BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II DITA KHOERUN NISA FARMASI'14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Analisis Farmakoekonomi Farmakoekonomi telah ditetapkan sebagai deskripsi dan analisis biaya

  terapi obat untuk sistem kesehatan dan sosial. Penelitian farmakoekonomi adalah proses mengidentifikasi, mengukur, membandingkan biaya, risiko, serta manfaat dari program, layanan, atau terapi dan menentukan alternatif yang menghasilkan outcome perawatan kesehatan yang terbaik untuk sumber investasi. Informasi ini dapat membantu para pembuat keputusan klinis dalam memilih pilihan perawatan kesehatan yang paling efektif dan ekonomis (Trask, 2011).

1. Metode Analisa Farmakoekonomi

  Metode Analisa Farmakoekonomi dipisahkan menjadi dua bagian yang berbeda, yaitu: teknik evaluasi ekonomi dan kemanusiaan. Metode ini telah digunakan dalam berbagai bidang dan sedang diterapkan untuk system kesehatan. Teknik evaluasi ekonomi yang digunakan ada empat metode, yaitu: Cost Benefit Analysis (CBA), Cost Effectiveness Analysis (CEA), Cost Minimization Analysis (CMA), dan Cost Utility Analysis (CUA) (Trask, 2011).

a. Cost Benefit Analysis (Analisa Manfaat Biaya).

  CBA adalah metode yang memungkinkan untuk identifikasi, pengukuran dan perbandingan manfaat dan biaya program atau pengobatan alternatif. CBA dapat digunakan ketika membandingkan pengobatan alternatif di mana biaya dan manfaat tidak terjadi secara bersamaan. CBA dapat digunakan ketika membandingkan program yang berbeda tujuan karena semua manfaat dikonversi ke dalam satuan mata uang. CBA dapat digunakan untuk mengevaluasi satu program atau membandingkan beberapa program. Namun, menilai manfaat kesehatan ke dalam unit mata uang menjadi sulit diukur atau dikonversi dan kontroversial. Sehingga gambaran beberapa manfaat kesehatan dalam unit mata uang adalah tidak tepat atau tidak diterima secara luas. CBA dapat menjadi metode yang tepat untuk digunakan dalam membenarkan dan mendokumentasikan nilai pelayanan kesehatan yang ada atau nilai potensial yang baru. Sebagai contoh, ketika layanan farmasi klinik bersaing untuk sumber daya kelembagaan, CBA dapat menyediakan data untuk mendokumentasikan bahwa layanan menghasilkan pengembalian yang tinggi pada investasi dibandingkan dengan layanan kelembagaan lainnya dalam sumber daya yang sama (Trask, 2011).

  b.

   Cost Effectiveness Analysis (Analisa Efektifitas Biaya).

  Analisis efektivitas biaya (CEA) adalah metode yang menganalisis manfaat kesehatan dan sumber daya yang digunakan oleh program perawatan kesehatan yang bersaing sehingga para pembuat kebijakan dapat memilih diantara program kesehatan tersebut. CEA membandingkan program atau pengobatan alternatif dengan keselamatan yang berbeda dan kemanjuran profil. Biaya diukur dalam unit uang, dan hasil diukur dalam hal mendapatkan hasil terapi yang spesifik (Drummond, 1997). Istilah efektivitas biaya sering digunakan secara luas merujuk kepada seluruh evaluasi ekonomi, tetapi harus mengacu pada jenis evaluasi tertentu. Oleh karena itu membandingkan terapi dengan hasil yang kualitatif serupa dalam area terapi tertentu. Hasil Analisis efektivitas biaya juga dinyatakan sebagai rasio, baik sebagai Average Cost Effectiveness

  

Ratio (ACER) atau sebagai Incremental Cost effectiveness Rasio

  (ICER) yang menunjukkan biaya tambahan yang membebankan pengobatan alternatif dan pengobatan lain dibandingkan dengan efek tambahan, manfaat, atau memberikan hasil. Namun CEA hanya dapat menilai obat dalam skala mikro membandingkan alternative pengobatan dengan hasil terapi yang sama (Dipiro, et al, 2008).

   Health care costs ($) .

  ACER = Clinical outcome (not in $) ($) ($) .

  Cost A – Cost B

  ICER = Effect (%) (%)

  A – Effect B

  CEA bermanfaat dalam menyeimbangkan biaya dan outcome pasien dengan menentukan alternatif pengobatan yang mewakili hasil kesehatan yang terbaik per biaya yang dikeluarkan. CEA dapat memberikan data berharga untuk mendukung kebijakan obat, manajemen formularium dan keputusan pengobatan individu pasien. Secara global, CEA digunakan untuk menetapkan kebijakan umum mengenai penggunaan produk farmasi (nasional formularies) di negara-negara maju bahkan memiliki pedoman sendiri untuk melakukan penelitian (Trask, 2011).

  c.

   Cost Minimization Analysis (Analisis Minimalisasi Biaya).

