah) sebagai way of life. Hal tersebut bukan hanya memformulasikan dalam istilah teologi islam, tetapi dalam konsep-konsep sosial yang lebih operasional juga. Fungsi dakwah kultural ini bernialai praktis dan mengambil bentuk utama dakwah bil hal, yaitu dakwah yang terutama ditekankan kepada perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat yang miskin. Dengan perbaikan tersebut, diharapkan prilaku yang cenderung kearah kekufuran dapat dicegah.5

Di Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki berbagai macam etnis, ras dan agama, untuk itu Indonesia memiliki semboyan kebanggaan yaitu

“Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda- beda tetapi tetap satu. Seperti yang telah ada dalam Al-Qur’an surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:

5


(33)

Artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al -Maidah : 13).6

Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas bahwa agama islam sendiri mengakui adanya perbedaan tersebut, namun meski berbeda ras, etnik, budaya dan keyakinan haruslah saling tolong menolong dan menjunjung nilai toleransi yang tinggi.

B. Komunikasi Antarbudaya Sebagai Fenomena Sosial

Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.7

Menurut Yanto Subianto: kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta manusia dalam masyarakat, karya adalah hasil usaha manusia dalam bentuk yang terwujud dan kongkret dengan cara penggunaan budaya seperti halnya teknologi yang termasuk kebudayaan kebendaan “Material Culture”. Rasa meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-niai kemasyarakatan dalam arti yang luas, didalamnya terdapat agama, idiologi, kesenian, dan lain-lain. Adapun unsur-unsur tersebut merupakan ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat, dan pembagian unsur rasa itu termasuk kedalam kebudayaan “Immaterial Culture”. Terakhir adalah unsur cipta merupakan

6

Al-Qur’anul Karim Surat Al-Hujarat ayat 13. 7


(34)

22

berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat dan salah satunya mengahsilkan filsafat serta ilmu pengetahuan baik yang bersifat murni maupun terapan yang nantinya diterapkan daam kehidupan bermasyarakat.8

Sedangkan definisi komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.9

Adapun unsur-unsur dari komunikasi antar budaya ialah terdiri dari sumber , pesan, media, penerima, efek, dan feedback. Hal tersebut sejalan dengan definisi komunikasi yang dirumuskan oleh Harold D.Lasswell yaitu Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect yang artinya siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dan apa pengaruhnya. Demikian pula dengan unsur komunikasi yang diformulasi oleh David K. Berlo dikenal dengan SMCR, yakni Source, Message, Channel, dan Receiver.10

Dalam proses komunikasi tidak lepas dari hambatan-hambatan yang dapat menghalangi terjadinya komunikasi secara efektif. Dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang ditulis oleh Cangara, disebutkan tujuh macam hambatan komunikasi. Yaitu: Gangguan teknis, gangguan semantik, gangguan psikologis, rintangan fisik, status, kerangka berfikir dan budaya.

8

Yanto Subianto S, Soal-jawab sosiologi, (Bandung: Armico,1980),h.41. 9

Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 9.

10

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007),h. 23.


(35)

Pertama, gangguan teknis adalah gangguan yang terjadi pada saluran atau media komunikasi.

Kedua, gangguan semantik merupakan gangguan yang disebabkan oleh penggunaan bahasa yang kurang tepat, perbedaan bahasa dan latar belakang budaya atau kalimat yang tidak sistematis sehingga dapat membingungkan lawan bicara dan sebagainya.

Ketiga, gangguan psikologis ialah gangguan yang terjadi karena masalah dalam diri individu.

Keempat, rintangan fisik bisa berupa perbedaan letak geografis antara komunikan dengan komunikator, ditambah lagi dengan sulitnya mendapatkan akses media komunikasi. Selain perbedaan letak geografis, rintangan fisik juga bisa diartikan adanya ketidaknormalan pada panca indera komunikan, seperti kurangnya daya pendengaran atau penglihatan.

Kelima, rintangan status adalah rintangan yang terbentuk karena adanya perbedaan status antara komunikator dengan komunikan.

Keenam, rintangan kerangka berfikir ini terjadi karena adanya perbedaan cara pandang diantara pelaku komunikasi. Perbedaan cara pandang atau persepsi terhadap sesuatu hal tak jarang mengambat proses komunikasi dan menimbulkan konflik.

Ketujuh, rintangan budaya adalah rintangan berupa perbedaan sistem nilai, adat dan kebiasaan komunikator dengan komunikan.11

11


(36)

24

1.Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya

Dalam mencari kejelasan dan mengintegrasi berbagai konsep kebudayaan dalam komunikasi antarbudaya, terdapat tiga dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Tingkat Masyarakat kelompok budaya dari para partisipan, dalam komunikasi antarbudaya merujuk pada bermacam tingkatan lingkup dan kompleksitas organisasi sosial.

b. Konteks Sosial dimana terjadinya proses komunikasi antarbudaya, dalam komunikasi antarbudaya merujuk pada konteks sosial komunikasi antarbudaya yang meliputi organisasi, pendidikan, akulturasi imigran, difusi inovasi, dan lain sebagainya.

c. Saluran komunikasi, Saluran tersebut dibagi atas saluran antarpribadi/perorangan dan media massa. Bersama dengan dua dimensi sebelumnya, dimensi ketiga ini mempengaruhi proses dari hasil keseluruhan proses komunikasi antarbudaya. Ketiga dimensi ini dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan.


