BAB VIII - DOCRPIJM de3e105494 BAB VIIIBab VIII Aspek Lingkungan dan Sosial dalam Pembangunan OKE 1
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
BAB VIII
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM
PEMBANGUNANBIDANG CIPTA KARYA
KOTA PAREPARE
8.1 Aspek Lingkungan
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada
aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap
paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang
semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain
perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang
ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita
seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati,
serta
pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai
akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung
oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat
(benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka
tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang
menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan
sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007
menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan
baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh
rendahnya
kualitas
rencana
tata
ruang
wilayah.
Guna
membantu
mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
[KLHS]
atau
Strategic
Environmental
Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan
278
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
(mainstreaming)
pembangunan
berkelanjutan
telah
ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan,
seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain
UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta
UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup.
Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan
sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan
sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup
dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui
implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses
perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan
pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau
kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian
lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian
pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses
penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan
upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup
strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH,
Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut
pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan
sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru
pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat
kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional
maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL
dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah
279
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup
pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional
dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu
dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di
Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru
dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih
dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata
lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional.
Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera
diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional
maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah
alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi,
kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya
telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu
diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.
Memahami
permasalahan
dan
tantangan
di
atas,
maka
sasaran
pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ),
sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya
pencemaran
pesisir
dan
laut
melalui
usaha
konservasi tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan,
melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara
bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim
global.
280
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity
Strategy and Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap
kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan,
gempa bumi, tsunami, dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup
yang inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi
lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan
untuk:
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat
nasional dan daerah.
3. Meningkatkan
lingkungan
dan
upaya
harmonisasi
penegakannya
pengembangan
secara
konsisten
hukum
terhadap
pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat
kegiatan pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik
di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang
musiman, dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan
hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau
kualitas lingkungan hidup; dan
281
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan
dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program
pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.
7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini
bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai
penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok
yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk
perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan
terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta
bencana alam lainnya.
8.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009
serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual
sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan
mengingat
bahwa
pembangunan
lingkungan
merupakan dasar bagi
pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk
menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan
pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang
lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral
semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam.
Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki
potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang
melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem
pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk
dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan
282
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya
dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,
serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan
adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali
menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi
oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang,
Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan
kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis
pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang
berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang
secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi
kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata
Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan
manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan
lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk
dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS
(terkait
dengan
sistem
politik,
sosial-budaya-ekonomi
dan
birokrasi)
mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia
masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala
regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup
memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek,
kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai
internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan
dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian
diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini
tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai
mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia,
dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World
Bank, dan Asian Development Bank.
283
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Mengikuti
perkembangan
ini,
KLH
telah
berinisiatif
untuk
mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap
inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini
masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain,
kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS
seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan
dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian
masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia,
maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam
mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional
maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya
masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif
bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan
regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama
dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan
evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang
menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan
pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama,
KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari
suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi
kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses
sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan
menjamin
diintegrasikannya
prinsip-prinsip
keberlanjutan
dalam,
pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a systematic process
for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of
sustainability principles into, strategic decision-making].
284
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
KLHS
adalah
sebuah
bentuk
tindakan
stratejik
dalam
menuntun,
mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap
lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam
kebijakan, rencana dan program [KRP].
pengambilan keputusan.
Posisinya berada pada relung
Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam
siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang,
maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana
tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa
memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan
sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau
semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan
KLHS
meningkatkan
dalam
efektivitas
penataan
ruang
pelaksanaan
juga
Analisis
bermanfaat
Mengenai
untuk
Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan
lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan
keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif,
kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan
kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”
dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga
kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif.
Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap
jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya,
baik
dari
sudut
langkah-langkah
prosedural
maupun
teknik
dan
metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja
dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada
4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
285
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada
efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya
adalah
pada ruang lingkup
dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS
sebagai
Kajian
Penilaian
Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan
KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut
pandang aspek lingkungan hidup.
