BAB II TINJAUAN TEORI A. Cedera Kepala - Rizky Aulia Mahdi BAB II

BAB II TINJAUAN TEORI A. Cedera Kepala Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak

  langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Esther & Manarisip, karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cerebral disekitar jaringan otak (Baticaca, 2008).

  Cedera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri, kontusio/laserusi dan perdarahan serebral (epidural, subdural, subarakhnoid, intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi / deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf yang meluas karena hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipertensi sistemik (Wijaya & Putri, 2013).

  Menurut Satyanegara (2010), berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat riangannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, secara praktis dikenal klasifikasi yaitu berdasarkan :

1. Mekanisme cedera kepala

  Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil dan motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.

  Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

  2. Beratnya cedera kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala : a.

  Cedera Kepala Ringan (CKR).

  GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan). Kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kuntosio cerebral maupun hematoma.

  b.

  Cedera Kepala Sedang (CKS) GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

  c.

  Cedera Kepala Berat (CKB) GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

Tabel 2.1. Skala Koma Glasgow

  1 Motorik : Mampu bergerak Melokalisasi nyeri Fleksi menarik Fleksi abnormal Ekstensi Tidak ada respon

  EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

  Perdarahan epidural (Epidural hematom) Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater.

  1 Nilai GCS = (E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3 Menurut Tobing (2011), mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak diffuse:

  2

  3

  4

  5

  6

  2

  Glasgow Coma Scale Nilai Membuka Mata :

  3

  4

  5

  1 Verbal : Orientasi baik Orientasi terganggu Kata-kata tidak jelas Suara tidak jelas Tidak ada respon

  2

  3

  4

  Spontan Terhadap rangsangan suara Terhadap nyeri Tidak ada

1. Cedera otak fokal meliputi a.

  b.

  Perdarahan subdural akut atau subdural hematom akut Subdural hematom (SDH) adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena vena kecil dipermukaan korteks cerebri.

  c.

  Perdarahan subdural kronik Subdural hematom (SDH) kronik adalah terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. SDH kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit-sedikit. Perdarahan intra cerebral

  Intracerebral hematom (ICH) adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

  e.

  Perdarahan subarahnoid traumatik Perdarahan subaraknoid (SAH) diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subaraknoid (PSA).

2. Cedera otak diffuse

  Menurut Sadewa (2011), dikutip Tobing (2011), cedera otak

  

diffuse merupakan terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak

  setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difuse disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatik yang menyebabkan luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difuse. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difuse dikelompokkan menjadi : a.

  Cedera akson difuse Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.

  b.

  Kontusio cerebri Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gayacoup dan

  countercup , dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

  c.

  Edema cerebri Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.

  Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

  Iskemia cerebri Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degenerative pembuluh darah otak.

  Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-coutre

  coup , dan cedera rotasional.

  a.

  Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakan ke kepala).

  b.

  Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil. c.

  Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.

  d.

  Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang pertama kali berbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian belakang kepala.

  e.

  Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak merotasi neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah Menurut Satyanegara (2010), cedera kepala berdasarkan patofisiologi dibagi menjadi dua: a.

  Cedera Kepala Primer Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi) rotasi yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi : Geger kepala ringan, Memar otak, dan Laserasi.

  b.

  Cedera Kepala Sekunder Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti : hispotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, udema otak, dan komplikasi pernapasan.

B. Perdarahan Otak pada Cedera Kepala

  Otak terbungkus oleh tengkorak yang tidak dapat ditembus, peningkatan tekanan intrakranial dapat menghambat aliran darah otak dan menyebabkan iskemia serebral. Peningkatan tekanan intrakranial merupakan penyebab penting cedera otak sekunder dimana derajat dan lamanya berkaitan dengan outcome setelah cedera kepala (Smith, 2008).