(37)

Kebudayaan

Adapun model komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut:

Peraga 1

MODELKOMUNIKASI ANTARBUDAYA12

Adaftif

Efektif

percakapan

menerima

Perbedaan

Gambar diatas menunjukkan A dan B merupakan dua orang yang berbeda latar belakang kebudayaan karena itu memiliki pula perbedaan kepribadian dan persepsi mereka terhadap antarpribadi. Ketika A dengan B beercakap-cakap itulah yang disebut komunikasi antarbudaya karena dua pihak

“menerima” perbedaan diantara mereka sehingga bermanfaat untuk menurunkan tingkat ketidakpastian dan kecemasan dapat menjadi motivasi bagi stategi komunikasi yang bersifat akomodatif. Strategi tersebut juga dihasilkan oleh karena terbentuknya sebuah kebudayaan baru (C) yang secara psikologis menyenangkan kedua orang itu. Hasilnya adalah komunikasi yang besifat adaftif

12

Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya . h. 32. Kepribadian

-Ketidakpastian -Kecemasan

Persepsi terhadap relasi antarpribadi Persepsi terhadap

relasi antarpribadi

Kebudayaan

Kepribadian Strategi komunikasi

yang akomodatif

A B


(38)

26

yakni A dan B saling menyesuaikan diri dan akibatnya menghasilkan komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif.

2. Unsur-unsur Budaya/Pola Budaya

Dalam Iiya Sunarwinadi,Komunikasi Antarbudaya, Samovar et.al. (1981 :38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi. Dalam komunkasi antarbudaya unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo, karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. Unsur-unsur sosial budaya tersebut adalah:

a. Sistem keyakinan, Nilai dan Sikap 1. Keyakinan

Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subyektf bahwa sesuatu obyek atau pariwisata ada hubungannya dengan obyek atau pariwisata lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu, singkatnya suatu obyek atau pariwisata diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, keyakinan ini mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu.

Ada tiga macam keyakinan yaitu:

a). Keyakinan berdasarkan pengalaman yaitu keyakinan dapat terbentuk melalui pengalaman langsung. Melalui indera peraba kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa obyek atau peristiwa tertentu memiliki karakteristik tertentu. Misalnya dengan


(39)

menyentuh kompor yang panas, seseorang belajar untuk meyakini bahwa benda tersebut mempunyai kemampuan membakar jari-jari tangan.

b). Keyakinan berdasarkan informasi dibentuk melalui sumber-sumber luar seperti orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumer-sumber ini biasanya dipilih berdasarkan keyakinan akan kebenarannya. Keyakinan semacam ini sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Misalnya, jika kita percaya bahwa surat kabar kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan penting dalam pembentukan keyakinan berdasarkan informasi ini. Dalam komunikasi antarbudaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah atau benar.

c). Keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan melibatkan penggunaan sistem logika intern. Pembentukan dimulai dengan pengamatan terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu. Misalnya jika kita melihat orang berteriak-teriak mengeluarkan kata tidak sopan, maka kita dapat mnegasumsikan atau meyakini bahwa ia sedang marah. Sistem logika intern berbeda antara satu individu dengan individu lain,


(40)

28

tetapi perbedaan biasanya lebih besar antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain.13

2. Nilai

Nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai dan sikap, dimensi-dimensi evaluatif menakup kualitas-kualitas seperti kegunaan, kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan. Walaupun nilai-nlai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang cenderung untuk sudah merasuk dalam suatu kebudayaan, yakin yang disebut nilai-nilai kebudayaan.14

Nilai-nilai ini dipelajari dan tidak universal. Dalam arti berbeda antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Misalnya, nilai yang diberikan terhadap usia tua, di Korea orang-orang tua selalu diminta mengambil bagaian dalam pengambilan keputusan keluarga, bahkan pada usia diatas 60 tahun orang dianggap lahir kembali dan memulai tahap kehidupan yang lebih matang.

Nilai-nilai budaya dapat dikategorisasikan kedalam tingkat-tingkat primer, skunder, tersier. Nilai-nilai juga dapat diklasifikasikan kedalam positif, negatif atau netral.

Beberapa dimensi nilai yang sering diperhatikan dalam komunikasi antarbudaya ialah : orientasi individu, kelompok, umur, persamaan hak lali-laki dan perempuan, formalitas, rendah-tinggi hati. Dan lain-lain.

13

Dra. Ilya Sunarwnadi, MA. Komunikai Antar Budaya, h. 24-27. 14


(41)

3. Sistem sikap

Sistem Sikap Secara umum sikap diartikan sebagai kecenderungan yng dipelajari untuk memberikan respon secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu.

Sikap tertdiri dari tiga komponen yaitu: komponen kognitif atau keyakinan, komonen afektif atau evaluatif, dan komponen intensitas atau harapan.

