Torehan sejarah, taruhan hidup politik memori pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat, pasca-jajak pendapat 1999 - USD Repository

  Torehan Sejarah, Taruhan Hidup Politik Memori Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat, Pasca-Jajak Pendapat 1999 T E S I S

  Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  ALEIDA YOVITA SOLA 056322002 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2007

  Torehan Sejarah, Taruhan Hidup Politik Memori Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat, Pasca-Jajak Pendapat 1999 T E S I S

  Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  ALEIDA YOVITA SOLA 056322002 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2007

  

Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul “ Torehan Sejarah, Taruhan

Hidup Politik Memori Pengungsi Timor Timur di Kabupaten Kupang, Timor Barat,

  

Pasca Jajak Pendapat 1999” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan

saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 23 juli 2007 Aleida Yovita Sola

  

Kata Pengantar

  Mengalami sebuah peristiwa kekerasan dalam hidup yang menyebabkan seseorang mengalami kehilangan dan memaknai peristiwa tersebut sebagai ‘momok’ yang menjijikkan dapat menghantar seseorang kepada situasi trauma. Korban ingin melupakan tapi pada saat yang sama justru mengingatnya. F. Budi Hardiman membahasakan lebih jauh demikian ‘ingatan korban akan negativitas peristiwa traumatis menajam justru saat dia ingin melupakannya’. Hal yang sama dialami oleh para pengungsi Timor Timur. Mereka telah menyaksikan maupun mengalami peristiwa kekerasan tersebut. Mereka ingin melupakan tapi pada saat yang sama mengingatnya.

  Ingatan akan peristiwa kekerasan tersebut telah mengarahkan kekinian mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan untuk saat ini belum pulang ke kampung halaman. Para pengungsi ini takut pulang oleh karena trauma akan peristiwa kekerasan.

  Akan tetapi hal ini tidak mendapat tempat dalam narasi dominan maupun narasi kekuasaan. Tidak heran pendekatan yang dilakukan oleh berbagai pihak bagi penyelesaian masalah kemanusiaan ini bersifat highly political atau project-based. Ingatan para pengungsi ini juga rentan dipakai oleh pihak-pihak yang berkepentingan melanggengkan status quo (setelah dipilah dan dipilih).

  Ingatan akan peristiwa kekerasan dari sisi para korban yaitu para pengungsi diupayakan untuk terartikulasi dalam ruang publik. Dengan upaya ini paling tidak narasi para korban diperlakukan sebagai ‘fakta’ sejarah itu sendiri yang pada gilirannya perlahan tapi pasti membuat korban dapat menempatkan masa lalu pada tempatnya dan kemudian dapat hidup tanpa beban masa lalu. Pada tataran inilah Tesis ini dapat ditempatkan.

  Tesis yang me rupakan tugas akhir untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam studi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dari lembaga maupun perorangan selama pengumpulan data hingga penulisan naskah. Karena itu sudah pada tempatnya saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada siapa saja yang tulus membantu baik pikiran, waktu, tenaga dan sejumlah materi.

  Pada tempat pertama dan terutama saya mengangkat syukur dan terima kasih kepada Allah Bapa sorgawi yang oleh karena perkenananNya dan penyelenggaraanNya saya dapat menyelesaikan studi ini. Dalam rasa percaya Dia yang bersama-sama dari garis start, Dia yang bersama-sama menempuh perjalanan studi ini, Dia juga yang menghantar sampai garis finish tidak ada kata yang dapat menggantikan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah Bapa sorgawi. Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ sebagai pembimbing I dan Drs Yoseph Yapi Taum, M.Hum sebagai pembimbing II, yang bersedia memberi waktu, tenaga terutama pikiran, dan bimbingan selama proses penelitian hingga penulisan, penghargaan dan terima kasih saya ucapkan. Para dosen yang melengkapi dan mengasah kemampuan akademik selama studi: Dr. Budiawan, Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, Try Subagya M.A, Dr. Harry Susanto,SJ, Agung Wijayanto, SJ M.A, Dr Katrin Bandel, R. Haryono Imam, M.A, Dr I. Wibowo, Dr. Ishadi SK, dan Drs St. Sularto, Dr. G. J. Aditjondro, Dr. Sudiarja SJ, banyak terima kasih juga. Mbak henkie dan mas Mul terima kasih. Teman-teman: Samsul, Linda, Yus, Alm Romo Agus dan lian yang selalu memberi bantuan dan motivasi terima kasih. Tidak lupa terima kasih buat olfi atas persahabatan dan persaudaraan yang terjalin.

  Secara kelembagaan saya juga berterima kasih kepada Gereja Masehi Inj ili di Timor yang telah mengijinkan dan memberi dukungan finansial selama studi, Yayasan Satyabakti Widya yang melengkapi secara finansial, dan juga Pemda NTT. Pater John Sallu SVD, yang telah membuka jalan bagi proses penelitian di kamp pengungsi dan Pater John Bakok SVD, yang mendampingi selama proses penelitian terima kasih.

  Yang terakhir tetapi sangat berarti. Terima kasih buat suami terkasih papa Budi dan anak-anak tersayang k’De dan ade Ria. Tanpa restu, pengertian, kasih sayang, dukungan dan juga pengorbanan yang diberikan mungkin studi ini tidak pernah selesai. Saya bangga memiliki mereka- keluarga kecil ini.

