BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja (Adolescence) - Nopip Rimawan BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja (Adolescence) 1. Definisi Remaja Istilah remaja sering disebut adolescence dan pubertas. Istilah

  pubertas digunakan untuk menyatakan perubahan biologis yang meliputi morfologi dan fisiologi yang terjadi dengan pesat dari masa anak ke masa dewasa, terutama kapasitas reproduksi yaitu perubahan alat kelamin dari tahap anak ke dewasa. sedangkan yang di maksud dengan adolesen dulu merupakan sinonim dari pubertas, tapi sekarang lebih ditekankan untuk menyatakan perubahan psikososial yang menyertai pubertas pada seseorang (Soetjiningsih, 2004).

  Remaja adalah masa peralihan atau transisi dari masa kanak- kanak atau anak-anak menjadi dewasa (Sarwono, 2006). Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan, karena remaja berada pada suatu periode peralihan, masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistis dan merupakan ambang kedewasaan (Hermawan, 2003).

  7

2. Perkembangan psikososial

  Teori perkembangan psikososial menurut Erikson dalam Wong (2009), menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas. Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan berkembangnya stabilitas emosional dan fisik yang relatif pada saat atau ketika hampir lulus dari SMU. Pada saat ini, remaja dihadapkan pada krisis identitas kelompok versus pengasingan diri. Pada periode selanjutnya, individu berharap untuk mencegah otonomi dari keluarga dan mengembangkan identitas diri sebagai lawan terhadap difusi peran. Identitas kelompok menjadi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi. Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mereka mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat.

  a.

  Identitas kelompok Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena mereka merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka status. Ketika remaja mulai mencocokkan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah. Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan ketidakcocokkan dengan kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi remaja sehingga mereka dapat memerankan penonjolan diri mereka sendiri sementara menolak identitas dari generasi orang tuanya. Menjadi individu yang berbeda mengakibatkan remaja tidak diterima dan diasingkan dari kelompok.

  b.

  Identitas Individual Pada tahap pencarian ini, remaja mempertimbangkan hubungan yang mereka kembangkan antara diri mereka sendiri dengan orang lain di masa lalu, seperti halnya arah dan tujuan yang mereka harap mampu dilakukan di masa yang akan datang. Proses perkembangan identitas pribadi merupakan proses yang memakan waktu dan penuh dengan periode kebingungan, depresi dan keputusasaan.

  Penentuan identitas dan bagiannya di dunia merupakan hal yang penting dan sesuatu yang menakutkan bagi remaja. Namun demikian, jika setahap demi setahap digantikan dan diletakkan pada tempat yang sesuai, identitas yang positif pada akhirnya akan muncul dari kebingungan. Difusi peran terjadi jika individu tidak mampu memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai aspirasi, peran dan identifikasi.

  c.

  Identitas peran seksual Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi identitas peran seksual. Selama masa remaja awal, kelompok teman sebaya mulai mengomunikasikan beberapa pengharapan terhadap hubungan heterokseksual dan bersamaan dengan kemajuan perkembangan, remaja dihadapkan pada pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang matang yang baik dari teman sebaya maupun orang dewasa. Pengharapan seperti ini berbeda pada setiap budaya, antara daerah geografis, dan diantara kelompok sosioekonomis.

  d.

  Emosionalitas Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada masa remaja akhir. Mereka mampu menghadapi masalah dengan tenang dan rasional, dan walaupun masih mengalami periode depresi, perasaan mereka lebih kuat dan mulai menunjukkan emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi cepat dan emosional, remaja akhir dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima masyarakat. Mereka masih tetap mengalami peningkatan emosi, dan jika emosi itu diperlihatkan, perilaku mereka menggambarkan perasaan tidak aman, ketegangan, dan kebimbangan.

