Eka Purwanti BAB II

BAB II Tinjauan Pustaka A. Tuberkolosis Paru pada Anak 1. Pengertian TB Paru Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular langsung yang

  disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI,2002). TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) (Tim Kelompok Kerja PPOK, 2003).

  Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

  Kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun dalam jaringan tubuh, (Kemenkes RI, 2002).

  Penderita TB BTA positif menyebarkan kuman melalui batuk atau bersin ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Penularan juga dapat terjadi secara langsung jika dahak penderita diludahkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari, kemudian

  

27 mengering dan menyatu dengan debu, jika debu ini terhisap maka orang tersebut akan terinfeksi (Crofton dkk, 2002).

2. Gejala Tuberkolosis Paru Anak

  Penanganan kasus Tuberkolosis Paru (TB Paru) dibagi dalam dua kelompok yaitu TB anak (0-14 tahun) dan dewasa (> 15 tahun).

  Penanggulangan kasus TB anak lebih sulit dibandingkan TB dewasa, khususnya dalam penemuan penderita dan diagnosis TB anak. Anak yang mengalami gejala TB juga belum tentu terkena penyakit TB paru, sehingga harus didukung dengan uji tuberkulin dan foto rontgen (Kemenkes RI, 2002).

  Seorang anak dicurigai menderita TB jika:

  a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA positif (+).

  b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam waktu 3-7 hari).

  c. Terdapat gejala umum TB.

  Gejala umum TB pada anak menurut Kemenkes RI (2008):

  a. Asymptomatis, penyakit TB anak tidak mempunyai gejala yang khas dan sering diketahui tanpa gejala.

  b. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik, nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh (failure to thrive). c. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan thypoid, malaria atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut) d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering muncul di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha

  (inguinal)

  e. Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada f. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen 3.

   Penemuan Penderita TB Paru Anak Penemuan penderita TB pada anak merupakan hal yang sulit.

  Diagnosis TB anak sebagian besar didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin (Kemenkes RI, 2002).

4. Diagnosis TB Paru Anak

  Diagnosis paling tepat untuk menentukan penyakit TB adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya sputum, bilas lambung, biopsi, dan lain-lain. Diagnosis pada anak sangat sulit dan jarang didapatkan hasilnya, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, foto thorak rongent dan uji tuberkulin. Sitem skoring untuk menentukan TB paru anak meliputi beberapa item, yaitu: 1) Ada riwayat kontak erat dengan kasus TB baik diketahui maupun suspek, 2) Gambaran radiologik mengarah ke TB, 3) Tes tuberkulin posistif, 4) BTA positif, 5) Batuk > 2 minggu, 6) Kemungkinan respon terhadap pemberian obat anti TB (berat badan naik 10% setelah pengobatan 2 bulan, gejala menurun), 7) Reaksi cepat BCG, yaitu timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi, dan 8) Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang spesifik (Kemenkes RI, 2007).

5. Uji Tuberkulin

  Uji tuberkulin perlu dilakukan untuk identifikasi infeksi dengan mikobakterium tuberkulosis, menaksir hasil suatu vaksinasi BCG, mengetahui prevalensi dan insidensi infeksi tuberkulosis. Uji tuberkulin tidak 100% sensitif dan spesifik, tapi uji ini masih banyak digunakan karena belum ada metode lain yang lebih baik dan dapat digunakan secara luas. Uji kulit ini juga dapat digunakan pada bayi, anak dan dewasa.

  Standarisasi teknik uji tuberkulin adalah menggunakan uji Mantoux yang disuntikkan intradermal di permukaan volar lengan bawah. Manifestasi yang ditunjukkan pada 6-12 jam sesudah penyuntikan adalah mulainya terjadi delayed hypersensitivity yang klasik yaitu reaksi lokal berupa eritema karena vasodilatasi primer, edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan antibodi dan indurasi yang dibentuk oleh sel-sel mononukleus sering disertai rasa gatal, dan bisa pula nyeri saat disentuh. Hasil pemeriksaan imunopatologi uji tuberkulin, antara 6

  • –12 jam ditemukan dilatasi pembuluh darah kapiler, hiperemi dan infiltrasi sel lekosit netrofil. Sel lekosit netrofil terus menurun setelah 12
  • –72 jam, sebaliknya monosit
akan meningkat mulai 6

  • –12 jam sampai dengan 72 jam. Sel monosit terdiri dari 80-90% limfosit dan 10 –20% sel makrofag.

