1.Tenun Timor 1.1 Pengertian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tenun Timor Memberdayakan Perempuan Tolfeu sebagai Konseling Imajinasi

BAB II TENUN TIMOR, IMAJINASI, KONSELING MULTIKULTURAL DAN FEMINIS

Pada bab yang kedua ini akan dipaparkan teori-teori yang akan dipakai dalam penelitian ini. Bab ini akan terdiri dari empat bagian besar. Pertama, Tenun Timor, yang terbagi atas tiga bagian yaitu pengertian, proses pembuatan dan motif. Kedua, konseling multikultural yang meliputi pemahaman, karakteristik, dan model.Ketiga, konseling feminis yang terdiri dari pemahaman, karakteristik dan model dan keempat adalah teori imajinatif berdasarkan pemahaman, fungsi dan karakteristik.

1.Tenun Timor

1.1 Pengertian

Budaya adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya termasuk pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kebiasaan lain yang didapat sebagai anggota

masyarakat. 1 Tenun Timor merupakan representasi dari pengertian budaya yang disajikan oleh banyak tokoh antropologi karena dalam tenunan itu sendiri terdapat pengetahuan, keyakinan,

seni, dan adat-istiadat yang dimaknai masyarakat Timor.Walaupun hampir sebagian wilayah Asia, terkhususnya Indonesia memiliki kemiripan (ethic) dalam menampilkan kebudayaan terkhusunya tenunan tetapi yang menjadi keunikan (emic) tersendiri adalah ciri khas masing- masing daerah yang selalu menjadi primadona dan tidak didapat didaerah lainnya.

Tenun merupakan hasil kerajinan tangan yang diolah dengan bahan utama yaitu benang.Cara memasukan benang secara horizontal kedalam benang yang terentang vertikal pada alat tenun yang terbuat dari kayu. Pengertian tenun ini masih yang bersifat tradisional sehingga dalam proses awal hingga sampai pada sebuah kain tenun utuh nilai-nilai kearifan lokal masih

1 Kim, Uichol, Yang, Kuo-Shu dkk,Indigenous and Culture Psyicology.Terjemahan Soetjipto, Helly Prajitno (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 2010), 16 -17 1 Kim, Uichol, Yang, Kuo-Shu dkk,Indigenous and Culture Psyicology.Terjemahan Soetjipto, Helly Prajitno (Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 2010), 16 -17

Mempertahankan kebudayaan tentu saja tidak mudah dalam dunia busana modern. Maka dari itu masyarakat Timor mensiasati agar tidak terjadi abrasi budaya dalam tenunan Timor maka metode dalam proses pembuatan tenun sendiri ditetapkan hanya tiga tahapan saja. Ketiga metode ini antara lain adalah futus (mengikat benang), sotis (menyisip benang), danbuna (mengaitkan). Metode futus diawali denganmembuat hiasan dasar pada kain tenun dengan cara mengikat rencana gambar untuk beberapa warna. Sementara sotis dibuat dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan di bawah benang dasar sehingga gambar yang dibentuk muncul ke permukaan.Adapun buna memiliki tingkat kerumitan tinggi karena menggunakan banyak warna,

namun cara kerjanya sama persis dengan sotis. 2 Ketiga metode yang dipakai dalam proses pembuatan tenunan Timor ini tentu saja tidak serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang akan

tetapi orang-orang tertentu saja yang dapat mengerjakan tenunan dengan menerapkan ketiga metode ini. Tentu saja dalam hal ini adalah perempuan yang memainkan peran penting dalam proses ini.

Dalam budaya Timor sendiri, perempuan menjadi menjadi arsitek utama dalam membentuk pola sampai pada tenun utuh.Ketrampilan dalam menenun ini hampir dimiliki oleh setiap perempuan Timor. Eben Nuban Timo mengatakan, bahwa ketrampilan itu diwarisi dengan cara belajar, mengamati dan berpraktik dibawah bimbingan ibu maupun kebarabat

perempuan. 3 Ketrampilan dalam menenun ini menjadi tolak ukur kedewasaan perempuan Timor. Dewasa dan siap untuk menikah jika perempuan sudah menguasai cara menenun. Paradigma

2 Palce amalo, majalah Media Indonesia 15 oktober 2010 3 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 55 2 Palce amalo, majalah Media Indonesia 15 oktober 2010 3 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 55

1.2 Proses Pembuatan

Tenun Timor mengandung banyak makna dalam setiap kain yang dihasilkan. Harus diakui bahwa kandungan makna pada tenun itu sendiri dimulai sejak awal proses pembuatannya. Tenunan yang dihasilkan merupakan refleksi daripada penenun terhadap alam dan sang pencipta. Untuk menghasilkan sebuah kain tenun itu sendiri memerlukan jangka waktu yang banyak dengan proses-proses yang harus dilalui oleh sang penenun. Setidaknya dalam proses pembuatan tenun Timor, Eben Nuban Timo mengklasifikasi dalam 4 tahapan yaitu membuat benang dari kapas, lalu merekayasa motif, kemudian proses mencelup dan yang terakhir adalah menenun itu

sendiri. 4 Pada tahapan pertama membuat benang dari kapas diawali dengan menanam kapas terlebih dahulu diantara jagung dan ubi.Setelah kapas diambil dan dijemur maka kumparan-

kumparan kapas itu diperhalus menggunakan alat berbentuk busur. Alat yang dipakai dalammerubah kapas menjadi benang adalah ike suti. Untuk memperoleh benang yang cukup dalam menenun sebuah sarung dan selimut dibutuhkan waktu kira-kira 2 bulan masa

pengerjaan. 5

Tahapan kedua yaitu merekayasa motif. Proses ini dimulai dengan membentangkan benang secara berjejer di atas dua buah balok atau bambu. Panjang bentangan itu kemudian dilipat dua untuk keperluan membuat motif ikat.Ini disebabkan karena motif dalam satu selimut biasanya dibuat simetris antara ujung atas dan bawah serta bagian kiri dan kanan. Sekitar 1000-