  Motto:

  “Sesungguhnya, takut akan Tuhan, itulah hikmat, Dan menjauhi kejahatan itulah akal budi”.

  (Ayub, 28:28)

  

Dipersembahkan untuk

Mama terkasih,

Marikje Adriana Sola -Hello (alm)

  

D A F T A R I S I

  Halaman Judul……………………………………………………i Lembar Persetujuan………………………………………………ii Lembar Pengesahan………………………………………………iii

   Lembar Pernyataan……………………………………………….iv

  Kata Pengantar……………………………………………………v Motto……………………………………………………………...vii Lembar Persembahan…………………………………………….viii Daftar Isi……………………………………………………….…ix Abstraksi………………………………………………………….xii

   B A B I PENDAHULUAN

  1. 1. LatarBelakang……………………………………..……… ……...…..…..….1 1. 2. Persoalan………………………………………………...….…………....….9 1. 3. Tujuan Penulisan…………………………………………..………....…….10

  1. 4. Relevansi…………………………………………………………....……...11 1. 5. Tinjauan Kepustakaan…………………………………...……..….……… 13 1. 6 Kerangka Teoritis………………………………………….….…….……. 17

  1.7. Metodologi Penelitian……………………………….……..….…….……...21

  7.1 Jenis Penelitian…………………………………..…...……..…....…....22

  7.2 Srategi Pengumpulan Data……………….…….……..…….......….….22

  7.3 Lokasi dan Subyek Penelitian……………..….……………..….……..24

  7.3.1. Lokasi……………………………………..……….........……...24

  7.3.2. Subyek Penelitian………………………….……………..…….24

  1.8. Sistimatika Penulisan……………………………………. ………………25

  B A B II WACANA –WACANA DIBALIK KONFIK DAN KEKERASAN 1999

  2.1. Pengantar……………………..……………………………………...………28

  2.2. Tiga Wacana Dominan……………………………………………..………. 31

  2.2.1. Wacana Kelompok Pro Kemerdekaan………………………………...34

  2.2.1.1. Anti Integrasi………………………………………………..34

  2.2.1.2. Mauhu……………………………………………… ………36

  2.2.2. Wacana Kelompok Pro Otonomi…………………………… ….……37

  2.2.2.1. Komunis dan GPK………………………………..… ……..37

  2.2.2.2. Anti Komunis………………………………… …… ……..39

  2.2.2.3. Dokumen Granadi………………………………… …….. 40

  2.2.3. Wacana Kepentingan Ekonomi Politik……………………… ……. 43

  2.2.3.1. Perjanjian Celah Timor………………………… ………….45

  2.2.3.2. Kepentingan Ekonomi Lain………………..……………......48

  2.3. Rangkuman…………………………………………………………………..52

  B A B III KEKERASAN DALAM INGATAN PENGUNGSI

  3.1. Pengantar………………………………………………………………….53

  3.2. Potret Kehidupan sehari- hari di Kamp Pengungsian……………...……..56

  3.3. Ingatan Pengungsi Akan Situasi Sebelum Jajak Pendapat……………… 61 3.3.1. “Hantu” Tentara…………………………………………………... 62

  3.3.2. Pengkhianatan Tetangga………………………………………… .65

  3.3.3. Orang Hutan (Fretelin)…………………………………………… 67

  3.3.4. Aksi Milisi………………………………………………………... 69

  3.4. Ingatan Pengungsi Tentang Jajak Pendapat…………………….…….......72

  3.5. Ingatan Pengungsi Tentang Pasca Jajak Pendapat………………………..74

  3.6. Rangkuman…………………………………………………….....……….78

  B A B IV

  INGATAN-INGATAN KELAM DAN HARAPAN MASA DEPAN 4.1.

  Pengantar………………………………………………….………………81 4.2. Ingatan-ingatan Kelam…………………………………………………....82 4.2.1.

  Mereka Pendendam…………………...………………………..82 4.2.2. “Di sana” Tidak Aman…………………………………………91 4.3. Timor Timur Tanah Air Kami…………………………………...…….......95 4.4. Upaya Penyelesaian……………………………………….…… ………..101 4.4.1.

  KPP HAM di Timor Timur…………………………..………. .103 4.4.2. CAVR………………………………………………………….106 4.4.3. KKP Indonesia-Timor Leste…………………………………...111

  4.5. Rangkuman……………………………………………………… …….....115

  B A B V

PENUTUP: REFLEKSI KRITIS……………………………………………….117

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….127

DAFTAR

NARASUMBER…………………………………………………..……………….130

  

Abstraksi

  Ibarat sebuah mata uang, peristiwa Jajak Pendapat bagi rakyat Timor Timur juga mempunyai dua sisi. Sisi yang satu menggambarkan wajah sukacita rakyat menyongsong kemerdekaan mereka, sedang sisi yang lain menampilkan wajah kekerasan, noda, darah, airmata, kekejaman, kehilangan, kematian dan sederetan wajah buram lainnya. Potret ‘wajah buram’ akibat peristiwa di sekitar Jajak Pendapat 1999 antara lain dapat ditemukan dalam wajah para pengungsi. Dan dari sisi inilah apa yang ‘tercecer’ dari peristiwa Jajak Pendapat diangkat agar mendapat tempat (walau berdesakan) dalam ruang publik yang bertebaran narasi- narasi dominan.

