BAB I PENDAHULUAN - NILAI ESTETIKA DALAM LEGENDA WADU NTANDA RAHI KARYA ALAN MALINGI DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL DI SMP - Repository UNRAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu media untuk mengkomunikasikan personal adalah sastra. Sastra

  merupakan sebuah bentuk penciptaan yang diawali dengan kesenangan dan diakhiri dengan kebijaksanaan. Penciptaan yang melibatkan perasaan secara dalam dengan imajinasi yang meluap-luap. Karya sastra diukir dengan kata-kata yang lahir dari benci, rindu, amarah, syukur, keangkuhan, hormat, kebijaksanaan, penolakan, penerimaan, dan semuanya berkaitan dengan cinta kasih.

  Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu mencerminkan prinsip kemanusiaan. Tentu ini sejalan dengan kepentingan moral, kegiatan sastra manusia harus dihidupi oleh semangat intelektual. Manusia berpikir, membaca, dan menulis. Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra selalu memperturutkan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespon objek di luar dirinya, sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, dan kekuatan menyerap realitas sosial. Itulah sebabnya di dalam sebuah karya sastra seperti novel, cerpen, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat. Harapannya para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut (dalam Sobah, 2010: 1)

  Legenda legere) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap sesuatu yang benar-benar terjadi oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif (folk history). Legenda “Wadu Ntanda Rahi” merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Bima. Cerita tentang kesetian seorang perempuan, kesetiaan yang tiada tara, perempuan yang rela menunggu kekasihnya sampai dia menjadi batu. Batu tersebut dikenal dengan nama Wadu Ntanda Rahi yang berarti batu yang menatap suaminya.

  Legenda ini ditulis dengan bahasa yang indah. Berisi pantun sebagai tradisi masyarakat Bima ketika musim berladang tiba. Penderitaan dan kasmaran disampaikan oleh pengarang dengan kata-kata bernuansa puitis, sehingga pembaca terlena dan seolah masuk ke dalam cerita tersebut. Wadu Ntanda Rahi bisa diibaratkan seperti sebuah kotak yang berisi budaya dan tradisi masyarakat Bima. Alan Malingi dalam karyanya ini memaparkan dengan sempurna tentang bagaimana tradisi itu dilaksanakan, seperti tata cara bergaul antara pemuda dan pemudi yang belum ada ikatan pernikahan, upacara pernikahan dan bahkan menguraikan tentang tata cara bergaul setelah menikah.

  Yang paling menarik dari Wadu Ntanda Rahi adalah suguhan tentang kisah cinta yang mendalam. Seperti yang diketahui bahwa pembicaraan tentang cinta merupakan pembicaraan yang tiada habisnya. Cinta adalah topik yang tidak pernah bosan untuk dibahas. Begitu pula Alan Malingi dalam karyanya Legenda Wadu Ntanda Rahi, Alan mengemas kisah cinta klasik yang terjadi di tanah Mbojo (Bima) dengan sangat indah. Kisah yang dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat Bima ini bertutur tentang kesetiaan seorang istri menanti suaminya yang merantau demi sebuah cita-cita, yaitu masa depan yang lebih baik untuk kampung halamannya. Penantian yang dilewati bertahun-tahun dengan penuh kesetiaan oleh sang istri, dia menanti sampai dia menjadi batu. Hal-hal yang menarik inilah yang termasuk dalam unsur-unsur estetika.

  Estetika merupakan jiwa dalam sebuah karya sastra. Tidak ada satupun karya sastra atau karya seni yang tidak mengandung estetika, nilai keindahan, baik dari segi bahasa maupun budaya yang dipaparkan pengarang dalam karyanya. Setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan ciri-ciri keindahan. Sikap, tingkah laku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdipan mata, dan anggukan kepala, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan memberikan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain. Hidup ini singkat seperti laron, lahir hanya untuk menanggalkan bulu, kemudian berubah ke dalam bentuk yang lain. Menghargai keindahan berarti menghargai kebesaran Tuhan. Menghargai keindahan berarti memupuk rasa rendah hati, bukan rendah diri (Ratna, 2007: 18, 19)

  Estetika berperan penting dalam suatu karya terutama karya sastra. Hal ini bisa dilihat dari contoh kecil, sebuah novel atau cerpen apabila cover atau sampulnya tidak bagus maka pembaca tidak akan tertarik. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemasan, bungkusan, tampilan novel dan jenis karya sastra lainya mempengaruhi minat konsumen sastra. Semua bagian dalam sebuah karya harus mempertimbangkan aspek estetika. Begitu juga manusia dalam melakoni hidup.