4 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 55 5 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 57

1500 baris benang yang dibentangkan di atas alat yang dinamakan loki’. Teknik merekayasa motif dalam tenun ikat dimulai dengan menggambarkan keseluruhan struktur penempatan gambar dalam ingatan, kemudian diterapkan dalam tenun dengan cara mengikat benang dalam

kumparan benang-benang. 6 Tahapan ini menjadi titik awal kreatifitas perempuan Timor dimulai. Daya ingat yang kuat sangat mempengarui setiap rekayasa motif yang akan ditenun. Sehingga

daya ingat perempuan menjadi membangkitkan kreatifitas dan imajinasi selalu dijaga oleh perempuan penenun.

Setelah motif yang diingikan sudah siap disajikan maka tahapan selanjutnya adalah proses mencelup.Tahap ini berlangsung satu sampai dua bulan bergantung dari kombinasi serta kualitas warna. Proses pencelupan ini menggunakan zat warna yang diperoleh dari bahan-bahan yang tersedia di dalam alam, seperti kunyit, akar mengkudu, daun papaya, dan tumbuh-tumbuhan yang tersedia di alam sekitar. Pada proses ini lagi-lagi memperlihatkan keakraban antara manusia dan alam. Kesediaan alam dalam mempersiapkan segala sesuatu untuk menunjang kreatifitasperempuan Timor. Pemilihan zat warna dan juga proses meramu yang berbahan baku

alam menambah nilai dan makna daripada tenun Timor itu sendiri. 7

Tahap terakhir setelah proses penculupan pada zat warna adalah proses menenun. Benang yang sudah diwarnai dibentangkan pada buah balok atau lebih lalu diurai diatas perkakas tenun. Adapun dua balok horizontal di dua ujung dengan jarak antara 1,5 - 2 meter. Untuk menjaga ketegangan benang di atas alat tenun maka nekan atau balok diikat pada dua buah tiang atau api’. Selama proses menenun ada dua buah kayu yang selalu ditarik masuk dan keluar diantara sela- sela benang. Tiap kali benang horizontal diselipkan, penenun merapatkan benang itu kesimpul

6 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 58 7 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 59 6 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 58 7 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 59

sampai selesai. Lamanya proses menenun sampai selesai kira-kira 10-15 hari. 8 Tergantung dari besar kecilnya kain yang ingin di buat dan kerumitan motif yang akan diukir.

Proses yang cukup panjang ini walaupun hanya dilalui dalam empat tahap saja, namun selain kreatifitas penenun, kedisplinan dan kerja keras dari penenun juga sangat diperlukan. Proses pengerjaan tenun bukan dilakukan dalam ruang tertutup dan bertemperatur dingin, namun dilakukan oleh perempuan dialam terbuka bersama panasnya udara pulau Timor. Maka itu perempuan yang menenun memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Setidaknya dari gambaran besar penenunan tenun Timor terlihat bahwa proses produksi dari benang sampai pada sebuah kain tenun memerlukan ketahanan tubuh yang kuat dan daya ingat yang luar biasa terhadap cuaca. Pembuatan tenun Timor dengan teknik tradisional semacam ini akan terus mempertahankan nilai-nilai budaya dalam kehidupan nyata walaupun waktu meninggalkan sebuah sejarah.

1.3 Motif

Eksistensi keberadaan budaya Timor dapat dilihat dengan adanya tenun sebagai sebuah realitas.Tenun sebagai warisan nyata dari pada budaya Timor sangat terlihat dari pada motif yang dibentuk dalam setiap selembar kain.Motif pada tenun menunjukan identitas budaya Timor

8 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 60-62 8 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 60-62

Timo juga menambahkan bahwa selembar kain tenun terukir iman dan kepercayaan masyarakat. 10 Bahkan dalam motif-motif tenun Timor terekonstruksi pesan-pesan spiritual

tentang hidup dan mati, berkat, anugerah, persaudaraan, kerukunan, dan kedamaian.

Gambaran umum tenun sendiri bagi penulis adalah usaha manusia membangun relasi bersama para leluhur.Hubungan ini didasarkan atas motif yang selalu dituangkan dalam kain tenun.Indonesia salah satu wilayah yang memproduksi tenun terbesar se Asia Tenggara, namun yang menjadi keunikan masing-masing daerah adalah motif yang ditampilkan.Nusa Tenggara Timur sendiri memiliki ciri khas dalam menampilkan motif tenun dan binatang adalah salah satu bentuk pesan spiritual yang didasarkan atas mitos.Di Timor sendiri buaya adalah binatang sakral yang paling mendominasi motif tenun Timor sendiri.Motif buaya memiliki arti bagi masyarakat Timor sebagai pembawa kesejukan dan kesegaran ditengah iklim Timor yang gersang. Adapun asal mula cerita mitos berkembang tentang buaya dalam konteks Timor seperti yang di narasikan

oleh Eben Nuban Timo, demikian: 11

Menurut cerita rakyat dahulu kala ada seekor anak buaya yang tersesat. Ia tidak menemukan jalan untuk kembali ke laut. Seorang anak laki-laki menolong buaya itu.Ia mengendong buaya itu dibawah ke laut. Pada hari itu, air laut tiba-tiba naik.Si anak terancam mati tenggelam.Sebagai ungkapan terima kasih, buaya tadi mengajak si anak naik ke punggungnya.Anak itu dibawa berenang mengelilingi dunia. Ketika buaya tadi menjadi semaki tua, ia merasa akan segera mati. Buaya berpesan kepada anak yang sudah mulai dewasa bahwa ia akan berbaring di permukaan laut. Tubuhnya akan berubah menjadi daratan, menjadi sebuah pulau. Si anak boleh tinggal di pulau itu. Tubuh buaya yang sudah berubah menjadi daratan itu akan menumbuhkan pohon buah-buahan yang dapat dimakan. Bahkan didalam tubuh si buaya ada