  Menurut (Hanger et al., 2008), pasien yang mengalami perdarahan intraserebral (ICH) memiliki angka kematian tinggi. ICH cenderung terjadi di lokasi yang khas, dengan ICH hipertensif yang paling sering ditemukan di ganglia basal, thalamus, pons (batang otak), dan otak kecil. ICH akibat angiopati amiloid serebral (AVM) cenderung terjadi pada lokasi lobar (Claude Hemphill & Lam, 2017). Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak sehingga menyebabkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Smeltzer & Bare, 2005). Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambah besarnya volume perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil (Price & Wilson, 2006). Pada tahap lebih lanjut, jika hematom yang terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya hemiparesis kontralateral (Meagher et al., 2011).

  Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia (Pizon & Asanti, 2010). Perdarahan intraserebral primer dan sekunder (antikoagulan) memiliki perubahan patologis yang sama. Perdarahan intracerebral umumnya mempengaruhi lobus serebral, ganglia basal, talamus, batang otak, dan serebelum sebagai akibat pembuluh pecah yang dipengaruhi oleh perubahan degeneratif terkait hipertensi atau jalur angii amyloid serebral.

  Sebagian besar pendarahan pada perdarahan intra serebral yang berhubungan dengan hipertensi terjadi pada atau di dekat bifurkasi arteri kecil yang berasal (Qureshi, Mendelow, & Hanley, 2009).

  Perdarahan subaraknoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subaraknoid (Setyopranoto, 2012). Perdarahan subaraknoid sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih (Soertidewi, 2012).

  Hematom epidural dapat disebabkan oleh laserasi arteri atau vena yang berjalan di sepanjang meja bagian dalam tengkorak, dan cedera pada pembuluh ini sering disertai oleh fraktur tengkorak terkait. Perdarahan sekunder akibat cedera arteri diperkirakan menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat daripada hematoma epidural yang terjadi akibat cedera vena. Karena perdarahan epidural terjadi antara tengkorak dan dura mater, perluasannya dibatasi oleh sutura yang berdekatan antara tulang tengkorak. Ketika volume perdarahan meningkat, darah epidural memanjang di sepanjang meja bagian dalam tengkorak hingga ke batas jahitan terdekat (Gomez, 2008). ekstra aksial antara duramater dan arachnoid. Hematoma subdural terbentuk ketika menjembatani vena selama percepatan-perlambatan kepala. Karena pendarahannya adalah vena dan tekanan rendah, hematoma dapat tumbuh cukup lambat dan penyajiannya dapat ditunda. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan atrofi otak, yang pembuluh penghubungnya lebih rentan terhadap pergeseran dan yang lebih siap menampung volume darah intrakranial tambahan. Hematoma subdural memiliki spektrum klinis yang luas. Akumulasi cepat darah ekstra-aksial, tidak adanya atrofi yang sudah ada, dan adanya cedera otak traumatis lainnya berhubungan dengan status neurologis yang lebih buruk saat presentasi. Karena otak yang lebih muda kurang atrofi, bahkan volume kecil dari darah ekstra-aksial dapat meningkatkan ICP dan menghasilkan defisit yang parah.

C. Ketahanan Hidup Pasien dengan Perdarahan Otak pada Cedera Kepala

  Menurut Morrison & MacKenzie (2008), sebanyak 47 kasus kematian disebabkan oleh, atau terkait dengan, cedera kepala dan waktu ketahanan hidup tampak pendek. Dari 47 kasus ini kebanyakan adalah korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia di lokasi kejadian. Empat puluh kasus tewas di tempat kejadian dengan kemampuan bertahan hidup beberapa menit. Empat kasus digambarkan tewas di tempat kejadian namun dengan perkiraan waktu bertahan maksimum yang diambil sebagai perbedaan antara hidup (tiga kurang dari 2 jam, satu kurang dari 5 menit). Tiga kasus lainnya waktu bertahan hidupnya cukup lama sehingga memungkinkan pengembangan perubahan aksonal traumatik, satu pada 2 jam 40 menit, satu jam 6 jam, dan satu pada 12 jam 40 menit.

