BAB II ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA - DOCRPIJM ac28913dd6 BAB IIBAB II ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA
BAB II
ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
BIDANG CIPTA KARYA
II.1. AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA
KARYA
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan
nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu,
Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan
nasional.
2.2.1
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007,
merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam
jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia
pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”.
Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam
pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a.
Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan
penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti
II-1
industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong
pertumbuhan
ekonomi.
Pemenuhan
kebutuhan
tersebut
dilakukan
melalui
pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan
terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air,
serta kesehatan.
b.
Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi
diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam
penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum
dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan
sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4)
penyediaan sumber-sumber
pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c.
Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa
permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan
kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta
dalam
penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyekproyek yang bersifat komersial.
d.
Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan
RPJMN, yaitu:
RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui
percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama
antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan
permukiman.
RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi
masyarakat terus meningkat karena didukung oleh
sistem
seluruh
pembiayaan
perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi
itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.
RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga
terwujud kota tanpa
permukiman kumuh.
II-2
2.2.2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010- 2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5
Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas
pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang
berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak
dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal
28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan
rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman,
seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.
Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada
periode 2010-2014, yaitu:
a.
Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014,
dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum nonperpipaan terlindungi 38 %.
b.
Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir
tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan
air limbah terpusat (off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem
pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan
air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta
penyediaan akses dan
peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site) yang layak
bagi 90 % total penduduk.
c.
Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah
perkotaan.
d.
Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang
memadai, melalui:
a.
menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b.
memastikan ketersediaan air baku air minum,
c.
meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,
II-3
d.
meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air
limbah, dan pengelolaan persampahan,
e.
meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,
f.
meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g.
Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS),
h.
Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,
i.
meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j.
mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan
pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang
ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam
dokumen tersebut
pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masingmasing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI MP3EI). Ditjen Cipta
Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI
Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian
Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau
sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas
dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi,
pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat
dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.
II-4
2.2.1
Masterplan Percepatan
dan
Perluasan
Pengentasan Kemiskinan
Indonesia
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu,
telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan
untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan
penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat.
Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada
tahun 2025, MP3KI
bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a.
Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan
mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b.
Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia di masa mendatang,
c.
Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
masyarakat
miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan
regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam
pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat (PNPM- Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program
Pro Rakyat.
II-5
2.2.4
Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang
memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung
kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga
dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya
dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan
tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
2.2.5
Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan
berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program
Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan
Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program
peningkatak\n kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs,
Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi
yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
II.2. PERATURAN PERUNDANGAN PEMBANGUNAN BIDANG PU/CK
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU
No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
2.3.1
UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman
membagi
tugas
dan
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas :
II-6
a.
Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di
bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan
dan strategi nasional dan provinsi.
b.
Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.
Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan
kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,
lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.
d.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e.
Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f.
Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan
strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota.
g.
Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h.
Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i.
Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan
kawasan permukiman.
j.
Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
k.
Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:
a.
Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat kabupaten/kota.
b.
Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.
Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
d.
Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan serta
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada
II-7
tingkat kabupaten/kota.
e.
Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan
permukiman bagi MBR.
f.
Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat
kabupaten/kota.
g.
Memfasilitasi
kerja
sama
pada
tingkat
kabupaten/kota
antara
pemerintah
kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman.
h.
Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i.
Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,
pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran
masyarakat.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang
tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang
tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian,
dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu
pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
2.3.2
UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan
bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan
teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan
pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan
gedung.
Persyaratan
administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan
gedung, dan izin mendirikan bangunan.
Sedangkan persyaratan teknis meliputi
II-8
persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan
tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung,
arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang
ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya
harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka
hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu,
sistem penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung
(amanat green building).
b.
Bangunan gedung
dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pelaksanaan
perbaikan,
pemugaran,
perlindungan,
serta
pemeliharaan
atas
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
c.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air,
termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak
setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna
memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan
dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga
tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak
terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi Selain itu,
diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara
terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.
2.3.4 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
II-9
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah.
Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran
ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan
sampah meliputi:
a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan
jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu,
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu
menuju ke tempat pemrosesan akhir,
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka
di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat
pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan
mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.5 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut
serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun
2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan,
perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan
II-10
kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.