Kerja komponen sikap tersebut berinteraksi untuk menciptakan keadaan sikap secara psikologis untuk bereaksi terhadap obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan. Misalnya apabila kita percaya bahwa mnyiksa orang lain secara fisik adalah salah atau kita merasa takut dipukul, kemudian kita yakin bahwa bertinju sangat tinggi kemungkinannya untuk menyebabkan penyiksaan fisik maka kita akan mempunyai sikap negatf terhadap olah raga tinju.15

b.Pandangan Keduniaan

Padangan hidup merupakan orientasi suatu kebudayaan terhadap hal-hal, seperti Tuhan, manusia, alam, alam semesta dan masalah-masalah filsafat lainnya yang berkaitan degan konsep keberadaan. Singkatnya, pandangan hidup membantu kita untuk menemukan tempat dan tingkat kita sendiri dalam alam semesta ini.

Pandangan hidup merupakan landasan poko yang paling mendalam dari suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat

15


(42)

30

terlihat secara nyata, misalnya cara-cara berpakaian, gerak isyarat, dan perbendaharaan kata.16

c.Oranisasi Sosial

Organisasi sosial merupakan cara suatu kebudayaan mengatur diri dan peranata-pranatanya. Ada dua macam bentuk pengaturan sosial yang berkaitan dengan komunuikasi antarbudaya:

1). Kebudayaan geografik, yakni negara, suku bangsa, kasta, sekte keagamaan dan lain sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik.

2). Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial yang jelas batasannya dan lebih spesifik, sehingga menghasilkan prilaku komunikasi yang khusus pula. Pengorganisasian masyarakat atas dasar peranan ini melintasi organisasi masyarakat secara geografik dan mencakup seluruh organisasi mulai dari kelompok-kelompok profesional ke organisasi-organisasi yang menekankan idiologi-idiologi tertentu.

3. Akulturasi, Asimilasi dan Enkulturasi a. Akulturasi

Akulturasi dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih,17 atau dalam KBI akulturasi diartikan sebagai peleburan dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempenharuhi.Dalam Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan

16

Ibid, h. 28-29 17

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, (Surabaya, Gitamedia Press, 2006),h.21


(43)

oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya keprbadian kebudayaan itu sendiri.18 Merupakan suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru.19 Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut:20

1). Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi 2). Usia pada saat berimigrasi

3). Latar belakang pendidikan

4). Beberapa karakteristik kepribadian seperti sukan bersahabat dan toleransi

5). Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang di modifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya, melalui media massa). Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur nilai-nilai, cara berprilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu.

18

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Asara Baru, 181), h. 247-248 19

Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 140

20


(44)

32

Pada waktu yang sama, tentu saja, kultur tuan rumah berubah juga. Tetapi, pada umumnya, kultur imigranlah yang lebih banyak berubah.21 Menurut Young Yun Kim, seperti yang dikutip Joseph A. Devito, penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula,mereka yang lebih muda dan terdidik lebih cepat terakulturasi ketimbang mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh. Orang yang senang mengambil resiko dn berpikiran terbuka, mislanya lebih mudah terakulturasi. Akhirnya orang yang terbiasa dengan kultur tuan rumah sebelum berimigrasi, apakah melalui kontak antarpribadi ataupun melalui media massa, akan tetapi lebih mudah terakulturasi.22

b. Asimilasi

Asimilasi atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran,23 singkatnya asimilasi adalah peleburan sifat asli suatu kebudayaan yang diasimilasi dengan lingkungannya. Biasanya golongan-golongan yang ada dalam proses asimilasi adalah suatu golongan-golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas.

21

Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Profesional Books, 1997), h. 479.

22

Ibid, h. 479 23


(45)

Dalam hal ini golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat dari unsur-unsur kebudayaannya,24 dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.

1. Akibat yang dihasilkan oleh asimilasi

a). Kelompok minoritas kehilangan keunikannya dan menyerupai kelompok mayoritas. Dalam proses itu kelompok mayoritas tidak berubah.

b). Kelompok etnik dan kelompok mayoritas bercampur secara hegemony. Masing-masing kelompok kehilangan keunikannya, lalu muncul suatu produk unik lainnya, suatu proses yang disebut Belanga Pencampuran.

2. Syarat asimilasi

Asimiliasi dapat terbentuk apabila terjadi tiga persayaratan berikut: a). Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda b). Terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.

c). Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

24


(46)

34

c. Enkulturasi

Enkulturasi adalah Proses penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya selama hidup seseorang individu dimulai dari institusi keluarga terutama tokoh ibu.

Individu berkembang dengan ketertarikan terhadap objek lain selain dirinya. Dengan pemahaman situasi yang ditanamkan orang-orang dewasa disekitarnya menurut kebudayaanya tempat individu tersebut tumbuh dewasa dan berkembangnya orientasi yang lebih bersifat ruang, waktu dan normatif. Ruth Benedict berpendapat bahwa suatu kepribadian dianggap bersifat normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangkan tipe kepribadian yang sama jika sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap 'abnormal'. Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur ditransmisikan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan dengan gen. Orang tua, teman-teman, lembaga sekolah, dan pemerintahan adalah guru utama di bidang kultur. Dan enkulturasi terjadi melalui mereka.