3. KLHS
sebagai
Kajian
Terpadu/Penilaian
Keberlanjutan
(Integrated
AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin
keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan
paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam
prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian
yang lebih luas yang menilaiatau menganalisis dampak sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam(Sustainable Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable
Resource
Management)
KLHS
diaplikasikan
dalam
kerangka
pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang
tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan
sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik
pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi
RTRW, sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW
sebagai
acuan
sumberdaya alam.
aturan
pemanfaatan
dan
perlindungan
cadangan
286
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk
kombinasi,
sesuai
dengan
:
hirarki
dan
jenis
RTRW
yang
akan
dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW
yang
dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur
pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan
politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS
terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan
atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai
strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan
memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c)
memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan.
Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak
diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan
bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
mendorong
timbulnya
percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau
pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung
di suatu wilayah atau DAS? dan/atau
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
meningkatkan
intensitas
bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang
saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara
termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah
yang berpenduduk padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru
atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula
dapat mereka akses? dan/atau
287
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan
penghidupan
(livelihood
sustainability)
suatu
komunitas
atau
kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek
penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang
akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan.
Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih
difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW;
serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip
keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan
penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b)
penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai
dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan
seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring.
Jenis-jenis
kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi
ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar
RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan
penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang),
dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan
hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
288
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa
dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang
dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat
menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai
metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara
lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis
skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan
prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat
diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya
efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan
efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa
mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif.
Semua komponen kegiatan
diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat.
Namun
demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi
bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang
mengatur
keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari
pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional
atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas
dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS
diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses
pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin
dan efektif.
Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat
operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan
langsung dengan kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat
untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam
proses KLHS.
Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana
289
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan
keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan
proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya
sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang
sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses
perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen
kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah
pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai
kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir
proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak
kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya
pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan
memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana
tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu
tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang
wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali
tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana
tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera
direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan
daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk
memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka
berfikir perencanaan tata ruang,
yang berimplikasi pada perbaikan
prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.
8.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan
keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia,
ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai
pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis
290
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi
kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di
sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat
diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan
hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari
usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
untuk
291
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Tabel 8.1 Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL
Deskripsi
a)Rujukan
Peraturan
Perundangan
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
i.UU32tahun2009tentangPerlindungandan
PengelolaanLingkunganHidup
ii.PermenLH09/2011tentangPedomanumum
b)Pengertian
Umum
c)Kewajiban
pelaksanaan
d)Keterkaitan
studi
lingkungan
dengan:
e)Mekanisme
pelaksanaan
KLHS
Rangkaiananalisisyangsistematis,menyeluruh,
danpartisipatif
untuk
memastikan
bahwaprinsip
pembangunan
berkelanjutan
telah
menjadidasar
danterintegrasi
dalam
pembangunan
suatu
wilayahdan/ataukebijakan, rencana, dan/atau program.
PemerintahdanPemerintahDaerah
i.PenyusunanatauevaluasiRTRW,RPJPdan
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
i.UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
PengelolaanLingkunganHidup
ii.PermenPPU10/PRT/M/2008tentangjeniskegiatan bidangPU
wajibUKLUPL
Kajianmengenaidampakpentingsuatuusahadan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukanbagiproses
pengambilankeputusantentang
penyelenggaraan usahadan/atau kegiatan.Usaha dan/atau Kegiatan
adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan
terhadap
rona
lingkungan
hidup
serta
menyebabkan
dampakterhadap lingkungan.
Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang
masukkriteriasebagaiwajibAMDAL(Pemerintah/swasta)
Tahap
perencanaansuatuusaha dan ataukegiatan
RPJM
ii.Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan
dampak
dan/atau
resikolingkungan
i.pengkajian
pengaruh
kebijakan,rencana,
dan/
atau program terhadap kondisi lingkungan
i.Pemrakarsadibantuolehpihaklainyangberkompeten
sebagaipenyusunAMDAL
292
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Deskripsi
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
hidupdisuatuwilayah;
ii.
ii.perumusan
alternatif
penyempurnaan
kebijakan,rencana, dan/atauprogram;dan
iii.rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
kebijakan,
rencana,
dan/atau
programyang
mengintegrasikan prinsip pembangunanberkelanjutan.
f)Muatan Studi
i. Isu
Lingkungan
terkait
Pembangunan
Berkelanjutan
ii.
g)Output
Strategis
Kajianpengaruhrencana/programdengan
strategisterkait pembangunan berkelanjutan
iii. Alternatif
rekomendasi
rencana/program
Dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau
program pembangunandalamsuatuwilayah.
