BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Guru Pendidikan Kewarganegaraan 1. Guru Pendidikan Kewarganegaraan - BAB II MIFTAKHUL JANNAH PKn'13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Guru Pendidikan Kewarganegaraan 1. Guru Pendidikan Kewarganegaraan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

  mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1 Undang – Undang Guru dan Dosen). Di sekolah menengah, guru berperan bukan sebagai guru kelas melainkan guru mata pelajaran yang mengajarkan mata pelajaran berbeda-beda. Guru PKn adalah guru yang mengajarkan mata pelajaran PKn, dan begitu pula guru mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu guru harus memiliki profesionalitas yang tinggi di bidangnya, hal ini sejalan dengan pemikiran Usman (2009:5) bahwa: “Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khususnya sebagai guru”.

  Guru sebagai professional mempunyai tugas mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Dengan tugas-tugas yang melekat pada seorang guru tersebut, maka sudah sewajarnya kalau guru memiliki keahlian dibidangnya. Oleh karena itu guru dituntut kualitas kemampuan yang memadai.

  11 Guru mempunyai tanggung jawab yang besar, selain memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagai bekal peserta didik untuk menghadapi masa depannya dan untuk hidup bersama masyarakat.

  Para guru di dalam maupun di luar lingkungan sekolah harus senantiasa menjunjung tinggi martabat dan citranya guru, sebagai manusia yang dapat digugu dan ditiru. Digugu dalam arti dipercaya, ditiru dalam arti dapat dianut segala tingkah lakunya, gerak serta perbuatannya. Sehingga setiap ucapan dan tingkah lakunya harus dipikirkan masak-masak terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan agar dapat untuk membangkitkan sikap dan perilaku orang lain yang selalu mencontoh dan mempercayai segala perbuatannya. Guru harus bertingkah laku yang baik, sopan santun, serta berkepribadian. Guru harus memberikan contoh bersikap dan bertindak yang sopan dalam pergaulan.

  Seseorang dikatakan sebagai guru tidak hanya cukup tahu materi yang akan diajarkan saja, tetapi mereka harus merupakan seseorang yang memang memiliki kepribadian guru dengan segala tingkah laku dan perbuatan dapat menjadi panutan atau teladan siswanya. Lebih-lebih menjadi guru PKn yang mengarahkan pada moral dan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

  Dengan demikian guru PKn adalah guru yang menyampaikan pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, warga negara dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

  Guru PKn sebagai suatu jabatan yang profesional seharusnya tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, sehingga hanya orang-orang yang mempunyai syarat tertentu sebagai guru PKn, misalnya: mempunyai etika, moral yang baik, karena apabila guru tidak dapat memberi contoh tingkah laku yang baik mana mungkin dapat membentuk pribadi siswanya dengan baik. Guru PKn tidaklah sama dengan guru bidang studi lainnya, tidak menumpahkan semua ilmunya untuk mencerdaskan siswanya namun mendidik dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran untuk membentuk manusia menjadi warga negara yang baik sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Peran dan Fungsi Guru Pendidikan Kewarganegaraan

  Pada hakekatnya kegiatan sekolah yang utama adalah kegiatan pembelajaran, bahkan semua kegiatan harus mendukung kegiatan pembelajaran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seorang guru PKn yang berperan dengan baik akan dapat menyesuaikan dengan kondisi tersebut, meskipun rencana pembelajaran yang disiapkan mencakup kegiatan di dalam dan di luar sekolah.

  Keterampilan dasar yang dimiliki oleh seorang guru PKn berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan dalam hubungan interpersonal dan kecakapan teknis. Keterampilan-keterampilan ini diperlukan dalam upaya memainkan peran, karena keterampilan-keterampilan tersebut merupakan aktivitas yang akan mencul dalam proses belajar mengajar.

  Tugas guru di sekolah yaitu membina dan mendidik anak didiknya selain belajar dengan baik, tetapi juga harus membina dan mengarahkan anak didiknya untuk bersikap, berperilaku dan berdisiplin dengan baik. Kondisi sekolah yang aman dan tertib dapat dicapai jika guru mampu mengatur dan mengarahkan siswanya untuk senantiasa mematuhi peraturan atau tata tertib sekolah yang berlaku.

  Di lingkungan sekolah, siswa ditempatkan sebagai subjek dan sekaligus objek didik. Sebagai subjek didik siswa akan aktif sesuai dengan minat, bakat dan potensinya dan ditempatkan secara layak, manusiawi serta dihargai oleh setiap komponen pengajaran. Sedangkan sebagai objek didik siswa harus menerima pengajaran berupa pengetahuan, nilai moral dan keterampilan.

  Peranan guru dalam menciptakan situasi sekolah yang aman dan tertib, haruslah yang dapat mendorong anak untuk berdisiplin diri dalam bersikap, berperilaku dan belajarnya. Memotivasi agar siswa memiliki disiplin merupakan tugas guru dalam mendidik siswa.