  Bermula dari pertanyaan “Apa sebab para pengungsi belum kembali ke daerah asal padahal Timor Timur sebagai daerah asal mereka telah merdeka dan berganti nama dengan Timor Leste?” Tesis ini bermaksud untuk menggungkap kenyataan bawah sadar dari para pengungsi yang menyimpan berbagai ingatan tentang kekerasan terhadap kemanusian yag dialami di sekitar peristiwa Jajak Pendapat. Kekerasan itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejumlah wacana yang diproduksi sebagai akar di sekitar peristiwa kekerasan tesebut. Bagaimana masyarakat korban memaknai wacana-wacana itu turut memberi warna buram pada wajah kemanusiaan para pengungsi. Ingatan- ingatan yang tersimpan dalam ruang ingatan para pengungsi ini telah menjadi penuntun kekinian mereka sehingga mereka memutuskan saat ini hidup dan bertahan di kamp-kamp pengungsian daripada pulang ke daerah asal.

  Upaya pemulangan telah dilakukan oleh berbagai pihak. Akan tetapi ingatan- ingatan akan peristiwa kekerasan itu selalu ter/diabaikan dalam setiap upaya penyelesaian masalah kemanusian para pengungsi ini padahal bukan tidak mungkin hal tersebutlah yang menjadi momok menakutkan yang selalu menghantui dan menuntun kehidupan mereka. Korban hendak melupakan tapi pada saat yang sama justru mengingatnya.

  Tesis ini mengupayakan penarasian ingatan korban bukan untuk mengglorifikasi korban tapi dengan harapan agar dengan terangkatnya ingatan- ingatan tersebut ke ruang publik beban ingatan korban yang terisolir dapat terbuka dan dapat menjadi jalan masuk bagi upaya penyelesaian yang melegakan semua pihak, terutama para korban.

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

  Hampir seperempat abad sejak tahun 1975 atau kurang lebih 23 tahun Timor

  1

2 Timur menjadi propinsi ke 27 , dari negara Republik Indonesia. Selama waktu itu juga

  keinginan sebagian besar rakyat Timor Timur untuk merdeka lepas dari Indonesia tidak pernah surut. Dalam pandangan rakyat yang menghendaki untuk merdeka Indonesia telah menginvasi negaranya, telah melakukan aneksasi terhadap wilayah mereka.

  3

  “Integrasi” bagi mereka adalah sebuah rekayasa politik pemerintah RI untuk melegitimasi keberadaan Indonesia di wilayah Timor Timur. Keinginan merdeka ini semakin terakumulasi dengan adanya teror, pembunuhan, pembantaian dan kekerasan

  4

  yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyat Timor-Timur yang dinilai tidak

  1 Pemakaian istilah Timor Timur tidak netral oleh karena istilah ini adalah pemberian Pemerintah

Indonesia untuk menamakan daerah yang diakuinya sebagai propinsi ke 27 setelah peristiwa ‘ Integrasi’

tahun 1975. Saat ini Timor Timur telah menjadi sebuah negara merdeka dengan nama Timor Leste. Saya

dengan sadar memilih memakai istilah Timor Timur untuk menunjuk lokasi peristiwa. Alasannya tulisan

yang akan dihasilkan berpijak pada peristiwa kekerasan yang menyertai penentuan nasib sendiri ( jajak

pendapat ) dimana Timor Timur ( Tim-Tim) adalah istilah yang terekam dalam memori kolektif pengungsi

2 yang merupakan subyek penelitian.

  

Di sah kan lewat undang-undang no. 7/1976 tanggal 15 juli 1976 dan disusul dengan Pembentukan

3 Daerah Tingkat I Timor Timur tanggal 17 Juli 1976.

  

“Integrasi” adalah pemberian nama dari pemerintah Indonesia bagi proses tergabungnya rakyat Timor

Timur ke dalam wilayah Indonesia. Lebih jauh proses integrasi juga dimasukkan dalam kurikulum dan

menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah. Selanjutnya integrasi menjadi teks dominan dari pemerintah yang

berkuasa dalam memandang Timor Timur. Frase ‘propinsi termuda’ atau ‘propinsi paling bungsu’ dikenakan bagi wilayah Timor Timur (Bdk. Asvi W. Adam 2004:92-95). 4

. Sejak tahun 1975 korban yang tewas baik dari pihak rakyat maupun aparat keamanan berjumlah ratusan

ribu jiwa. Tidak ada data yang pasti tentang jumlah korban oleh karena pemberitaan tentang Timor Timur tertutup dan dikontrol oleh pemerintah. kooperatif terhadap ‘pembangunan’ yang dilakukan pemerintah. Aparat keamanan, dalam hal ini tentara, bersikap sangat represif terhadap rakyat yang berkeinginan merdeka

  5

  maupun rakyat biasa . Dampak dari akumulasi kekecewaan dan ketakutan atas peristiwa- peristiwa kekerasan tercermin dari perilaku kebanyakan rakyat yang bersikap antipati terhadap apa yang diperbuat oleh pemerintah (terutama ‘pembangunan’). Pembangunan sarana dan prasarana fisik memang meningkat tetapi semua itu tidak membekas di hati rakyat oleh karena alasan yang sudah dipaparkan di atas.