  Rata-rata pasien cedera kepala tinggal di ICU adalah 15 hari. Sebanyak 127 pasien (29%) meninggal. Tingkat kematian adalah 15% untuk pasien dengan cedera otak ringan (GCS, 13-15), 18% untuk cedera otak sedang (GCS, 9-12), dan 38% untuk cedera otak berat (GCS, 3 -8). Selain itu, sehubungan dengan waktu kematian, persentase kematian adalah 78% untuk 24 sampai 48 jam pertama, 21% untuk hari ke 3 sampai 5, dan hanya 1% setelahnya (Bahloul et al., 2004).

  Menurut Depkes RI (2007), waktu 6-12 jam setelah cedera kepala berat, otak akan mengalami fase sistemik inisial berupa penurunan tekanan darah, oksigenasi, temperatur, kontrol glukosa darah, status cairan, infeksi dimana fase ini merupakan awal kematian. Pada fase ini telah terjadi cedera kepala sekunder dimana akan menyebabkan iskemia otak yang akan menentukan outcome pasien cedera kepala.

  Menurut Sorbo (2009), pasien dengan cedera kepala berat, 20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56,6 % mengalami cedera kepala dan 54,4 % diantaranya hanya dapat bertahan hidup (survive) sampai 6 jam pertama. melakukan penanganan awal yang tepat, mempercepat waktu prehospital, yaitu waktu dari terjadinya kecelakaan sampai dengan kedatangan di Instalasi Gawat Darurat dan dengan mencegah terjadinya hipotensi

  (tekanan sistolik ≤ 90 mmHg) yang merupakan akibat tambahan yang menyertai cedera kepala (Stiver & Manley, 2008).

D. Analisis Ketahanan Hidup

  Menurut Kartsonaki (2016), analisis ketahanan hidup (survival

  analysis ) adalah analisis data time-to-event. Data tersebut menggambarkan

  lamanya waktu dari asal waktu sampai titik akhir tertentu. Metode analisis ketahanan biasanya digunakan untuk menganalisis data yang dikumpulkan secara prospektif tepat waktu, seperti data dari studi kohort prospektif atau data yang dikumpulkan untuk uji klinis.

  Analisis ketahanan hidup menyangkut tindak lanjut pada waktu individu dari pengalaman awal atau paparan sampai kejadian yang terpisah. Analisis ini dapat digunakan untuk menggambarkan kelangsungan hidup satu kelompok pasien, namun dapat digunakan untuk membandingkan pengalaman kelompok pasien atau subjek yang berbeda. Waktu tindak lanjut adalah interval, biasanya dalam hitungan hari, bulan atau tahun , antara dimulainya tindak lanjut untuk subjek sampai kejadian yang diminati atau sampai disensor (Flynn, 2012). Analisis ketahanan hidup banyak digunakan dalam penelitian klinis dan epidemiologi. Dalam uji klinis acak, digunakan untuk membandingkan terjadinya perbedaan hasil pada pasien yang et al., 2009).

  Dalam analisis ketahanan hidup, variabel waktu sebagai survival time, karena variabel ini menunjukan waktu dari seseorang untuk survived dalam periode waktu tertentu. Variabel secara khusus disebut event dan failure,di mana event mengacu pada kematian, insiden penyakit, atau hal negatif pada individu. Akan tetapi bisa juga suatu kasus positif, misalnya penelitian tentang lamanya waktu kembali bekerja setelah operasi bedah efektif (Kleinbaum & Klein, 2012).

  Analisis ketahanan hidup adalah suatu metode yang berhubungan dengan waktu, mulai dari time origin atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian khusus atau endpoint. Dengan kata lain, analisis ketahanan hidup memerlukan data yang merupakan waktu survival dari suatu individu. Dalam bidang kesehatan data ini diperoleh dari suatu pengamatan terhadap sekelompok atau beberapa kelompok individu dan dalam hal ini adalah pasien, yang diamati dan dicatat waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu (Collet, 1994). Kegagalan yang dimaksudkan antara lain adalah kematian karena penyakit tertentu, keadaan sakit yang terulang kembali setelah pengobatan atau munculnya penyakit baru. Apabila kegagalan yang diamati adalah terjadinya kematian pada pasien maka waktu survival yang dicatat antara lain sebagai berikut :

1. Selisih waktu mulai dilakukannya pengamatan sampai terjadinya kematian dan data tersebut termasuk tidak terpotong (uncensored data).