  Uji Mantoux yang dipakai ada 2 jenis yaitu Old tuberkulin (OT) dan

  Purified Protein Derivative (PPD). PPD yang sering dipakai yaitu PPD

  • –S (Seibert) dan PPD-RT 23 (Renset 23). Kekuatan uji tuberkulin dinyatakan dalam International Tuberculin Unit atau TU, 1 TU = 0,01 mg OT atau 0,00002 mg PPD. Dosis baku uji Mantoux adalah 0,1 ml PPD dengan kekuatan intermediate yaitu 5 TU, disuntikkan secara intradermal di bagian volar lengan depan dengan menggunakan satu syringe plastik dan 1 jarum pendek berukuran 26 atau 27G yang dimiringkan kearah atas. Benjolan berwarna putih berdiameter 6 –10 mmakan muncul pada saat suntikan.

  Reaksi terhadap tuberkulin sudah terjadi 5-6 jam sesudah penyuntikan, tetapi maksimal indurasi terjadi 48-72 jam sehingga pembacaan dilakukan pada 48

  • –72 jam. Bisa saja terjadi reaksi hipersensitivitas cepat terhadap tuberkulin atau pengencernya, dan untuk membedakannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat reaksi ini akan hilang dalam 24 jam.

  Hasil uji tuberkulin dinyatakan dengan mengukur diameter transversalindurasi dalam mm, yaitu: Indurasi 0-4 mm berarti uji tuberkulin negatif. Arti klinisnya menunjukkan bahwa tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.

  Indurasi 5-9 mm berarti uji tuberkulin meragukan. Hal ini dapat terjadi karena kesalahan teknis, reaksi silang dengan atipik mikobakterium atau setelah vaksinasi BCG.

  Indurasi ≥ 10 mm berarti uji tuberkulin positif. Arti klinisnya menunjukkan bahwa sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium

  tuberculosis . Pada anak yang telah mendapat imunisasi BCG diameter

  indurasi 15 mm keatas baru dinyatakan positif, sedangkan pada anak kontak erat dengan penderita tuberkulosis aktif indurasi 5 mm keatas harus dinyatakan positif.

  6. Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) Penyakit TB Paru Anak

  Semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak eratdengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaanmenggunakan sistem skoring. Hasil evaluasi dengan skoring sistem menunjukkan hasil skor < 5, maka anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengandosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Anak yang belum pernahmendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dapat dilakukan setelah pengobatanpencegahan selesai (Kemenkes RI, 2007).

  7. Pengobatan Penyakit TB Paru Anak

  Sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukupadekuat. Setelah pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinismaupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakanparameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Perbaikan klinis yang nyata akan dijumpai walaupun gambaran radiologik tidakmenunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.

  Tujuan pengobatan TB paru adalah :

  a. Menyembuhkan penderita

  b. Mencegah kematian

  c. Mencegah kekambuhan

  d. Menurunkan tingkat penularan Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 2.1. Dosis OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) pada anak

  Berat badan (kg) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari RHZ (75/50/150) RH (75/50)

  5-9 1 tablet 1 tablet 10-19 2 tablet 2 tablet 20-32 4 tablet 4 tablet

  Sumber: Kemenkes, 2007

  Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Pasien yang mengalami efek samping OAT KDT, disediakan program pengobatan pengganti, yaitu OAT kombipak.

Tabel 2.2. Dosis OAT Kombipak pada anak

  Jenis Obat BB < 10 kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

  Sumber: Kemenkes, 2007

  Keterangan R : Rifampicin H : Isoniazid Z : Pyrazinamide

  Dosis yang diberikan untuk anak: a.