  Analisis Minimalisasi Biaya adalah metode untuk mengukur kisaran biaya terapi atau program terendah, yang berlaku jika manfaat yang diperoleh sama (Dipiro, et al, 2008). Analisis ini yang relatif mudah dan sederhana, hanya membandingkan dua atau lebih alternatif dengan kesetaraan alternatif terapi yang dibandingkan tersebut sama sehingga alternatif harus diasumsikan atau menunjukkan kesetaraan dalam keamanan dan keefektifan (yaitu, dua alternatif harus setara terapi). Dengan CMA, alternatif harus diasumsikan atau menunjukkan kesetaraan dalam keamanan dan kemanjuran (yaitu dua alternatif harus setara terapi). Kesetaraan hasil yang dimaksudkan dapat dikonfirmasi, biaya dapat diidentifikasi, diukur, dan dibandingkan dalam satuan biaya. Namun jika tidak ada bukti yang mendukung hal tersebut, maka analisis menjadi tidak akurat sehingga studi menjadi tidak bernilai (Trask, 2011).

  d.

   Cost Utility Analysis (Analisis Kegunaan Biaya).

  Pakar farmakoekonomi kadang-kadang ingin menyertakan ukuran preferensi pasien atau kualitas hidup ketika membandingkan bersaing pengobatan alternatif. CUA adalah sebuah metode untuk membandingkan pengobatan alternatif yang mengintegrasikan preferensi pasien dan HRQOL. CUA dapat membandingkan biaya, kualitas dan kuantitas pasien per tahun. Biaya diukur dalam mata uang, dan hasil terapi diukur dalam utilitas pasien tertimbang bukan dalam unit fisik. Sering pengukuran utilitas yang digunakan adalah kesesuaian kualitas hidup yang diperoleh tahun (QALY). QALY adalah ukuran umum dari status kesehatan yang digunakan dalam CUA, menggabungkan morbiditas dan mortalitas data. Sebagai contoh, dalam setahun penuh kesehatan pasien benar-benar sehat maka nilainya sama dengan 1,0 QALY, sedangkan pasien yang menghabiskan setahun dengan penyakit tertentu akan dinilai secara signifikan lebih rendah tergantung pada penyakit. CUA adalah metode yang paling tepat untuk digunakan ketika membandingkan program dan pengobatan alternatif yang memperpanjang harapan hidup dengan efek samping yang serius, yang menghasilkan pengurangan morbiditas daripada kematian. CUA kurang sering digunakan dibandingkan dengan metode evaluasi ekonomi lain karena kurangnya kesepakatan pada mengukur utilitas, kesulitan membandingkan QALYs pasien dan populasi, dan kesulitan kuantifikasi preferensi pasien (Trask, 2011).

B. Hipertensi 1. Definisi

  Hipertensi adalah tekanan darah yang bersifat abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Secara umum seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darah sistolik (TDS) 140mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg atau lebih (Gunawan, 2007).

  Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) mencangkup 4 kategori sebagai berikut:

  

Table 1. klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan darah sistolik

  (mmHg) Tekanan darah diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80

  Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage 1 140-159 90-99 Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

  2. Etiologi Hipertensi

  Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: a. Hipertensi primer atau hipertensi esensial yaitu hiperensi yang tidak diketahui penyebabnya (Benowitz, 2001). Penyebab hipertensi primer adalah multifaktor yang terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetic mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas (Gunawan, 2007).

  b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti glomerulonephritis, aterosklerosis, aldosteronisme primer, koarktasio aorta, obesitas, stess berat, hipertensi karena kehamilan, dan penggunaan obat kortikosteroid (Susalit et al, 2001).

  3. Patofisiologi Hipertensi

  Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Gunawan, 2007).

  4. Gejala Klinis Hipertensi

  Hipertensi tidak memberikan gejala khas, setelah beberapa tahun adakalanya pasien baru merasakan nyeri kepala pagi hari sebelum bangun tidur, nyeri ini biasanya hilang setelah bangun (Tjay dan Rahardja, 2001). Survei hipertensi di Indonesia, keluhan yang dirasakan pasien hipertensi seperti pusing, cepat marah, telinga berdenging, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, sakit kepala, dan mata berkunang-kunang. Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal (Susalit et al, 2001).

  5. Diagnosis Hipertensi

  Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang terjadi pada pengukuran berulang. Diagnosis hipertensi bergantung pada pengukuran tekanan darah dan bukan pada gejala yang dilaporkan oleh pasien (Benowitz, 2001). Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila TDS ≥ 210 mmHg dan atau TDD ≥ 120 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi sedikitnya pada 2 kunjungan lagi dalam waktu 1 sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang tersebut diperoleh nilai rata- rata TDS ≥ 140 mmHg dan atau TDD ≥ 90 mmHg (Gunawan, 2007). Pemeriksaan yang lebih teliti perlu dilakukan pada organ target untuk menilai komplikasi hipertensi, dan pemeriksaan funduskopi dapat membantu menegakkan diagnosis adanya komplikasi yang disebabkan oleh hipertensi. Pemeriksaan ureum, kreatinin, kalium, kalsium, urinalisis, asam urat, dan glukosa darah perlu dilakukan pada pasien hipertensi (Susalit et al., 2001).

