BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus - BAB II LINTANG DEMA RARASWANGI FARMASI'14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus

  1. Definisi Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar gula dalam darah akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif. Absolut artinya pankreas sama sekali tidak bisa menghasilkan insulin sehingga harus mendapatkan insulin dari luar (melalui suntikan) dan relatif artinya pankreas masih bisa menghasilkan insulin yang kadarnya berbeda pada setiap orang (Perkeni, 2011). Secara medis dapat diartikan sebagai penyakit gangguan metabolisme akibat defisiensi hormon insulin yang diproduksi oleh sel- sel β di pankreas. Kurangnya hormon insulin mengakibatkan glukosa dalam darah tidak disimpan dan dimanfaatkan oleh sel-sel tubuh menjadi energi (Clark, 2004).

  Terdapat dua tipe utama diabetes melitus yaitu Diabetes Melitus tipe 1 dan Diabetes Melitus tipe 2 (Baynes, 2003). Diabetes Mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan non-insulin dependent diabetes

  

mellitus (NIDDM), merupakan jenis diabetes mellitus yang jumlahnya

  meningkat secara signifikan di dunia. Angka insiden diabetes mellitus tipe 2 berada pada angka tertinggi di negara berkembang. Di Indonesia khususnya, dari seluruh populasi penderita diabetes mellitus, kurang lebih 90% pasien mengalami Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu tidak tergantung insulin (Baynes, 2003).

  DM merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikendalikan, artinya sekali didiagnosa DM seumur hidup bergaul dengannya. Penderita mampu hidup sehat bersama DM, asalkan mau patuh dan kontrol teratur. Gejala khas berupa Polyuri (sering kencing), Polydipsi (sering haus), Polyfagi (sering lapar). Sedangkan gejala lain seperti Lelah/lemah, berat badan menurun drastis, kesemutan/gringgingan, gatal/bisul, mata kabur, impotensi pada pria, pruritis vulva hingga keputihan pada wanita, luka tidak sembuh-sembuh, dll. ( Dinkes, 2012)

  Kelompok faktor risiko tinggi antara lain pola makan yang tidak seimbang, riwayat keluarga/ada keturunan, kurang olah raga, umur lebih dari 40th, obesitas, hipertensi, kehamilan dengan berat bayi lahir > 4 kg, kehamilan dengan hiperglikemi, gangguan toleransi glukosa, lemak dalam darah tinggi, abortus, keracunan kehamilan, bayi lahir mati, berat badan turun drastis, mata kabur, keputihan, gatal daerah genital, dan lain- lain. ( Dinkes, 2012)

  Jumlah penderita diabetes mellitus menurut data WHO (World Health Organization), Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di dunia. Diabetes mellitus merupakan salah satu contoh penyakit degeneratif yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat berbagai kalangan dan bukan lagi menjadi konsumsi para dokter (Badawi, 2009).

  Prevalensi diabetes melitus tergantung insulin di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebesar 0,06 lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%). Prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Semarang sebesar 0,66%.

  Sedangkan prevalensi kasus DM tidak tergantung insulin lebih dikenal dengan DM tipe II, mengalami penurunan dari 0,63% menjadi 0,55% pada tahun 2012. Prevalensi tertinggi adalah Kota Magelang sebesar 7,93% (Dinkes, 2012).

  Seseorang dikatakan mengidap penyakit DM apabila kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL, atau pada 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL atau HbA1c ≥ 8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan > 140 mg/dL tetapi lebih kecil dari 200 mg/dL, maka dikatakan glukosa toleransi lemah (Sukandar et al., 2008).

  Gambar 1. Kadar glukosa menurut ADA

  2. Diabetes Melitus tipe 1 Sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent, remaja atau anak, yang ditandai dengan kekurangan produksi insulin dan memerlukan pemberian insulin setiap hari . Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui. Gejala termasuk ekskresi urin berlebihan (poliuria), rasa haus (polidipsia), kelaparan konstan, penurunan berat badan, perubahan visi dan kelelahan. Gejala-gejala ini dapat terjadi tiba-tiba (WHO, 2013).

