Konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria : studi kasus - USD Repository

  

KONSEP DIRI

ANAK YANG DIASUH OLEH SEORANG WARIA

(STUDI KASUS)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

Disusun oleh:

Fransisca Ratna Widiasih

NIM: 101114055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

  

KONSEP DIRI

ANAK YANG DIASUH OLEH SEORANG WARIA

(STUDI KASUS)

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

Disusun oleh:

Fransisca Ratna Widiasih

NIM: 101114055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

  

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  “Bila gunung dihadapanku `tak juga berpindah

  Kau berikanku kekuatan `tuk mendakinya Ku lakukan yang terbaik, Kau yang selebihnya

  Tuhan selalu punya cara Membuatku menang pada akhirnya

  “ _Magnalia Dei_

  

(ThomaMs Alva Edison)

Everyday may not be good, but there is something good

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

  Tuhan Yesus Kristus Orangtuaku Bpk.Yulius Yulianto dan Ibu Veronica Ketut

  Segenap keluarga besar Program Studi Bimbingan dan Konseling USD

  Orang-orang yang ku Cinta Teman-teman BK Angkatan 2010

  

ABSTRAK

KONSEP DIRI

ANAK YANG DIASUH OLEH SEORANG WARIA

(STUDI KASUS)

  Fransisca Ratna Widiasih Universitas Sanata Dharma

  2014 Penelitian ini menuliskan tentang konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria.

  Peneliti mengambil judul “Konsep Diri Anak yang diasuh oleh Seorang Waria” karena melihat fakta yang ada di lapangan bahwa banyak anak atau kelompok yang ternyata diasuh oleh seorang waria. Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana seorang dapat menyesuaikan dirinya berada di lingkungan waria. Selain itu penelitian ini menunjukkan bagaimana konsep diri yang dimiliki anak dengan segala pengalaman dan pandangan anak mengenai dirinya dalam kehidupannya saat ini. Hal yang semakin menjadi menarik dalam penelitian ini adalah, seorang waria yang mampu mengasuh anak sampai dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria.

  Berdasarkan sifat masalahnya, penelitian ini berjenis penelitian studi kasus. Sedangkan berdasarkan sifat, tujuan dan metodenya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif.Studi kasus adalah suatu penyelidikan intensif tentang individu secara mendalam, relatif lama, terus menerus, dan menggunakan subyek tunggal yang artinya kasus dialami satu orang. Dalam penelitian kualitatif ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam yang didukung dari hasil observasi peneliti di lapangan. Hasil penelitian ini dibantu dengan penggunaan alat tes konsep diri yang digunakan sebagai assessment. Hasil dari alat tes didukung dari data dan informasi yang diperoleh peneliti selama proses penggalian data. Peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh dan membuat verbatim dari hasil wawancara disertakan dengan pemberian coding pada setiap hasil wawancara, lalu menganalisis hasil wawancara dan data tersebut serta merangkum semua informasi dalam suatu format penelitian studi kasus.

  Hasil penelitian ini menunjukkan konsep diri anak yang diasuh oleh waria negatif.Konsep diri negatif yang dimiliki oleh subjek dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dari pengalaman masa lalu, keluarga, pola asuh, pengaruh kelompok, pandangan orang lain terhadap diri subjek, dan padangan subjek terhadap dirinya sendiri. Konsep diri yang dimiliki oleh subjek dihubungkan dengan lingkungan yang ada di sekitar subjek yang merupakan lingkungan para waria.

  

Abstract

THE SELF-CONCEPT

OF A YOUNG MAN RAISED BY A TRANSGENDER

(A CASE STUDY)

  Fransisca Ratna Widiasih Sanata Dharma University

  2014 This study centered on the self-concept of a young man who was raised by a transgender.

  This study was titled ‘The self-concept of a young man raised a transgender’ due to the fact that there were a lot of kids or groups who were raised by a transgender. This study described how the subject adapted himself to the transgender community. This study also intended to elaborate the subject’s self-concept by considering his past experience and his self-image during the period of the study. The interesting aspect of this study was the fact that the subject was raised by a transgender until he reached adulthood. This study, therefore, aimed at gaining insights and information about the self-conceptof the subject who was raised by a transgender.