  Apabila seseorang mampu meninggalkan efek estetis pada seseorang yang lainya maka orang itu akan dianggap baik, sebab keindahan merupakan kebaikan.

  Setiap ucapan dan perbuatan yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek estetika, maka ucapan dan perbuataan itu akan mengandung efek estetis.

  Efek estetis inilah yang akan berperan penting terhadap diri seseorang. Orang yang menyaksikan efek estetis ini juga akan mengalami suatu kesan yang berpengaruh bagi dirinya. Misalnya, katakanlah dua orang perempuan berjalan dari arah yang berlawanan, dua perempuan ini bernama si A dan si B. Si A berpakaian seadanya dan si B memakai gaun yang lembut dan rapi. Ketika si A memperhatikan penampilan anggun dari si B, maka si A akan merasa kagum dengan penampilan si B. Rasa kagum ini merupakan efek dari estetika. Kekaguman inilah yang mampu merubah keadaan awal pada diri seseorang. Si A pasti ingin berpenampilan seperti si B, ingin terlihat anggun, ingin telihat indah.

  Dengan demikian efek estetis bisa menimbulkan keinginan pada seseorang untuk lebih baik, untuk bisa seperti yang lain bahkan melebihi yang lain.

  Menurut Cassirer (dalam Kutha Ratna, 2007: 15) efek estetis tidak semata- mata dalam kaitannya dengan keindahan secara langsung, tetapi bagaimana karya seni dapat berperan dalam menopang masyarakat manusia untuk menuju kemajuan. Ukuran karya seni dengan demikian bukan derajat penularannya, melainkan intensifikasi dan pencerahan terhadap budi manusia. Begitu pula efek estetis dalam karya sastra, bukan hanya mampu menularkan kesan-kesan terhadap pembaca, tetapi juga memberikan intensifikasi dan pencerahan terhadap membaca. Dengan demikian pembaca akan mampu mengoreksi diri dan menjadikan karya sastra itu senagai cermin untuk lebih baik. Jadi, jelas bahwa kajian tentang nilai estetika ini bisa diarahkan sebagai media pembelajaran.

  Khususnya pembelajaran muatan lokal di SMP, supaya siswa terdidik budinya menuju kemajuan. Kajian estetika juga mengarahkan siswa untuk melatih merangkai kata-kata seperti yang terurai dalam legenda.

  Muatan lokal merupakan pembelajaran kurikuler untuk meningkatkan keterampilan yang disesuaikan dengan potensi daerah, namun substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada keterampilan saja. Tiap satuan pendidikan berhak menentukan substasinya, dengan begitu kajian tentang nilai estetika dalam legenda “Wadu Ntanda Rahi” bisa menjadi bahan ajar dalam pembelajaran muatan lokal. Hal ini diperkuat dengan adanya kompetensi dasar yang hendak dicapai pada silabus Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Pertama kelas VII semester I: : (1) Menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan (hal menarik seperti keindahan, sosial budaya), dengan indikator mampu menemuka ide-ide yang menarik dalam dongeng, mampu merangkai ide-ide menarik menjadi hal-hal menarik dari dongeng dan menjadikannya sebuah cerita baru. (2) Menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi sekarang (relevansi nilai moral, budaya, estetika), dengan indikator Mampu menentukan pokok-pokok cerita, mampu merangkai pokok-pokok cerita menjadi urutan cerita yang baik dan menarik, mampu bercerita dengan urutan yang baik, suara, lafal, intonasi, gestur, dan mimik yang tepat.

  Sebagai anak bangsa, sudah selayaknya mengetahui bagaimana asal muasal atau sejarah bangsa tempat ia dilahirkan. Memahami peristiwa zaman dahulu sehingga bisa dijadikan pelajaran bagi kehidupan sekarang, tidak hanya membiarkan anak bangsa berkerumun dengan cerita-cerita fiktif di masa sekarang dan beranggapan bahwa cerita rakyat hanya sebuah dongeng yang ”norak”. Pada hal legenda merupakan karya sastra yang penuh dengan nilai-nilai yang bisa dijadikan cermin untuk lebih baik, salah satunya adalah nilai estetika.

  Legenda atau cerita rakyat merupakan wujud dari jati diri suatu bangsa yang perlu mendapat apresiasi. Maka penelitian ini mengangkat permasalahan ”Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi dan Kaitannya dengan Pembelajaran Muatan Lokal di SMP”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yakni:

  1. Nilai-nilai estetika apa sajakah yang terkandung dalam legenda ” Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi?