  Diabetes Melitus Tipe 1 biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih sedikit daripada wanita. Insiden DM Tipe 1 memuncak pada usia remaja atau usia dini, maka dulu sering disebut juga Diabetes Juvenilis. Namun, DM Tipe 1 ternyata dapat timbul pada segala usia (Corwin, 2009).

  Diabetes Melitus Tipe 1 diperkirakan muncul akibat destruksi otoimun sel- sel β pulau Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan.

  Serangan otoimun dapat timbul setelah infeksi virus misalnya gonsongan (mumps), rubela, sitomegalovirus kronik, atau setelah pajanan obat atau toksin (misalnya golongan nitrosoamin yang terdapat pada daging yang diawetkan). Pada saat diagnosis DM Tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.

  Penyebab seseorang membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau

  

Langerhans tidak diketahui. Salah satu kemungkinan adalah bahwa

  terdapat suatu agen lingkungan yang secara antigenis mengubah sel-sel pankreas untuk merangsang pembentukan otoantibodi. (Corwin, 2009).

  3. Diabetes Melitus tipe 2 Sebelumnya disebut non-insulin-dependent atau orang dewasa.

  Diabetes tipe 2 terdiri dari 90 % penderita diabetes di seluruh dunia. (Ditjen Binfar, 2005). Gejala mungkin mirip dengan diabetes tipe 1, tetapi sering kurang ditandai. Akibatnya, penyakit ini dapat didiagnosis beberapa tahun setelah onset, sekali komplikasi sudah muncul (WHO, 2013).

  Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan tipe DM yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan DM Tipe 1. Umumnya penderita berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Penyebab DM Tipe 2 belum terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktivitas fisik (Ditjen Binfar, 2005).

  Individu yang mengidap DM Tipe 2 tetap menghasilkan insulin, tetapi terjadi insensitivitas sel terhadap insulin. Mungkin terdapat kaitan genetik antara kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptor- reseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat pada sel-sel. Hal ini disebut Downregulation. Mungkin juga individu yang menderita DM Tipe 2 menghasilkan otoantibodi insulin yang berkaitan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa. Alasan inilah menjadikan DM Tipe 2 disebut juga Non-insulin-Dependent Diabetes Melitus (NIDDM), karena insulin tetap dihasilkan oleh sel- sel β pankreas (Corwin, 2009).

  4. Gejala Klinik Gejala penyakit DM yang muncul akan berbeda-beda tergantung pada tipenya. Pada pengidap DM tipe 1 yang dalam tubuhnya tidak memproduksi insulin,gejalanya akan muncul lebih dini. Ketiadaan insulin dalam tubuh memaksa tubuh untuk menggunakan protein dan lemak untuk dijadikan energi. Dengan demikian sering kita lihat pengidap penyakit DM tipe 1 memiliki tubuh yang sangat kurus dari awalnya. Lain halnya dengan penyakit DM tipe 2 yang biasanya baru terdiagnosa ketika sudah dewasa, biasanya mengalami penurunan berat badan yang signifikan tanpa sebab yang jelas. Terdapat juga beberapa gejala tipikal yuang sering muncul antara lain gatal-gatal pada kulit, mudah mengantuk, kesemutan, poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Apabila terlambat ditangani bisa menyebabkan penglihatan kabur, mudah terkena infeksi dan sukar sembuh dari luka (Clark, 2004)

  5. Terapi tanpa obat Menjaga asupan pola makan merupakan salah satu terapi penyakit

  DM tanpa obat. Hal ini juga bisa dilakukan sebagai tindak pencegahan karena mayoritas pengidap penyakit DM disebabkan oleh pola makan yang tidak baik. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel- sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3- 4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Olahraga yang teratur juga tidak kalah penting untuk bisa menjaga kadar gula darah tetap normal (Ditjen Binfar, 2005).