Sedangkan akulturasi mengacu pada proses dimana kultur diperbaiki dan dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur yang lain. Sebagai contoh, apabila ada sekelompok imigran yang kemudian menetap di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), maka kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur Tuan rumah ini. Lama kelamaan, nilai, dan cara berperilaku serta kepercayaan dari kultur tuan rumah ini akan menjadi bagian dari


(47)

kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.

Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah budaya itu dinamis dan merupakan hasil proses belajar. sehingga budaya suatu masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya sendiri dalam masyarakat itu dinamakan Enkulturasi.

Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu bergerak dinamis mengikuti perkembangan jaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit menerima hal -hal baru dalam masyarakat sulit mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi untuk disebut sebagai akulturasi. Dalam hal ini yang menajadi kata kunci adalah pemrograman kolektif yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah ia dilahirkan ke dunia. Semua anggota dalam budaya memiliki asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi.

4. Derajat Perbedaan (heretoropily) dan Derajat Kesamaan (Homopily) Persamaan merupakan suatu aspek yang penting dalam proses pertukaran informasi. Sesuai dengan konsep mengenai “perhimpitan

kepentingan-kepentingan” (overlapping of interest), maka persamaan merupakan semacam kerangka dalam mana komunikasi terjadi. Agar pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi dapat saling memahami karenanya berkomunikasi dapat menjadi efektif. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sama antara pihak-pihak pelaku komunikasi ini ialah homofili. Homofili


(48)

36

ialah derajat persamaan dalam beberapa hal tertentu seperti keyakinan, nilai, pendidikan, status sosial dan lain sebagainya antara pasangan-pasangan individu yang berinterasksi. Perasaan-perasaan ini memungkinkan tercapainya persepsi dan makna yang sama pula terhadap sesuatu objek atau pariwisata antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi. Perasaan-perasaan ini memungkinkan untuk tercapainya persepsi dan makna yang sama pula terhadap sesuatu objek atau peristiwa. Tetapi bagaimana halnya dengan komunikasi antar budaya yang justru bertolak dengan asumsi akan adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan. Dilihat dari segi prinsip dasar komunikasi tadi, maka perbedaan-perbedaan ini tentu cenderung untuk mengurangi atau menghambat terjadinya komunikasi yang efektif. Karena jika pesan-pesan yang disampaikan melampau batas-batas kebudayaan, yang dapat terjadi adalah apa yang dimaksud oleh pengirim dalam suatu konteks tertentu akan diartikan dalam konteks yang lain lagi oleh penerima. Dalam situasi antar budaya demikian, dapat dikatakan hanya sedikit saja atau tidak sama sekali “ko - orientasi yang merupakan persyaratan bagi komunikasi

umumnya”. Dengan ko-orientasi yang dimaksud ialah bahwa antara dua pihak yang berkomunikasi seharusnya terdapat persamaan dalam orientasi terhadap topik dari komunikasi mereka. Atau dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan prinsip homofili, orang cenderung untuk berinteraksi dengan individu-individu lain yang serupa dalam hal karekteristik-karekteristik sosial dengannya. Dodd( 1982 : 168-17) membuat klasifikasi tentang dimensi-dimensi homofili kedalam:

a. Homofili dalam penampilan b. Homofili dalam latar belakang


(49)

c. Homofili dalam sikap d. Homofili dalam kepribadian

Namun, dipandang dari sudut kepentingan komunikasi antar budaya, adanya perbedaan-perbedaan tidak menutup kemungkinan terjadinya komunikasi antar individu-individu atau kelompok-kelompok budaya. Perbedaan-perbedaan bahkan dilihat sebagai kerangka atau matriks dimana komunikasi terjadi. Dalam kaitan ini kiranya teori yang dikemukakan oleh Grannovetter (1973) mengenai

“kekuatan dan ikatan-ikatan lemah (The strengt of weak ties) yang menyarankan akan pentingnya hubungan-hubungan heterofili dalam pertukaran informasi. Dalam komunikasi manusia, agaknya diperlukan juga keseimbangan diantara kesamaan dan tidak kesamaan, antara yang sudah dianggap biasa dengan sesuatu yang baru. Ada suatu proposisi dasar yang menyatakan bahwa kekuatan pertukaran informasi pada komunikasi (antara dua orang) ada hubungannya dengan derajat heterofili antara mereka. Dengan kata lain, orang akan menerima hal-hal baru, yang informasional, justru melalui ikatan-ikatan yang lemah.