  Keinginan sebagian besar rakyat ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa posisi Indonesia di mata dunia pun belum aman karena masalah Timo r Timur masih menjadi agenda yang belum final dibahas dalam persidangan-persidangan di PBB. Secara sporadis peristiwa demi peristiwa kekerasan sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap pemerintah yang berkuasa terus berlangs ung. Menghadapi situasi sulit ini pemerintah

  6 Indonesia akhirnya mengambil sebuah sikap politik . Pemerintah Indonesia pada tanggal

  27 januari 1999 mengeluarkan pengumuman bahwa akan dilaksanakan jajak pendapat

  7

  bagi rakyat Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 nanti . Dunia menyambut baik pernyataan politik Indonesia ini yang ditandai dengan adanya bantuan dari badan dunia PBB untuk mempersiapkan dan melaksanakan tugas jajak pendapat. Dibentuklah United 5 Nations Assessment Mission in East Timor (UNAMET).

  

Sebuah guyonan “kejam” yang dikutip oleh Tempo dari buku Mati Ketawa Cara Daripada Suharto

memberi gambaran tentang hal tersebut. Berikut ini kutipannya: Manuel, seorang tua di pinggiran Los

Palos, Tim-Tim sakit berat. Ia tergolek lemah di ranjang kayunya. Tiba-tiba terdengar ketukan keras di

pintu luar…”Siapa itu di luar” Tanya Manuel ketakutan. “Saya malaikat maut!”….”Oh syukurlah. Saya

6 kira yang datang anggota ABRI”. Tempo, 8 Februari 1999, hal 26.

  

Lih. Yoseph Yapi Taum, Peringatan 5 Tahun Kemerdekaan Timor Leste Jalan Menikung Timor Leste,

7 makalah, tidak diterbitkan.

  

Sejak pengumuman tersebut peristiwa kekerasan disertai ancaman pembunuhan semakin meningkat. Hal

ini menyebabkan warga pendatang mulai keluar dari Timor Timur.

  Pelaksanaan jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 berlangsung aman. Menurut rencana tanggal 7 September hasil jajak pendapat tersebut sudah dapat diumumkan. Akan tetapi dalam perkembangannya pengumuman ini dimajukan oleh karena situasi keamanan yang mulai memanas. Sabtu, tanggal 4 September 1999 pengumuman resmi hasil jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan di dua tempat berbeda. Dari markas besar PBB di New York, Sekjen PBB Kofi Anan mengumumkan hasil resmi jajak pendapat rakyat Timor Timur, dan bertempat di Hotel Mahkota Dili, Ian Martin selaku Ketua UNAMET juga melakukan hal yang sama. Dari hasil pengumuman tersebut diketahui bahwa rakyat

  8 Timor Timur yang memilih merdeka, menang mutlak .

  9 Sorak-sorai kemenangan warga Maubere meluap di kota-kota besar Indonesia dan di belahan bumi lainnya. Tidak demikian dengan situasi di Timor Timur sendiri.

  Hanya beberapa jam setelah pengumuman hasil jajak pendapat korban jatuh bergelimpangan. Dili berubah menjadi mengerikan setelah melewati hari-hari menegangkan. Situasi chaos, pembunuhan besar-besaran dan kehancuran total melanda Timor Timur. Dalam sekejab wilayah ini luluh lantak. Para milisi pro Jakarta bertindak sangat brutal tanpa dicegah oleh TNI sebagai penanggung jawab keamanan saat itu.

  Perang atau konflik kekerasan pun meledak antar sesama warga yang berbeda pilihan politik. Walaupun Jenderal Wiranto sebagai Panglima TNI membantah tegas keterlibatan TNI di balik kekerasan yang terjadi dengan mengatakan bahwa “tak benar TNI berada di

8 Dua opsi yang ditawarkan dalam jajak pendapat, bagi penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur adalah

  

pro otonomi’ atau ‘pro kemerdekaan’ .Pelaksanaanya dilaksanakan dan diawasi oleh United Nations

Mission in East Timor ( UNAMET ). Dari 451.792 pemilih, 344.580 ( 78,5 % ) memilih pro kemerdekaan

dan 94.388 memilih pro otonomi. Hasil pemilihan inilah yang menghantar Timor Timur menjadi sebuah

9 negara merdeka. Lihat Tempo, 12 September 1999, hal 18.

  Sebutan warga Timor Timur bagi diri mereka sendiri

  10

  balik kekerasan yang terjadi di Tim Tim” , namun Carter Center East Timor

  

Observation Mision (sebuah organisasi pemantau di AS) menerbitkan sebuah dokumen

  yang menunjukkan keberpihakan TNI pada kubu yang kalah. Kesimpulan dokumen Carter ini cukup gawat: tentara Indonesia telah mendanai, mempersenjatai dan

  11 memberikan instruksi atas segala sepak terjang milisi .

  Konflik kekerasan ini mengakibatkan terjadinya pengungsian besar-besaran. Sebagian rakyat menyelamatkan diri ke hutan-hutan dan pegunungan di sekitarnya (mereka ini kemudian pulang dengan mudah ke kampung halaman) sebagiannya lagi menyerbu wilayah NTT (mereka ini kemudian mengalami kesulitan untuk pulang.