  6. Terapi Obat Antidiabetes Oral Apabila terapi tanpa obat belum memberikan hasil yang baik dalam mengendalikan kadar glukosa darah penderita DM, maka perlu dilakukan terapi dengan menggunakan obat, terapi insulin, ataupun kombinasi keduanya. Terapi insulin merupakan keharusan bagi penderita DM Tipe 1, sedangkan untuk penderita DM Tipe 2 hanya pada kondisi tertentu apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Pemilihan obat antidiabetes oral bergantung pada tingkat keparahan penyakit, kondisi pasien, keberadaan penyakit lain, serta komplikaasi yang ada. Terapi ini bisa dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Binfar, 2005).

  Berdasarkan mekanisme kerjanya,obat-obatan antidiabetes oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Ditjen Binfar, 2005)

  1. Obat yang meningkatakan sekresi insulin, meliputi golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilanin).

  2. Obat yang meningkatkan sensivitas sel terhadap insulin (sensitizer insulin), meliputi golongan biguanida dan tiazolidindion yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara efektif.

  3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial.

  Gambar 2. Obat antidiabetik oral

  (Ditjen Binfar, 2005) B.

Obat herbal

  Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. (Radji M, 2005)

  Obat herbal masih populer di negara berkembang yang masih terkait dengan unsur tradisi dan memiliki ketersediaan sumber daya hayati. Konsekuensinya obat herbal akan menjadi sangat berperan sebagai pelayanan kesehatan primer di negara-negara tersebut. Kurangnya pengalaman, tingkat pendidikan dan informasi yang jelas tentang suatu obat herbal hanya menjadikan konsumen sebagai korban iklan dan mitos-mitos tentang khasiat tanaman herbal. Siapapun orang yang akan menggunakan produk herbal harus mengerti tingkat keamanan dalam mengkonsumsinya, karena faktanya tidak semua yang alami itu lebih aman dan efektif (Mosihuzzaman & Choudhary, 2008)

  Herba (herbs) adalah bahan mentah dari semua bagian tanaman, seperti daun, bunga, biji, batang, kayu, akar. Rhizoma dan bagian lainnya baik dalam bentuk utuh, terpisah-pisah, ataupun serbuk. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan herbal (herbal materials) adalah semua bagian (utuh) atau sebagian dari tanaman obat yang masih dalam keadaan mentah/kasar, termasuk herba, sari buah segar, getah, minyak murni, minyak esensial, resin dan serbuk kering dari herba. Adapun yang dimaksud dengan preparasi herbal (herbal preparation) adalah suatu proses untuk menyelesaikan produk herbal seperti serbuk, ekstrak, tingtur minyak lemak. Semuanya diproses dengan cara ekstraksi, destilasi, fraksinasi, fermentasi atau dengan proses fisika dan biologi lainnya. Produk obat herbal (obat herbals products) didalamnya terkandung senyawa aktif hasil preparasi, bisa terdiri dari satu atau lebih tanaman herbal dan dapat pula berisi zat dari hewan dan mineral lainnya). Sedangkan yang dimaksud dengan tanaman obat (medicinal plants) adalah tanaman yang tumbuh liar ataupun dibudidayakan yang digunakan untuk tujuan pengobatan (WHO, 2007).

  Berikut adalah tanaman berkhasiat sebagai antidiabetes yang terdapat dalam Materia Medika Indonesia.

  a. Daun Tapak Dara (Catharanthi Folium) Taksonomi (ITIS, 2013) Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Gentianales Keluarga : Apocynaceae Genus : Catharanthus G.Don Jenis : Catharanthus roseus (L) G. Don Adalah daun Catharantus roseus (L) G Don. Sinonim Vinca rosea L., Lochnera (L) RchB, suku Apocynaceae.