  Jadi, dalam upaya mengembangkan disiplin maka seharusnya guru memilki pemahaman tentang peraturan atau norma-norma dan dapat berperilaku sesuai dengan norma atau peraturan tersebut. Disamping dapat merealisasikannya, guru juga harus mampu mentransformasikan norma tersebut kepada siswanya. Sehingga antara pendidik dan peserta didik mampu hidup selaras dengan lingkungannya.

  Oleh karena itu, seharusnya bagi guru untuk mampu membaca diri dan lingkungan belajar siswa baik rancangan pelajaran maupun menjelang mengajar serta pada saat pelaksanaan pengajaran dan bahkan setelah proses belajar mengajar itu selesai. Dengan sikap penampilan guru yang demikian ini maka siswa ditempatkan sebagai subjek didik.

  Tugas guru secara umum menurut Darmodihardjo dalam Rahmat (2009) yaitu sebagai berikut: a.

  Tugas professional (professional task), yaitu berkenaan dengan profesinya, tugas ini berkenaan dengan tugas mendidik, mengajar, melatih dan mengembangkan ketertiban sekolah.

  b.

  Tugas manusiawi (humanun responsibility) yaitu tugas berkenaan dengan dirinya sebagai manusi, dalam hal ini guru dituntut untuk mewujudkan dirinya, artinya ia harus mampu merealisasikan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya, melakukan atau pengertian untuk dapat menempatkan dirinya didalam keseluruhan kemanusiaan, sesuai dengan martabat manusia.

  c.

  Tugas kemasyarakatan (civic mission) yaitu tugas berkenaan dengan dirinya sebagai warga masyarakat warga Negara: dalam hal ini guru dituntut untuk dapat membimbing siswanya menjadi warga Negara yang baik atau bertanggung jawab atas kemajuan bangsanya. Dengan demikian seorang guru berfungsi sebagai perancang masa depan pionir perkembangan masa depan.

  Sedangkan menurut Usman (2009:6) yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Dardji Darmodihardjo, bahwa ada tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.

  Berdasarkan pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat dalam dunia pendidikan, guru harus mampu menempatkan dirinya secara professional sebagai pendidik dalam lingkungan sekolah dan juga di lingkungan masyarakat.

  Dalam kaitanya dengan tugas guru PKn, Soemantri dalam Maarif (2008) berpendapat bahwa: “Guru PKn harus banyak berusaha agar siswa-siswanya mempunyai sikap yang baik, kecerdasan yang tinggi serta keterampilan yang bermanfaat. Oleh karena itu guru PKn harus dapat memanfaatkan fungsinya sebagai penuntun moral, sikap serta memberi dorongan kearah yang lebih baik”.

  Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa, walaupun tugas utama guru dikelas adalah mengajar, bukan berarti bebas dari tuntutan sebagai pendidik yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, karena tugas utama guru tidak hanya sebagai “pengajar” yang melakukan transfer of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang melakukan transfer of values dan sekaligus sebagai “pembimbing” yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar, apalagi PKn dituntut bukan hanya sebagai pemberi materi pelajaran saja, tetapi harus mampu memberikan contoh yang baik di lingkungan sekolah maupun pada saat proses belajar mengajar agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan secara optimal, juga bertanggung jawab terhadap pembinaan moral dan perilaku peserta didik yang sesuai dengan nilai, moral, dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga akan terbentuk warga Negara Indonesia yang baik, utuh, bertanggung jawab dan mempunyai karakteristik budaya Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Djahiri dalam Maarif tentang tiga fungsi peran PKn yaitu: a.

  Membina dan membentuk kepribadian atau jatidiri manusia Indonesia yang berjiwa pancasila dan berkepribadian Indonesia.

  b.

  Membina bangsa Indonesia melek politi, melek konstitusi atau hukum, melek pembangunan dan melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa, dan Negara.

  c.

  Membina pembekalan siswa (substantial dan potensi dirinya untuk belajar lebih lanjut).

  Sehubungan dengan fungsi dan peran PKn diatas seorang guru PKn dituntut harus bisa membentuk peserta didik yang mempunyai kepribadian pancasila, melek politik, melek hukum dan berpartisipasi dalam pembangunan serta membekali siswa dengan ilmu pengetahuan yang semuanya ini akan menjadikan bekal bagi siswa dalam berperilaku di masyarakat, bangsa, dan Negara.

  Syamsudin (2002:22) mengemukakan tentang bagaimana seorang guru yang ideal dapat menjalankan tugas dan perananya sebagai berikut: a.

  Konservator (pemeliharaan) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan dan inovator (pengembang) sistem nilai pengetahuan.

  b.

  Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada sasaran didik.

  c.

  Transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan pelakunya melalui penjelmaan dalam pribadinya dan pelakunya melalui proses interaksinya dengan peserta didik.

  d.

  Organisator (penyelanggaraan) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik serta tuhan yang menciptakannya).

  Berdasarkan beberapa tugas dan peran guru diatas yang diungkapkan oleh para ahli, seharusnya mampu diperankan dan ditampilkan pada setiap berlangsungnya proses belajar mengajar agar tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan secara optimal. Dalam kaitanya dengan kajian ini, seorang guru PKn diharapkan bisa menjadi pengajar dan pembimbing untuk mengarahkan dan membentuk siswa-siswa agar memiliki disiplin yang tinggi. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan disiplin maka sudah seharusnya guru mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesionalnya, karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan peserta didik di sekolah. Oleh karena itu, dalam menanamkan sikap disiplin guru harus memulai dari dalam dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya. Disamping dapat merealisasikannya, guru juga harus mampu mentransformasikan norma tersebut kepada peserta didik, sehingga antara pendidik dan peserta didik mampu hidup selaras dengan lingkungannya.

  Berdasarkan definisi-definisi tentang peranan dan fungsi guru yang telah dipaparkan para ahli diatas jika dihubungkan dengan kajian ini, maka penulis dapat mendefinisikan peran guru sebagai usaha atau tindakan yang dilakukan guru dalam pembentukan disiplin siswa, agar nantinya siswa mampu menjadi warga negara yang baik, utuh, bertanggung jawab dan mempunyai karakteristik budaya Indonesia.

B. Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

  Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah mata pelajaran yang mengfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosialkultural, bahasa usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2003:2).

  Sedangkan penjelasan pasal 39 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan dengan warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negaranya.

  Pendidikan kewarganegaraan ini menitik beratkan pada keterampilan berpikir aktif sebagai warga negara dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Somantri (2001:299): Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan pada demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengeruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua yang kesemuaanya diproses guna melatih untuk berpikir kritis, analisi, bersikap, dan bertindak demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran untuk membekali peserta didik dalam membentuk warga negara yang peduli terhadap lingkungannya sehingga dapat melahirkan warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

  Menurut Winataputra dan Budimansyah (2007:86) berpendapat bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa indonesia melalui koridor value-based education”.

  Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan penting untuk membina dan mengembangkan nilai kewarganegaraan yang dianggap baik sehingga terbentuk warga negara yang berkarakter bangsa. Pendidikan kewarganegraan sebagai pendidikan nilai mempunyai tugas menanamkan nilai moral bangsa, nilai-nilai ideologi sehingga mampu membentuk warga negara yang berkarakter baik.

2. Sejarah Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan

  Kewarganegaraan dalam bahasa latin disebutkan “Civis”, selanjutnya dari kata “Civis” ini dalam bahasa Inggris timbul kata ”Civic” artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Dari kata “Civic” lahir kata “Civics”, ilmu kewarganegaraan dan Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan. Pelajaran Civics mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan nama “Theory of Americanization”. Sebab seperti diketahui, bangsa Amerika berasal dari berbagai bangsa yang datang di Amerika Serikat dan untuk menyatukan menjadi bangsa Amerika maka perlu diajarkan Civics bagi warga negara Amerika Serikat. Dalam taraf tersebut, pelajaran Civics membicarakan masalah ”government”, hak dan kewajiban warga negara dan Civics merupakan bagian dari ilmu politik. Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan yang searti dengan “Civic

  

Education ” itu dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib

  ditempuh oleh siswa baik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat mahasiswa di Perguruan Tinggi.

  Melihat begitu pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics

  

Education ini bagi suatu negara maka hampir di semua negara di dunia

  memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan yang mereka selenggarakan. Bahkan Kongres Internasional Commission of Jurist yang berlangsung di Bangkok pada tahun 1965, mensyaratkan bahwa pemerintahan suatu negara baru dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis manakala ada jaminan secara tegas terhadap hak-hak asasi manusia, yang salah satu di antaranya adalah Pendidikan Kewarganegaraan atau ”Civic Education”. Hal ini dapat dimaklumi, karena dengan dimasukkannnya ke dalam sistem pendidikan yang mereka selenggarakan, diharapkan warga negaranya akan menjadi warga negara yang baik dan warga negara yang cerdas (good and smart citizen), yang mengetahui dan menyadari sepenuhnya akan hak-haknya sebagai warga negara, sekaligus tahu dan penuh tanggung jawab akan kewajiban dirinya terhadap keselamatan bangsa dan negaranya. Dengan demikian diberikannya Pendidikan Kewarganegaraan akan melahirkan warga negara yang memiliki jiwa dan semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

3. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia a.