  This study was a case study by considering the nature of the research problem. The study was also a qualitative one by considering its nature, aims and method. A case study is an intensive and deep investigation of an individual in a relatively long period. The investigation is done continuously and on a single individual who experiences the case. In this qualitative study, the researcher functioned as the key instrument. This study made the most of the in-depth interview along with field observation. The results of the study were also determined by a set of self-concept test that served as the assessment tool. The outcomes of the test were supported with data and information gathered during the data gathering. The researcher bracketed the information and made the verbatim of the interview. The verbatim then was coded. Next, the researcher analyzed the results of the interview and the data and summarized them in the form of a case study.

  The study showed that the subject’s self-concept was negative. This negative self- concept was influenced by past experience, family, parenting styles, peer- group, other people’s view about the subject, and the subject’s self-image. The subject’s self-concept was related to the subject’s environment, which was the transgender community.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas pertolongan, hikmat, dan penyertaanNya dalam persiapan, pelaksanaan serta penyelesaian laporan penelitian dalam bentuk skripsi ini.

  Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari program studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

  Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungandari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1.

  Dr. Gendon Barus, M.Si., sebagai Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

  2. Drs. R. Budi Sarwono, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan tulus telah memberikan waktu, motivasi, masukan, dan banyak pembelajaran berharga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  3. TA Prapancha Hary, M.Si., atas waktu dan kesediaannya menjadi enterpretatorterhadap hasil tes SSCT yang digunakan pada penelitian ini.

  4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi penulis.

  5. Mahasiswa prodi BK USD angkatan 2010, atas dukungan dan sharingnya mengenai proses pembuatan skripsi.

  6. Orangtuaku tercinta Bapak Yulius Yulianto danIbu Veronica Toni Muliasih Ni Ketut,serta kakak, adik dan keluarga besar atas doa, dukungan, perhatian, kasih sayang, dan biaya yang diberikan selama menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

  7. Para sahabat setiaku (Rm. Yusup, Sr.Kiki, Mbak Pipin, Aline, Sefin, Fe, Eli, Tita, Sinyo, Eva, Sandy, Agung, Rio, Keke, Novita, Yuven) atas sharing dan dukungannya.

  8. Saturninus Adven Yora Dinata atas bantuan, dukungan dan motivasi serta semangat selama pengerjaan skripsi.

  9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam proses penulisan skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan, saran, dan kritik terhadap karya ini sangat diperlukan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membaca.

  Yogyakarta, 28 Agustus 2014 Fransisca Ratna Widiasih

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……….…………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN

  PEMBIMBING ………………………………………… ii HALAMAN PENG

  ESAHAN…………………………………………………………… iii HALAMAN MOTO DAN

  PERSEMBAHAN …………………………………………. iv LEMBAR PERNYATAAN PERSET

  UJUAN PUBLIKASI KARYA…………………. v ABSTRAK

  ……………………………………………………………………………… vii ABSTRACT …………………………………………………………………………….. viii KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… ix DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………………….. xiv DAFTAR LAMPIRAN

  …………………………………………………………………. xv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………. 1 B. Fokus Penelitian …………………………………………………………………. 5 C. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….. 5 D. Tujuan Penelitian ………………………………………………………………… 5 E. Manfaat Penelitian ………………………………………………………………. 5 F. Batasan Istilah …………………………………………………………………… 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………… 8

  A.

  Konsep Diri ……………………………………………………………………… 8 1.

  Hakikat Konsep Diri ………………………………………………………… 8 2. Pembentukan Konsep Diri…………………………………………………. 9 3. Proses Perkembangan Konsep Diri………………………………………… 10 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri………………………….. 12 B.

  Waria…………………………………………………………………………….. 14 1.

  Pengertian Waria…………………………………………………………….. 14 2. Jenis-Jenis Waria…………………………………………………………….. 15 3. Karakteristik Waria…………………………………………………………... 17 C. Pola Asuh……………………………………………………………………….... 18 1.

  Pengertian Pola Asuh……………………………………………………..….. 18 2. Tahap Pengasuhan……………………………………………………………. 18 3. Tipe-Tipe Pola Asuh………………………………………………………….. 19

  BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………………….. 23 A.

  Jenis Penelitian ………………………………………………………………..…. 23 B. Subjek Penelitian…………………………………………………………………. 23 C. Metode Pengumpulan Data……………………………………………………….. 24 D.

  Instrument Pengumpulan Data………………………………………………….... 27 E. Teknik Analisis Data……………………………………………………………… 29 F. Validitas Data……………………………………………………………………… 30

  BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN ……………………………………………… 32 A.