  Pemerian : warna hijau khaki, bau khas, rasa pait Makroskopik : helaian daun berwarna hijau, bentuk memanjang atau bundar telur, panjang 2,5 cm sampai 9 cm, lebar 1,5 cm sampai 2,5 cm, ujung daun terdapat bagian meruncing kecil, pangkal daun runcing, pangkal daun runcing ada juga yang tumpul atau mmembundar. Tepi daun rata, permukaan atas agak mengkilat, pada kedua permukaan terutama permukaan bawah terdapat rambut-rambut halus. Tulang daun menyirip, tulang daun utama menonjol kebagian permukaan bawah daun. Tangkai daun pendek. Isi : alkaloid vinblastin, vinkristin, ajmalisin, tetrahidroalstonin, serpentin, loknerin, flavonoid, sterol/terpen. Penggunaan : malaria, kencing manis Nama daerah : jawa , bunga tembaga, kembang tembaga, tapok doro, kembang bogor, bunga serdodu, kembang suri cinta. (Anonim, 1995)

  Pada salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa

  

pemberian ekstrak air daun tapak dara dosis 1 g/kgBB belum mampu

menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci hiperglikemia

sedangkan pemberian dosis 2 g/kgBB mampu menurunkan kadar

glukosa darah pada kelinci dalam keadaan hiperglikemia dan tidak

berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan obat

glibenklamid (P>0,05). Secara imunohistokimia dapat dinyatakan

bahwa ekstrak air daun tapak dara mampu menstimulasi sel beta

pankreas untuk menghasilkan hormon insulin (Widyastuti dan

Suarsana, 2011).

  b. Umbi Bawang Merah Taksonomi (ITIS, 2013) Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida

  Bangsa : Asparagales Keluarga : Amaryllidaceae Genus : Allium L Jenis : Allium ascalonicum L.

  Adalah umbi lapis Allium ascalonicum L. Sinonim A. Ascalonium (L) yang segar, suku Amaryllidaceae. Pemerian : warna ungu kemerahan, bau khas aromatik tajam, rasa agak pedas. Makroskopik : Umbi lapis, umumnya berbentuk bundar telur, 2 sampai 5 siung menyatu dibagian pangkal, kadang- kadang seluruhnya masih diliputi selaput tipis, tiap siung berbentuk bundar telur dengan satu bidang tegak agak cekung, rata atau agak cembung, lebar 1,5 cm sampai 2,5 cm, permukaan umbi warna ungu. Dibagian pangkal kandang-kadang terdapat sisa akar serabut. Isi : flavonoid, tanin 1% minyak atsiri mengandung komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, kaemferol, kuersetin, floroglusin

  Penggunaan : ekspektoran, antidiabetes. (Anonim, 1995) Penelitian Aryanti dan Rosita, menyimpulkan bahwa ekstrak etanol 70% bawang merah pada dosis tunggal 120mg/200gBW bisa menurunkan glukosa darah pada tikus putih jantan induksi glukosa secara signifikan (Aryanti dan Rosita, 2010).

  c. Buah Pare (Momordica Fructus) Taksonomi (USDA, 2013) Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Violales Keluarga : Cucurbitaceae

  Genus : Momordica L Jenis : Momordica charantia L. Buah Momordica charantia L suku Cucurbitaceae Pemerian : warna coklat, bau langu, rasa pahit Makroskopik : simplisia terdiri dari irisan melintang buah berbentuk cincin atau gelang dengan tepi tidak rata dan tidak beraturan, diameter 1,5 cm sampai 5 cm, tebal 3 mm sampai 5 mm warna coklat kekuningan, bagian luar warnanya lebih tua dibandingkan bagian dalam. Isi : alkaloid momordisin, karoten, glikosida, saponin, sterol/terpen. Penggunaan : obat kencing manis ( antidiabetes). (Anonim,1995)

  Pemberian decocta buah pare ( Momordica charantia L. ) pada dosis 2,5 ml/200grBB , 5 ml/200grBB ,10 ml/200grBB dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar yang diberi beban glukosa. Hasil tersebut telah dibuktikan pada penelitian Pratama, dimana dilatarbelakangi oleh kandungan buah pare charantin yang dapat menstimulasi sel-sel beta pula langerhans (Pratama dan Drs Gunardi, 2011).