3. Pertumbuhan

  Soetjiningsih (2004) pertumbuhan menggambarkan proses bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler yang terlihat secara fisik dan dapat diukur dengan menggunakan satuan panjang atau satuan berat dengan proses yang berkesinambungan dipengaruhi oleh faktor genetik (ras, keluarga) dan faktor lingkungan bio-psikososial yang dimulai dari masa konsepsi hingga masa dewasa.

  Potter & Perry (2005) menjelaskan mengenai empat fokus utama pada pertumbuhan fisik masa remaja: a) Peningkatan kecepatan pertumbuhan skelet, otot, dan visera.

  b) Perubahan spesifik-seks, seperti perubahan bahu dan lebar pinggul.

  c) Perubahan distribusi otot dan lemak.

  d) Perkembangan sistem reproduksi dan karakteristik seks sekunder.

  Potter & Perry (2005) juga menjelaskan mengenai pertumbuhan bahwa selama masa pubertas biasa terjadi peningkatan laju tinggi dan berat badan. Pada anak perempuan pertumbuhan mulai melaju antara usia 8 tahun dan 14 tahun, sedangkan pada anak laki – laki dimulai pada usia 10 tahun sampai 16 tahun. Pertambahan tinggi anak perempuan mencapai 90 % sampai 95 % tinggi dewasa pada masa menarke (permulaan menstruasi) hingga mencapai tinggi penuh pada usia 16 sampai 17 tahun, sedangkan anak laki – laki akan terus tumbuh tinggi hingga usia 18 sampai 20 tahun.

  Awitan pubertas pada anak perempuan biasanya ditandai dengan perkembangan payudara. Setelah pertumbuhan awal jaringan payudara, puting, areola ukurannya meningkat. Proses ini yang sebagian dikontrol oleh hereditas, dimulai paling muda usia 8 tahun dan mungkin tidak komplet sampai akhir usia 10 tahunan. Kadar estrogen yang meningkat juga mulai mempengaruhi genital. Uterus mulai membesar, dan terjadi peningkatan lubrikasi vaginal, hal tersebut dapat terjadi secara spontan atau akibat perangsangan seksual.

  Vagina memanjang, dan rambut pubis dan aksila mulai tumbuh. Menarke pada setiap individu sangat bervariasi, dapat terjadi paling cepat pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun atau lebih.

  Meskipun siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama, fertilitas harus selalu diwaspadai kecuali dilakukan hal lain.

  Anak laki-laki mengalami kenaikan kadar testosterone selama pubertas yang ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula seminalis. Anak laki-laki dan anak gadis mungkin mengalami orgasmus sebelum masa pubertas, tetapi ejakulasi pada anak laki-laki tidak terjadi sampai organ seksnya matur, yaitu sekitar usia 12 atau 14 tahun. Ejakulasi mungkin terjadi pertama kali selama tidur (emisi nocturnal), hal ini biasa disebut dengan mimpi basah yang sering kali dianggap sangat memalukan. Anak laki – laki harus mengetahui bahwa, meski mereka tidak menghasilkan sperma saat pertama ejakulasi, mereka segera akan menjadi subur hingga nanti saatnya terjadi perkembangan genital, rambut pubis, wajah, dan tubuh mulai tumbuh. Pertumbuhan pada remaja dipengarahi oleh beberapa hormon, antara lain: a) Hormone Pertumbuhan (Growth Hormone/GH)

  Hormon yang paling berpengaruh selama remaja, yang dihasilkan terutama pada saat tidur nyenyak malam hari. Mempunyai dua efek terhadap tulang rawan epifisis, serta berefek langsung pada metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak dengan bersifat anabolik.

  b) Hormone Tiroid

  Hormon tiroid berefek langsung pada maturasi tulang, selain itu juga hormon tiroid ini mempengaruhi produksi hormon pertumbuhan dan sebaliknya hormon tiroid juga tidak dapat bekerja tanpa adanya hormon pertumbuhan.

  c) Glukokortikoid

  Glukokortikoid berfungsi untuk menekan sintesis tulang dan tulang rawan serta mineralisasi, sehingga produksi glikoprotein meningkat.

  d) Calcium Regulating Hormon

  Kalsium diatur oleh hormon paratiroid yang berpengaruh besar pada elemen jaringan tulang yang terlibat dalam osteogenesis.