Heterofili adalah derajat perbedaan dalam beberapa hal tertentu antara pasangan-pasangan individu yang berinteraksi. Dalam KAB, perbedaan-perbedaan individual dapat diperbesar oleh perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan kebudayaan. Persepsi tentang kebudayaan-kebudayaan ini adalah titik tolak dari asumsi yang paling dasar KAB, yaitu kebutuhaan untuk menyadari dan mengakui perbedaan-perbedaan untuk menjembataninya melalui komunikasi. 25

25


(50)

38

5. Problem Potensial dalam Pola Komunikasi Antarbudaya

Komunikator dan komunikan secara bergantian dan terus menerus dalam komunikasi, maka maslah terletak pada kedua belah pihak. Mencoba untuk mencari pihak mana yang bersalah dapat merupakan masalah komuniaksi tersendiri. Komunikator dan komunikan berupaya untuk mengurangi problem potensial yang dijelaskan oleh Samovar dan memahami solusi atau faktor pendukung yang ditawarkannya sebagai berikut:

a.Keanekaragaman dari tujuan-tujuan komunikaksi

Setiap individu memiliki alasan dan motivasi yang berbeda-beda dalam berkomunikasi. Perbedaan tujuan ini dapan menimbilkan maslah yang tidak dapat dianggap enteng begitu saja, karena kadang-kadang menyangkut harga diri suatu kebudayaan. Contoh dalam konteks politik individu atau kelompok dengan sengaja melakukan propaganda.

b.Etnosntrisme

Kebanyakan orang menganggap bahwa caranya melakukan persepsi terhadap hal-hal di sekelilingnya adalah satu-satunya yang paling tepat dan benar. Padahal harus disadari bahwa setiap orang memiliki sejarah masa lalunya masing-masing, sehingga apa yang dianggapnya baik belum tentu sesuai dengan persepsi orang lain.

Etnosentrisme ialah kecenderungan untuk menafsirkan atau menilai kelompok-kelompok orang lain, keadaan lingkungannya dan komunikasinya, sesuai dengan kategori dan nilai kebudayaan sendiri kecenderungan yang dikatakan ada hampir pada semua kebudayaan ini, dapat merupakan hambatan


(51)

utama dalam pencapaian pengertian antar budaya. Masyarakat mempelajari etnosentrisme biasaya pada tingkat ketidaksadaran dan mereka menerapkannya pada tingkat kesadaran, sehingga sulit untuk melacak asal usulnya. Penilaian itu sering kali salah, semena-mena, dan tidak berdasar sama sekali. Seperti, seseorang melohat acara kematian agama tertentu dan menilai acara tersebut dengan kaca mata agamanya.

c.Tidak adanya kepercayaan

Komunikasi antarbudaya menrupakan sebuah peristiwa pertukaran informasi yang peka terhadap kemungkinan terdapatnya ketidak percayaan antara pihak-pihak yang terlibat. Orang umumnya segan untuk mengambil resiko berhubungan dengan orang asing. Dalam hal ini perbedaan-perbedaan biasanya dilihat secara berlebihan. Misalnya, ketidak percbayaan ini terdapat dalam situasi-situasi yang melibatkan orang-orang dri ras, status sosial, generasi, dan suku bangsa yang berbeda. Misalnya pengurus pengajian tidak akan menundang penceramah yang tidak dikenal dan mereka tidak mengetahui latar belakangnya.

d.Penarikan diri

Komunikasi tidak akan terjadi bila slah stau pihak secara psikologis menarik diri dari pertemuan yang seharusnya terjadi. Ada dugaan bahwa dengan macam-macam perkembangan saat ini, antara lain meningkatkan urbanisasi, perasaanperasaan orang untuk menarik diri, apatis dan aliensi semakin banyak pula. Banyak contoh, baik pada tingkat internasional maupun nasional, yang menunjukkan penarikan diri dari saling pertukaran antarbudaya. Sejarah penuh


(52)

40

dengan peristiwa-peristiwa tentang penarikan diri wakil-wakil suatu negara dari konferensi internasional, putusnya hubungan antar negara dan lain-lain.

e.Tidak adanya empati

Komunikasi antarbudaya sangat memerlukan empati yang tinggi , upaya-upaya mengembangkan empati tidaklah mudah. Yang terpenting ada kemauan dari kedua belah pihak.

Empati ialah kemampuan untuk merasakan seperti orang lain atau untuk menempatkan diri pada diri orang lain. Untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, kita harus mampu menciptakan gambaran-gambaran yang memungkinkan pendalaman tentang perasaan dan karakteristiknya. Dengan cara turut mengalami keadaan internalnya, kita dapat mengenalnya, meramalkan reaksinya dan mengantisipasi kebutuhannya. Menurut Sunarwinadi, 1994:118 ada beberapa hal yang menghambat pencapaian empati yaitu:

1. Fokus terhadap diri secara terus menerus

2. Kecenderungan untu memperhatikan hanya beberapa karakteristik dari orang lain dan mneyimpulkan sebagai karakteristik umum darinya.

3. Pandangan-pandangan stereotip mengenai ras dan kebudayaan. 4. Kurangnya pengetahuan tentang kelompok, kelas atau orang tertentu. 5. Tingkah laku yang mnejauhkan orang untuk mau mengungkapkan


(53)

6. Tindakan atau ucapan yang memberi kesan seakan-akan mengenai orang lain, sehingga ia merasa defensif dan tidak mengehendaki dilanjutkannya komunikasi.