  2HR/7H2R2 : INH+Rifampisin setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH +Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 7 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH).

  b. 2HRZ/4H2R2 : INH+Rifampisin+Pirazinamid: setiap hari selama 2 bulan pertama, kemudian INH+Rifampisin setiap hari atau 2 kali seminggu selama 4 bulan (ditambahkan Etambutol bila diduga ada resistensi terhadap INH). Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan rifampisin diberikan bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan rifampisin 15 mg/kgbb.

  Dosis anak

  INH dan rifampisin yang diberikan untuk kasus(Kemenkes, 2007): TB tidakberat

  INH : 5 mg/kgbb/hari Rifampisin : 10 mg/kgbb/hari

  TB berat (milierdan meningitis TBC)

  INH : 10 mg/kgbb/hari Rifampisin : 15 mg/kgbb/hari

  Dosis : 1-2 mg/kgbb/hari (maks. 60 mg) prednison

B. Konsep Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan

  Menurut Sari dan Irdawati (2009), kecemasan berbeda dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap suatu yang berbahaya, kecemasan merupakan respon emosional terhadap penilaian tersebut.Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.

  Kecemasan merupakan reaksi emosional yang timbul oleh penyebab yang tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan khawatir, tidak nyaman dan merasa terancam (Mariyam, 2010). Stress psikososial merupakan keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan terhadap diri seseorang, sehingga individu tersebut terpaksa mengadakan adaptasi untuk menanggulanginya. Dari kondisi tersebut maka dapat timbul kecemasan bahkan hingga mengalami depresi (Hawari, 2002).

  Dari definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa kecemasan adalah suatu bentuk perasaan yang timbul karena adanya suatu hal yang dipersepsikan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan bersifat mengancam.

2. Klasifikasi Kecemasan

  Berdasarkan Stuart (2001), kecemasan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu: a. Kecemasan ringan yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini persepsi individu akan menyebar dan menjdikan individu tersebut lebih berhati-hati dan waspada.. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa dalam peristiwa kehidupan sehari-hari.

  b. Kecemasan sedang merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benar-benar berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi, sehingga memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian individu mengalami tindak pehatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

  c. Kecemasan berat yang sangat mengurangi lapang persepsi individu.

  Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir tentang hal lain. Kecemasan berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman sehingga individu memperlihatkan respon takut dan distress. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain. d. Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat kecemasan ini sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.

  Berdasarkan Kemenkes (2007), kecemasan individu terbagi menjadi dua,

  Gambar. 2.1. Rentang Respons Kecemasan 3.

   Gejala- GejalaKecemasan

  Gejala kecemasan menurut Atwater (1983, dalam Nadia, 2007) adalah sebagai berikut: a. Gejala emosi

  Gejala-gejala emosi yang dapat timbul dari dalam adalah suasana hati yang muram, perasaan sedih yang mendadak, kehilangan minat terhadap aktifitas sosial yang biasa dilakukan, merasa tegang, lekas marah. b. Gejala fisiologis Kecemasan yang diasosiasikan dengan perubahan-perubahan pada organ dan system tubuh seperti pada system denyut jantung, aliran darah, keadaantegang, pusing, sesak napas, dada berdebar, sakit sekitar dada dan perut dengan atau tanpa simtom yang lainnya seperti, sakit punggung, sakit kepala, mual, iritasi pada kulit seperti jerawat.

  c. Gejala kognitif Berfikir mengenai hal-hal yang negative sehingga akan menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan, cemas atau gugup, sukar berkosentrasi, menjadi susah tidur (insomnia) dan sulit mengambil keputusan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

  Berdasarkan Ohio Developmental Disabilities Council (ODDC) (2010), kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosial ekonomi, yang meliputi pekerjaan, pendapatan/status ekonomi, jaminan kesehatan anak, komposisi kepala keluarga;dimana faktor sosial ekonomi dipengaruhi olah faktor demografi, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, budaya, status kesehatan, pendidikan, dan pengetahuan; dan faktor lainnya yang mempengaruhi kecemasan adalah lingkungan, seperti ketersediaan fasilitas kesehatan, dan dukungan sosial.

  Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat (Stuart & Laria, 2001). Teori perilaku meyebutkan kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu karena mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa individu terbiasa sejak kecil dihadapkan suatu ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya (Purba dkk, 2009).

  Kajian keluarga menyebutkan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan juga terkait dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga (Stuart & Laria, 2001).

  Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine, obat-obat yang meningkatkan neuroregulator inhibisi

  asam gama aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam

  mekanisme biologis yang berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisposisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai oleh gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu untuk mengatasi stressor (Stuart& Laria, 2001).

C. Konsep Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu obyek tertentu (Mubarak, 2007).

  Notoadmodjo (2007), menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah individu melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Lebih lanjut Notoadmodjo mengemukakan sebelum seseorang berperilaku, individu tersebut harus mengerti terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.

  Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan pengetahuan tentang TB Paru merupakan hasil dari tahu setelah individu melakukan penginderaan/pengalaman tentang TB Paru, baik dari pengertian, hingga prosedur pengobatan TB Paru pada anak.

2. Tahap Pengetahuan

  Notoadmodjo (2007), menyatakan bahwa pengetahuan dapat terjadi oleh seseorang dengan melalui beberapa tahap: a. Awarnes (kesadaran)

  Kesadaran adalah suatu interaksi seseorang yang disadari ditempat dan waktu tertentu serta pada lingkungan social tertentu guna tercapainya suatu tujuan.

  b. Interest (tertarik) Interest adalah keinginan seseorang untuk melakuakan sesuatu dengan melakukan aksi atau perlakuan apapun agar keinginanya dapat terpenuhi. c. Evaluation (menimbang-nimbang) Menimbang-nimbang adalah suatu proses berfikir tentang baik- buruknya suatu kreativitas yang mengantarkan seseorang mencapai cita- cita.

  d. Trial (mencoba) Mencoba adalah sebuah proses usaha secara terus pada sesuatu yang telah diamati atau diteliti seseorang.

  e. Adoption (adaptasi) Adaptasi adalah hubungan social antara sesame manusia baik dari kebudayaan, dan lingkungannya.

3. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor : a. Tingkat Pendidikan

  Semakin tinggi pendidikan maka akan lebih mudah menerima hal

  • – halbaru dan mudah menyesuaikan dengan hal-hal baru seperti pada orang tua anak penderia TB paru.

  b. Informasi Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan memberikan pengetahuan yang lebih jelas.

  c. Budaya

  Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkatan pengetahuan seseorang karena informasi

  • –informasi baru akan disaring kira - kira sesuai atau tidak dengan budaya yang dianut.

  d. Pengalaman Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, maksudnya pendidikan yang lebih tinggi pengalamannya akan lebih luas.

  Semakin tinggi pengalaman/pengetahuan orang tua dalam merawat anak TB Parudapat membentuk rasa percaya diri sehingga mempengaruhi pikiran dan perawatan orang tuapada anaknya sebagai penderita TB Paru.

  e. Sosial ekonomi Merupakan tingkat seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bersosialisasi sehingga berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan orang tua anak penderita TB Paru.

4. Tingkatan Pengetahuan

  Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara langsung atau dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden yang ingin diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dari responden (Notoadmodjo, 2003).

  Nadia (2007), menjelaskan jika kecemasan dipengaruhi oleh tingkat pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu pada saat mengalami kondisi krisis. Pendapat ini dipertegas oleh Notoadmodjo (2003), pengetahuan merupakan faktor yang penting dalam proses adaptasi terhadap kondisi yang baru. Wong et al (2007), melaporkan level kecemasan pasien trauma muskuloskeletal menurun setelah diberikan intervensi tambahan pengetahuan selama 3 bulan.

  Tingkat pengetahuan dibagi menjadi 3 kategori menurut Arikunto (2004), yaitu : a. baik, apabila skor jawaban responden > 75% dari nilai tertinggi.

  b. sedang, apabila skor jawaban responden 60%-75% dari nilai tertinggi c. kurang, apabila skor jawaban responden < 60% dari nilai tertinggi.

D. Status Ekonomi

  Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006).

  Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder (Soetjiningsih, 2004). Sedangkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) (2013) menjelaskan jika status ekonomi merupakan keseimbangan antara pemasukan/penghasilan keluarga dan pengeluaran keluarga dalam setiap bulan.