  Selain itu juga ada vitamin D yang mempengaruhi maturasi tulang (Soetjiningsih, 2004).

  4. Tahap-tahap pertumbuhan

  a) Masa bayi (1 bulan –1 tahun) Pada masa ini pertumbuhan fisik bayi berlangusng sangat cepat.

  Fungsi fisik bayi yang baru lahir kebanyakan reflektif dan stabilisasi sistem organ tubuh pertama adalah fungsi tubuh yang utama.

  b) Pre school (3 – 6 tahun) Pada tahap ini pertumbuhan berlangsung sedikit lama.

  Pertumbuhan yang terjadi pada tahap ini tidak terlalu signifikan. Perkembangan lebih berperan aktif pada tahap ini.

  c) Masa remaja (12 – 20 tahun)

  Pada tahap ini pertumbuhan mengalami percepatan sampai pada saat pertumbuhan tinggi badan, ukuran tulang, dan gigi berhenti.

  Sedangkan pertumbuhan berat badan masih dapat berubah. Pada tahap selanjutnya yang terjadi adalah perkembangan tubuh (Potter dan Pery, 2005).

  5. Penggolongan Remaja Menurut Sarwono (2004) ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa: a)

  Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih terheran– heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan- perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis.

  Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa.

  b) Remaja Madya (Middle Adolescence)

  Tahap ini berusia 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senag kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narastic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau meterialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.

  c) Remaja Akhir (Late Adolescence)

  Tahap ini (16-19 tahun) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal dibawah ini:

  1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2)

  Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

  3) Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. 4)

  Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5)

  Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self ) dan masyarakat umum (the public).

B. Perilaku Remaja a.

  Definisi Perilaku Remaja Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang didapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Perilaku berbeda dengan pikiran atau perasaan, karena perilaku dapat diamati dan dipelajari. Tidak seorangpun dapat melihat atau mendengar pikiran, tetapi seseorang dapat melihat dan mendengar perilaku. Seseorang dapat melihat atau mengukur apa yang orang lain katakan, yaitu perilaku bicara dan kita dapat menilai perilaku seseorang apakah perilaku itu positif atau negatif. Dari perilaku seseorang bisa mengambil kesimpulan tentang pikiran dan sikap terhadap suatu objek. perilaku remaja adalah suatu perbuatan atau aktifitas yang merupakan reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada dalam lingkungan seorang remaja atas dasar kepercayaan dan perasaan (Hermawan, 2003).

  Perilaku sosial remaja adalah kemampuan remaja untuk mengadakan sosialisasi seperti mudah bergaul dan menyesuaikan diri didalam lingkungan sosialnya atau sejauh mana individu itu mampu bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi dan kenyataan sosial yang ada (Hermawan, 2003).

  Seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antar perangsang (stimulus), tanggapan (respon).

  Skiner dalam Notoatmodjo (2007), menyebutkan bahwasannya perilaku akan terbentuk melalui prosedur sebagai berikut :

  1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat (reinforcerment) berupa hadiah-hadiah (rewards) bagi perilakuyang akan dibentuk.

  2. Melakukan proses analisis untuk mengidentifikasi komponen- komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki.

  Kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuki menuju kepada perilaku yang dimaksud.

  3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun ini. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan), kemudian dilakukan komponen (tindakan) yang kedua diberi hadiah (komponen pertama tidak diberi hadiah lagi), demikian berulang-ulang.

  b.