  Jika waktu kematiannya tidak diketahui, maka memakai selisih waktu mulai dilakukannya pengamatan sampai waktu terakhir penelitian dan data tersebut termasuk data terpotong (censored data).

  Menurut Cox dan Oakes (1984), terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam menentukan waktu survival secara tepat, yaitu sebagai berikut : 1. waktu awal (time origin/starting point).

  2. event dari keseluruhan kejadian harus jelas. 3. skala pengukuran waktu survival.

  Menurut Kleinbaum dan Klein (2012), pada analisis survival ada problem yang kemungkinan beberapa individu tidak bisa diobservasi yang disebut dengan data tersensor. Data tersensor disebabkan oleh: a.

  Lost of follow up bila pasien memutuskan untuk pindah ke Rumah Sakit lain.

  b.

  Drop out bila pasien memilih untuk pulang paksa dari Rumah Sakit. c.

  Termination of study bila masa penelitian berakhir sementara pasien belum dinyatakan sembuh.

  d.

  Withdraws from the study because of death bila pasien meninggal dunia.

  Menurut Lee dan Wang (2003), data waktu ketahanan hidup digunakan untuk mengukur waktu pada peristiwa tertentu, seperti kegagalan, kematian, respon, kambuh, perkembangan penyakit tertentu, pembebasan bersyarat, atau perceraian. Waktu adalah subyek dari variasi acak yang membentuk suatu distribusi. Distribusi waktu ketahanan hidup biasanya probabilitas, dan fungsi hazard. Ketiga fungsi ini secara matematis setara, jika salah satu fungsi ini ada, maka fungsi lainnya dapat diturunkan. Menurut Kleinbaum dan Klein (2012), tujuan utama dari ketahanan hidup adalah:

  1. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi survivor atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan lain-lain.

2. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih kelompok.

  3. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan survival time/waktu ketahanan hidup misalnya dengan menggunakan “cox

  proportional hazard” .

  4. Untuk memodelkan dan menganalisis data time to event; yaitu data yang memiliki batas waktu usia dari suatu kejadian atau events. Kejadian itu disebut dengan ‘failures’. Beberapa contoh antara lain : waktu sampai komponen elektronik rusak, waktu kematian, waktu untuk mempelajari suatu keahlian.

  Dalam contoh diatas terlihat bahwa mungkin saja suatu failure time tak teramati baik karena rancangan percobaannya ataupun karena random

  

censoring. Misalnya ternyata pasien masih hidup sampai akhir dari suatu

  percobaan klinis. Analisis survival adalah suatu istilah modern yang diberikan terhadap sekumpulan prosedur statistik yang mengakomodasi Mengacu pada Lee dan Wang (2003), penjelasan terkait istilah dan fungsi dalam analisis ketahanan hidup, sebagai berikut:

1. Notasi dan terminologi a.

  Notasi T = survival time/ waktu ketahanan hidup dari variabel random (Te”0) T = nilai spesifik untuk T ᵟ = variabel dikotomi (status) = (0-1) variabel, untuk status failure (1) atau sensor (0) b.

  Terminologi S(t) = survivor function (fungsi survivor), merupakan probabilitas seseorang untuk sukses setelah unit waktu yang ditentukan ǻ membentuk kurva.

  H(t) = hazard function (fungsi hazard), merupakan probabilitas seseorang gagal setelah unit waktu yang ditentukan, seperti kebalikan dari fungsi S(t). Suatu fungsi hazard yang tinggi menandakan probabilitas kematian yang tinggi (Kleinbaum dan Klein (2012).

  2. Fungsi survivor Fungsi survivor S(t) adalah probabilitas seseorang untuk survived atau bertahan hidup lebih lama atau sama dengan waktu t,

  S (t) = P (T>t)

  S(t) = Jumlah individu yang bertahan lebih lama daripada t Jumlah individu pada data set

  Variabel random mempunyai distribusi probabilitas yang disebut “probability density function” F(t) atau fungsi kumulatif dari fungsi distribusi dari T adalah :

  F (t) = P (T<t) yaitu probabilitas seseorang untuk survived kurang

  dari waktu t, sehingga : S(t) = P (T<t) = 1 –F (t) Fungsi survivor digunakan untuk merepresentasikan probabilitas individu untuk survived dari waktu awal sampai beberapa waktu tertentu.