  Pengungsi dalam kelompok inilah yang akan menjadi subyek penelitian saya). Pada bulan September 1999 atau sebulan sesudah jajak pendapat jumlah pengungsi kurang lebih 230.000 jiwa berada di Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar pengungsi ini

  12 tinggal di Timor Barat . Angka ini meningkat tajam pada bulan Oktober 1999.

  13 Diperkirakan jumlah pengungsi saat itu telah mencapai 285.000 jiwa . Jumlah pengungsi

  yang diumumkan oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Humas Pemda NTT ada 127.000 jiwa, Dinas Sosial NTT 132.000 jiwa, dan oleh United Nations High Commissioner for Refugee (UNCHR ) 134.000 jiwa.

  Tidak ada kesamaan data dari beberapa instansi atau lembaga yang berwewenang 10 mengeluarkan data pengungsi. Tiap-tiap lembaga yang mengeluarkan data tentang jumlah 11 Tempo, 19 September 1999, hal 29 12 Tempo, 19 september 1999, hal 28

Antara ,29/9/99, Sebagaimana dikutip oleh Karen Cambell-Nelson dkk, (dalam Perempuan dibawa/h

  

laki-laki yang kalah : Kekerasan terhadap Perempuan Timor Timur dalam Kamp Pengungsian di Timor 13 Barat. JKPIT dan PIKUL. Kupang 2001: 50 ) NTT Ekspres, 31/1/01 , sebagaimana dikutip oleh Karen Cambell- Nelson dkk, ibid, hal 51 pengungsi tentu berkaitan dengan kepentingan lembaga tersebut (yang dimaksud lebih terkait dengan politik dan juga bantuan.) Data yang dipaparkan di sini, hanya dimaksidkan untuk menunjukkan betapa gelombang pengungsian besar telah melanda wilayah Timor Barat. Pengungsi yang berjumlah ratusan ribu jiwa ini, bukan hanya mereka yang mengungsi karena konsekuensi pilihan politik, tapi ada yang dipindah paksa, mengamankan diri maupun ikut saudara. Mereka yang mengungsi sebagian besar adalah rakyat kecil, orang-orang sederhana dan yang selebihnya adalah TNI/Polri,

  14

  pegawai negri dan keluarganya serta para milisi . Dari latar belakang keberadaan yang beragam ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar para pengungsi adalah korban situasi konflik kekerasan dan juga pelaku kekerasan menjelang dan segera sesudah jajak pendapat.

  Menjadi pengungsi hampir tidak diharapkan oleh siapa saja. Meninggalkan kampung halaman yang telah memberi kehidupan yang sangat berarti sekecil apapun, musnahnya harta benda, terputusnya tali persaudaraan, kehilangan orang-orang yang dikasihi, hilangnya kemapanan hidup, membawa beban ingatan dan trauma atas pengalaman kekerasan serta kemudian harus berhadapan dengan ketidakpastian akan masa depan merupakan wajah buram dari kompleksitas persoalan para pengungsi.

  Mereka tercerabut dan terhempas ke dalam situasi yang memilukan di mana mereka tidak dapat dengan mudah melepaskan diri begitu saja.

  Dari sini jelas terlihat bahwa perang atau konflik kekerasan selalu membawa korban, baik di pihak yang menang apalagi yang kalah. Akan tetapi dalam sejarah 14 ‘resmi’, yang biasanya mempunyai bias kepentingan bagi kelanggengan rezim yang

  

Milisi adalah sekelompok orang sipil yang dipersenjatai dan dilatih oleh militer untuk suatu maksud dan kepentingan tertentu. berkuasa, pihak korban kurang mendapat tempat (keberadaan korban biasanya direduksi ke dalam sejumlah angka). Sejarah menjadi urusan segelintir orang, yakni para pemenang. Sejarah dengan wajah yang demikian tidak memberi ruang yang cukup untuk sisi lain yang bersifat ‘privat’, yang berkaitan dengan hal-hal yang memang sulit ditangkap secara positivistik seperti perasaan kehilangan, kepedihan, persahabatan, duka, gembira, sesal, kenangan bahkan trauma. Semua yang bersifat personal ini tidak pernah tercatat atau terlupakan dalam sejarah resmi. Namun tanpa disadari, ingatan tentang kekerasan masa lalu mengendap dalam memori korban, membentuk perilaku dan citra seseorang, dan dalam skala massal mengkonstruksi identitas suatu masyarakat (Butalia 2002). Hal itu berarti bahwa memori korban yang terabaikan ini berpotensi menimbulkan kekerasan baru jika tidak diberi ruang artikulasi yang proporsional dalam sejarah.

  Sejarah ‘resmi’ bukan tidak penting, akan tetapi oleh karena cara kerja sejarah ‘resmi’ yang mengharuskan sejumlah prasyarat harus terpenuhi maka cenderung mengabaikan dan menutup ruang bagi narasi-narasi korban maupun pelaku. Ingatan- ingatan akan suatu peristiwa yang menempati ruang ingatan dengan sendirinya tereliminasi dalam proses penulisan sejarah ‘resmi’.