9 Erni Tallo,Pesona tenun flobamora (Kupang: Tim penggerak PKK dan Dekranasda Provinsi NTT, 2003), 17 10 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 65 11 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 66-67 9 Erni Tallo,Pesona tenun flobamora (Kupang: Tim penggerak PKK dan Dekranasda Provinsi NTT, 2003), 17 10 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 65 11 Eben Nuban Timo, Sidik Jari Allah, 66-67

Kepercayaan masyarakat Timor akan mitos-mitos dan cerita rakyat yang berkembang dari generasi ke generasi memiliki nilai-nilai yang terus dijaga sampai kini. Mitos yang berkembang dimasyarakat Timor adalah jenis kosmogonik, yang menjelaskan keberadaan dari pulau Timor dan buaya sebagai bentuk karakter mitos teriomorfis yang dijadikan sumber awal

simbolisme. 12 Penyimbolisasian teriomorfis buaya dalam masyarakat Timor menjadikan salah satu kategori hewan buas ini menjadi sosok yang disakralkan.Buaya begitu dilindungi oleh

masyarakat Timor sebagai bentuk penghormatan karena sudah memberikan mereka tempat tinggal.Pulau Timor yang dilihat sepintas mirip seperti seekor buaya yang sedang berbaring (the sleeping crocodile ) menambah aura mistik. Tanah milik masyarakat Timor juga tidak diperbolehkan secara sembarang untuk dieksploitasi karena dipercaya akan melukai tubuh buaya yang sedang tidur. Tenun juga merasakan imbas dari mitologi yang berkembang dimasyarakat Timor, sehingga setiap tenun yang diproduksi tidak akan lepas daripada motif buaya yang disakralkan.

2. Konseling Multikultural

2.1 Pemahaman dan Sejarah Konseling Multikultural

Kehidupan manusia saat ini sangat kompleks dan terus berubah menyesuaikan dengan kondisi waktu dan gaya hidup. Seringkali manusia dituntut untuk terus mengikuti kondisi perubahan ini. Namun kenyataannya dalam proses perubahan ini manusia mengalami kondisi stagnan dikala tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang tidak bisa dihadapi. Kondisi seperti ini tentu saja diperlukan orang terdekat atau keluarga bahkan pendeta untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi tetapi rasa malu dan tidak terpuaskan akan jawaban dari

12 Marcel danesi,Pesan, Tanda, Dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (Yogyakrta: Jalasutra. 2011),173-176 12 Marcel danesi,Pesan, Tanda, Dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. (Yogyakrta: Jalasutra. 2011),173-176

ini. 13 Sekarang ini menemukan teman terdekat, keluarga bahka suami ataupun istri untuk mendengarkan kondisi permasalahan yang sedang dihadapi sangat sulit untuk itu konseling hadir

dalam membantu orang-orang yang menghadapi konteks masalah seperti ini.

Konseling yang berkembang sangat pesat sejak dari abad ke-20, menjadi sarana bagi manusia dalam menyelesaikan masalahnya.Namun konseling yang selama ini kita kenaldipengaharui konteks Barat dimana konseling itu lahir dan berkembang.Berbagai macam model konseling yang dikembangkan di Amerika seperti model psikodinamik, person-centred,

dan kognitif behavioral sangat monokultural. 14 Artinya bahwa konseling yang disajikan bagi masyarakat Amerika tidak mengedepankan sisi kultur. Padahal dalam wilayah Amerika itu

sendiri terdapat percampuran berbagai suku yang mendiami benua tersebut seperti Afrika Amerika, Asia Amerika, Indian Amerika. 15 Suku-suku tersebut (selain barat yang menganut

dualism) tidak memiliki konsepsi dualis, tetapi menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.Dimana mereka memahami bahwa fisik, mental, dan spiritual sebagai sebuah realitas

tunggal bukan domain yang terpisah. 16 Konsep realitas tunggal yang dianut oleh Asia dan Afrika sepertinya menjadi tantangan tersendiri bagi konseling (Barat/Amerika) dalam menanggulangi

permasalahan bagi orang-orang yang berasal dari Timor misalnya.

Kesadaranakan domain yang berbeda ini secara tidak langsung telah mendatangkan frustrasi pada saat seorang konselor berusaha untuk mempromosikanteori pengembangan

13 John Mcleod,Pengantar Konseling,1 14 John Mcleod,Pengantar Konseling, 275 15 Manivong J. Ratts, Anneliese A. Singh, dkk, Multicultural and Social Justice Counseling Competencies:

Guidelines for the Counseling Profession. Journal of Multicultural Counseling and Development Vol 44 (2016), 31 16 John Mcleod,Pengantar Konseling,277 Guidelines for the Counseling Profession. Journal of Multicultural Counseling and Development Vol 44 (2016), 31 16 John Mcleod,Pengantar Konseling,277

perbedaan budayadalam penyediaan layanan konseling. 17 Artinya bahwa seorang konselor yang profesional membutuhkansebuah kerangka kerja konseptual yang digunakan ketika berhadapan

dengan klien yang beragam budaya untuk memastikan bahwa klien beragam budaya tersebut memiliki akses ke layanan konseling yang berkompeten.