  Tempat Pelaksanaan Penelitian……………………………………………………. 32 B. Jadwal Pertemuan dengan Subjek…………………………………………………. 32 C. Subjek……………………………………………………………………………… 33 1.

  Deskripsi Umum Subjek Penelitian…………………………………………… 33 2. Riwayat Hidup Subjek ……………………………………………………..…. 34 D. Analisis …………………………………………………………………………… 36 1.

  Latar Belakang Kehidupan Keluarga Subjek ………………………………… 36

  2. Lingkungan Fisik, Sosio Ekonomi dan Sosial Kultural …………………….… 39 3.

  Pertumbuhan Jasmani dan Riwayat Kesehatan ……………………………….. 42 4. Perkembangan Kognitif ……………………………………………………….. 43 5. Perkembangan Sosial dan Status Sosial Saat Ini……………………………… 44 6. Ciri-Ciri Kepribadian Subjek………………………………………………….. 45 E. Hasil Tes SSCT “Sack Sentences Completion Test”………………………..……. 46 1.

  Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga…………………...……………..……. 48 2. Konsep Diri Subjek terhadap Seks……………………………………….….... 51 3. Konsep Diri Subjek terhadap Hubungan Interpersonal…………………….… 54 4. Konsep Diri Subjek terhadap Kondisi Diri………………………………….... 57

  BAB V PENUTUP ………………………………………………………………………… 62 A.

  Kesimpulan…………………………………………………………………..…… 62 B. Saran…………………………………………………………………………….... 63

  DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………... 64

  LAMPIRAN ………………………………………………………………………………. 66

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Panduan Wawancara Terstruktur …….…………………………………………... 25

  Tabel 2. Agenda Pertemuan Peneliti den gan Subjek ……………………………………… 32 Tabel 3. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga

  ……………………………….. 48 Tabel 4. Hasil Tes Konsep Diri Subjek te rhadap Seks ……………………………………. 51 Tabel 5. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Hub ungan Interpersonal ……………..… 54 Tabel 6. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Kondisi

  Diri………………………..…… 57 Tabel 7. Coding

  Hasil Wawancara terhadap Subjek ………………………………………. 73

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Denah Tempat Tinggal Subjek……………………………………………… 66

  Lampiran 2. Verbatim Hasil Wawancara …… …………………………………………… 67

  Lampiran 3. Persetujuan sebagai Interpre tator …………………………………………… 71 Lampiran 4.

  Persetujuan menjadi Informan ……………………………………………… 72

BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah yang mendiskripsikan

  mengenai permasalahan yang terjadi di lapangan. Latar belakang ini menjelaskan garis besar masalah yang ditemukan oleh peneliti. Selain itu latar belakang pada bab ini juga mendiskripsikan alasan peneliti mengambil judul penelitian ini. Pada

  bab ini juga dipaparkan mengenai fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah. A. Latar Belakang Masalah Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri anak dikembangkan melalui interaksinya dengan orang lain maupun peniruan, terutama interaksinya terhadap orangtua, sosial, dan teman sebayanya. Semenjak konsep diri mulai terbentuk, anak akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya tersebut. Apabila perilaku anak tidak konsisten dengan konsep dirinya, maka akan muncul perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Apabila konsep diri anak positif, maka akan terbentuk penyesuaian diri yang baik. Sebaliknya apabila anak memiliki konsep diri negatif, maka akan terbentuk penyesuaian yang buruk.

  Konsep diri anak juga berkembang dari hasil interaksi dengan lingkungan. Lingkungan tempat anak pertama kali berinteraksi adalah keluarga, terutama orang tua. Orang tua menjadi penting untuk anak karena orang tua memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Interaksi dengan orang tua ini memberikan dasar terbentuknya konsep diri anak. Peran orang tua dalam pembentukan konsep diri anak sangat besar. Orang tua akan memberikan informasi tentang konsep diri anak melalui perilaku yang dilihat anak setiap harinya. Anak akan berperilaku seperti yang dilihat dan tertanam dalam dirinya. Setiap orang tua tentu tidak ingin melihat anaknya memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri anak yang negatif akan berpengaruh pada masa depan dan pandangan dirinya terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman yang didapatkan oleh seseorang pada masa kanak-kanak juga merupakan dasar bagi konsep diri anak pada saat ia tumbuh dewasa. Istilah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya“ sering digunakan masyarakat untuk menggambarkan konsep diri yang terbentuk dari seorang anak.

  Konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria menjadi salah satu topik yang menarik bagi peneliti. Sudah menjadi hal yang umum bahwa seorang waria dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Sebagian besar orang hanya melihat waria dari sampul luarnya saja tanpa mau melihat bagaimana sebenarnya warna dibalik kehidupannya. Konsekuensi menjadi seorang waria adalah besar. Waria harus menerima tekanan dalam banyak hal, dimulai dari ketika waria merasa dirinya berbeda dengan orang disekitarnya, memutuskan menjadi seorang waria, hingga memberitahukan keadaannya yang sebenarnya kepada keluarga, dan masih banyak masalah yang dihadapi.

  Sebagian besar orang menganggap bahwa semua waria adalah sama. Anggapan yang sering orang berikan itu sebenarnya keliru. Ada beberapa jenis waria. Pertama, seseorang yang menjadi waria hanya karena tuntutan pekerjaan. Kedua, jenis waria yang rela melakukan operasi sehingga merasa benar-benar serupa dengan perempuan. Ketiga, jenis waria hanya karena senang berdandan dan berpakainan seperti perempuan.

  Perkembangan zaman yang semakin maju menuntut setiap aspek kehidupan mengalami perubahan, termasuk dalam cara mendidik anak.

  Hingga saat ini masih banyak orang tua yang mengalami kesulitan menemukan cara efektif mendidik anak, bahkan tidak sedikit orang tua merasa gagal dalam mendidik anak. Beberapa orang tua mengalami kesulitan untuk menanamkan nilai-nilai positif guna membentuk konsep diri yang positif pada diri anak. Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa tidak semua orang tua mampu dan berhasil mendidik anaknya sehingga memiliki konsep diri yang positif. Pertanyaanya adalah bagaimana dengan anak yang bukan diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri, melainkan seorang waria?

  Penelitian ini akan meneliti konsep diri seorang anak yang diasuh oleh seorang waria. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak yang dilahirkan oleh orang tua yang masih lengkap. Anak tersebut memiliki pengalaman masa lalu yang negatif, kemudian dibesarkan oleh seorang waria yang dianggap remeh dan masih ditolak keberadaannya oleh anak yang diasuh oleh seorang waria itu negatif. Hal ini tentu saja karena waria yang memiliki latar belakang kehidupan yang bisa dikatakan tidak seimbang dan “istimewa”, baik dari lingkungan, relasi, dan gaya hidupnya. Konsep diri dari seorang waria pun masih menjadi tanda tanya bagi masyarakat. Anak harus mengahadapi kenyataan tersebut dan hal ini tentunya akan berpengaruh pada konsep diri yang Ia miliki. Apakah konsep diri yang dimiliki anak akan negatif atau positif, tergantung dari bagaimana lingkungan membentuk konsep dirinya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang bagaimana konsep diri yang dimiliki anak yang diasuh oleh seorang waria. Dengan demikian peneliti berharap dapat mengetahui konsep diri yang dimiliki oleh anak asuh seorang waria.

  B. Fokus Penelitian

  Penelitian ini berfokus pada konsep diri yang dimiliki oleh seorang anak yang diasuh oleh seorang waria.

  C. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep diri yang dimiliki oleh anak yang di asuh seorang waria? D.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan mengenai konsep diri yang dimiliki seorang anak yang diasuh seorang waria.

  E. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pengetahuan, khususnya dalam bidang penerapan bimbingan dan konseling, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam.

2. Manfaat Praktis a.

  Bagi Subjek Hasil penelitian ini dapat menjadi refleksi yang mendalam bagi subyek agar subyek dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh dan dapat memiliki konsep diri yang lebih positif. b.

  Bagi Penulis 1)

  Penulis memperoleh ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang konsep diri dari anak yang diasuh oleh seorang waria 2)

  Penulis dapat mengembangkan ilmu dan ketrampilannya dalam menggali mengenai konsep diri anak, karena mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikannya kepada anak yang diasuh oleh seorang waria.

  c.

  Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling 1)

  Mahasiswa bimbingan dan konseling sebagai calon konselor atau guru bimbingan dan konseling adalah pemeran utama dalam mendukung perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karir, dan akademik peserta didik. Tugas seorang pendidik akan berjalan dengan baik apabila didasari pemahaman yang baik tentang kepribadian, khususnya konsep diri dari peserta didik.