  Landasan Hostoris Secara historis nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara indonesia secara objektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan fakta objektif secara historis kehidupan bangsa indonesia tidakan dapat dipisahkan dengan nilai-nilai pancasila. Konsekuensinya secara historis pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar filsafat negara serta ideologi bangsa dan negara bukannya suatu ideologi yang menguasai bangsa, namun justru nilai-nilai dari sila- sila Pancasila itu melekat dan berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri.

  b.

  Landasan Filosofis Atas dasar pengertian filosofis tersebut maka dalam kehidupan bernegara nilai-nilai pancasila merupakan dasar filsafat negara.

  Konsekuensinya dalam setiap aspek penyelanggaraan negara harus bersumber pada nilai-nilai pancasila termasuk sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu dalam realisasi kenegaraan termasuk dalam proses reformasi dewasa ini merupakan suatu keharusan bahwa pancasila merupakan sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan baik dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik, hukum, sosial, maupun pertahanan dan keamanan. c.

  Landasan Konseptual Pada hakekatnya pancasila mencerminkan nilai keseimbangan, keserasian, keselarasan, persatuan, dan kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan, dan kearifan dalam membina kehidupan nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Somantri (2001:299) yang menyebutkan bahwa mata pelajaran PKn dimaknai sebagai: Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua, yang semuanya itu diproses guna melatih para peserta didik untuk berpikir kritis, analitis, bersikap, bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

  Secara konseptual, pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan.

  Dari objek kajian pokok inilah berkembang konsep civic yang secara harfiah diambil dari bahasa latin civics, yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno. Kemudian secara akademis diakui sebagi embrionya

  

civic education. Selanjutnya di Indonesia hal ini diadaptasi menjadi

“Pendidikan Kewarganegaraan” disingkat PKn.

  d.

  Landasan Yuridis Formal Secara yuridis-formal, landasan pendidikan kewarganegaraan di

  Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang Nomor

  20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai landasan operasional, dan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Satndar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan sebagai landasan kurikuler. Sejalan dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka kurikulum pendidikan kewarganegaraan untuk lembaga pendidikan formal dilaksanakan dengan berpedoman pada kurikulum Tingkat Datuan Pendidikan (KTSP).

  UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pada bagian pembukaan alenia keempat memberikan dasar pemikiran tentang tujuan negara. Salah satu tujuan negara tersebut dapat dikumukakan dari pernyataan “ mencerdaskan kehidupan bangsa”. Apabila dikaji, maka tiga kata ini mengandung makna yang cukup dalam. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung pesan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Dalam kehidupan berkewarganegaraan, pernyataan ini memberikan pesan kepada para penyelenggara negara dan segenap rakyat agar memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku secara cerdas baik dalam proses pemecahan masalah maupun dalam pengambilan keputusan kenegaraan, kebangsaa, dan kemasyarakatan.

  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai landasan operasional penuh dengan pesan yang terkait dengan pendidikan kewarganegaraan. Pada Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan tujuan negara dikemukakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

  Adanya ketentuan tentang pendidikan kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi menunjukan mata pelajaran ini menempati kedudukan yang startegis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional di negara Indoneia. Adapun arah pengembangannya hendaknya difokuskan pada pembentukan peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, e.

  Landasan kurikuler Pada tahu 2003 disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nsional. Undang-Undang tesebut telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan sistem kurikulum di Indonesia. Salah satu implikasi dari ketentuan Undang- Undang tersebut adalah lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 thun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam PP tersebut dikemukakan bahwa Standar Nasioanal adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan nasional diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Psal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Standar Nasional Pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Oleh karena itu, adanya Standar Nasioan pendidikan telah berimplikasi terhadap sejumlah pendidikan yang lebih rendah.

  Sementara itu pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan, dinyatakan bahwa lingkup Standar Nasional meliputi: 1)

  Standar isi 2)

  Standar proses 3)

  Standar kompetensi lulusan 4)

  Standar pendidik dan tenaga kependidikan 5)

  Standar sarana dan prasarana 6)

  Standar pengelolaan 7)

  Standar pembiayaan 8)

  Standar penilaian pendidikan Sebagai implikasi dari ketentuan tersebut, maka lahirlah

  Permendiknas Nomor 22 tentang Standar Isi, Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Permendiknas inilah yang dijadikan landasan operasional (acuan) bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum yang akan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan tersebut.

  Satandar Kompetensi Lulusan untuk kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dapat diuraikan sebagai berikut: 1)

  Berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2)

  Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial, hukum dan perundangan. 3)

  Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, golongan sosial ekonomi, dan budaya dalam tatanan global.

4) Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab.

  5) Mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya.

  6) Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan satuan melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi informasi.

  7) Menunjukan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya.

  8) Menunjukan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri.