  Pemberian jus buah pare pada tikus putih hiperglikemik memberikan efek yang signifikan pada dosis 1,35 ml sebanding dengan obat antidiabetes glibenklamid 0,064 mg terhadap penurunan kadar gula darah sewaktu (p<0,05). Kesimpulannya jus buah pare mampu menurunkan kadar gula darah sewaktu, tetapi masih dalam tahap diabetes (Syaiin, 2013).

  Pernah dilakukan penelitian juga pada daun pare, dimana dua puluh lima mencit jantan dibagi menjadi 5 kelompok dengan diberi perlakuan yang berbeda. Setelah 2 minggu pemberian pare abdomen mencit dibedah dan dilakukan pengambilan darah. Setelah dilakukan penelitian dengan spektrofotometer, didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol negative dan kelompok perlakuan (p<0,05). Kesimpulan dari penelitian tersebut ekstrak daun pare dapat menurunkan kadar TG serum tikus Diabetes Mellitus tipe 2 (Natalia, 2010) .

  d. Daun Ceplukan (Physali Folium) Taksonomi (USDA) Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Bangsa : Solanes Keluarga : Solanaceae Genus : Physalis Jenis : Physalis angulata Daun Physalis angulata L. Suku Solanaceae Pemerian : warna hijau, tidak berbau, rasa pait Makroskopik : helaian daun berwarna hijaui, permukaan bawah berwarna lebih muda, bentuk jorong, panjang daun dapat mencapai 10 cm, lebarnya sampai 5 cm, tepi daun sedikit bergerigi tidak beraturan, pangkal daun agak meruncing,dan sering asimetris, ujung daun runcing, tangkai daun panjang.

  Isi : asam sitrat, fisalin sterol/terpen, saponin, flavonoid, alkaloid. Penggunaan : bisul, borok, kencing manis. (Anonim,1995)

  Efek antidiabetes telah diteliti pada mencit diabetes yang diinduksi aloksan, didapat hasil ekstrak air herba ciplukan dosis 10 mg/kgBB dan fraksi air 4,84 mg/kgBB mempunyai ef ek antidiabetes yang sama dengan pembanding glibenklamid dosis 0,65 mg/kg BB (Sutjiatmo, 2011).

  Pada penelitian lain rebusan air tanaman ciplukan juga berkhasiat sebagai antidiabetes, ditunjukkan bahwa Physalis angulata L. rebusan tanaman (dosis 2,5% 0,36 ml/25 gram tubuh berat badan dan dosis 5% 0,36 ml/25 gram berat badan) berpengaruh terhadap regulasi kadar glukosa darah. Air rebusan tanaman Physalis Angulata L.dapat menjadi semacam terapi non medis berguna untuk mengatur glukosa darah tingkat di penderita dengan diabetes mellitus ( Mulyati, 2010)

  e. Biji Jamblang (Syzygii Cumini Semen) Taksonomi (USDA) Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Family : Myrtaceae Genus : Syzygium P. Br.ex Gaertn Spesies : Syzygium cumini (L) Skeels Sinonim Eugenia cumini (L) Decne, E.jambolana Lmk.,suku Myrtaceae .