  2) Mahasiswa bimbingan dan konseling sebagai calon konselor dapat mengaplikasikan pemahaman kepribadian ini khususnya pada konsep diri peserta didik dalam proses dan pendekatan konseling.

F. Batasan Istilah

  Supaya tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran menyangkut terminologi tertentu dalam judul penelitian ini, perlu dijelaskan penegasan-penegasan batasan istilah dalam judul, antara lain:

  1. Konsep Diri Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk menggambarkan dirinya. Konsep diri merupakan salah satu aspek penting yang mencakup semua pengalaman dari individu tersebut. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka gambaran tentang dirinya akan negatif. Begitupula sebaliknya, apabila konsep diri seseorang positif, maka positif pula seseorang menilai dan menggambarkan dirinya.

  2. Waria Waria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seorang pria yang mengalami ketidakserasian pada jenis biologis dan jenis kelamin mereka serta memilih hidupnya untuk menjadi seorang perempuan. Ia mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang perempuan, baik dalam tingkah laku, penampilan, busana, dandanan, pola hidup, dan seksualitasnya. Waria dalam penelitian ini termasuk dalam kategori kaum transeksual.

  3. Anak Asuh Maksud dari anak asuh dalam penelitian ini adalah seorang anak yang dibesarkan oleh seorang waria. Anak asuh adalah anak yang diberikan tempat tinggal dan dibimbing sesuai dengan pola asuh waria. Diasuh ini tidak hanya tinggal bersama namun juga menanamkan nilai- nilai positif pada anak.

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini dipaparkan mengenai pengertian konsep diri, dan akan

  dijelaskan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Selain itu juga dipaparkan mengenai pengertian pola asuh. Dalam pengertian pola asuh didiskripsikan juga mengenai tahapan dan tipe-tipe pola asuh. Pengertian waria dan karakteristik waria juga dipaparkan dalam bab ini, mengingat bahwa subjek dalam penelitian ini diasuh oleh seorang waria.

A. Konsep Diri 1. Hakikat Konsep Diri

  Verderber & Brook dalam Sobur (2003), konsep diri adalah semua persepsi kita terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang diri manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Konsep diri menyatakan tentang pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri.

  Pandangan diri terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi diri. Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan-kekuatan individual, tetapi juga kelemahan bahkan kegagalan dirinya.

  Penelitian ini akan merujuk pada pengertian konsep diri menurut Rogers. Penelitian ini menggunakan teori dasar Rogers karena Client Centered Therapy atau berpusat pada klien ini menjadi teori yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Menurut Carl Rogers ( dalam Feist, 2008: 275 ) konsep diri (self concept) mencakup semua aspek keberadaan diri dan pengalaman seperti yang dipahami oleh kesadaran seorang individu. Konsep diri seseorang sangat menentukan perilaku pada individu itu sendiri. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, segala perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan. Individu akan berusaha dan berjuang untuk selalu mewujudkan konsep dirinya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan muncul evaluasi pula tentang dirinya. Segala informasi yang positif tentang dirinya akan diabaikan, dan informasi yang negatif yang sesuai dengan gambaran dirinya akan semakin memperkuat keyakinan akan dirinya.

2. Pembentukan Konsep Diri

  Konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif lama, dan pembentukan ini tidak bisa diartikan bahwa reaksi yang tidak biasa dari seseorang dapat mengubah konsep diri. Namun, apabila reaksi ini muncul karena orang lain yang memiliki arti (significant others), yaitu orang- orang yang kita nilai, reaksi ini akan berpengaruh terhadap konsep diri. Konsep diri relative stabil, karena kita biasanya memilih teman-teman yang menganggap diri kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri; karenanya, mereka memperkukuh konsep diri kita (Hardy, Heyes dalam Sobur, 2003: 510).

  Pada waktu anak memesuki jenjang keremajaannya, Ia mengalami begitu banyak perubahan dalam dirinya. Sikap atau tingkah laku yang ditampilkan juga akan mengalami perubahan, dan sebagai akibatnya, sikap orang lain terhadap dirinya juga akan berubah-ubah, menyesuaikan dengan perubahan yang terampil dalam dirinya. Dapat dimengerti bahwa konsep diri pada seorang remaja cenderung untuk tidak konsisten, dan hal ini karena sikap orang lain yang dipersepsikan oleh remaja juga berubah. Akan tetapi melalui cara ini, remaja mengalami suatu perkembangan konsep diri, sampai akhirnya memiliki konsep diri yang konsisten (Rais dalam Sobur, 2003: 511) 3.