  9) Menunjukan kegemaran membaca dan menulis. 10) Berkarya secar kreatif, baik individual maupun kelompok. 11) Menjaga kesehatan, katahanan, dan kebugaran jasmani. 12)

  Menunjukan sikap kompetitif dan sportif untuk meningkatkan ketaqwaan dan memperkuat kepribadian. 13)

  Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat. 14)

  Menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain. 15) Menunjukan apresiasi terhadap karya estetika.

  Berdasarkan (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional) Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tantang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata pelajaran pendidikan kewarganegraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibanya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD NRI 1945.

4. Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian interdisipliner, artinya materi pendidikan kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu politik, ilmu negara, ilmu tata negara, hukum, sejarah, ekonomi, moral dan filsafat.

  Materi pelajaran pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan bidang studi terorganisir secara psikologis dan secara scientific (keilmuan). Secara psikologis materi PKn mangacu kepada taksonomi Bloom melipiti tiga aspek yaitu afektif, kognitif, afektif, dan psikomotor. Secara keilmuan mata pelajaran PKn diorganisasikan secara interdisipliner dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti ilmu politik, hukum, tata negara, psikologi dan berbagai bahan kajian lainnya yang berasal dari kemasyarakatan, nilai- nilai budi pekerti dan hak asasi manusia dengan penekanan kepada hubungan antara warga negara dan warga negara, warga negara dan pemerintah negara, serta warga negara dan warga dunia.

  Materi PKn SMA (Sekolah Mengengah Atas kelas XI ) adalah sebagai berikut: a.

  Budaya politik di Indonesia b.

  Budaya demokrasi menuju masyarakat madani c. Sikap keterbukaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara d.

  Hubungan internasional dan organisasi internasional e. Sistem hukum dan peradilan internasional

  Dilihat dari materi PKn SMA kelas XI diatas, maka materi PKn sekarang ini, selain mempelajari masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, juga mengkaji masalah dalam kehidupan nyata, seperti halnya masalah kedisiplinan siswa. Dari materi diatas yang, yang berkaitan erat dengan proses penanaman disiplin adalah materi buadaya politik di Indonesia, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sikap keterbukaan dan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan internasinal.

5. Tujuan Pendidikan Kewarganegraan

  Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan “civic competences” yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan negara), civic dispositions (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan) dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2007:317-318).

  Hal ini senada dengan tujuan Pendidikan Nasional yang terdapat dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:

  Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman berttakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

  Menurut Hidayat dan Azyumardi Azra (2008:9-10) Pendidikan Kewargaan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia antara lain: (a) membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (b) menjadikan warga negara yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menajaga persatuan dan integritas bangsa, (c) mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab.

  Tujuan pembelajaran PKn menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi satuan pendidikan dasar dan menegah adalah sebagai berikut: a.

  Berfikir secara kritis dan rasional serta kreatif dalam menanggapi isu-isu kewarganegaraan.

  b.

  Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta anti korupsi.

  c.

  Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

  d.

  Berinteraksi dengan lembaga-lembaga lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

  Tujuan mata pelajaran PKn ini dapat mengembangkan berbagai kemampuan dasar warga negara, seperti berpikir kritis, dapat mengambil keputusan secara tepat, memegang teguh aturan yang adil, menghormati hak orang lain, menjalankan kewajiaban, bertanggung jawab atas ucapan dan perbuatannya, berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

6. Peran dan Fungsi Pendidikan Kewarganegraan (PKn)

  Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran pendidikan nilai dan moral yang bersumber dan berdasarkan pancasila.

  Penekananya lebih menitik beratkan pada aspek sikap (afektif) tanpa mengabaikan aspek pengetahuan (kognitif) dan aspek keterampilan (psikomotor). Adapun peran dan tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah menjadikan warga negara yang baik yang paham akan hak dan kewajibannya.

  Adapun fungsi dari mata pelajaran PKn yang termuat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar (Depdiknas, 2006:2) adalah: Sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang baik (good

  

citizenship ), cerdas, terampil dan berkarakter yang setia pada bangsa dan

  negara indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan yang diamanatkan pancasila dan UUD 1945.

  Berdasarkan pada fungsi tersebut, mata pelajaran PKn harus dinamis dan mampu menarik perhatian peserta didik, yaitu dengan cara sekolah membantu peserta didik mengembangkan pemahaman baik materi maupun keterampilan intelektual dan partisipatori dalam kegiatan sekolah sebagai intrakulikuler dan ekstrakulikuler. Dengan pembelajaran bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menerapkan keterampilan intelektual dan partisipatori.

7. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

  Berdasarkan pengertian dan tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di atas, nampak bahwa komponen yang hendak dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah komponen civic knowledge (pengetahuan warga negara), komponen civic

  

skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan

  berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan berwarga negara, berbangsa dan bernegara), civic dispositions (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter warga negara Indonesia dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisasi). Yang terpenting, pada akhirnya siswa mampu merefleksikan ketiga komponen tersebut dalam kehidupan warga negara, berbangsa dan bernegara. Hal ini mengindikasikan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan bermakna bagi kehidupan siswa.