  Tipe-tipe Perilaku Setiap individu mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Tiga tipe perilaku (Hermawan, 2003) adalah sebagai berikut :

  1. Perilaku Pasif Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang berkecenderungan untuk diam, kurang menghargai dirinya dan tidak percaya diri atau merupakan perilaku yang tidak menyatakan perasaan-perasaan, kebutuhan dan gagasan dengan cepat, mengabaikan hak-haknya dan membiarkan orang lain melanggar hak-hak tersebut. Perilaku pasif dapat berupa : emosional, tidak jujur, menolak diri sendiri, pesimis, pemalu, sering menyakiti dan menyalahkan diri sendiri, tidak suka di kritik, tidak mandiri, banyak mengeluh, menarik diri secara sosial, canggung dalam berinteraksi, ketergantungan pada orang lain dan penyimpangan dari norma-nroma yang wajar (Hermawan, 2003).

  2. Perilaku Agresif Baron dalam Dayakisni dan Hudaniah (2006) mendefinisikan perilaku agresif adalah perilaku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain yang tidak menginginkan datangnya perilaku tersebut. Secara rinci definisi dari Baron ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu : (1) Merupakan suatu tingkah laku; (2) Bertujuan melukai atau mencelakakan individu lain; (3) Ada individu yang menjadi pelaku agresi; dan (4) Ada individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku si pelaku.

  Perilaku agresif tersebut dapat berupa: nakal, kasar, tidak bisa menahan diri, manja, menendang liar, mementingkan diri sendiri, tidak percaya diri dan suka melanggar norma dalam masyarakat seperti berkelahi, pemerasan. Perilaku agresif dibedakan dalam 4 faktor, yaitu perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain atau mencelakakan (termasuk mematikan atau membunuh), ada individu yang menjadi pelaku dan menjadi korban serta ketidakinginan si korban menerima perilaku tersebut (Hermawan, 2003).

3. Perilaku Asertif

  Sebagaian besar bentuk perilaku akan menghasilkan karakteristik positif dari perilaku remaja, seperti adanya rasa hormat, dapat berhubungan harmonis dengan keluarga, komunikasi dengan keluarga baik, mampu mengontrol diri, luas dalam bergaul, mudah diajak berteman, bersemangat, dapat bekerja sama dengan orang lain, tertib, yakin penilaian positif tentang dirinya, mandiri, percaya diri, mampu mengintropeksi diri, dapat mengendalikan diri serta berinisiatif. Biasanya tipe perilaku ini sangat sulit untuk dicapai, karena harus memiliki pribadi dan konsep diri yang tinggi dan benar-benar siap serta matang (Hermawan, 2003).

  c.

  Pengukuran Perilaku Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara, secara langsung, yakni dengan pengamatan

  (obsevasi), yaitu mengamati tindakan dari subyek dalam rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan terhadap subyek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan obyek tertentu (Notoatmodjo, 2007).

C. Perilaku Kekerasan Remaja Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.

  Menurut WHO dalam Bagong dkk. (2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

  Barker dalam Huraerah (2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.

  Perilaku kekerasan adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak diamati oleh pihak luar yang berakibat menggangu bahkan mencederai dan melukai orang lain (Notoatmodjo, 2003).

  Terry dalam Huraerah (2007), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam

  

abuse , yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual

abuse ).

  1) Kekerasan Fisik (physical abuse)

  

Physical abuse , terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak

memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian).

  Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. 2)

  Kekerasan Emosional (emotional abuse)

  

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak

setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu.

  Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

  3) Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

  Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.

  4) Kekerasan Seksual (sexual abuse)

  

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

  terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari: a)

  Familial Abuse

  Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,

  menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest. Mayer dalam Tower (2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan).

  Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling,

  

exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk

  menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda.

  

Survivor yang mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang

berbeda dibanding korban yang diperkosa secara paksa.

  b) Extrafamilial Abuse

  

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga

korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan.

  Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut

pedophile , yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak.

  Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam

  Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower, 2002).

  Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece, Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:

  a) Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).

  b) Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).

  c) Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).

  d) Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).

  e) Mencium anak yang memakai pakaian dalam.

  f) Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).

  g) Masturbasi

  h) Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri). i)

  Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku). j) Digital penetration (pada anus atau rectum). k) Penile penetration (pada vagina). l) Digital penetration (pada vagina). m) Penile penetration (pada anus atau rectum). n)

  Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan Remaja

  Terjadinya tindakan kekerasan dan perilaku kekerasan terhadap remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari anak remaja itu sendiri, orang tua, keluarga dan lingkungan sosial atau komunitas. Berikut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kekerasanoleh remaja (Soetjiningsih, 2004). Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a.

  Faktor Anak Remaja 1)

  Faktor Perilaku menyimpang Perilaku menyimpang adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma, agama, etika, peraturan sekolah, keluarga dan lain sebagainya). Jika penyimpangan ini terjadi terhadap norma-norma hukum pidana maka disebut kenakalan. Jenis kenakalan remaja menurut Jensen dalam Sarwono (2004) adalah sebagai berikut :

  1. Kenakalan yang nenimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, dan pembunuhan, biasanya penyebab dari masalah ini adalah saling mengejek dan menjelek-jelekkan.

  2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain sebagainya.

  Penyebab dari kenakalan ini adalah latar belakang sosial ekonomi yang tergolong rendah.

  3. Kenakalan sosial seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat.

  Di Indonesia hubungan seks sebelum menikah dapat dikelompokan kedalam poin ini.

  4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, pergi dari rumah dan sebagainya. Untuk saat sekarang perilaku ini masih belum melanggar hukum karena berada dalam lingkungan keluarga dan sekolah, tetapi setelah dewasa masalah ini akan digolongkan menjadi kenakalan.

  5. Kenakalan yang disengaja, misalnya kebiasaan mengganggu teman (laki-laki atau perempuan), suka mengejek atau mengolok-olok orang lain. kekerasan fisik yang menimpa pada remaja atau yang dilakukan oleh remaja juga berhubungan dengan perilaku menyimpang pada remaja termasuk kenakalan remaja. Beberapa penelitian menunjukan bahwa remaja nakal dilaporkan lebih banyak mengalami kekerasan fisik dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak nakal. Kondisi kejiwaan remaja yang tidak stabil dalam periode strum and drang dan pengaruh lingkungan disekitarnya termasuk peran media masa dan eloktronik ditambah orang tua yang kurang perhatian dapat menyebabkan remaja berperilaku menyimpang.

  Graham dikutp oleh Sarwono (2004) berpendapat bahwa berbagai faktor yang didapat menyebabkan remaja berperilaku menyimpang adalah sebagai berikut: 1.

  Faktor Lingkungan : malnutrisi, kemiskinan, migrasi karena urbannisasi, pengunsian, masalah di sekolah, masalah keluarga, kematian orang tua, orang tua sakit berat atau cacat dan hubungan antar keluarga tidak harmonis. Pada kasus inilah yang dapat menyebabkan para remaja mengalami harga diri rendah.

2. Faktor pribadi : bakat yang mempengaruhi temperamen

  (menjadi pemarah, hiperaktif, cacat tubuh, ketidak mampuan menyesuaikan diri), merasa diri paling hebat, atau sebaliknya merasa minder atau lebih dikenal dengan gangguan citra tubuh, ideal diri yang baik realistis dan harga diri rendah.

  2) Faktor Keterbatasan Fisik dan Mental

  Faktor lain yang mempengaaruhi terjadinya kekerasan adalah penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis yang disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya. Pada kenyataannya sekalipun mereka mempunyai keterbatasan fisik dan mental remaja ini juga dapat membutuhkan sarana perkembangan fisik, sosial dan seksual yang sama dengan anak normal. Muda, tampan dan utuh adalah hal-hal yang ditekankan dalam masyarakat. Persepsi inilah yang membuat para remaja yang memiliki keterbatasan fisik dan mental menganggap dirinya kurang dan tidak sempurna. Biasanya anak-anak ini sering dihina atau diejek dengan kekurangan yang ia miliki, sehingga timbul dalam hatinya untuk menyakiti orang lain.

  a.