7. Tindakan komunikasi yang mengesankan keinginan untuk mengontrol orang lain, sehingga memancing sikap efendif darinya. 8. Sikap netral dan tidak tertarik yang dapat mengakibatkan orang

tidak mau mengungkapkan dirinya.

9. Sikap superior yang juga menghasilkan tingkah laku defensif pada orang lain.

10.Sikap yang menunjukkan kepastian jika seseorang bersikap dan bertingkah laku seakan-akan serba tahu maka kemungkinan orang akan membutuhkan data yang akurat maka kita sering melaksanakan

generalization stimulus atau bahasa awamnya adalah pukul rata ada disamakan saja terhadap individu atau kelompok.

f. Stereotyping

Melakukan streotip adalah seesuatu yang mudah karena tidak membutuhakn data yang akurat aka kita sering melakukan generalitation stimulus

atau bahasa awamnaya pukul rata terhadap individu dan kelopmpok. g. Kekuasaan

Ada dua prinsip yang melandasi pengertian kekuasaan, yaitu bahwa: 1. Dalam setiap hubungan komunikasi terhadap kekuasaan dalam


(54)

42

2. Yang merupakn sumber masalah komunikasi buanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan penyalahgunaan dari keuasaan. Oleh sebab itu pemahaman tentangkeuasaan dan dampaknya terhadap komunikasi merupakan bagian penting dalam pemahaman komunikasi antarbudaya.

6. Faktor Pendukung atau Solusi Dalam Pola Komunikasi Antarbudaya Samovar (1989) memberikan solusi berupa strategi dalam meningkatkan komunikasi antarbudaya, yaitu:

a. Mengenali diri sendiri

Dalam berkomunikasi masing-individu hendaknya mengetahui atau mengenali dirinya sendri.

Tindakan mengindentifikasi sikap, pendapat dan kecenderungan diri sendiri. Akibat-akibat ini dapat mentukan tidak saja apa yang kita katankan, tetapi juga apa yang kita dengar apa yang orang lain katakan. Untuk itu dalam teori pengembangan hubungan dengan pendekatan komunikasi antarpribadi kita menilai diri sendiri memakai Johari Window. Empat kuadran dibahas pada Johari Window,26 yaitu:

1. Data kita diketahui oleh diri sendiri dan diketahui oleh orang lain. 2. Data kita tidak diketahui oleh diri sendiri dan tida diketahui orang

lain.

3. Data kita diketahui oleh diri sendiri dan tidak diketahui orang lain.

26

M. Budyatna dan Nina Mutmainah, Komunikasi Antarpribadi, (Jakarta, UT,1994),H 156-158.


(55)

4. Data kita tidak diketahui oleh diri sendiri dan tidak diketaui oleh orang lain.27

b. Menggunakan kode yang sama

Dalam meningkatkan komunikasi agar lebih efektif seseorang harus mengetahui kode khusus yang dignakan orang lain atau klompok tertentu, karena makna terletak pada orang lain dan bukan pada kata-kata. Seperti seorang komunikator berencana mengetahui bahasa, kata-kata yang disukai dan tidak disukai oleh komunikan.

c. Jangan terburu-buru

Dua hal yang harus dilakukan dalam berkomunikasi antarbudaya yaitu:

Pertama, menunda penilaian. Manusia cenderung untuk cepat-cepat menarik kesimpulan sebelum orang lain mengungkapkan perasaan, pemikiran, atau gagasan, maka hal ini akan menimbukan sikap tidak saling pengertian antara komunikator dan komunikan.

Kedua, memberi waktu yang cukup kepada orang lain untuk mencapai tujuannya. Perlu kita ketahui bahwa setiap orang atau kebudayaan memiliki gaya komunikasi yang unik, beberapa gaya komunikasi membutuhkan waktu sejenak agar maksud yang ingin disampaikan terlaksana, untuk itu kita harus bersabar menungg sampai orang lain selesai mengungkapkan maksudnya.

d. Memperhitungkan lingkungan fisik dan manusia

Dalam berkomunikasi sesorang hendaknya memilih waktu dan tempat yang tepat hal ini sangat penting demi tercapainya komunikasi yang efektif.

27 Ibid


(56)

44

e. Meningkat keterampilan berkomunikasi

Keterampilan dasar komunikasi secara umum, antara lain: minat/menarik perhatian orang lain, keteraturan, teratur dan mudah diikuti, cara penyampaian dan penerimaan pesan.

f. Mendorong Feedback

Dalam berkomunikasi umnya seorang komunikator mengharapkan adanya feedback atau timbal balik dari komunikan, maka dengan adanya feedback

komunikasi dapat dikatakan efektif. g. Mengembangkan Empati

Dalam berkomunikasi kedua belah pihak yaitu komunikator dan komunikan hendaknya saling empati yaitu menjadi pendengar yang baik.

h. Mencari persamaan-persamaan diantara kedua kebudayaan yang berbeda.