  Selain itu telah diuraikan bahwa ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi beberapa aspek, salah satunya adalah aspek norma, hukum dan peraturan, meliputi : Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di warga negara, peraturan - peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional hukum dan peradilan internasional untuk aspek tata tertib di sekolah dapat diwujudkan apabila siswa tersebut memiliki kesadaran hukum yang tinggi sebagai salah satu ciri warga negara yang baik yang ditandai dengan salah satunya dengan melaksanakan tata tertib yang ada di sekolah.

C. Disiplin 1. Pengertian Disiplin

  Menurut Verhoven (dalam Unardjan) Secara etimologis disiplin berasal dari kata latin “discipulus”, yang berarti siswa atau murid. Dalam perkembangan selanjutnya kata ini mengalami perubahan bentuk dan perluasan arti. Kata ini ini antara lain berarti ketaatan, metode pengajaran, mata pelajaran, dan perlakuan yang cocok bagi seorang murid atau pelajar. Menurut Ellis, di bidang psikologi dan pendidikan, disiplin berhubungan dengan perkembangan, latihan fisik, mental, serta kapasitas moral anak melalui pengajaran dan praktek. Sehubungan dengan definisi tersebut, menurut Perkins, disiplin juga berarti hukuman atau latihan yang membetulkan serta kontrol yang memperkuat ketaatan (Unardjan, 2003:8).

  Secara sederhana, disiplin dapat diartikan sebagai sikap patuh, taat, tertib terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Kedisiplinan merupakan karakter yang sangat penting untuk seorang warga Negara karena sikap dan perilaku disiplin ini sangat diperlukan bagi berlangsungnya suatu bangsa.

  Tulus Tu’u (2004: 31) istilah ketertiban mempunyai arti kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau disiplin karena didorong atau disebabkan oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Sebaliknya, istilah disiplin sebagai kepatuhan dan ketaatan yang muncul karena adanya kesadaran dan dorongan dari dalam diri orang itu. Istilah disiplin berarti perangkat peraturan yang berlaku untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur.

  Mac Millan Dictionary (Tu’u, 2004:30-31) menjelaskan beberapa pengertian disiplin, yaitu: a.

  Tertib, taat/mengendalikan tingkah laku, penguasaan diri, kendali.

  b.

  Latihan membentuk, meluruskan atau menyempurnakan sesuatu sebagai kemampuan mental atau karakter moral.

  c.

  Hukuman yang diberikan untuk melatih atau memperbaiki.

  d.

  Kumpulan atau sistem peraturan-peraturan bagi tingkah laku.

  Sementara itu, Hasibuan (Tu’u, 2004:35) mengemukakan bahwa disiplin adalah kesadaran dan kesediaaan seseorang menaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku.

  Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulakan bahwa disiplin adalah upaya sadar individu untuk melaksanakan dan mentaati peraturan, tata tertib serta norma yang berlaku dalam masyarakat dan yang dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab.

  Uraian diatas memberikan pemahaman pada kita tentang pentingnya sikap disiplin bagi berlangsungnya hidup suatu bangsa. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila berbagai upaya dilakukan untuk membina, menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu di kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk itu sekolah dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengembangkan/membentuk kedisiplinan siswa.

  Berdasarkan beberapa penggertian disiplin diatas, pada dasarnya sama yaitu sikap tunduk, taat dan patuh terhadap peraturan yang berlaku di masyarakat untuk menciptakan kondisi yang tertib dan teratur. Kepatuhan terhadap perturan itu ada yang timbul atas dasar tanggung jawab dan kesadaran diri serta ada yang timbul atas dasar paksaan dan tekanan dari luar.

2. Unsur-unsur disiplin

  Hurlock (1990:84) mengemukakan empat unsur pokok disiplin yaitu: a.

  Peraturan Peraturan adalah pola yang ditetapkan untuk berbuat atau bertingkah laku, tujuannya adalah membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi dan kelompok tertentu. Peraturan memiliki dua fungsi penting yaitu, fungsi pendidikan, sebab peraturan merupakan alat memperkenalkan perilaku yang disetujui anggota kelompok kepada anak, dan fungsi prefentif karena peraturan membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan.

  Peraturan dianggap efektif apabila setiap pelanggaran atas peraturan itu mendapat konsekuensi yang setimpal. Jika tidak, maka peraturan tersebut akan kehilangan maknanya. Peraturan yang efektif dapat membantu seorang anak agar merasa terlindungi sehingga anak tidak perlu melakukan hal-hal yang tidak pantas.