Menurut Lee et all. Konseling multikulturaldapat didefinisikan sebagai aliansi kerja antara konselordan klien yang mempertimbangkan dinamika pribadi dari konselor dan

kliendisamping dinamika budaya kedua individu tersebut. 18 Bagi Lee et all. pengunaan kata multikulturaldalam konseling oleh karena dalam pertimbangan latar belakang budaya dan

pengalaman individudari beragam klien dan bagaimana kebutuhan psikososial mereka dapat diidentifikasi dan dipenuhimelalui layanan konseling. Maka dari itu konseling multikultural sangat disarankan dalam proses membantu klien yang beragam budaya karena kondisi sosial setiap budaya memiliki keunikan tersendiri dalam proses penyelesaian masalah, sehingga konseling dalam hal ini konselor profesional pun harus terus berinovasi menyesuaikan kondisi sosial klien.

A. Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural

1. Konsep Realitas

17 Courtland C. Lee, Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity (United States : American Counseling Association, 2013),6

18 Courtland C. Lee, Multicultural Issues,7

Memahami orang-orang dari budaya yang berbeda tentu memiliki ide yang berbeda tentang realitas.Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik. Dalam budaya Barat, yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia dalam dua tipe entitas: jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran.Sedangkan tubuh bersifat nyata, dapat diamati, dan berkembang dalam ruang. Realitas dualisme berdampak pada peningkatan pemisahan antara diri dan objek, atau diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan dirancang di luar serta jauh dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain. orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.misalnya Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk fisik, mental, dan

spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai domain yang terpisah. 19

2. Memahami Diri Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu budaya dengan budaya yang lain

berbeda. Diri menurut Landrine (1992), 20 self adalah inner thing (sisi dalam diri sesuatu) atau daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari Budaya Barat, diyakini sebagai

peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku. Landrine menabrakan konsep diri Budaya Barat dengan pengalaman diri indexical dalam Budaya non-Barat:

Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan pendekatan kolektif.Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan.Pendekatan individualis yang mendominasi Budaya Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan bagian dari Budaya tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap dirinya sebagai anggota dari keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat keputusan berdasarkan kebutuhan, nilai, dan prioritas jaringan sosial ini. Budaya individualis menekankan pada perasaan bersalah,

19 Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, 277. 20 Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, …277,278.

merujuk pada pengalaman batin, dan penyalahan diri.Orang dengan budaya kolektif lebih senang berbicara mengenai rasa malu, merujuk pada situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang yang berkuasa. Akan sangat sulit untuk memahami orang lain yang ada dalam dua pendekatan

yang berbeda. 21

3. Konstruksi moral Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti kehidupan.Akan tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh budaya.Moralitas Barat yakin dengan pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan untuk dibimbing oleh prinsip moral yang abstrak seperti keadilan atau kejujuran.Sedangkan Budaya tradisional isu moral sangat ditentukan oleh takdir misalnya karma.Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam cerita bukan diartikulasi dalam konsep abstrak.Perbedaan antara memilih (budaya Barat) dan takdir (budaya tradisional) sangat berpengaruh dalam konseling.Nilai moral dalam budaya individual cenderung menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan rasionalitas.Sedangkan

budaya kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas, pengorbanan, dan kesesuaian. 22

Permasalahan dan hambatan yang sering terjadi dalam praktek konseling di Indonesia adalah benturan-benturan aspek sosial dan budaya. Asal-usul pengetahuan konseling yang berasal dari dunia Barat yang terapkan di Indonesia akan bersifat ahistoris. Hal ini karena pengetahuan konseling yang selama ini berkembang di Indonesia tidak mencoba memasukan pengetahuan-pengetahuan lokal Indonesia.Pengetahuan tersebut dapat berupa falsafah dan nilai- nilaiyang dihidupi oleh masyarakat Indonesia.Selain itu juga masyarakat Indonesia sudah terlanjur memahami konseling sebagai bagian dari sebuah agama (Kristen).Isu kristenisasi begitu

21 Mcleod, Pengantar Konselin g,…278. 22 Mcleod, Pengantar Konseling, …279.

kental hubungannya dengan konseling karena dianggap sebagai warisan Barat. 23 Maka dari itu untuk menyikapi akan hal tersebut konseling berbasis budaya atau konseling multikultural sangat

diperlukan dalam konteks Indonesia yang plural. Falsafah dan nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat Indonesia disetiap daerah akan menjadi tolak ukur kerangka konseling multikultural.

Hambatan-hambatan selain isu kristenisasi dalam dunia konseling ada pula yang lain. Seperti yang dipaparkan Wiryasaputra setidaknya ada tujuh salah paham tentang konseling. Tetapi penulis hanya akan menampilkan 2 dari 7 kasus kesalahan pahaman saja. Pertama, kebanyakan orang memahami dalam dunia konseling selalu berkaitan dengan proses

percakapan. 24 Tentu saja ini akan menjadi hambatan jika ditarik dalam konteks budaya Indonesia. Tidak semua budaya di Indonesia mengharuskan untuk dapat berbicara segala

persoalan kepada orang lain. Mekanisme yang tersedia dalam lingkaran sosial masyarakat Indonesia berbeda-beda. Pemahaman bahwa konseling adalah percakapan tentu saja akan menjadi hambatan besar dalam menyelesaikan masalah konseli. Kedua adalah konseling diangap sebagai sebuah wawancara, dan ini sangat berbahaya karena tidak semua proses

konseling adalah wawancara. 25 Jika memakai prinsip ini dalam dunia konseling maka akan terjadi banyak kerancuan. Tentu saja wawancara di sini dipahami sebagai wawancara kerja

contohnya. Proses wawancara memiliki keunggulan untuk memahami permasalahan konseli. Namun wawancara tidak bisa menjadi tolak ukur tetapi konseli akan merasa lebih diperhatikan dengan kehadiran kita.