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
DokumenAMDALdinilaiolehkomisipenilaiAMDAL
yangdibentukolehMenteri,Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya dan dibantu olehTimTeknis.
iii.Komisi penilai AMDAL menyampaikan rekomendasi berupa
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan kepadaMenteri,
gubernur, danbupati/walikota sesuai dengankewenangannya.
iv.Menteri, gubernur,
dan
bupati/walikota berdasarkan
rekomendasikomisi
penilai
AMDALmenerbitkan
KeputusanKelayakanatauKetidaklayakanlingkungan
i. Kerangkaacuan;
ii. Andal;dan iii. RKL-RPL.
isu-isu KerangkaacuanmenjadidasarpenyusunanAndal
dan
RKLRPL.Kerangkaacuanwajib
sesuaidenganrencana
tataruangwilayahdan/ataurencana tataruangkawasan.
untuk
KeputusanMenteri,gubernurdanbupati/walikotasesuai
kewenangan tentang kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan.
293
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Deskripsi
h)Outcome
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
i.
RekomendasiKLHS
digunakan
sebagai
alat i. Dasar pertimbangan penetapan kelayakan atau
untukmelakukan
perbaikankebijakan,
rencana,
ketidaklayakanlingkungan
dan/atauprogram
pembangunan
yangmelampaui
ii. Jumlah dan jenis izin perlindungan hidup yang diwajibkan
dayadukungdandaya tampunglingkungan.
ii.
i)Pendanaan
294
segalausahadan/ataukegiatanyangtelah iii. Persyaratandankewajibanpemrakarsasesuaiyang
melampauidayadukungdan dayatampung lingkungan
tercantum dalamRKLRPL.
hidupsesuaihasilKLHStidak diperbolehkanlagi.
APBD Kabupaten/Kota
i. Kegiatan penyusunan AMDAL (KA, ANDAL, RKLRPL) didanaioleh pemrakarsa,
ii.Kegiatan Komisi Penilai AMDAL, Tim Teknis dan sekretariat
PenilaiAMDAL dibebankanpada APBN/APBD
iii. JasapenilaianKA,ANDALdan RKL-RPLolehkomisi
j)Partisipasi
Masyarakat
Masyarakatadalahsalahsatukomponendalam
kabupaten/kotayangdapatmengaksesdokumen
pelaksanaanKLHS
AMDAL dan tim teknisdibiayaiolehpemrakarsa.
Masyarakatyangdilibatkanadalah:
i.
Yang terkenadampak;
ii.
Pemerhatilingkunganhidup;dan/atau
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Tabel8.2 PenapisanRencanaKegiatanWajibAMDAL
No.
A.
JenisKegiatan
Skala/Besaran
Persampahan:
a.PembangunanTPASampahDomestikdengan
sistemControl landfill/sanitarylandfill:
B.
C.
- luaskawasanTPA, atau
-KapasitasTotal
b.TPA di daerahpasangsurut:
- luas landfill,atau
-KapasitasTotal
c.Pembangunan transfer station:
-Kapasitas
d.Pembangunan InstalasiPengolahanSampah
terpadu:
-Kapasitas
e.Pengolahandenganinsinerator:
-Kapasitas
f.CompostingPlant:
-Kapasitas
g.Transportasisampahdengan keretaapi:
-Kapasitas
PembangunanPerumahan/Permukiman:
a.Kotametropolitan,luas
b.Kotabesar,luas
c.Kota sedang dankecil,luas
d. keperluansettlementtransmigrasi
Air LimbahDomestik
a. Pembangunan IPLT, termasuk fasilitas
penunjang:
- Luas, atau
- Kapasitasnya
b.PembangunanIPALlimbahdomestik,termasuk
fasilitaspenunjangnya:
- Luas, atau
- Kapasitasnya
> 10ha
> 100.000ton
semua kapasitas/
besaran
> 500ton/hari
> 500ton/hari
semuakapasitas
> 500ton/hari
> 500ton/hari
> 25ha
> 50ha
> 100ha
> 2.000 ha
>2ha
> 11m3/hari
>3ha
> 2,4ton/hari
c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah:
D.
E.