  Keluarga Orang tua memegang peran yang sangat penting terhadap tejadinya kekerasan pada remaja. Di dalam keluarga sering kali kita temukan penganiayaan, pengekangan, yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan konsep diri (konsep diri negatif) yang terdiri dari lima (5) komponen yaitu : remaja akan mengalami citra tubuh yang negatif, harga diri rendah, peran yang tidak memuaskan, merasa diri tidak ideal dan identitas yang tidak jelas, yang kesemuanya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah : 1.

  Praktek-praktek budaya yang merugikan anak, seperti anak harus patuh pada orang tua dan hubungan yang asimetris.

  2. Dibebaskan dengan penganiayaan.

  3. Gangguan mental, pecandu obat dan minuman keras.

  4. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama orang tua mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.

  Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat mereka belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompok (Gerungan, 2004). Salah satu faktor utama lain yang mempengaruhi perkembangan sosial anak- anak adalah faktor keutuhan keluarga.

  b.

  Faktor Lingkungan Sosial (Komunitas) Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Lingkungan sosial atau komunitas adalah tempat dibentuknya konsep diri seseorang setelah lingkungan keluarga. Seseorang yang cacat berada dalam lingkungan orang-orang yang normal pasti anak yang cacat tersebut akan merasa minder (Tidak PD) untuk bergaul dengan anak-anak yang tidak cacat tadi. Begitupun dengan masalah ras, sosial ekonomi yang dapat menyebabkan status seseorang dipandang rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah : a.

  Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilalistis.

  b.

  Kondisi sosial ekonomi yang rendah. c.

  Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.

  d.

  Status yang dipandang rendah.

  e.

  Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.

  Keadaan sosio-ekonomi keluarga tentulah berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak, apabila kita perhatikan bahwa dengan adanya perekonomian yang cukup, lingkungan material yang dihadapi anak didalam keluarganya itu lebih luas, mereka mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat mereka kembangkan apabila tidak ada perasaanya (Gerungan,2004).

  Hubungan orang tuanya hidup dalam status sosio- ekonomi serba-serba cukup dan kurang mengalami tekanan- tekanan fundamental seperti dalam memperoleh nafkah hidupnya yang memadai. Orang tua dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam pada pendidikan anak-anaknya apabila mereka tidak dibebani dengan masalah-masalah kebutuhan primer kehidupan manusia.

  c.

  Proses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahanya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

  Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tandu. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar.

E. Minuman Keras

  Minuman keras adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran. Di berbagai negara, penjualan minuman keras dibatasi ke sejumlah kalangan saja, umumnya orang-orang yang telah melewati batas usia tertentu (Darmawan, 2010).

  Minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol dan dapat menimbulkan ketagihan, bisa berbahaya bagi pemakainya karena dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati dan perilaku, serta menyebabkan kerusakan fungsi-fungsi organ tubuh. Efek yang ditimbulkan adalah memberikan rangsangan, menenangkan, menghilangkan rasa sakit, membius, serta membuat gembira (Smallcrab, 2012).

  Penyalahgunaan alkohol telah menjadi masalah pada hampir setiap Negara di seluruh dunia. Tingkat konsumsi alkohol di setiap Negara berbeda-beda tergantung pada kondisi sosio kultural, pola religius, kekuatan ekonomi, serta bentuk kebijakan dan regulasi alkohol di tiap negara (Sisworo, 2008). Pada saat ini terdapat kecenderungan penurunan angka pecandu alkohol di negara-negara maju namun angka pecandu alkohol ini justru meningkat pada negara-negara berkembang. World

  

Health Organization (WHO) memperkirakan saat ini jumlah pecandu

  alkohol diseluruh dunia mencapai 64 juta orang, dengan angka ketergantungan yang beragam disetiap negara. Di Amerika misalnya, terdapat lebih dari 15 juta orang yang mengalami ketergantungan alkohol dengan 25% diantaranya adalah pecandu dari kalangan wanita.