Konseling multikultural yang akan dibangun dalam konteks masyarakat Indonesia terkhusus Timor setidaknya akan membuka ruang bahwa kesalahpahaman yang sering terjadi

23 J.D Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016),14-15

24 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 55 25 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 56 24 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014), 55 25 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 56

gembala. 26 Pastoral sendiri memiliki 2 arah yang berbeda yaitu pendampingan pastoral dan konseling pastoral. Menurut Kartadinata pendampingan pastoral adalah proses pendidikan

kepada individu untuk mencapai tingkat kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hayat (lifelong education). 27 Sedangkan Engel memahami konseling pastoral sebagai dimensi

pendampingan pastoral dalam melaksanakan fungsi yang bersifat memperbaiki ketika orang mengalami krisis. 28 Dari kedua pemahaman tersebut maka dapat disimpulkan bahwa manusia

membutuhkan pendampingan pastoral sepanjang hidupnya tetapi manusia mungkin membutuhkan konseling pastoral ketika mengalami krisis.Hal yang menarik dari konseling pastoral di mana tidak hanya mampu membantu orang keluar dari masalah namun mampu mengembangkan dimensi spiritual orang tersebut.Berkaitan dengan konteks penulisan saat ini maka pastoral yang ingin dicapai adalah pastoral budaya.Maksudnya bahwa dimensi spiritual yang terdapat dalam setiap budaya bisa dipakai dalam pendekatan pastoral.

2.2 Karakteristik Konseling Multikultural

Konseling diartikan sebagai proses pertolongan antara seorang konselor kepada seorang konseli atau klien dengan maksud bukan hanya meringankan penderitaan konseli, tetapi sebagai

26 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2 27 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 1 28 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 9 26 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2 27 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 1 28 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 9

itu sendiri dapat diberdayakan dengan segala potensi yang ada dalam diri klien. Dengan melihat bentuk-bentuk potensi yang ada dalam diri klien tentunya selalu ada perbedaan dan tentu saja dipengaharui oleh budaya masing-masing klien sehingga konseling multikultural menjadi lebih beragam.Potensi-potensi yang dimaksud sejalan dengan pandangan Wiryasaputra bahwa manusia harus dilihat secara holistik. Dalam pengertian yang luas bahwa holistik artinya manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, dapat menciptakan sejarah, dapat

berubah, berfungsi, berelasi dan berinteraksi bersama makluk lain termasuk alam. 30 Dalam konseling tekanan pada multikultural itu sendiri sebagian pihak menganggap

bahwa tidakpenting, alasannya bahwa yang lebih penting adalah situasi konseling atau masalah yang dihadapi klien dapat teratasi.Pemikiran konseling secara konvensional semacam ini banyak menemui jalan buntu.Dengan demikian dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi perhatian utama adalah individu, bukan budanya dan oleh karena itu konselor tidak berurusan dengan budaya klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi teori-teori dan prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas kultur. Pandangan ini menurut penulissudah tidak berlaku lagi pada abad ke 21 dengan tekanan beragam budaya.

Bagi penulis sendiri bahwa pandangan ini sangat berbahaya bagi proses konseling, karena akan melahirkan beberapa ancaman bagi konselor kepada klien sepertikonselor yang tidak peka- budaya (culturally insentive counselor), tidak empatik terhadap apa yang dialami klien, dan sangat mungkin untuk memaksakan nilai-nilai budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya.

29 J.D Engel, Pastoral dan kebutuhan, 1 30 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 42

Sehingga pandangan ini terlalu menekankan segi etic dalam konseling dan mengabaikan emic. Namun perlu diingat bahwa perbedaan-perbedaan nilai-nilai budaya pada klien tidak harus dilihat sebagai sisi lainkeunikan klien dan budayanya, sehingga mengabaikan adanya kesamaan (commonalities) di antara klien dan konselor.

Permasalahan manusia semakin kompleks karena dituntut oleh perkembangan waktu setiap saat maka dari itu konseling harus beradaptasi dengan kebutuhan manusia.Konseling multikultural menjadi jawaban setiap kebutuhan manusia dengan beragam budaya dan latar belakang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh klien.Budaya-budaya memiliki fitur- fitur atau dan makna-makna yang spesifik dan mungkin unik, misalnya, bahasa, mitos, makna, simbol. Menurut Shweder, melalui budaya kita berpikir, merasakan, berperilaku dan mengelola

realitas kita. 31 Budaya memegang peranan penting dalam kehidupan berelasi membentuk satu komunitas hidup bahkan mengelola lingkungan.budaya yang telah dibangun orang bagi dirinya

bisa memiliki makna yang berbeda bagi anak-anak mereka. Jika budaya yang telah diciptakan orang dewasa tidak sesuai dengan aspirasi anak-anak mereka, maka anak-anak mereka mungkin akan memodifikasi budaya itu. Konflik-konflik generasional muncul karena orang dewasa menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini dan menggunakan masa lalu untuk

membentuk masa depan. 32 Dalam pengembangan konsep konseling multikultural di Indonesia terutama di Timor, bagi

penulis perlu diperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya terkhususnya bagi proses konseling. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman yang kompleksbaik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun latar budayanya.Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling multikultural, layaknya dikembangkan

31 Shweder dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 57 32 Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 59 31 Shweder dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 57 32 Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous, 59

setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik. 33 Hemat penulis bahwa pendekatan multikultural akan melahirkan berbagai pendekatan baru seiring pengkolaborasian

antara multikultural, psikodinamik, behavioral, dan humanistik. Sehingga semua klien dari berbagai ragam budaya dapat terlayani.