- Luas layanan, atau
- Debit air limbah
Pembangunan Saluran Drainase (Primer
dan/atau sekunder) di permukiman
a. Kota besar/metropolitan, panjang:
b. Kota sedang, panjang:
Jaringan Air Bersih Di Kota Besar/Metropolitan
a. Pembangunan jaringan distribusi
- Luas layanan
b. Pembangunan jaringan transmisi
- panjang
> 500 ha
> 16.000 m3/hari
> 5 km
> 10 km
> 500 ha
> 10 km
295
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
JenisKegiatanBidangCiptaKaryayangkapasitasnya
batasmenjadikannyatidak
dilengkapidengan
masihdibawah
wajibdilengkapidokumenAMDALtetapi
dokumenUKL-UPL.Jenis
kegiatan
Ciptakaryadanbatasankapasitasnyayangwajibdilengkapi
wajib
bidang
dokumen
UKL-
UPLtercermindalamtabel8.2
Tabel8.3PenapisanRencanaKegiatanTidakWajibAMDALtapi WajibUKLUPL
Sektor Teknis CK
a. Persampahan
b. Air Limbah
Domestik/Permukiman
Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya
i. TempatPemrosesanAkhir(TPA)dengansystemcontrolled
landfill atau sanitary landfill termasuk instansi penunjang:
Luaskawasan, atau
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
BAB VIII
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM
PEMBANGUNANBIDANG CIPTA KARYA
KOTA PAREPARE
8.1 Aspek Lingkungan
Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada
aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap
paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang
semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain
perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang
ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita
seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati,
serta
pencemaran sungai, laut dan udara, datang silih berganti. Sebagai
akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung
oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat
(benefit) ekonomi yang diperoleh.
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka
tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang
menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan
sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007
menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan
baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh
rendahnya
kualitas
rencana
tata
ruang
wilayah.
Guna
membantu
mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
[KLHS]
atau
Strategic
Environmental
Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan
278
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Pengarusutamaan
(mainstreaming)
pembangunan
berkelanjutan
telah
ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan,
seperti tercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dari itu, selain
UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang serta
UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup.
Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan
sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan
sistemik.
Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup
dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah melalui
implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses
perumusan visi, misi, tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan
pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau
kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian
lingkungan hidup.
Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian
pada lingkungan hidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses
penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan
upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup
strategis telah dilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatif KLH,
Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut
pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunan
sektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode, dan teknis analisis.
Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru
pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat
kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional
maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL
dinyatakan bahwa salah satu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah
279
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup
pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional
dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu
dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di
Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru
dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih
dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata
lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional.
Namun dari pengalaman selama ini, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
KLHS sudah sampai pada taraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera
diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional
maupun daerah.
Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah
alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi,
kelembagaan maupun pendekatan, metode, dan teknis pelaksanaannya
telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif-alternatif ini perlu
diujicoba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.
Memahami
permasalahan
dan
tantangan
di
atas,
maka
sasaran
pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai, danau, dan situ),
sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.
2. Terkendalinya
pencemaran
pesisir
dan
laut
melalui
usaha
konservasi tanah.
3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan,
melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.
4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara
bertahap.
5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim
global.
280
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan sesuai dengan IBSAP (Indonesian Biodiversity
Strategy and Action Plan) 2003–2020.
7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan
menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.
8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.
9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap
kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan,
gempa bumi, tsunami, dan lainnya).
10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup
yang inovatif.
11. Meningkatkan diplomasi internasional.
12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi
lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan
untuk:
1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.
2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat
nasional dan daerah.
3. Meningkatkan
lingkungan
dan
upaya
harmonisasi
penegakannya
pengembangan
secara
konsisten
hukum
terhadap
pencemaran lingkungan.
4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat
kegiatan pembangunan.
5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik
di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani
permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang
musiman, dan bencana.
6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan
hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau
kualitas lingkungan hidup; dan
281
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk
informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan
dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.
Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program
pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumberdaya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No.
7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Program ini
bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai
penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok
yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk
perlindungan sumberdaya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan
terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan, serta
bencana alam lainnya.
8.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009
serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual
sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan
mengingat
bahwa
pembangunan
lingkungan
merupakan dasar bagi
pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk
menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan
pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang
lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral
semata yang sarat dengan konflik dan perilaku eksploitatif sumberdaya alam.
Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki
potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang
melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem
pemilihan umum.
Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk
dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan
282
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya
dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,
serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan
adanya kemungkinan ketidakserasian antarkebijakan sektoral yang seringkali
menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi
oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang,
Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).
Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan
kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis
pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang
berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang
secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi
kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata
Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan
manusia pasti terkait secara sistem atau fungsional dengan permasalalan
lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk
dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS
(terkait
dengan
sistem
politik,
sosial-budaya-ekonomi
dan
birokrasi)
mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia
masa kini dan mendatang.
Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala
regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup
memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek,
kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai
internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan
dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian
diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini
tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai
mandatory atau directive di sejumlah negara di Asia dan Afrika, Australia,
dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World
Bank, dan Asian Development Bank.
283
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Mengikuti
perkembangan
ini,
KLH
telah
berinisiatif
untuk
mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap
inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini
masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain,
kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS
seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan
dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian
masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia,
maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam
mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional
maupun daerah.
Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UU SPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004 – 2009. Sesuai dengan perannya
masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif
bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan
regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi pegangan utama
dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan
evaluasinya, baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.
Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang
menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan
pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama,
KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari
suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi
kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya.
Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses
sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan
menjamin
diintegrasikannya
prinsip-prinsip
keberlanjutan
dalam,
pengambilan keputusan yang bersifat strategis [SEA is a systematic process
for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of
sustainability principles into, strategic decision-making].
284
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
KLHS
adalah
sebuah
bentuk
tindakan
stratejik
dalam
menuntun,
mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap
lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam
kebijakan, rencana dan program [KRP].
pengambilan keputusan.
Posisinya berada pada relung
Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam
siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang,
maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana
tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa
memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan
sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau
semua fungsi-fungsi diatas.
Penerapan
KLHS
meningkatkan
dalam
efektivitas
penataan
ruang
pelaksanaan
juga
Analisis
bermanfaat
Mengenai
untuk
Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan
lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan
keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif,
kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan
kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region”
dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga
kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif.
Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap
jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya,
baik
dari
sudut
langkah-langkah
prosedural
maupun
teknik
dan
metodologinya.
Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja
dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada
4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :
1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
285
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada
efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup.
Perbedaannya
adalah
pada ruang lingkup
dan tekanan analisis
telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.
2. KLHS
sebagai
Kajian
Penilaian
Keberlanjutan
Lingkungan
Hidup(Environmental Appraisal
KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan
KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut
pandang aspek lingkungan hidup.
3. KLHS
sebagai
Kajian
Terpadu/Penilaian
Keberlanjutan
(Integrated
AssessmentSustainability Appraisal)
KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin
keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan
paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam
prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian
yang lebih luas yang menilaiatau menganalisis dampak sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup secara terpadu.
4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya
Alam(Sustainable Natural Resource
Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable
Resource
Management)
KLHS
diaplikasikan
dalam
kerangka
pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang
tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan
sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik
pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi
RTRW, sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW
sebagai
acuan
sumberdaya alam.
aturan
pemanfaatan
dan
perlindungan
cadangan
286
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk
kombinasi,
sesuai
dengan
:
hirarki
dan
jenis
RTRW
yang
akan
dihasilkan/ditelaah, lingkup isu mengenai sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW
yang
dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur
pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan
politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS
terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan
atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai
strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan
memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c)
memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan.
Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak
diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan
bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
mendorong
timbulnya
percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau
pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung
di suatu wilayah atau DAS? dan/atau
Apakah
rancangan
RTR
berpotensi
meningkatkan
intensitas
bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang
saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau
Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara
termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah
yang berpenduduk padat? dan/atau
Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah
penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru
atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula
dapat mereka akses? dan/atau
287
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan
penghidupan
(livelihood
sustainability)
suatu
komunitas
atau
kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?
Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk
memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek
penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk
mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang
akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan.
Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih
difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW;
serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip
keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan
penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b)
penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai
dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan
seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring.
Jenis-jenis
kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi
ekosistem.
Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar
RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan
penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang),
dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan
hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
288
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa
dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang
dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat
menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai
metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara
lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis
skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan
prioritas, dll.
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat
diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya
efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan
efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa
mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif.
Semua komponen kegiatan
diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat.
Namun
demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi
bergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang
mengatur
keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari
pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional
atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas
dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS
diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses
pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin
dan efektif.
Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat
operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan
langsung dengan kegiatan masyarakat.
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat
untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam
proses KLHS.
Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana
289
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan
keputusan.
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan
proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya
sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang
sedang terjadi pada masing-masing RTRW. Dalam kasus dimana proses
perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen
kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah
pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai
kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir
proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak
kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya
pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan
memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana
tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu
tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang
wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali
tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana
tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera
direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan
daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk
memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka
berfikir perencanaan tata ruang,
yang berimplikasi pada perbaikan
prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.
8.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan
keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia,
ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai
pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis
290
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi
kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di
sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat
diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan
hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari
usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
untuk
291
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Tabel 8.1 Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL
Deskripsi
a)Rujukan
Peraturan
Perundangan
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
i.UU32tahun2009tentangPerlindungandan
PengelolaanLingkunganHidup
ii.PermenLH09/2011tentangPedomanumum
b)Pengertian
Umum
c)Kewajiban
pelaksanaan
d)Keterkaitan
studi
lingkungan
dengan:
e)Mekanisme
pelaksanaan
KLHS
Rangkaiananalisisyangsistematis,menyeluruh,
danpartisipatif
untuk
memastikan
bahwaprinsip
pembangunan
berkelanjutan
telah
menjadidasar
danterintegrasi
dalam
pembangunan
suatu
wilayahdan/ataukebijakan, rencana, dan/atau program.
PemerintahdanPemerintahDaerah
i.PenyusunanatauevaluasiRTRW,RPJPdan
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
i.UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
PengelolaanLingkunganHidup
ii.PermenPPU10/PRT/M/2008tentangjeniskegiatan bidangPU
wajibUKLUPL
Kajianmengenaidampakpentingsuatuusahadan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukanbagiproses
pengambilankeputusantentang
penyelenggaraan usahadan/atau kegiatan.Usaha dan/atau Kegiatan
adalah segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan
terhadap
rona
lingkungan
hidup
serta
menyebabkan
dampakterhadap lingkungan.
Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang
masukkriteriasebagaiwajibAMDAL(Pemerintah/swasta)
Tahap
perencanaansuatuusaha dan ataukegiatan
RPJM
ii.Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan
dampak
dan/atau
resikolingkungan
i.pengkajian
pengaruh
kebijakan,rencana,
dan/
atau program terhadap kondisi lingkungan
i.Pemrakarsadibantuolehpihaklainyangberkompeten
sebagaipenyusunAMDAL
292
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Deskripsi
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
hidupdisuatuwilayah;
ii.
ii.perumusan
alternatif
penyempurnaan
kebijakan,rencana, dan/atauprogram;dan
iii.rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
kebijakan,
rencana,
dan/atau
programyang
mengintegrasikan prinsip pembangunanberkelanjutan.
f)Muatan Studi
i. Isu
Lingkungan
terkait
Pembangunan
Berkelanjutan
ii.
g)Output
Strategis
Kajianpengaruhrencana/programdengan
strategisterkait pembangunan berkelanjutan
iii. Alternatif
rekomendasi
rencana/program
Dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau
program pembangunandalamsuatuwilayah.
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
DokumenAMDALdinilaiolehkomisipenilaiAMDAL
yangdibentukolehMenteri,Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai
kewenangannya dan dibantu olehTimTeknis.
iii.Komisi penilai AMDAL menyampaikan rekomendasi berupa
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan kepadaMenteri,
gubernur, danbupati/walikota sesuai dengankewenangannya.
iv.Menteri, gubernur,
dan
bupati/walikota berdasarkan
rekomendasikomisi
penilai
AMDALmenerbitkan
KeputusanKelayakanatauKetidaklayakanlingkungan
i. Kerangkaacuan;
ii. Andal;dan iii. RKL-RPL.
isu-isu KerangkaacuanmenjadidasarpenyusunanAndal
dan
RKLRPL.Kerangkaacuanwajib
sesuaidenganrencana
tataruangwilayahdan/ataurencana tataruangkawasan.
untuk
KeputusanMenteri,gubernurdanbupati/walikotasesuai
kewenangan tentang kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan.
293
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Deskripsi
h)Outcome
KajianLingkunganHidupStrategis(KLHS)
Analisis MengenaiDampakLingkungan(Amdal)
i.