1. Faktor Pendorong Penyalahgunaan

  Penyalahgunaan alkohol dapat diklasifikasikan menjadi 5 kategori utama menurut respon serta motif individu terhadap pemakaian alkohol itu sendiri (Stuart dan Sundeen, 2007).

  a) Penggunaan alkohol yang bersifat eksperimental. Kondisi penggunaan alkohol pada tahap awal yang disebabkan rasa ingin tahu dari seseorang (remaja). Sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya, remaja selalu ingin mencari pengalaman baru atau sering juga dikatakan taraf coba-coba, termasuk juga mencoba menggunakan alkohol. b) Penggunaan alkohol yang bersifat rekreasional. Penggunaan alkohol pada waktu berkumpul bersama-sama teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam minggu, ulang tahun atau acara pesta lainnya. Penggunaan ini mempunyai tujuan untuk rekreasi bersama teman sebaya.

  c) Penggunaan alkohol yang bersifat situasional. Seseorang mengkonsumsi alkohol dengan tujuan tertentu secara individual, hal itu sebagai pemenuhan kebutuhan seseorang yang harus dipenuhi. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri dari masalah, konflik, stress dan frustasi.

  d) Penggunaan alkohol yang bersifat penyalahgunaan. Penggunaan alkohol yang sudah bersifat patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, paling tidak sudah berlangsung selama 1 bulan. Sudah terjadi penyimpangan perilaku, mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, seperti di lingkungan pendidikan atau pekerjaan.

  e) Penggunaan alkohol yang bersifat ketergantungan. Penggunaan alkohol yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (alkohol). Suatu kondisi dimana indidvidu yang biasa menggunakan zat adiktif (alkohol) secara rutin pada dosis tertentu akan menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga akan menimbulkan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Berdasarkan respon individu terhadap penyalahgunaan alkohol seperti tersebut diatas, dampak yang diakibatkan oleh individu yang sudah berada pada fase penyalahgunaan dan ketergantungan adalah paling berat. Individu yang sudah berada pada fase penyalahgunaan dan ketergantungan akan dapat berperilaku anti sosial. Perilaku agresif, emosional, acuh, dan apatis terhadap permasalahan dan kondisi sosisalnya adalah sifat-sifat yang sering muncul pada orang dengan penyalahgunaan dan ketergantungan terhadap alkohol. Pada fase eksperimental, rekreasional dan situasional, dampak yang muncul biasanya diakibatkan oleh perilaku kelompok remaja pemakai alkohol pada tahap ini. Kebut-kebutan di jalan, pesta pora, aktivitas seksual, perkelahian, dan tawuran adalah perilaku yang sering ditunjukkan oleh kelompok remaja pemakai alkohol pada tahap awal ini.

2. Dampak Minuan Beralkohol

  Dampak negatif penggunaan alkohol dikategorikan menjadi 3, yaitu dampak fisik, dampak neurology dan psychologi, juga dampak sosial (Woteki dalam Darmawan, 2010).

  a) Dampak Fisik

  Beberapa penyakit yang diyakini berasosiasi dengan kebiasaan minum alkohol antara lain serosis hati, kanker, penyakit jantung dan syaraf. Sebagian besar kasus serosis hati (liver

  cirrhosis ) dialami oleh peminum berat yang kronis. Sebuah studi memperkirakan bahwa konsumsi 210 gram alkohol atau setara dengan minum sepertiga botol minuman keras (liquor) setiap hari selama 25 tahun akan mengakibatkan serosis hati (Darmawan, 2010).