Dalam dunia konseling ada berbagai sarana-sarana dipakai dalam proses konseling. Sarana-sarana ini menjadi warna-warna yang mewarnai proses konseling. Menurut Wiryasaputra setidaknya ada enam sarana yang dipakai dalam proses konseling di Indonesia. Sarana yang

dipakai antara lain doa, Alkitab, nyanyian, ziarah, ibadah, penumpangan tangan. 34 Dalam konteks konseling multikultral sarana-sarana ini menjadi penting karena akan membantu proses

penyembuhan daripada konseli. Setiap konseli memiliki kemampuan dan penerimaan diri yang berbeda-beda terhadap masalah. Maka dari itu dengan adanya sarana-sarana ini akan membantu konseli dalam proses penyelesaian masalah. Setiap sarana-sarana yang dipaparkan Wirsyaputra tentu saja disesuai dengan kondisi daripada konseli itu sendiri. Sebagai contoh, dalam budaya Timor ketika melakukan ziarah dipercaya bahwa arwah-arwah orang yang sudah meninggal akan terus menjaga mereka. Selain itu kepercayaan orang Timor bahwa sakit, bencana alam atau malapetaka lainnya adalah berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal. Ini menjadi sarana proses konseling multikultural yang sangat bernilai.Maka dari itu harus ditegaskan bahwa konseling yang selama ini berkembang bersifat ahistoris.Seringkali ilmu pengetahuan yang diterapkan tidak memikirkan bahwa asal-usul pengetahuan itu muncul. Akhirnya akanmengalami

33 Supriadi, Konseling Lintas-Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), 12

34 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 191-200 34 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 191-200

Selama ini metode yang dipakai oleh konseling pastoral di Indonesia berbasis pada ilmu psikologis.Di mana sangat menekankan pada psychological strengthdalam pemenuhan

kebutuhan, kompentensi intrapersonal dan interpersonal. 35 Dari pandangan tersebut tentu saja tertuju pada individu saja tanpa melihat kondisi sosial. Maka dari itu menurut Engel bahwa

konseling pastoral dalam aras budaya adalah konseling yang harus berakar dan lahir dari kearifan lokal dan kondisi sosial setempat. 36 Dari pemahaman tersebut akan tercipta ruang-ruang pastoral

berdasarkan pemahaman masyarakat itu sendiri. Pastoral tidak bisa difokuskan pada individu saja tetapi tujuan akhir adalah pemberdayaan.Ruang pastoral budaya sebenarnya terjadi ketika adanya saling menopang, menolong, membimbing yang berangkat dari pandangan budaya setempat.

2.3 Model Konseling Multikultural

Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar.Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda.Dalam konteksnya konseling multikultralakan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Kupang. Layanan konseling multikulturaltidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda.Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama.

35 J.D. Engel Konseling Pastoral, 15 36 J.D. Engel Konseling Pastoral, 15

Sebagai contoh, konselor yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yaitu Rote memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Soe yang juga termasuk Nusa Tenggara Timur, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis NTT. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang Rote dengan orang Soe.Mungkin orang Rotelebih terlihat "kasar", sedangkan orang Soe lebih "halus". Konselor perlu menyadari akannilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat padaumumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.

Palmer and Laungani dalam Engel, mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni culturecentred model, integrative model, dan ethnomedical model 37 .Pertama ,Model

Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model) bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang

budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. 38 Kedua adalahModel Integratif (Integrative Model). Berdasarkan uji coba model terhadap

orang kulit hitan Amerika, dirumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konselingmodel integratif, yakni sebagai berikut :1) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression). 2) Pengaruh budaya mayoritas (influenceof the majority

37 J.D Engel, Konseling Pastoral, 69 38 J.D Engel, Konseling Pastoral, 69 37 J.D Engel, Konseling Pastoral, 69 38 J.D Engel, Konseling Pastoral, 69

di atas. 39 Ketiga adalah Model Etnomedikal (Ethnomedical Model) Model ini merupakan

alatkonseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialogterapeutik dan peningkatan sensitivitastranskultural. 40

3. Konseling Feminis

3.1 Pemahaman Konseling Feminis

Manusia diciptakan menjadi dua tipe yaitu perempuan dan laki-laki. Tentu saja pada hakekatnya kedua tipe ciptaan ini adalah sama. Tetapi dalam implikasinya antara perempuan dan laki-laki tentu saja memiliki banyak perbedaan mendasar.Dalam kehidupan sehari-hari antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam mengatasi masalah atau stres yang melanda.Berbeda pula pembagian kerja atau peran dan fungsi antara laki-laki atau perempuan sesuai dengan budaya yang dianut.Perbedaan-perbedaan semacam ini yang menjadi kendala perempuan dan laki-laki dalam mengekspresikan secara utuh yang mereka rasakan.Harus diakui bahwa dalam banyak pengetahuan, budaya patriakal menjadi senjata yang sangat mematikan.