II.3. AMANAT INTERNASIONAL
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
perumusan kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya
meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta
Agenda Pembangunan Pasca 2015.
2.3.1 Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat
II sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi
tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran
pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam
menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan. Salah satu pesan inti yang
menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat
hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air
minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah
dan kelompok rentan.
2.3.2 Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut
menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat
kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common
vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan
memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation
2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka
kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan
instrument pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk
II-11
penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-2015 yang mencakup 3 pilar
pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium
Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam
pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (2005-2025).
2.3.3 Millenium Development Goals
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi
Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran
pembangunan millennium (Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu,
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap
perencanaan
sampai
pelaksanaannya
sebagaimana
dinyatakan
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam
pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa
akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak
hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013)
adalah 61,83%, sedangkan target cakupan pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai
pada tahun 2015. Di samping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai
58,60%, masih kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta
Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan
yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100
juta) pada tahun 2020.
Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman kumuh 6%, padahal
data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh mencapai 12,57%. Untuk memenuhi
target MDGs di bidang permukiman,
diperlukan perhatian khusus dari seluruh
pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah
kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur
permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs.
2.3.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk
II-12
memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini
diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan
beranggotakan 24 orang dari berbagai negara. Pada Mei 2013, panel tersebut
mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul “A New Global
Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable
Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan global pasca2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran
yang diambil dari implementasi MDGs. Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran
indikatif pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut:
a. Mengakhiri kemiskinan
b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender
Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup
c. Menjamin kehidupan yang sehat
d. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik
e. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi
f. Menjamin energi yang berkelanjutan
g. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan
berkeadilan
h. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan
i. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif
j. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai
k. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong
l. pembiayaan jangka panjang
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam
pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun
target yang diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah:
a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di
sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,
b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke
sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah
tangga sebanyak x%,
II-13
c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air
minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri
sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z%,
d. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari
industri sebelum dilepaskan.
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan
tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar
pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip
inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja
bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka kebijakan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan.
II-14
ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
BIDANG CIPTA KARYA
II.1. AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL TERKAIT BIDANG CIPTA
KARYA
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan
nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu,
Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan
nasional.
2.2.1
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007,
merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam
jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia
pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”.
Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam
pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a.
Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan
penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti
II-1
industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong
pertumbuhan
ekonomi.
Pemenuhan
kebutuhan
tersebut
dilakukan
melalui
pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan
terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air,
serta kesehatan.
b.
Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi
diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam
penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum
dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan
sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4)
penyediaan sumber-sumber
pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c.
Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa
permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan
kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta
dalam
penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyekproyek yang bersifat komersial.
d.
Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan
RPJMN, yaitu:
RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui
percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama
antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan
permukiman.
RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi
masyarakat terus meningkat karena didukung oleh
sistem
seluruh
pembiayaan
perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi
itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.
RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga
terwujud kota tanpa
permukiman kumuh.
II-2
2.2.2
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010- 2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5
Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas
pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang
berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak
dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal
28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan
rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman,
seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.
Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada
periode 2010-2014, yaitu:
a.
Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014,
dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum nonperpipaan terlindungi 38 %.
b.
Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir
tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan
air limbah terpusat (off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem
pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan
air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta
penyediaan akses dan
peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site) yang layak
bagi 90 % total penduduk.
c.
Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah
perkotaan.
d.
Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang
memadai, melalui:
a.
menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b.
memastikan ketersediaan air baku air minum,
c.
meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,
II-3
d.
meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air
limbah, dan pengelolaan persampahan,
e.
meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,
f.
meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g.
Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS),
h.
Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,
i.
meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j.
mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan
pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang
ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam
dokumen tersebut
pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masingmasing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI MP3EI). Ditjen Cipta
Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI
Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian
Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau
sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas
dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi,
pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat
dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.
II-4
2.2.1
Masterplan Percepatan
dan
Perluasan
Pengentasan Kemiskinan
Indonesia
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu,
telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan
untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan
penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat.
Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada
tahun 2025, MP3KI
bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a.
Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan
mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b.
Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia di masa mendatang,
c.
Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
masyarakat
miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan
regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam
pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan
masyarakat (PNPM- Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program
Pro Rakyat.
II-5
2.2.4
Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang
memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung
kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga
dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya
dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan
tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
2.2.5
Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan
berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program
Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan
Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program
peningkatak\n kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs,
Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi
yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
II.2. PERATURAN PERUNDANGAN PEMBANGUNAN BIDANG PU/CK
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU
No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
2.3.1
UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU
Perumahan
dan
Kawasan
Permukiman
membagi
tugas
dan
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas :
II-6
a.
Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di
bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan
dan strategi nasional dan provinsi.
b.
Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.
Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan
kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,
lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.
d.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e.
Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f.
Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan
strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota.
g.
Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h.
Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i.
Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan
kawasan permukiman.
j.
Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
k.
Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:
a.
Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat kabupaten/kota.
b.
Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c.
Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
d.
Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan serta
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada
II-7
tingkat kabupaten/kota.
e.
Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan
permukiman bagi MBR.
f.
Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat
kabupaten/kota.
g.
Memfasilitasi
kerja
sama
pada
tingkat
kabupaten/kota
antara
pemerintah
kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman.
h.
Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i.
Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,
pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran
masyarakat.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang
tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang
tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian,
dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu
pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
2.3.2
UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan
bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan
teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan
pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan
gedung.
Persyaratan
administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan
gedung, dan izin mendirikan bangunan.
Sedangkan persyaratan teknis meliputi
II-8
persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan
tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung,
arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang
ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya
harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka
hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu,
sistem penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung
(amanat green building).
b.
Bangunan gedung
dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pelaksanaan
perbaikan,
pemugaran,
perlindungan,
serta
pemeliharaan
atas
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
c.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air,
termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak
setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna
memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan
dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga
tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak
terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi Selain itu,
diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara
terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.
2.3.4 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
II-9
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah.
Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran
ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan
sampah meliputi:
a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan
jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu,
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu
menuju ke tempat pemrosesan akhir,
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka
di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat
pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan
mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.5 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut
serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun
2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal
dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan,
perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan
II-10
kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.
II.3. AMANAT INTERNASIONAL
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
perumusan kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya
meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta
Agenda Pembangunan Pasca 2015.
2.3.1 Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat
II sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi
tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran
pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam
menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan. Salah satu pesan inti yang
menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat
hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air
minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah
dan kelompok rentan.
2.3.2 Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut
menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat
kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common
vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan
memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation
2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka
kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan
instrument pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk
II-11
penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-2015 yang mencakup 3 pilar
pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium
Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam
pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (2005-2025).
2.3.3 Millenium Development Goals
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi
Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran
pembangunan millennium (Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu,
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap
perencanaan
sampai
pelaksanaannya
sebagaimana
dinyatakan
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam
pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa
akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak
hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013)
adalah 61,83%, sedangkan target cakupan pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai
pada tahun 2015. Di samping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai
58,60%, masih kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta
Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan
yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100
juta) pada tahun 2020.
Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman kumuh 6%, padahal
data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh mencapai 12,57%. Untuk memenuhi
target MDGs di bidang permukiman,
diperlukan perhatian khusus dari seluruh
pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah
kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur
permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs.
2.3.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk
II-12
memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini
diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden
Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan
beranggotakan 24 orang dari berbagai negara. Pada Mei 2013, panel tersebut
mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul “A New Global
Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable
Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan global pasca2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran
yang diambil dari implementasi MDGs. Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran
indikatif pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut:
a. Mengakhiri kemiskinan
b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender
Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup
c. Menjamin kehidupan yang sehat
d. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik
e. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi
f. Menjamin energi yang berkelanjutan
g. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan
berkeadilan
h. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan
i. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif
j. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai
k. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong
l. pembiayaan jangka panjang
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam
pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun
target yang diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah:
a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di
sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,
b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke
sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah
tangga sebanyak x%,
II-13
c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air
minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri
sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z%,
d. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari
industri sebelum dilepaskan.
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan
tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar
pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip
inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja
bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka kebijakan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan.
II-14