  Kecenderungan ini rupanya berlaku juga untuk sejarah rakyat Timor Timur, pasca-jajak pendapat 30 Agustus 1999. Kubu yang bertikai masing- masing memunculkan tokoh-tokohnya sendiri. Bagi kedua belah pihak baik yang ‘pro otonomi’ maupun yang ‘pro kemerdekaan’ sejarah menjadi kisah kepahlawanan menurut versi masing- masing.

  Sebagai misal, kelompok pro otonomi memunculkan tokoh semacam Eurico Gutteres, kelompok pro kemerdekaan menampilkan tokoh Xanana Gusmao. Kecendrungan memunculkan kisah kepahlawanan menurut masing- masing kubu yang bertikai kerap kali melepaskan diri dari sudut pandang paling pedih, dari sejarah yang berlumuran darah itu sendiri, yaitu sudut pandang sejarah dari sisi para korban. Sejarah dari sudut pandang korban yang saat ini menjadi pengungsi di kamp-kamp pengungsian masih tersimpan rapi dalam ingatan mereka. Belum tersedia ruang artikulasi publik yang memberi tempat yang memungkinkan narasi- narasi mereka diperlakukan selayaknya fakta sejarah itu sendiri. Peristiwa kekerasan menjelang dan segera sesudah jajak pendapat itu sendiri telah berada di belakang kurang lebih delapan tahun, akan tetapi memori para korban tidak pernah membiarkannya sebagai sesuatu yang telah lewat. Mereka mempertahankan memori akan peristiwa itu, memproduksi memori lewat tuturan antar mereka maupun kepada anak- anak mereka. Mereka menjaga memori itu walaupun pedih dan akhirnya membentuk perilaku dan citra diri mereka.

  15 Saat ini, status pengungsi telah menjadi eks pengungsi . Pada tahap ini persoalan

  identitas menjadi penting. Pengungsi memandang mereka adalah orang Timor Timur yang tinggal seme ntara di Timor Barat oleh karena menghindar dari peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang membuat mereka trauma, sedang pemerintah memandang para pengungsi ini adalah orang Timor Timur yang karena pilihan politik memilih menjadi warga negara Indonesia. Saling silih pandang ini memberi gambaran retaknya sebuah identitas. Identitas para pengungsi tidak utuh lagi. Persoalan pandang memandang ini juga yang mempengaruhi kekinian mereka. Mereka hidup di Timor Barat (wilayah Indonesia) tetapi tidak pernah merasa dan memperlakukan diri sebagai orang Timor 15 Barat. Identitas mereka menjadi terbelah. Akibatnya harapan akan sebuah kehidupan

  

31 Desember 2002 merupakan batas akhir status pengungsi. Data tahun 2005 dari Biro Binsos Propinsi

Nusa Tenggara Timur terlihat label pengungsi telah diganti dengan eks pengungsi. Perubahan ini berkaitan dengan politik bantuan yang lebih baik semakin jauh dari kenyataan. Bahkan terjadi banyak peristiwa-peristiwa konflik dan kekerasan yang melibatkan pengungsi di berbagai tempat pengungsian. Hal tersebut semakin menguatkan asumsi bahwa trauma yang tertinggal dan terawetkan dalam memori kolektif berpotensi melahirkan kekerasan baru.

  Studi ini berangkat dari asumsi bahwa hidup menderita dan bertahan di kamp- kamp pengungsian, bukanlah sesuatu yang hadir dari ruang kosong. Ada beban ingatan masa lampau yang sangat mempengaruhi perkembangan kekinian pengungsi. Para pengungsi takut pulang karena trauma dengan peristiwa kekerasan yang dialami.

  Pengalaman pahit mengalami maupun menyaksikan kerusuhan dan pertumpahan darah telah menjadi sebab utama betapa banyak di antara pengungsi tidak mau kembali pulang ke daerah masing- masing dan memilih bertahan hidup di kamp-kamp pengungsian. Apalagi ingatan atas peristiwa menjelang dan segera sesudah jajak pendapat bukanlah satu-satunya ingatan atas peristiwa kekerasan yang dialami oleh para pengungsi. Sejarah rakyat Timor Timur adalah Sejarah ‘darah dan air mata’ yang sungguh memedihkan

  16

  hati . Mereka mengalami kekerasan yang berulang-ulang dan karena itu ingatan akan peristiwa kekerasan juga berlapis- lapis. Mengeksplorasi ingatan atas peristiwa konflik kekerasan menjelang dan pasca-jajak pendapat merupakan titik berangkat untuk melihat bagaimana pengungsi memproduksi dan mereproduksi ingatan kolektif mereka dan bagaimana kemudian membentuk perilaku dan citra diri mereka.