39 J.D Engel, Konseling Pastoral, 70 40 J.D Engel, Konseling Pastoral, 70

Sebelum masuk lebih mendalam tentang konseling feminis sebaiknya harus ada uraian mendasar tentang perempuan.Stigma yang terbentuk dalam diri perempuan adalah menghargai cinta(internal), komunikasi(relasi) dan kecantikan(eksternal). Perempuan menghabiskan banyak waktu untuk mendukung, membantu, dan memelihara satu sama lain dalam komunitasnya. Perempuan dianggap mengalami pemenuhan kebutuhan diri melalui sharing dan berhubungan terhadap sesama.Perempuan sangat menikmati pakaian yang berbeda setiap hari, sesuai dengan perasaan mereka. Pribadi Ekspresi, terutama perasaan mereka, sangat penting. Mereka bahkan bisa mengganti beberapa pakaian sehari saat mood mereka berubah.Komunikasi sangat penting bagi perempuan.Bagi perempuan untuk berbagi perasaan pribadi mereka jauh lebih penting daripada mencapai tujuan dan kesuksesan dalam hidup. Berbicara dan berhubungan satu sama

lain adalah sumber pemenuhan yang luar biasa bagi perempuan. 41 Tetapi semua ini sulit dipahami oleh seorang pria bahkan semua itu tidak ada dalam diri pria.

Ketika seorang pria marah, dia tidak pernah membicarakan tentang apa yang mengganggunya kepada orang lain. Pria tidak akan pernah membebani perempuan atau orang disekitarnya dengan masalahnya kecuali jika bantuan temannya diperlukan untuk dipecahkan masalah. Sebagai gantinya pria menjadi sangat pendiam dan pergi ke tempat yang sunyi untuk mencari tahu tentang masalahnya, di sana pria akan merenungkannya untuk menemukan solusinya. Jika pria tidak bisa menemukan solusinya maka dia melakukan sesuatu untuk melupakan masalahnya, seperti membaca koran atau bermain game. Cara ini dipercaya dapat melepaskan pikirannya dari masalah pada masanya, lambat laun dia bisa bersantai.Jika stresnya benar-benar hebat, dibutuhkan keterlibatan dengan sesuatu yang lebih dari itu menantang, seperti membalap mobilnya, berlomba dalam kontes, atau mendaki gunung.

41 John Grey, Men Are from Mars, Women Are from Venus: A Practical Guide for Improving

Communication and Getting What You Want in Your Relationships (New York: HarperCollins 1993), 14

Hal yang sangat berbeda dipertunjukan oleh perempuan.Ketika seorang perempuan menjadi marah atau tertekan oleh hari-harinya, untuk menemukan kelegaan, maka dia mencari seseorang yang dia percaya dan kemudian berbicara dengan sangat rinci tentang masalahnya.Saat perempuan berbagi perasaan mereka yang terbebani kepada orang yang dipercaya, tiba-tiba mereka merasa lebih baik. Bagi perempuan berbagi masalah dengan orang lain sebenarnya dianggap sebagai tanda cinta dan kepercayaan dan bukan beban. Perempuan merasa tidak malu mengalami masalah.Perempuan secara terbuka berbagi perasaan terbebani, bingung, putus asa, dan kelelahan.Perempuan merasa nyaman dengan dirinya sendiri saat dia memiliki teman penuh

cinta untuk dibagikan kepadanya perasaan dan masalah. 42 Kerangka berpikir ini sangat berbahaya karena melihatkan perempuan sebagai ciptaan yang penuh dengan kelemahan dan sangat

membutuhkan orang lain. Sedangkan pria adalah makluk yang kuat yang dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Konseling feminis dalam konteks tulisan ini akan mencoba membedah yang terjadi dalam konteks perempuan Timor.

Dalam memahami konseling feminis sendiri kita harus melihat bahwa ada perbedaanantara teori konseling lainnya yang kebanyakan berfokus pada faktor-faktor psikologis konseli saja dalam menyelesaikan sebuah masalah namun konseling feminis sendiri selain memperhatikan faktor-faktor psikologis klien, pengaruh sosiologis terhadap konseli juga menjadi sasaran utama penyelesaian masalah. Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan (power) sebagai inti dari proses terapi atau pemulihan. Konseling feminis dibangun dari premis bahwa untuk dapat memahami masalah konseli dengan benar, kita juga perlu memahami konteks sosial, budaya, dan politik yang berkontribusi pada masalah tersebut. Sehingga dari berbagai

42 John Grey, Men Are from Mars, 22 42 John Grey, Men Are from Mars, 22

Jika dilihat konsep yang terbentuk dalam konseling feminis adalah pemahaman akan tekanan psikologis yang hebat kepada wanita dan adanya pembatasan-pembatasan yang muncul dari status sosiopolitikbudaya yang memojokkan wanita. Maka dari ituperspektif feminis menawarkan pendekatan yang unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman tersebut ke dalam proses konseling. Jika ditelusuri proses konseling selama ini maka akan kelihatan di mana mayoritas konseli yang datang ke konselor dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah wanita, tetapi anehnya sebagian besar teori konseling dan psikoterapi dikembangkan oleh laki-laki kulit putih dengan latar belakang budaya Barat (Amerika atau Eropa).

Dalam sejarahnya teori dan praktik konseling feminis berawal dari gerakan feminisme sekitaran tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum komunitas untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.Bagi Victoria Foster,Setidaknya feminisme yang merupakan dasar filosofis bagi konseling feminis, bertujuan untuk menumbangkan patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan perubahan sosial

radikal. 43 Pemikiran semacam ini bagi penulis cukup berbahaya jika dikondisikan dalam konteks Indonesia terlebih Timor karena patriarki dan diskriminasi gender merupakan sebuah budaya

yang utuh dipahami oleh masyarakat. Kultur patriarki bagi masyarakat Timor adalah sesuatu yang sakral sehingga dalam memahami feminisme harus memahami konteks lokal.