  3. Fungsi hazard Menurut Lee dan Wang (2003), fungsi hazard h(t) waktu kelangsungan hidup T adalah angka kegagalan bersyarat (conditional

  

failure rate ). Angka kegagalan bersyarat adalah probabilitas kegagalan

  selama interval waktu yang sangat singkat, dengan asumsi bahwa individu telah bertahan hingga awal interval, atau sebagai batas probabilitas bahwa seseorang gagal dalam interval yang sangat singkat, t

  • t, mengingat bahwa individu telah bertahan hingga waktu t:

  individu dalam interval waktu (t,t+ ∆t) ∆ →0 �kegagalan jika individu telah bertahan hidup hingga waktu t�

  ℎ( ) =

  

  Fungsi hazard dapat juga diartikan dalam istilah fungsi kumulatif didtribusi F(t) dan fungsi probabilitas densitas f(t):

  ( )

  ℎ( ) =

  1− ( )

  Berbeda dengan fungsi survival, dimana fokusnya adalah “not falling” pada fungsi hazard fokusnya adalah “falling” pada munculya suatu kejadian. Dengan demikian jika S(t) lebih tinggi untuk waktu t maka h(t) akan lebih rendah dan sebaliknya.

  Kegunaan fungsi hazard adalah : 1.

  Memberikan gambaran tentang keadaan failure rate 2. Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik 3. Membuat model matematik untuk survival analisis biasanya ditulis dalam bentuk fungsi hazard (Kleinbaum, 1997).

4. Metode analisis ketahanan hidup

  Metode analisis ketahanan hidup yang sering digunakan adalah : a. Metode table kehidupan (life table)/ akturial (cutler ederer)

  Metode ini menggunakan cara dengan menentukan interval waku yang dikehendaki. Pemilihan interval ini dilakukan dengan memperhitungkan karakteristik penyakit atau efek yang akan dipelajari. Pada metode ini dibuat interval arbitrer, dengan menganggap peluang terjadinya efek selama masa interval tersebut pengukuran dengan skala kategorikal (Sastroasmoro, 2002).

  Menurut Sastroasmoro (2002), syarat dan asumsi yang harus dipenuhi pada metode ini adalah :

  1. Saat awal pengamatan harus jelas. Bergantung dari jenis penyakit yang diteliti, saat mulai pengamatan dapat berupa mulai timbulnya keluhan, saat diagnosis atau mulainya terapi.

  2. Efek yang diteliti harus jelas, harus berskala nominal dikotom (dianggap sebanding dengan pengukuran dengan skala kategorikal) dan harus tidak bersifat multiple (setiap subyek hanya dapat mengalami efek 1 kali. Bila efek terjadi berulang kali maka efek pertamalah yang dihitung.

  3. Kejadian lost to follow up harus independen terhadap efek.

  4. Resiko untuk terjadi efek tidak bergantung terhadap pada tahun kalender dan resiko untuk terjadi efek pada interval waktu yang dipilih dianggap sama.

5. Pasien yang tersensor dianggap mengalami ½ efek.

  Asumsi yang berlaku pada metode ini adalah subyek yang hilang terjadi pada pertengahan interval dan probabilitas untuk bertahan hidup pada periode tidak tergantung pada probabilitas bertahan hidup pada periode lainnya.

  Metode Kaplan Meier Metode ini merupakan jenis teknik analisis ketahanan hidup yang sering digunakan. Produk ini sering disebut product limit

  method. Berbeda dengan metode akturial, pada cara Kaplan Meier tidak dibuat interval tertentu, efek dihitung tepat pada saat ia terjadi.

  Lama pengamatan masing-masing subyek disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang, dengan catatan yang tersensor diikut sertakan dihitung. Hal ini dianggap sebanding dengan pengukuran berkala numeric (Sastroasmoro, 2002).

  c.