  Pemerian : warna kecoklatan sampai coklat tua atau coklat keunguan, bau khas, tidak berasa. Makroskopik : biji berbentuk bundar atau lonjong sampai bundar memanjang agak membengkok, panjang 1 cm sampai 2 cm, garis tengah 0,6 cm sampai 1 cm. Kulit biji tipis, mudah koyak, inti biji keras, warna coklat muda sampai coklat atau coklat kehitaman, panjang sampai 1,7 cm, garis tengah sampai 0.8 cm. Isi : asam galat, tanin, minyak atsiri, antinielin, jambulol, mirisil alkohol, hentri akontan, steroid/triterpenoid. Penggunaan : antidiabetes.

  Banyak digunakan sebagai obat kencing manis, dengan dosis 2,5 gram sampai 6 gram (sebagai infusa). (Kartasapoetra, 2004) Selama ini obat herbal secara umum dianggap aman berdasarkan kepercayaan masyarakat tradisional. Banyak kasus serius yang dilaporkan terkait efek samping yang muncul setelah pemberian obat herbal. Kasus toksisitas tersebut muncul karena kontaminan dan bahan- bahan yang palsu. Pendekatan terhadap keamanan produk herbal haruslah menjadi prioritas utama dalam sebuah penelitian. Ada bermacam pendekatan untuk mengevaluasi keamanan obat herbal. Obat herbal yang bersifat toksik bisa dikarenakan kandungan dan bahan tambahan produk herbal tersebut beracun atau bisa juga karena adanya keslahan dalam proses pembuatan dan terjadi kontaminasi. Evaluasi efek toksik dari kandungan obat herbal memerlukan studi farmakologi dan fitokimia yang sangat mendalam ( Mosihuzzaman & Choudary, 2008 )

  Kemanjuran suatu pengobatan juga menjadi daya tarik sekaligus merupakan alat ukur atas kemampuan dalam memberikan kesembuhan. Penggunaan obat herbal selalu dibenarkan atas dasar penggunaannya yang sudah turun menurun. Hal ini tentu saja tidak menjamin kemanjuran obat herbal dengan alasan yang ilmiah. Tidak ada definisi standar dari pengobatan herbal, secara sederhana dapat diartikan sebagai aplikasi dari suatu tanaman untuk tujuan pengobatan. Sangat penting untuk diingat bahwa obat herbal masih belum diregulasi dan digunakan hanya sebagai asupan tambahan, karena belum terstandarisasi dan memungkinkan terjadinya pemalsuan pada saat proses preparasi. Harus diingat juga beberapa diantaranya bersifat toksisk dan beberapa penelitian pernah menunjukan adanya interaksi antara obat konvensional dengan obat herbal (WHO, 2007).

C. Pengobatan sendiri

  Definisi pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. (WHO 1998) Sedangkan peran pengobatan sendiri adalah untuk menanggulangi secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan (WHO, 1988). Alasan pengobatan sendiri adalah kepraktisan waktu, kepercayaan pada obat tradisional, masalah privasi, biaya, jarak, dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan (BPS. 2002).

  Tujuan seseorang melakukan pengobatan sendiri biasanya untuk peningkatan kesehatan, mengobati sakit ringan dan untuk pengobatan rutin pada penyakit kronis. Obat tradisional yang dimaksud adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Selain faktor umur yakni kaum lansia yang paling banyak melakukan pengobatan sendiri dengan obat tradisional dibandingkan kaum muda, begitu juga dengan orang yang berpendidikan rendah frekuensinya lebih banyak bila dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi (Supardi dan Susyanty, 2010).

  Penelitian mengenai pengobatan sendiri dengan obat herbal juga sudah ada yang meneliti, salah satu contohnya meneliti tentang efek perseptif yang timbul pada penggunaan obat herbal oleh pasien diabetes melitus tipe 2. Penggunaan obat herbal tersebut digunakkan bersamaan dengan obat konvensional (Adhitia, 2012). Penggunaan obat herbal bersamaan dengan obat konvensional juga diteliti pada pasien hipertensi, dimana diteliti dampaknya pada tekanan darah pasien (Gusmira, 2012).