  Isi setiap peraturan harus mencerminkan hubungan yang serasi diantara anggota keluarga, memiliki dasar yang logis untuk membuat berbagai kebijakan, dan menjadi model perilaku yang harus terwujud di dalam keluarga. Proses penentuan setiap peraturan dan larangan bagi anak-anak bukan merupakan sesuatu yang dapat dikerjakan seketika dan berlaku untuk jangka panjang, peraturan dapat diubah agar dapat disesuaikan dengan perubahan keadaan, pertumbuhan fisik, usia dan kondisi saat ini dalam keluarga.

  b.

  Hukuman Hukuman berasal dari kata latin punier yang berarti menjatuhkan hukuman kepada seseorang karena suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai ganjaran atau pembalasan. Hukuman memiliki tiga fungsi, yaitu (1) menghalangi mengulangi tindakan, (2) mendidik, sebelum anak mengerti peraturan, mereka dapat belajar bahwa tindakan tersebut benar atau salah dengan mendapat hukuman, (3) memberi motivasi untuk menghindari perilaku yang tidak diterima di masyarakat.

  c.

  Penghargaan Istilah penghargaan berarti setiap bentuk penghargaan atas hasil yang baik. Penghargaan tidak hanya berbentuk materi tetapi dapat juga berbentuk pujian, kata-kata, senyuman atau pelukan di punggung. Penghargaan mempunyai tiga peranan penting yaitu, (1) penghargaan mempunyai nilai mendidik, (2) penghargaan berfungsi sebagai motivasi untuk mengulangi perilaku yang disetujui secara sosial, dan (3) penghargaan berfungsi untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial, dan tiadanya penghargaan melemahkan perilaku tersebut.

  d.

  Konsistensi Konsistensi berarti tingkat keseragaman atau stabilitas, mempunyai tiga fungsi yaitu, (1) mempunyai nilai mendidik yang besar, (2) konsistensi mempunyai nilai motivasi yang kuat untuk melakukan tindakan yang baik di masyarakat dan menjauhi tindakan buruk, dan (3) konsistensi membantu perkembangan anak untuk hormat pada aturan- aturan dan masyarakat sebagai otoritas. Anak-anak yang berdisiplin secara konsisten mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk berperilaku sesuai dengan standar sosial yang berlaku dibanding dengan anak-anak yang berdisiplin secara tidak konsisten.

  Kerlinger dan Pedhazur (dalam Asrori, 2011) menyebutkan sejumlah ciri-ciri atau indikator disiplin yaitu: a.

  Kepatuhan sisiwa pada jam-jam sekolah.

  b.

  Kepatuhan sisiwa terhadap perintah dari pimpinan serta taat pada aturan dan tata tertib yang berlaku.

  c.

  Berpakaian seragam ke sekolah.

  d.

  Menggunakan dan memelihara alat-alat dan perlengkapan OSIS.

3. Proses Penanaman Disiplin

  Kedisiplinan itu merupakan isi dan tujuan proses sosialisasi sebagai salah satu dari empat perlengkapan kehidupan sosial manusia, yaitu: disiplin, peranan, aspirasi dan identitas. Jadi pada dasarnya pembentukan dan proses disiplin sebagai bagian dari proses sosialisasi yang merentang dari pembentukan kebiasaan sederhana pada masa kanak-kanak. Perilaku yang tidak disiplin adalah perilaku yang hanya dirangsang oleh pemuasan kebutuhan sementara atau seketika seraya mengabaikan akibat-akibat lebih jauh dari perilaku tersebut, dan disitu pihak perilaku disiplin itu menunda kepuasan-kepuasan seketika untuk tujuan lebih jauh.

  Dalam uapaya menanamkan kedisiplinan, maka seharusnya guru pembimbing memiliki pemahaman tentang peraturan atau norma-norma dan dapat berperilaku sesuai dengan peraturan atau norma yang berlaku. Disamping dapat merealisasikannya, guru juga harus mampu mentransformasikan norma tersebut kepada siswanya, sehingga antara pendidik dengan anak didik mampu hidup selaras dengan lingkungannya.

  Salah satu unsur pokok yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah adalah bagaimana upaya sekolah menjadikan siswa berkepribadian sehat yang memilki kemampuan untuk menyesuaiakan diri secara tepat baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya. Salah satu cara pribadi yang sehat yaitu adalah disiplin. Individu yang disiplin akan mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan batasan-batasan norma yang berlaku, dan mampu mengarahkan dirinya kepada aktivitas- aktivitas yang positif.

  Kecenderungan penanaman disiplin itu pada dasarnya dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe, yaitu otoriter, permisif, dan demokratis.

  Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock (1990:93) bahwa ada tiga cara dalam menanamkan disiplin pada anak, yaitu: a.

  Cara Mendisiplinkan Otoriter Tipe disiplin otoriter yaitu yang dilandasi dengan peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diinginkan.

  Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan dalam memenuhi standar peraturan dan tidak ada penghargaan pada anak yang memenuhi standar yang diharapkan. Disiplin otoriter berkisar antara pengendalian perilaku anak yang wajar hingga perilaku yang tidak memberikan kebebasan bertindak, kecuali dengan standar yang ditentukan.

  Disiplin otoriter selalu mengendalikan melalui kekuatan eksternal dalam bentuk hukuman, terutama hukuman badan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru yang bersifat otoriter memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)

  Guru menetapkan peraturan tanpa kompromi Dalam tipe ini guru menunjukkan perilaku seperti: mendominasi atau menguasai siswa, menentukan dan mengatur kelakuan siswa, merasa berkuasa dan berhak memberikan perintah, larangan atau hukuman.

  2) Guru menghukum siswa yang tidak mentaati peraturan

  Jika siswa yang membuat kesalahan atau melanggar peraturan dengan tidak meminta penjelasan terlebih dahulu kepada siswa tersebut, guru langsung menghukumnya. b.

  Cara mendisiplinkan permisif Tipe disiplin permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Di sini pendidik membiarkan anak-anak meraba-raba dalam situasi yang tidak menentu, dan guru membiarkan mereka untuk menanggulangi masalah mereka sendiri, tanpa bimbingan atau pengendalian. Adapun guru yang permisif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)

  Guru bersikap acuh tak acuh terhadap kepentinagn siswa, seperti: guru bersikap masa bodoh terhadap siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, guru kurang memperhatikan kegiatan belajar siswa, guru kurang memperhatikan apakah siswa memahami cara-cara belajar yang baik atau tidak. 2)

  Pengawasan guru bersikap longgar, yaitu guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mengontrol perilakunya sendiri.

  c.

  Cara mendisiplinkan demokratis Tipe disiplin demokratis yaitu menggunakan penjelasan dan penalaran untuk membantu anak mengerti mengapa perilaku tersebut diharapkan. Cara ini lebih menekankan aspek edukatif dalam disiplin daripada aspek hukuman. Guru yang bersifat demokratis memiliki ciri- ciri sebagai berikut: 1)

  Guru sering mengadakan dialog dengan siswa dalam menetapkan atau melaksanakan peraturan. Perilaku yang muncul dari guru tersebut seperti: mau bekerja sama dengan siswa atas dasar perencanaan melalui musyawarah bersama, mendiskusikan tentang peraturan belajar yang akan ditetapkan, meminta penjelasan kepada siswa jika pada suatu saat siswa dipandang melanggar peraturan, memberikan pengertian mengenai peraturan yang diberikan.

2) Guru memberikan bantuan kepada siswa yang menghadapi masalah.

  Dalam hal ini guru memperhatikan atau menaggapi persoalan- persoalan yang dihadapi siswa.

  Berdasarkan uraian di atas yang paling tepat dalam menerapkan disiplin adalah melalui disiplin demokratis, sebab dalam proses pendidikan siswa perlu mendapat bimbingan dari guru supaya perilaku yang muncul sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku. Selain itu dengan disiplin demokratis ini terjadi keterbukaan antara guru dan siswa, dimana guru mendengarkan pendapat siswa dan sebaliknya siswa pun menuruti nasehat guru, sehingga akan terwujud komunikasi dua arah yang akan mendukung terwujudnya ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan dalam proses belajar di sekolah.

  Menurut Mulyasa (2010:170-171), dalam menanamkan disiplin guru bertanggungjawab mengarahkan, dan berbuat baik, menjadi contoh, sabar dan penuh pengertian. Guru harus mampu mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, terutama disiplin diri. Untuk kepentingan tersebut, guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut: a.

  Membantu peserta didik mengembangkan pola perilaku untuk dirinya.

  b.

  Membantu peserta didik meningkatkan standar perilakunya.

  c.

  Menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin.

4. Perlunya Disiplin

  Tiap-tiap individu pasti membutuhkan sikap disiplin dari dalam dirinya bila mereka ingin bahagia dan menjadi orang yang baik penyesuaiannya, melalui disiplinlah mereka dapat belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat dan sebagai hasilnya diterima oleh kelompok sosial mereka (Hurlock, 1990:82).

  Hal yang sama juga diuraikan oleh Tu’u (2004:34) yang mengemukakan bahwa disiplin diperlukan oleh siapapun dan dimana pun.

  Hal tersebut disebabkan bahwa disiplin diperlukan dan dimana pun. Hal tersebut disebabkan dimana pun seseorang berada, sudah pasti selalu ada peraturan atau tata tertib. Jadi, manusia mustahil hidup tanpa disiplin. Manusia memerlukan disiplin dalam hidupnya dimana pun berada. Begitu juga dengan kehidupan sekolah, seorang siswa memerlukan disiplin.