   Proses Perkembangan Konsep Diri

  Pada dasarnya, pengembangan konsep diri merupakan proses yang relative pasif. Pada pokoknya, seseorang berperilaku dengan cara tertentu dan mengamati reaksi orang lain terhadap perilaku seseorang. Hal ini tidak perlu proses berupa proses pemikiran, bahkan seringkali terjadi melalui berbagai kesempatan yang tersedia. Pada hakikatnya, konsep diri sangat tergantung pada cara bagaimana kita membandingkan diri kita dengan orang lain. (Yulianita dalam Sobur, 2003: 515) menyatakan ada dua hal yang mendasari perkembangan konsep diri, yaitu pengalaman secara situasional dan interaksi dengan orang lain.

  a. Pengalaman secara Situasional

  Semua pengalaman yang datang tidak seluruhnya mempunyai pengaruh kuat pada diri kita. Jika pengalaman-pengalaman itu merupakan sesuatu yang sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai dan konsep diri kita, secara rasional kita terima. Sebaliknya, jika pengalaman tersebut tidak konsisten dengan nilai-nilai dan konsep diri kita, secara rasional tidak dapat kita terima. Pada tahap selanjutnya, penerimaan berbagai pengalaman mutakhir ke dalam konsep diri dapat mengubah system nilai yang kaku, yang dianut sebelumnya. Dari pengalaman ini, maka seseorang akan menjadi lebih terbuka untuk mengubah nilai-nilai, dan mengubah konsep diri kita. Dengan membuka diri (self disclosure), konsep diri kita akan menjadi lebih dekat dengan kenyataan. Sedangkan manfaat dari “membuka diri” ini kepada orang lain akan dapat diketahui umpan balik orang lain kepada kita.

  b. Interaksi dengan Orang Lain

  Segala aktivitas individu dalam masyarakat memunculkan adanya interaksi dengan orang lain.dari interaksi yang muncul tersebut, terdapat usaha untuk saling mempengaruhi antara individu dan orang lain. Dalam situasi seperti itu, konsep diri berkembang dalam proses saling mempengaruhi. Pada awal perkembangannya, konsep diri pada anak kecil biasanya lebih netral dibanding dengan anak yang sudah mendekati, Ia mulai mengembangkan konsep dirinya. (Brooks dalam Sobur, 2003: 516). Atas dasar itu, pandangan seseorang terhadap diri sendiri adalah bagian dasar dari konsep diri, dan untuk memperoleh pengertian mengenai diri kita tersebut dapat dilakukan melalui “interaksi dengan orang lain”, yang tentunya disertai persepsi dan kesadaran seseorang tentang cara orang lain tersebut melihat diri kita dan reaksi mereka terhadap kita.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

  (Sobur Alex, 2003: 518-521) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, antara lain :

a. Memandang Diri Sendiri sebagai Objek

  Istilah ini menunjukkan suatu pandangan yang menjadikan diri sendiri sebagai objek dalam komunikasi, dengan kata lain individu membentuk kesan-kesan terhadap dirinya sendiri. Individu mengamati perilaku fisik (lahiriah) secara langsung; misalnya saat individu melihat dirinya di depan cermin, Ia akan menilai dan mempertimbangkan ukuran badan, pakaian yang dipakai, dan cara individu tersenyum. Penilaian-penilaian tersebut sangat berpengaruh terhadap cara individu memberikan kesan terhadap diri sendiri, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Apabila individu merasakan apa yang tidak disukai tentang dirinya, Ia akan berusaha untuk mengubahnya dan jika tidak mau mengubahnya maka inilah awal dari

  Menurut Verderber (dalam Sobur, 2003: 518), semakin besar pengalaman positif yang diperoleh, maka semakin positif pula konsep diri seseorang. Sebaliknya, semakin besar pengalaman negatif yang diperoleh, maka semakin negatif konsep diri seseorang.

  b. Reaksi dan Respon Orang Lain

  Konsep diri tidak hanya berkembang melalui pandangan seseorang terhadap diri sendiri, namun juga berkembang dalam rangka interaksi dengan masyarakat. Oleh sebab itu, konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri individu. Apa yang ada pada diri individu, dievaluasi oleh orang lain melalui interaksi dengan orang tersebut. Evaluasi dari orang lain terhadap diri sendiri tersebut akan mempengaruhi konsep diri yang dimiliki. Jadi, konsep diri adalah hasil langsung dari cara orang lain bereaksi secara berarti kepada individu.