6. Penatalaksanaan Hipertensi

  Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah yang tinggi. Penurunan TDS menjadi tujuan utama pengobatan karena umumnya TDD akan terkontrol bersamaan dengan terkontrolnya TDS. Target tekanan darah tanpa kelainan penyerta adalah <140/90 mmHg. Terdapat hubungan yang nyata antara tekanan darah dengan terganggunya fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup (Gunawan, 2007). Penanggulangan hipertensi dapat dilakukan secara non farmakologis dan farmakologis. Penatalaksanaan non farmakologis dilakukan dengan perubahan gaya hidup dapat menurunkan resiko kardiovaskuler dengan biaya sedikit dan resiko yang menimal, tatalaksana ini tetap dianjurkan meski disertai obat AH karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat. Penatalaksanaan farmakologis diutamakan dilakukan untuk menurunkan TD dan mencegah terjadinya penyakit komplikasi. AH yang dapat digunakan terdiri dari 5 golongan obat seperti: ACEI, diuretik, β-bloker, antagonis kalsium, dan α-bloker. a. ACEI (Antagonis Converting Enzyme-Inhibitors).

  ACEI sebagai AH memiliki mekanisme menghambat pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan yang menyebabkan ekskresi natrium dan air serta retensi kalium. ACEI efektif sebagai AH pada sekitar 70% penderita. ACEI efektif untuk hipertensi yang ringan,sedang,maupun berat. Efek samping utama yang ditimbulkan antara lain batuk kering, gangguan pengecap, gagal ginjal akut, proteinuria, hyperkalemia, dan hipotensi (Gunawan, 2007).

  b. Diuretik Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal (Tjay dan

  Raharja, 2001). Mekanisme antihipertensi diuretik yaitu meningkatkan ekskresi natrium, kalium, dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel sehingga terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Diuretic tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan AH lainnya bila TD tidak berhasil diturunkan. Tiazid jarang menyebabkan hipotensi ortostatik dan ditoleransi dengan baik, harganya murah, dapat diberikan satu kali sehari, dan efek AH nya bertahan pada pemakaian jangka panjang. Diuretik kuat misalnya furosemide merupakan AH yang bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara

  menghambat kontrasport Na , K , Cl dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretic kuat jarang digunakan sebagai AH kecuali pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung. Diuretik hemat kalium (contoh: spironolakton) merupakan diuretik lemah, penggunaannya terutama dalam kombinasi diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi hypokalemia dan diuretik lain. Dapat menyebabkan hyperkalemia pada penderita gangguan fungsi ginjal dan bila dikombinasikan dengan ACEI

  , ARB, β bloker, AINS atau dengan suplemen kalium. Efek samping berupa ginekomastia, mastodinia, menstruasi tidak teratur (Gunawan, 2007).

  c. Beta-bloker Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperboleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam (Gunawan, 2007).

  d. Antagonis Kalsium Antagonis Kalsium contohnya: nifedipin, diltiazem, verapamil.

  Menghambat masuknya kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Dipembuluh darah, antagonis kalsium menimbulkan relaksasi arteriol sedangkan vena kurang dipengaruhi. Efek samping yang ditimbulkan adalah hipotensi, takikardi, palpitasi, serangan angina, sekit kepala, pusing, muka merah, bradiaritmia, konstipasi dan retensi urin (Gunawan, 2007).

  e. Alfa-bloker.

  α-bloker merupakan satu-satunya AH yang berefek positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida, meningkatkan HDL), dan menurunkan resistensi insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan dyslipidemia dan/atau diabetes mellitus. Efek samping antara lain: hipotensi ortostatik, sakit kepala, palpitasi, rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat, nausea, dan lain-lain (Gunawan, 2007).

  f. Obat antihipertensi lain Tidak digunakan untuk monoterapi tahap pertama tetapi merupakan AH tambahan. Hal ini disebabkan obat-obat ini menimbulkan toleransi akibat terjadinya retensi cairan dan menimbulkan efek samping yang mengganggu pada kebanyakan penderita. Contoh: hidralazin, metildopa, reserpin (Gunawan, 2007).

7. Pencegahan Hipertensi

  Pencegahan hipertensi dipandang dari epidemiologi dapat dibedakan menjadi prepatogenesis, pathogenesis dan post pathogenesis. Pada tahap prepatogenesis level pencegahan dapat berupa primordial, promotif (promosi kesehatan), proteksi spesifik (kurangi garam sebagai salah satu factor resiko) dengan intervensi pencegahan meningkatkan derajat kesehatan gizi dan perilaku hidup sehat, pertahankan keseimbangan trias epidemiologi, serta turunkan atau hindari factor resiko. Pathogenesis dalam tahap ini dibagi dalam 2 level pencegahan yaitu diagnosis awal dan pengobatan yang tepat. Pengobatan yang tepat artinya segera mendapatkan pengobatan komprehensif dan kausal pada awal keluhan. Intervensi pencegahan pathogenesis meliputi pemeriksaan fisik periodik tekanan darah dan hindari lingkungan yang stress. Pada tahap post pathogenesis level pencegahan dengan upaya rehabilitasi yaitu perbaikan dampak lanjut hipertensi yang tidak bisa diobati (Bustan,2007).