43 Nicholas A.Vacc et all,Counseling Multicultural and Diverse Populations: Strategies for Practitioners (New

York: Brunner-Routledge, 2003), 161

The National Organization for Women (Organisasi Nasional Para Wanita), yang lazim disingkat NOW, merupakan organisasi yang sangat getol dalam mengupayakan reformasi struktur sosial dan peran-peran tradisional wanita, serta menyuarakan feminisme antara tahun 1960 hingga 1970-an. Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising) dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya. Kelompok consciousness raising (usaha penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok para wanita yang bertemu secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas tekanan dan ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok self-help (tolongs diri) yang tertata dalam memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial

yang ada saat itu. 44 Konseling feminis berkembang dari kelompok-kelompok consciousness raising ini, yang kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan

mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Meskipun telah menjadi instrumen penting bagi penyadaran para wanita, namun dalam hal usaha perubahan secara politis, kelompok-kelompok consciousness raising ini tidak seefektif organisasi semacam The National Organization for Women . Karena itu, kelompok-kelompok consciousness raising ini lebih banyak mengambil

peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya. 45 Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu

pendekatan dalam psikoterapi. Perlu diketahui bahwa dalam konseling dan psikoterapi feminissendiri tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan teknik tertentu. Menurut Iveykonseling dan psikoterapi feminis

44 J.D Engel, Konseling Pastoral, 39 45 G. Corey,Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, (Boston : Cengange Learning, 2012). 126 44 J.D Engel, Konseling Pastoral, 39 45 G. Corey,Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, (Boston : Cengange Learning, 2012). 126

membantu mereka. 46 Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: Radikal, Liberal, dan Moderat.

Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi radikal, di mana teori ini menggunakan teknik-teknik yang didesain untuk membantu para wanita agar dapat menyadari bahwa masyarakat yang patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan perubahan tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan bertindak sejajar dengan para pria. Para konselor dan terapis feminis radikal dengan penuh semangat akan mengemukakan tujuan dan prinsip-prinsip feminisme dalam konseling, yang berisi di antaranya: (1) mendorong independensi finansial, (2) memandang bahwa masalah para wanita dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, dan (3) menyarankan agar konseli dapat terlibat dalam aksi-aksi sosial. Konseling dan psikoterapi feminis radikal ini mendorong agar konseli berpartisipasi aktif dalam kelompok-kelompok aksi sosial dan gerakan-gerakan keadilan sosial lainnya untuk

memperjuangkan perubahan sosial yang akhirnya akan menghasilkan keadilan gender. 47 Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergeseran dalam teori feminis yang memperkenalkan

potensi femininnya, lebih fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar masalah wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk melakukan haknya. Tidak seperti konseling feminis di tahun-tahun sebelumnya, nada konseling dan psikoterapi feminis menjadi lebih moderat. Artinya bahwa feminis moderat mulai mengadaptasi tujuan-tujuan feminis radikal dan liberal untuk dikolaborasi.Meskipun terdapat banyak perspektif, Evans et all. mendeskripsikan konseling feminis modern sebagai

46 Ivey, A. E., D’Andrea, M., Ivey, M. B., & Morgan, L. S. Theories of Counseling & Psychotherapy: A

Multicultural Perspective (Boston: Pearson Education, 2009), 237 47 Ivey, A. E, dkk, Theories of Counseling & Psychotherapy, 243 Multicultural Perspective (Boston: Pearson Education, 2009), 237 47 Ivey, A. E, dkk, Theories of Counseling & Psychotherapy, 243

teori dan paket terapi yang koheren. 48

3.2 Karakteristik Konseling Feminis

Konseling feminis berangkat dari perspektif yang didasari oleh sebuah keyakinan bahwa teori-teori tradisional mengenai hakikat dan perkembangan manusia, yang ditemukembangkan oleh tokoh Barat, tidaklah dapat diterapkan secara universal.Menurut penulis kebanyakan teori- teori tersebut dikembangkan berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap sama). Tentu saja hal ini ditentang karena bagi para pejuang feminisme memandang bahwa perempuan dan laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan, sehingga teori-teori tradisional tersebut tidak mengena secara tepat pada perempuan terlebih dalam konteks Timor (Asia).

Sosialisasi peran gender merupakan proses multifase yang kita kenal dalam masyarakat, terjadi selama rentang kehidupan dan juga menguatkan keyakinan-keyakinan dan perilaku- perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang tepat berdasar jenis kelamin biologis. Proses tersebut berdampak membatasi kepada perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, mitos dan cerita-cerita yang sering orangtua atau lingkungan sampaikan pada anak-anak bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, harus berpendidikan tinggi dan mampu dalam banyak hal, sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, tergantung, dan memiliki peran di rumah saja. Cerita- cerita dan hal sejenis demikian akan berdampak luas bagi wanita yang sedang bertumbuhkembang yang belajar bahwa femininitas adalah kebalikan dari kekuatan, asertivitas, kompeten, dan bagi laki-laki yang mempelajari bahwa maskulinitas merupakan kebalikan dari rasa takut, ketergantungan, emosionalitas, atau kelemahan.

48 Corey, G. Theory and Practice of Counseling, 131

Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih

satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: 49

1) Masalahindividu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks politik dan sosial.

2) Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

0 0 36

BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

1 1 49

BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi:

1 1 32

BAB IV RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: TUAN RUMAH SOSIAL-BUDAYA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelus

1 1 82

BAB V ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA DALAM ALUR TEORITIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Pe

1 2 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik Sosial

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik Sosial

1 1 18

1 BAB I TENUN TIMOR MEMBERDAYAKAN PEREMPUAN TOLFEU SEBAGAI KONSELING IMAJINATIF 1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tenun Timor Memberdayakan Perempuan Tolfeu sebagai Konseling Imajinasi

1 3 12