  Oleh karena Sejarah ‘resmi’ yang ditulis oleh penguasa, politisi, atau siapapun yang merasa berhak atas hegemoni kebenaran, telah menutup i ruang artikulasi korban, 16 maka studi ini berupaya membuka ‘ruang’ bagi narasi para korban yang kiranya bisa

  

Lih. George J. Aditjondro, (2000) Menyongsong Matahari Terbit Di Puncak Ramelau, Yayasan HAK dan FORTILOS, Jakarta menjadi langkah awal untuk mengurangi beban ingatan masa lalu berupa dendam. Narasi para korban ini menjadi lebih penting lagi ketika upaya merealisasikan imajinasi tentang kehidupan masa depan dengan sesama warga Timor Timur di Timor Leste dikedepankan. Pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah mengapa sampai saat ini

  Mengingat luasnya sebaran kamp-kamp

  para pengungsi takut pulang ke Timor Leste?

  pengungsian maka penelitian hanya dibatasi pada kamp-kamp pengungsi di Kabupaten Kupang. Alasannya, kamp pengungsian di Kabupaten Kupang lebih banyak menampung pengungsi dari daerah timur seperti Manatuto, Viqueque, Baucau dan Los Palos, padahal sebagaimana diketahui keinginan untuk merdeka sangat menguat di daerah timur dibanding dengan daerah barat dari Timor Timur. Karena itu alasan mengungsi tentu tidak hanya untuk menyelamatkan diri dari konflik kekerasan saja, apalagi karena konsekuensi pilihan politik.

2. Persoalan

  Penelitian ini dimaksud untuk menjawab persoalan mengapa para pengungsi yang datang dari Timor Timur waktu pecah konflik kekerasan sekarang takut pulang kembali ke Timor Leste padahal negara tersebut telah merdeka. Persoalan ini saya rinci menjadi empat persoalan:

1. Apa sebab Jajak Pendapat dilakukan bagi rakyat Timor Timur? 2.

  Mengapa terjadi kekerasan terhadap kemanusiaan di sekitar peristiwa Jajak Pendapat? Wacana-wacana apa saja yang ada, yang menjadi akar persoalan peristiwa kekerasan tersebut.

3. Apa yang diingat oleh para pengungsi tentang peristiwa di sekitar Jajak

  Pendapat? Apakah wacana-wacana tentang akar persoalan peristiwa kekerasan mempengaruhi ingatan para pengungsi?

  4. Adakah harapan masa depan yang muncul dari pekatnya ingatan-ingatan kelam sehingga dengan harapan masa depan tersebut dapat memungkinkan kehidupan bersama di Timor Leste? Apakah ada upaya penyelesaian terhadap masalah kemanusiaan tersebut?

3. Tujuan Penulisan

  Bertolak dari persolan di atas, penelitian ini bertujuan : 1.

  Mengumpulkan teks-teks dominan tentang Timor Timur dan data pengalaman dari para pengungsi tentang kehidupan di Timor Timur guna mendapat gambaran mengapa Jajak Pendapat dilakukan bagi rakyat Timor Timur.

  2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan wacana-wacana di balik peristiwa kekerasan terhadap kemanusian tahun 1999 dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat korban di mana wacana-wacana tersebut diproduksi.

  3. Mengupayakan penarasian ingatan para korban tentang kekerasan di sekitar peristiwa Jajak Pendapat dan mengeksplorasi ingatan tersebut sehingga membuka ruang bagi terakomodasinya suara-suara para korban yang selama ini tersembunyi oleh narasi- narasi besar yang lebih menonjolkan kronologi kejadian, statistik jumlah korban, statistik jumlah bantuan pemerintah pusat dan daerah, dan peta konflik kepentingan dan bagaimana pengaruhnya terhadap konstruksi memori kolektif pengungsi tentang kekerasan menjelang dan segera sesudah jajak pendapat

  4. Melanjutkan upaya penarasian ingatan para korban agar menemukan harapan masa depan yang memungkinkan terdekonstruksi ingatan masyarakat korban tentang peristiwa kekerasan 1999, yang pada gilirannya memungkinkan kehidupan bersama tanpa dendam. Atas dasar temuan ada tidaknya harapan masa depan yang lahir dari para korban ini maka saya memeriksa apakah hal tersebut menjadi titik berangkat dalam upaya penyelesaian masalah kemanusiaan yang selama ini telah dan sementara diupayakan oleh berbagai pihak atau tidak. Tujuan penulisan ini menjadi penting di tengah wacana tentang kebenaran, keadilan, persahabatan dan rekonsiliasi Timor Leste dihembuskan dan menjadi acuan rekonsiliasi bagi negara negara yang pernah mengalami konflik kekerasan.

4. Relevansi Penelitian ini mempunyai beberapa relevansi.

  1. Bagi Pemerintah, ketika isu pelanggaran Hak Asasi Manusia sesudah Jajak Pendapat menimbulkan polemik pro dan kontra, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah bahan evaluasi (Bdk. Moedjanto, 1997:114-118) dalam menentukan arah dan kebijakan publik yang dijalankan. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak boleh terulang. Bagaimanapun keadaan dan situasi yang dihadapi hendaknya aspek “kemanusiaan yang adil dan beradab”(dapat dibaca HAM) haruslah menjadi dasar pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap ini penting tidak hanya bagi pemerintah dalam mengelola kelangsungan kehidupan dalam negara (kalau hal ini diberlakukan maka akan menggoreskan sejarah baru bagi perjuangan HAM) lebih jauh lagi dalam era globalisasi ini pemerintah dapat diterima dalam pergaulan dunia karena merupakan salah satu negara yang consern terhadap hak asasi manusia yang saat ini telah menjadi isu global.

2. Bagi Masyarakat, penelitian ini menghadirkan perspektif yang berbeda dengan perspektif yang selama ini diproduksi oleh penguasa dominan tentang Timor Timur.