RekomendasiKLHS
digunakan
sebagai
alat i. Dasar pertimbangan penetapan kelayakan atau
untukmelakukan
perbaikankebijakan,
rencana,
ketidaklayakanlingkungan
dan/atauprogram
pembangunan
yangmelampaui
ii. Jumlah dan jenis izin perlindungan hidup yang diwajibkan
dayadukungdandaya tampunglingkungan.
ii.
i)Pendanaan
294
segalausahadan/ataukegiatanyangtelah iii. Persyaratandankewajibanpemrakarsasesuaiyang
melampauidayadukungdan dayatampung lingkungan
tercantum dalamRKLRPL.
hidupsesuaihasilKLHStidak diperbolehkanlagi.
APBD Kabupaten/Kota
i. Kegiatan penyusunan AMDAL (KA, ANDAL, RKLRPL) didanaioleh pemrakarsa,
ii.Kegiatan Komisi Penilai AMDAL, Tim Teknis dan sekretariat
PenilaiAMDAL dibebankanpada APBN/APBD
iii. JasapenilaianKA,ANDALdan RKL-RPLolehkomisi
j)Partisipasi
Masyarakat
Masyarakatadalahsalahsatukomponendalam
kabupaten/kotayangdapatmengaksesdokumen
pelaksanaanKLHS
AMDAL dan tim teknisdibiayaiolehpemrakarsa.
Masyarakatyangdilibatkanadalah:
i.
Yang terkenadampak;
ii.
Pemerhatilingkunganhidup;dan/atau
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
Tabel8.2 PenapisanRencanaKegiatanWajibAMDAL
No.
A.
JenisKegiatan
Skala/Besaran
Persampahan:
a.PembangunanTPASampahDomestikdengan
sistemControl landfill/sanitarylandfill:
B.
C.
- luaskawasanTPA, atau
-KapasitasTotal
b.TPA di daerahpasangsurut:
- luas landfill,atau
-KapasitasTotal
c.Pembangunan transfer station:
-Kapasitas
d.Pembangunan InstalasiPengolahanSampah
terpadu:
-Kapasitas
e.Pengolahandenganinsinerator:
-Kapasitas
f.CompostingPlant:
-Kapasitas
g.Transportasisampahdengan keretaapi:
-Kapasitas
PembangunanPerumahan/Permukiman:
a.Kotametropolitan,luas
b.Kotabesar,luas
c.Kota sedang dankecil,luas
d. keperluansettlementtransmigrasi
Air LimbahDomestik
a. Pembangunan IPLT, termasuk fasilitas
penunjang:
- Luas, atau
- Kapasitasnya
b.PembangunanIPALlimbahdomestik,termasuk
fasilitaspenunjangnya:
- Luas, atau
- Kapasitasnya
> 10ha
> 100.000ton
semua kapasitas/
besaran
> 500ton/hari
> 500ton/hari
semuakapasitas
> 500ton/hari
> 500ton/hari
> 25ha
> 50ha
> 100ha
> 2.000 ha
>2ha
> 11m3/hari
>3ha
> 2,4ton/hari
c. Pembangunan sistem perpipaan air limbah:
D.
E.
- Luas layanan, atau
- Debit air limbah
Pembangunan Saluran Drainase (Primer
dan/atau sekunder) di permukiman
a. Kota besar/metropolitan, panjang:
b. Kota sedang, panjang:
Jaringan Air Bersih Di Kota Besar/Metropolitan
a. Pembangunan jaringan distribusi
- Luas layanan
b. Pembangunan jaringan transmisi
- panjang
> 500 ha
> 16.000 m3/hari
> 5 km
> 10 km
> 500 ha
> 10 km
295
RPI2JM 2017-2021
Kota Parepare, Sulawesi Selatan
JenisKegiatanBidangCiptaKaryayangkapasitasnya
batasmenjadikannyatidak
dilengkapidengan
masihdibawah
wajibdilengkapidokumenAMDALtetapi
dokumenUKL-UPL.Jenis
kegiatan
Ciptakaryadanbatasankapasitasnyayangwajibdilengkapi
wajib
bidang
dokumen
UKL-
UPLtercermindalamtabel8.2
Tabel8.3PenapisanRencanaKegiatanTidakWajibAMDALtapi WajibUKLUPL
Sektor Teknis CK
a. Persampahan
b. Air Limbah
Domestik/Permukiman
Kegiatan dan Batasan Kapasitasnya
i. TempatPemrosesanAkhir(TPA)dengansystemcontrolled
landfill atau sanitary landfill termasuk instansi penunjang:
Luaskawasan, atau