  Regresi Cox Regresi Cox merupakan model yang menggambarkan hubungan antara waktu survival sebagai variabel dependen dengan satu set variabel independen. Variabel independen ini bisa kontinu ataupun kategorik. Regresi Cox menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan risiko relatif untuk gagal. Fugsi hazard h(t) adalah sebuah angka estimasi potensi untuk mati pada 1 unit waktu pada saat tertentu, dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak interval waktu tersebut. Karena fungsi hazard bukan suatu probability (0-1), maka ia dapat mempunyai nilai 0 hingga ∞. Regresi Cox dirumuskan sebagai berikut :

  h(t,x) = h0(t) exp( β1x1 + β2x2 + ... + βnxn

  Dimana :

  x1, x2 , … n : variabel-variabel bebas β1, β2, … n : parameter regresi

  Tujuan penggunaan regresi Cox adalah untuk: 1.

  Mengestimasi hazard ratio 2. Menguji hipotesis 3. Melihat confident interval dari hazard ratio

  

Hazard Ratio (HR) adalah rasio dua hazard pada x=1 dan x=0

  merupakan exp(b), artinya ingin diketahui beberapa besarnya rasio untuk hazard failure pada x terpapar dibanding tak terpapar.

  Interpretasi HR~seperti RR atau OR Cox Proportional Hazard model sangat populer digunakan karena: 1.

  Dapat mengestimasi hazard ratio tanpa perlu diketahui ho(t) atau

  baseline hazard function

  2. Dapat mengestimasi ho(t), h(t,x), dan fungsi survivor meskipun ho(t) tidak spesifik

3. Cox model robust sehingga hasil dari cox model hampir sama dengan hasil model parametric.

  Formula model cox menyatakan bahwa hazard pada waktu t adalah merupakan hasil dari 2 kuantitas. Pada bagian pertama disebut dengan baseline hazard function sedangkan pada kuantitas kedua disebut dengan eksponensial yang dinyatakan dengan e hingga jumlah

  Hal penting pada formula tersebut adalah perhatian terhadap asumsi porporsional hazard, yaitu baseline hazard adalah fungsi dari t dimana ekspresi eksponensial meliputi x tetapi tidak melibatkan t,x disini disebut dengan time independen x (x tidak tergantung waktu), bila hal ini terjadi maka x disebut time dependen variable, model ini disebut dengan extended Cox model.

  Menurut Kleinbaum dan Klein (2012), asumsi pada model Cox Proportional Hazard adalah hazard rasio yang membandingkan dua kategori dari prediktor adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung waktu. Apabila asumsi tidak terpenuhi maka model yang digunakan regresi cox dengan time dependent covariat atau

  

extended cox model. Secara umum ada 3 pendekatan untuk mengkaji

  asumsi proportional hazard, yaitu:

  1. Pendekatan grafik, suatu model Cox Proportional Hazard dikatakan memenuhi asumsi PH jika plot log-log antara masing- masing kategori variabel prediktor sejajar dan atau plot observed versus expected antara masing-masing kategori variabel prediktor saling berdekatan.

2. Variabel time-dependent, ialah variabel prediktor model Cox Proportional Hazard yang diinteraksikan dengan fungsi waktu.

  Model Cox Proportional Hazard dikatakan memenuhi asumsi PH 3.

  Menggunakan goodness of fit test, pengujian korelasi antara residual Schoenfeld dan waktu survival yang telah diurutkan, dengan langkah-langkah: a.

  Memperoleh residual Schoenfeld dari hasil meregresikan data waktu survival dengan variabel prediktor b.

  Mengurutkan waktu survival dari yang terkecil hingga terbesar.

  c.

  Menghitung korelasi antara residual Schoenfeld dan waktu survival yang telah diurutkan.

  d.

  Menguji korelasi antara residual Schoenfeld dan waktu survival yang telah diurutkan dengan hipotesis (Ender, 2010).