  Berkaitan dengan kanker terdapat bukti yang konsisten bahwa alkohol meningkatkan resiko kanker di beberapa bagian tubuh tertentu, termasuk: mulut, kerongkongan, tenggorokan, larynx dan hati. Alkohol memicu terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme.

  Salah satunya alkohol mengkatifkan ensim-ensim tertentu yang mampu memproduksi senyawa penyebab kanker. Alkohol dapat pula merusak DNA, sehingga sel akan berlipatganda (multiplying) secara tak terkendali (Tarwoto dkk, 2010). Peminum minuman keras cenderung memiliki tekanan darah yang relatif lebih tinggi dibandingkan non peminum (abstainer), demikian pula mereka lebih berisiko mengalami stroke dan serangan jantung.

  Peminum kronis dapat pula mengalami berbagai gangguan syaraf mulai dari dementia (gangguan kecerdasan), bingung, kesulitan berjalan dan kehilangan memori. Diduga konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi thiamin, yaitu komponen vitamin B komplek berbentuk kristal yang esensial bagi berfungsinya sistem syaraf.

  b) Dampak Psikoneurologis

  Pengaruh addictive, imsonia, depresi, gangguan kejiwaaan, serta dapat merusak jaringan otak secara permanen sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan penilaian, kemampuan belajar, dan gangguan neurosis lainnya (Sarwono, 2004).

  c) Dampak Sosial

  Dampak sosial yang berpengaruh bagi orang lain, di mana perasaan pengguna alkohol sangat labil, mudah tersinggung, perhatian terhadap lingkungan menjadi terganggu. Kondisi ini menekan pusat pengendalian diri sehingga pengguna menjadi agresif, bila tidak terkontrol akan menimbulkan tindakan yang melanggar norma bahkan memicu tindakan kriminal serta meningkatkan resiko kecelakaan (Sarwono, 2004). Berdasarkan kisaran waktu (periode) pengaruh penggunaan alkohol dibedakan menjadi 2 kategori: a)

  Pengaruh jangka pendek Walaupun pengaruhnya terhadap individu berbeda-beda, namun terdapat hubungan antara konsentrasi alkohol di dalam darah Blood Alkohol Concentration (BAC) dan efeknya. Euphoria ringan dan stimulasi terhadap perilaku lebih aktif seiring dengan meningkatnya konsentrasi alkohol di dalam darah. Resiko intoksikasi (mabuk) merupakan gejala pemakaian alkohol yang paling umum. Penurunan kesadaran seperti koma dapat terjadi pada keracunan alkohol yang berat demikian juga nafas terhenti hingga kematian. Selain itu efek jangka pendek alkohol dapat menyebabkan hilangnya produktifitas kerja. Alkohol juga dapat menyebabkan perilaku kriminal. Ditenggarai 70% dari narapidana menggunakan alkohol sebelum melakukan tindak kekerasan dan lebih dari 40% kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh alkohol

  b) Pengaruh Jangka Panjang

  Mengkonsumsi alkohol yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabkan penyakit khronis seperti kerusakan jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kerusakan hati, kanker saluran pencernaan, gangguan pencernaan lain (misalnya tukak lambung), impotensi dan berkurangnya kesuburan, meningkatnya resiko terkena kanker payudara, kesulitan tidur, kerusakan otak dengan perubahan kepribadian dan suasana perasaan, sulit dalam mengingat dan berkonsentrasi.

F. Kerangka Teori Keluarga Lingkungan Remaja Konsumsi minuman beralkohol Kekerasan Remaja

  • Pasif - Agresif

Gambar 2.1 Kerangka Teori Perilaku Kekerasan pada Remaja

  Sumber : Gerungan,(2004). Freddy P. Mandey (1996)

G. Kerangka Konsep Variable Independent Variable Dependent Konsumsi Alkohol Perilaku Kekerasan H. Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara konsumsi alkohol dengan perilaku kekerasan pada remaja d SMK X Purwokerto.