  Littik (2007) memaparkan jika status ekonomi menggambarkan penghasilan rata-rata keluarga tiap bulan. Tingkat pendapatan dapat menjadi tolok ukur status ekonomi keluarga. Rendahnya tingkat pendapatan dapat mengakibatkan daya beli keluarga menurun.

  Berdasarkan definisi-definisi di atas, disimpulkan jika status ekonomi merupakan gambaran tingkat kesejahteraan berdasarkan keseimbangan antara tingkat pendapatan keluarga dan pengeluaran keluarga setiap bulan.

  Berdasarkan Suparyanto (2009) tingkat pendapatan terbagi menjadi tiga tipe yaitu:

  1. Tipe Kelas Atas (> Rp 2.000.000).

  2. Tipe Kelas Menengah (Rp 1.000.000 -2.000.000).

  3. Tipe Kelas Bawah (< Rp 1.000.000) Status ekonomi berdasarkan BKKBN (2013), terbagi menjadi tiga kategori yaitu, kategori pertama adalah status ekonomi yang adekuat/tinggi jika pendapatan per bulan lebih besar dari pengeluaran sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kategori ke-dua adalah status ekonomi cukup, jika jumlah pendapatan per bulan sama besar dengan jumlah pengeluaran per bulan, sehingga pendapatan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. kategori terakhir adalah status ekonomi rendah yaitu jika penghasilan keluarga per bulan belum dapat mencukupi pengeluaran/kebutuhan keluarga per bulan.

  Kompleksnya permasalahan yang dihadapi orang tua anak penderita TB Paru, tidak terkecuali yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Keberadaan anggota keluarga dengan gangguan kesehatan kronis, seperti TB Paru menyebabkan meningkatnya penggunaan fasilitas kesehatan, obat, dan alat bantu kesehatan secara berkelanjutan, sehingga mempengaruhi kondisi status ekonomi keluarga (ODDC, 2010). ODDC melanjutkan permasalahan status ekonomi merupakan tekanan bagi keluarga khususnya orang tua sehingga mempengaruhi kondisi emosi orang tua. Nadia (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan keberadaan anggota keluarga yang sakit kronis menimbulkan beragam permasalahan keluarga yang baru seperti permasalahan sosial dan keuangan terkait pengobatan pasien. Pendapat lainnya disampaikan oleh Siringoringo (2011) yang menerangkan jika permasalahan keluarga dan permasalahan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kecemasan kerja sehingga cenderung lebih sering merasakan kelelahan fisik.

E. KerangkaTeori

  Berdasarkan landasan teori-teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka teori dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

  Gambar Skema 2.2. Kerangka Teori Faktor-Faktor Kecemasan ODDC(2010)ModifikasiStuart & Laria (2001) .

  Kecemasan Orang Tua Anak Penderita TB Paru Faktor Sosial Ekonomi : Pekerjaan,

  Konflik pendapatan/status ekonomi, jaminan kesehatan anak, komposisi kepala keluarga Faktor Lingkungan : ketersediaan fasilitas kesehatan, dan dukungan sosial Demografi:

  Usia jenis kelamin, budaya, kesehatan/konsumsi obat pendidikan, dan pengetahuan

  • Keterangan : yang bergaris tebal merupakan variabel penelitian.

F. Kerangka Konsep

  Berdasarkan landasan teori dan kerangka teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

  Variabel BebasVariabelTerikat Pengetahuan:

  Pengertian Penyebab Karakteristik Proses Pengobatan

  Kecemasan Orang Tua

  Pencegahan TB Paru

  Status Ekonomi

  Status ekonomi tinggi Status ekonomi cukup Status ekonomi rendah

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian G.

   Hipotesis

  Hipotesis merupakan suatu jawaban sementara dari suatu permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dikemudian hari (Sugiyono, 2008).Dalam penelitian ini rumusan hipotesis yang akan di uji kebenarannya adalah hubungan pengetahuan dan status ekonomi dengan kecemasan orang tua terhadap proses pengobatan anak penderita TB Paru di BP4 Purwokerto, sehingga hipotesis penelitian adalah terdapat hubungan pengetahuan dan status ekonomi dengan kecemasan orang tua terhadap proses pengobatan TB paru di BP4 Purwokerto.