  c. Bermain Peran

  Bermain peran pada anak-anak merupakan proses belajar melalui meniru (imitasi). Bermain peran merupakan cara belajar yang sangat besar manfaatnya. Melalui pengamatan, seseorang dapat mengambil dan mengikuti norma dan cara-cara orang lain bertingkah laku. Peniruan ini akan terjadi terus menerus dalam pergaulan. Suatu model memberikan teladan yang diikuti, sehingga suatu tingkah laku telah dipelajari, (Gunarsa dalam Sobur, 2003: 520). Jadi, bermain peran yang kita mainkan dan dianggap positif oleh orang lain, maka semakin positif konsep diri yang dimiliki.

d. Kelompok Rujukan

  Yang dimaksud dengan reference groups atau kelompok rujukan adalah kelompok yang menjadi anggota di dalamnya. Jika sebuah kelompok dianggap penting oleh individu dan dapat menilai individu, hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri individu. Sikap yang menunjukkan rasa tidak senang atau tidak setuju terhadap kehadiran seseorang, biasanya dipergunakan sebagai bahan komunikasi dalam penilaian kelompok terhadap perilaku seseorang. Komunikasi tersebut selanjutnya akan dapat mengembangkan konsep diri seseorang sebagai akibat dari adanya pengaruh kelompok rujukan.

  Semakin banyak kelompok rujukan yang menganggap diri seseorang positif, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki oleh seseorang tersebut.

B. Waria 1. Pengertian Waria

  Dalam perkembangannya waria merupakan “proyek” feminitas yang artinya, suatu proses keadaan maskulin ke feminim (Oetomo, Kurniawati dalam Hartoyo, 2014). Waria yang mempunyai tubuh atau fisik laki-laki, mempertontonkan perilaku serta atribut yang halus dari perempuan meskipun pada saat-saat tertentu mereka masih menunjukkan sebagai peran seksualnya. Waria adalah seseorang yang tidak memiliki kesesuaian antara fisik dengan identitas jenis kelaminnya (Culkin dalam Hartoyo, 2014).

  Waria adalah jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita, tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan. Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya dan ingin mengubahnya sebagai perempuan.

2. Jenis-Jenis Waria

  Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen, mereka terdiri dari berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik- psikiatri dapat dibedakan karena mempunyai ciri-ciri khusus. Ada beberapa kelompok kecil waria menurut Atomo (dalam Hartoyo, 2014), antara lain: a.

   Kaum Transeksual

  Mereka yang termasuk dalam kelompok ini mengalami ketidakserasian pada jenis biologis dan jenis kelamin mereka. Ada keinginan dari mereka untuk menghilangkan dan menggantikan alat mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki-lakinya. Misalnya; mengoperasi bagian tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata, hidung, berpakaian seperti wanita, dan minimal mereka perlu merias diri. Orang tua asuh subjek dalam penelitian ini memenuhi kriteria penderita transeksual karena orangtua asuh subjek mengalami semua kriteria yang tercantum di atas.

b. Kaum Tranvestite

  Kelompok ini adalah penderita tranvestism dan mereka hanya mendapat kepuasan dengan berpakaian seperti lawan jenisnya. Dalam pola hubungan seks, mereka adalah heteroseksual dan biasanya mereka terikat dalam suatu perkawinan atau dalam mencari pasangan selalu perempuan. Penderita kelompok ini adalah laki-laki. Jumlah mereka sedikit dan biasanya berpakaian lawan jenis pada saat tertentu saja, yaitu pada saat akan melakukan hubungan seksual. Jadi tampak bahwa pemakaian pakaian perempuan disini untuk mendapatkan gairah seksual, berbeda dengan para transeksual yang berpakaian perempuan karena merasa ada ketidaksesuaian antara fisik dengan jiwanya, mereka merasa dan ingin menjadi perempuan. Secara fisik para transvetis tetap suka dengan ciri-ciri kelaki-lakian mereka, meskipun mereka memakai pakaian perempuan kadang mereka memasang kumis dan tetap senang berhubungan seksual dengan perempuan.

  c. Kaum Homoseksual yang Menderita Tranvetisme