Sumpah pemuda 1928 dapat tercapai antara lain pemuda Indonesia pada saat itu mengembangkan strategi peningkatan komunikasi antarbudaya seperti menyebarkan prinsip kesamaan walaupun mereka berbeda dengan Sumpah bahwa mereka Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa. dan lain sebagainya.28

C. Sejarah Singkat Etnis Tionghua di Indonesia

Suku Bangsa Tionghua di Indonesia adalah salah satu etnis penting dalam pencaturan sejarah indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghua yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan

28


(57)

menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.29

Tionghua diIndonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelimbang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan leluhur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok, faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia tiongkok kenusantara dan sebaliknya.

1. Asal kata Tionghua

Tionghua adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan cina diindonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek hokkian dilafalkan sebagai Tionghua. Wacana Cung hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini dampai terdengar oleh orang asal tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan orang cina diduga panggilan ini berasal dari kosa kata “ching” yaitu nama dari dinasti ching yang

29

Artel diakses pada 20 Juni 2012 dari http//asal usul china benteng, cina benteng teluk naga, tragedi cina benteng/htm.


(58)

46

berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghua di Hindia Belanda pada tahun 1900 mendirikan

sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan “tiong hoa hwe kwan”

(THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tetapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang tionghua di hindia belanda, seiring dengan perubahan istilah cina menjadi Tionghua di Hindia Belanda..

Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghua diIndonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghua berada antara rata-rata 4%-5% dari seluruh jumlah populasi diIndonesia. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka hanya 1 % dari jumlah keseluruhan populasi indonesia mengaku sebagai Tionghua. Orang-orang Tionghua diIndonesia berasal dari Tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:

a. Hakka b. Hainan c. Hokkien d. Kantonis e. Hokchia f. Tiochiu


(59)

Daerah asal yang terkonsentrasi dipesisisr tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena sejak zaman dinasti Tang, kota-kota pelabuhan dipesisir tenggara tiongkok memang telah menjadi bandarperdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk didunia pada zaman tersebit.

Ramainya interaksi perdagangan didaerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghua juga merasa perlu keluarberlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang Tionghua akan bermukim diwilayah-wilayah asia tenggara yang disinggahi mereka demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat ada pula pedagang yang pulang ke tiongkok untuk terus berdagang, sebagian besardari orang-orang tionghua diindonesia menetap dipualau jawa. Daerah-daerah lain dimana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain didaerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangaka Belitung, sumatrea selatan, lampung, lombok, kalimantan barat.30

D. Pola Komunikasi

Pola komunikasi merupakan gabungan dari dua kata, yakni pola dan komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pola berarti bentuk atau sistem.31 Dalam kajian ini merupakan suatu rangka atau bentuk yang digunakan

30

Ibid 31

Departemen Penddidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 884-885.


(60)

48

untuk membuat sesuatu yang sama dalam rangka tersebut. Pola juga dapat diartikan sebagai proses atau sistem berjalannya seseuatu.

Nurudin dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi adalah sebuah pemprosesan ide, gagasan, dan lambang tersebut, sehigga terdapat pola-pola tertentu sebagai wujud prilaku manusia dalam berkomunikasi.32

Joseph A. Devito mengelompokkan pola komunikasi menjadi empat macam, yaitu meliputi komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, dan komunikasi massa. Namun, menurut Nurudin pola komunikasi yang berkembang di Indonesia yaitu meliputi komunikasi dengan diri sendiri (interpersonal), komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, dan komunikasi massa.33

32

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007), h. 26. 33


(61)

49

KOTA TANGERANG

A.Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Mekarsari

1. Kependudukan

Kelurahan Mekarsari merupakan salah satu kelurahan yang berada dikecamatan Neglasari Tangerang dengan luas wilayah 234.211 Ha, yang semua terbagi atas 91.09 ha digunakan untuk pemukiman, 10.000 ha digunakan untuk perkuburan, 2.213 ha digunakan untuk lahan inustri, 93. 155 ha digunakan untuk perkantoran, 10.000 ha tanah wakaf da 117.191 ha digunakan untuk perladangan, di kelurahan ini terdiri dari 6 Rw dan 33 RT. Kelurahan ini berbatasan dengan :

- Sebelah Utara : Kelurahan Kedaung Baru

- Sebelah selatan : Kali Cisadane

- Sebelah Barat : Sungai Cisadane/ Pintu air sepuluh

- Sebelah Timur : Kel. Neglasari dan Karangsari

Perkembangan penduduk di Kelurahan Mekarsari cukup pesat sampai saat ini Kelurahan Mekarsari di huni oleh 2.377 Kepala Keluarga . Hal ini di sebabkan selain karena suasana yang cukup menyenangkan karena dengan adanya keanekaragaman budaya , juga disebabkan karena lokasinya yang sangat


(62)

50

strategis dengan wilayah kota Tangerang itu hanya berjarak sekitar 2 Km saja. Selain itu lokasinya pula tidak jauh dengan letak Bandara Intersional Soekarno-Hatta. Di sisi lain juga disebabkan oleh tersedianya fasilitas sarana umum yang cukup memadai, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lain. Pada umumnya penduduk Kelurahan Mekarsari Tangerang adalah Betawi dan Sunda, sehingga adat istiadat yang mendominasi adalah adat Betawi dan Sunda meskipun sebagian dari mereka keturunan etnis Tionghua. Untuk lebih jelasnya lihat tabel dibawah ini:

Tabel 1

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki 4.034 Orang

Perempuan 5.074 Orang

Jumlah 9.108 Orang

Adapun jumlah penduduk yang berada di RW 04 ialah sebanyak 350 KK atau sekitar 1680 jiwa.