  Dengan perspektif para korban, dan mengangkat ke ruang publik narasi- narasi korban, masyarakat mempunyai referensi pembanding. Selanjutnya dapat menyikapi keberadaan para pengungsi secara lebih bijak. Dengan perubahan sikap ini kiranya dapat menolong para pengungsi untuk keluar dari situasi yang selama ini membelenggu kehidupan mereka. Dengan penelitian ini juga diharapkan adanya ingatan dan pengakuan dari masyarakat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pada peristiwa Jajak Pendapat.

  3. Bagi Perguruan Tinggi, penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam mengkaji peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Jajak Pendapat 1999 dari sudut pandang para korban. Penelitian yang memberi ruang bagi penarasian suara korban, selayaknya diperlakukan sejajar dengan sejarah ‘resmi’ sehingga lembaga perguruan tinggi tidak saja menjadi wadah berkembangnya aspek-aspek intelektual semata tetapi juga dapat menjadi wadah persemaian nilai- nilai humanisme.

  Pada tataran inilah perguruan tinggi turut menyumbang terbangunnya suatu masyarakat yang kritis dan bermartabat yang menghargai nilai- nilai humanisme tersebut.

5. Tinjauan Kepustakaan

  Peristiwa yang terjadi di sekitar ‘Jajak Pendapat 1999’, telah di tulis dalam beberapa buku, artikel dan laporan. Tulisan-tulisan tersebut berupaya menggambarkan bagaimana dan mengapa konflik terjadi serta berbagai tanggapan atasnya. Akan tetapi sampai dengan tesis ini dibuat, belum ada tulisan yang secara spesifik menggambarkan bagaimana ingatan akan peristiwa kekerasan masa lampau itu tetap mengeram dalam ingatan, membentuk perilaku dan citra seorang pengungsi dan dalam skala massal telah mengkonstruksi identitas pengungsi di Timor Barat. Sebagian besar buku, artikel, skripsi maupun tesis yang berkaitan dengan pengungsi lebih terfokus pada analisis sebab akibat beserta argumentasinya. Semuanya itu penting. tetapi di sisi lain ada ‘sejarah’ yang terabaikan atau dibungkam yang mestinya juga mendapat tempat dalam ruang publik.

  Buku-buku, artikel, paper, skripsi maupun tesis yang ditulis berusaha menyusun argumentasi tentang kepentingan-kepentingan yang terlibat dalam peristiwa jajak pendapat, persoalan penanganan pengungsi, konflik pengungsi dengan penduduk setempat, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, dengan berbagai perspektif maupun hanya sekedar kronologi kejadian. Juga kisah-kisah pekerja kemanusiaan dalam menangani para pengungsi dengan berbagai suka dukanya.

  Buku yang pertama yang berusaha menarasikan apa yang telah dibuat oleh Pemerintah Provinsi NTT bagi upaya penanganan pengungsi dengan judul Pelayanan

  , disusun oleh sebuah tim yang

  Kemanusiaan dalam dan dengan pelbagai keterbatasan

  melibatkan jajaran birokrasi Pemda Propinsi NTT (2001). Buku ini lebih merupakan laporan pertanggung jawaban publik oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur tentang penanganan dan pemanfaatan dana serta bantuan barang dalam rangka penanganan pengungsi Timor Timur. Laporan ini sangat bias kepentingan pemerintah. Wacana dominan adalah keberhasilan pemerintah menanggulangi persoalan pengungsi dalam berbagai keterbatasan baik oleh keadaan alam maupun kemampuan pembiayaan. Karena itu laporan ini sarat data dan kronologi peristiwa dari perspektif ekonomi politik.

  Tesis yang ditulis oleh Bambang Ardi Sage (2006) sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister dari Universitas Gadjah mada dengan judul Interaksi

  

sosial Antar Kelompok (Studi Konflik antara penduduk Lokal dengan Pengungsi Timor

Timur di Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur) memuat analisis penyebab

  dan potensi konflik, upaya dan peran pemerintah daerah dalam penanganan konflik. Konflik yang dimaksud dalam tesis ini adalah konflik pengungsi dengan penduduk setempat. Konflik kekerasan antar penduduk Timor-Timur yang membuat mereka meninggalkan kampung halamannya, yang memisahkan mereka dengan sanak saudara serta harus kehilangan orang-orang yang dikasihinya, yang menyebabkan ketakutan dan trauma yang mendalam tidaklah menjadi wilayah kajian tesis ini.

  Buku yang berusaha mengangkat perspektif korban ditulis oleh Karen Campbell- Nelson (2001) bersama timnya dengan judul Perempuan dibawa/h laki-laki yang kalah :

kekerasan terhadap Perempuan Timor-Timur dalam Kamp Pengungsian di Timor Barat.

  Buku ini menawarkan suatu perspektif yang berbeda dengan apa yang ditulis oleh pemerintah. Peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak menjadi perhatian, terutama kekerasan seksual yang dilakukan oleh para tentara maupun para laki- laki mereka sendiri beserta analisanya. Walaupun demikian ingatan akan peristiwa kekerasan tersebut bukan menjadi perhatian utama bahkan hampir tidak tersentuh. Buku ini juga penuh dengan data peristiwa dan para korbannya, karna itu buku ini juga disebut buku

  17 sejarah para korban . Lebih lanjut sangat bias jender.