E. Kerangka Teori Penelitian ini mengacuh pada kerangka teori Model sistem Newman.

  Model keperawatan yang dikembangkan Newman adalah pendekatan manusia secara menyeluruh (holistic) yang berdasarkan pada kerangka kerja sistem adaptasi. Pendekatan teorinya adalah pendekatan yang holistik dan total. Kekuatan model ini ditekankan pada pencegahan, pendidikan kesehatan dan kesejahteraan dengan pendekatan manajemen sakit dan sehat (Parker, 2001). Newman menyajikan aspek-aspek model sistemnya dalam suatu sosiokultural, perkembangan dan spiritual, basic structure dan energy resources, line of resistance, normal line of defense, flexible line of defense, stressor, reaksi, pencegahan primer, sekunder, tertier, faktor intra, inter dan ekstra personal, serta rekonstitusi. Adapun faktor lingkungan, kesehatan, keperawatan dan manusia merupakan bagian yang melekat pada model ini yang saling berhubungan dan mendukung ke arah stabilitas sistem (Rondonuwu, 2013). Menurut Newman dalam (Ahmadi & Sadeghi, 2017) individu dikatakan memiliki inti mekanisme bertahan hidup dalam bentuk pengendalian suhu, ego, dan fungsi organ mekanisme inti ini dilindungi oleh garis pertahanan. Lapisan luar adalah garis pertahanan yang fleksibel, dan bervariasi dalam merespon stressor. Garis pertahanan dalam atau ‘normal’ mewakili keadaan sehat dan adaptasi individu. Garis resisten mewakili faktor internal yang menentukan respon organisme terhadap stressor. Stress sangat penting untuk konsep lingkungan dan digambarkan sebagai kekuatan lingkungan untuk berinteraksi dan berpotensi mengubah stabilisasi sistem.

  Menurut Newman dalam Christensen dan Kenney (2009), keperawatan berkaitan dengan pemeliharaan stabilisasi klien dengan mengurangi reaksi atau memungkinkan reaksi terhadap stresor. Menurut Newman dalam Parker dan Smith (2010), tujuan dan intervensi ditentukan dan disepakati secara konsisten dalam sistem perawatan kesehatan untuk klien terkait dengan masalah kesehatan. Pengkajian klien, diagnosis keperawatan dengan dikembangkan dalam melakukan tindakan keperawatan yang sesuai dengan masing-masing tipologi pencegahan. Pencegahan primer terdiri atas intervensi yang dilakukan sebelum atau setelah berhadapan dengan stressor, hal ini memungkinkan terjadi penurunan terhadap stressor untuk menguatkan garis pertahanan fleksibel jika ada stress. Pencegahan sekunder terdiri atas intervensi yang dilakukan setelah berhadapan dengan stressor, hal ini mencakup kasus dan pengobatan gejala setelah reaksi stressor, dalam hal ini adalah pengobatan cedera kepala. Pencegahan tersier terdiri atas intervensi yang umumnya dilakukan setelah pengobatan. Intervensi ini difokuskan pada readaptasi, reduksi untuk mencegah kekambuhan di masa yang akan datang dan pemeliharaan kesehatan yang optimal.

  Pencegahan Garis Pertahanan Stressor Cedera Kepala

  Jenis Perdarahan Otak :

  1. Garis perlawanan, Biologi Pencegahan primer mengurangi

  Epidural

  2. Garis pertahanan normal Psikologi kemungkinan terpapar dg stressor

  3. Garis pertahanan fleksibel Subdural Sosiokultural mempengaruhi garis pertahanan yg

  Subaraknoid Perkembangan fleksibel Intraserebral

  Spiritual Pencegahan sekunder untuk penemuan kasus baru dengan jenis perdarahan otak

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

  Pencegahan tersier : readaptasi reedukasi untuk mencegah kejadian di masa depan mempertahankan stabilitas

  Analisis Ketahanan Hidup..., Rizky Aulia Mahdi, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2018

F. Kerangka Konsep

  Variabel Bebas Variabel Terikat Jenis perdarahan otak : Epidural

  Ketahanan Hidup Subdural Subaraknoid Intraserebral G.

   Hipotesis

  Ada hubungan antara jenis perdarahan otak dengan waktu ketahanan hidup (survival time) pada pasien cedera kepala di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.