(1)

Nama Umur Kedudukan dimasyarakat Tingkat pendidikan Agama Waktu wawancara

PEDOMAN WAWANCARA

Cwe Fak Liem

60 Tahun Ketua RT 01/04

Sekolah Menengah Atas (SMA) Buddha

1. Sejak kapan anda tinggal di kelurahan Mekarsari?

Jawab : kalau ibu saya sejak lahir, kalau saya kurang lebih sudah 40 tahun yang lalu, sebelumnya saya tinggal di Mauk.

2. Sepengetahuan anda sejak kapan etnis keturunan Tionghua tinggal di kelurahan Mekarsari Tangerang?

Jawab : Sejak nenek moyang kurang lebih 100 tahun lalu.

3. Sepengetahuan anda dari mana asal-muasal etnis Tionghua yang ada dikelurahan Mekarsari Tangerang?

Jawab : setahu saya sih karena mereka pada hijrah ketempat tujuan mereka masing-masing

4. Apa pekerjaanyang dilakukan oleh warga keturunan?

Jawab : pedagang, karyawan, saya juga sehari-harinya berdagang ayan ras, yang dijual ke kota (Jakata).

5. Tingkat pendidikan warga etnis Tionghua ?

Jawab : adayang sampai SD, SMP, SMA, bahkan yang putus sekolah jugaada. 6. Apakah masih ada makanan khas etnis Tionghua di kelurahan Mekarsari Tangerang?


(2)

Jawab : makanan kita disini sudah membaur, ada sambal godok dan lin-lain, kalau kue keranjang biasanya kalau ada acara tertentu saja seperti imlek, Cap Go Meh, dan acara-acara lainnya.

7. Apakah masih ada kesenian khas Tionghua dikelurahan Mekarsari Tangerang?

Jawab : barongsai, itupun anggotanya campuran antara pemuda Tionghua dan Pribumi.

8. Apakah ada hubungan komunikasi yang terjadi antara etnis keturunan dengan masyarakat pribumi jika ada dalam bentuk apa?

Jawab ,t ada, setiap hari juga kita kalau bertemu selalu berkomunikasi, yang lebih dominan komunikasi antarpribadi, kalau kelompok biasanya kalau usyawarah dan ada

acar a- acara rapat kelurahan.

9. Bahasa apa yang digunakan dalam bentuk hubungan komunikasi antarc warga keturunan dan pribumi?

Jawab : bahasa betawi, kalau bahasa mandarin atau bahasa cina kita ga bisa,

10. Faktor apa saja yang menghambat hubungan komunikasi antara etnis keturunan dengan warga pribumi?

Jawaban : tidak ada hambatan

1 1. Apakah perbedaan etnis menjadi factor pengahambat dalam berkomunikasi? Jawaban : tidak, kita disini suda seperti saudara

12. Apakahperbedaan agama menjadi factor penghambat dalam berkomunikasi? Jawaban : kita disini ssaling menghormati agarna dan keyakinan masing-masing 13. Apakah anda merasa sebagai orang Tionghua yang tinggal di Indonesia atau sebagai

warga negara Indonesia yang keturunan Tionghua?

Jawaban : sebagai Warga Negara Indonesia yang keturunan Tionghua 14. Apakah anda menghormati masyarakat pribumi?


(3)

15. Kegiatan apa saja yang secara bersama-sama dengan warga pribumi di lingkungan tempat tinggal?

Jawaban : rapat desa, kalau adahajatan kita juga sama-sama saling membantu, kerja bakti mingguan.

16. Apakah anda membatasi pergaulan dengan warga pribumi?

Jawaban : tidak, hanya saja kita harus saling menghargai hak masing-masing 17. Apakah ada keluargaanda yang menikah dengan wargapribumi?

Jawaban : ada, anak saya yang laki-laki menikah dengan wanita muslim pribumi, tapi usia pernikahannya tidak bertahan lama karena istrinya tidak dapat membimbingnya. 18. Bagaimana penilaian anda tentang prilaku warga pribumi?

Jawaban: baik, rarrah,

19. Apakah pernah terjadi konflik, arfiara enis keturunan dengan masyarakat pribumi? Jawab : tidak ada.

20. Apakah anda mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dalam masyarakat? Jawab : kalau dilingkungan tempat tinggal saya baik-baik saja, tapi terkadang

perlakuan stafdesa terkadag kurang menyenangkan seperti ada rasa kurang percaya kepada wargaketurunan yang menjadi staf desa.


(4)

Kegiatan jual beli di depan vihara Tjong Tek Bio


(5)

Kirab 12 tahunan Desember 2012


(6)

Perayaan tahun baru 01 Januari 2013 di lingkungan Rw 04 Kelurahan Mekarsari

Tangerang