  2. Bagaimanakah struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi?

  3. Bagaimanakah hubungan nilai estetika dan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP?

  C. Tujuan Penelitian

  Permasalahan di atas merumuska tujuan dari penelitian ini, tujuan tersebut adalah:

  1. Mendeskripsikan nilai estetika dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

  2. Mendeskripsikan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

  3. Mendeskripsikan hubungan nilai estetika dan struktur dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

  D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, baik secara teoritis maupun

  secara praktis. Sebagaimana diuraikan di bawah ini:

  1. Manfaat teoritis a. Menambah pemahaman peneliti terhadap nilai-nialai estetika yang terdapat dalam legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

  b. Guru dan siswa memahami nilai estetika dalam karya sastra umumnya, khususnya legenda ”Wadu Ntanda Rahi” karya Alan Malingi.

  c. Bagi pembaca yang mencintai sastra, penelitian ini dapat menambah khazanah penelitian sastra Indonesia, khususnya tentang nilai estetika sehingga bermanfaat bagi perkembangan karya sastra Indonesia.

  2. Manfaat praktis

  a. Guru dapat memilih dan menentukan karya sastra untuk dijadikan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan.

  b. Siswa dapat meneliti nilai estetika dalam karya sastra pada umumnya, khususnya legenda.

  c. Bagi pembaca dapat membantu meningkatkan daya apresiasi terhadap karya sastra khususnya legenda Wadu Ntanda Rahi.

  d. Dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang mengangkat permasalahan yang relevan dengan penelitian ini.

BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu A. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yakni Kajian Estetika

  dalam Kumpulan Puisi Deru Campur Debu Karya Chairil Anwar oleh

  Syahabuddin pada tahun 2007. Dalam penelitiannya, Syahabuddin membahas mengenai estetika dari aspek penciptaan, aspek makna dan aspek amanat atau pesan yang terkandung dalam puisi Deru Campur Debu karya Chairil Anwar. Searah dengan pembahasan dalam penelitian ini, penelitian nilai estetika dalam legenda Wadu Ntanda Rahi kanya Alan Malingi ini pun membahas mengenai struktur dari aspek gaya bahasa, setting (latar), aspek pesan atau amanat, serta aspek budaya yang digunakan Alan Malingi untuk memperindah karyanya yaitu legenda Wadu Ntanda Rahi.

  Kemudian “Analisis Struktural dan Nilai-Nilai Pendikan dalam Novel Labirin Lazuardi Pusaran Arus Waktu Karya Gola Gong serta Hubungannya dengan Pembelajaran Sastra di SMA” oleh Ahmad Nurussobah pada tahun 2010. Sobbah menganalisis struktur dalam novel Labirin Lazuardi Pusaran Arus Waktu karya Gola Gong, dalam penelitian ini juga menganalisis struktur. Hanya saja jumlah analisis struktur dalam penelitian ini lebih sedikit dari pada analisis yang dilakukan oleh Sobbah. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sobbah pada tahun 2010 yakni: (1) analisis struktural yang terdapat dalam novel ini berupa: (a) tema novel ini adalah rasa kasih sayang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. (b) alur novel ini jika ditinjau dari hubungan bagian cerita, maka novel ini berplot renggang atau longgar dan jika dilihat dari segi kuantitatif, maka novel ini beralur tunggal, yaitu berplot lurus. (c) penokohan dalam novel ini menggunakan teknik analitik atau teknik langsung pada pemunculan watak tokoh cerita. Namun yang dominan digunakan adalah teknik analitik tidak langsung atau teknik daramatik. (d) latar dalam novel ini adalah latar waktu, seperti: pagi hari. Latar tempat, seperti: di sebuah masjid, di sebuah kendaraan, di pasar tradisional, di sebuah loket penjualan tiket, dan lain-lain. (e) sudut pandang dalam novel ini adalah pengarang menempatkan dirinya sebagai orang yang maha tahu atau pengarang menggunakan teknik bercerita “diaan”. (f) gaya bahasa yang digunakan adalah majas-majas yang meliputi: majas retoris, personifikasi, metafora, dan klimaks. (g) suspense yang digunakan pengarang adalah dengan menunda-nunda jawaban yang sedang dialami tokoh cerita dan dengan menampilkan komplik psikologis yang dialami tokoh-tokoh dalam kisahnya. (2) nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Labirin Lazuardi

  Pusaran Arus Waktu karya Gola Gong adalah nilai-nilai pendidikan ketuhanan atau agama, nilai-nilai pendidikan sosial atau kemasyarakatan, nilai-nilai pendidikan kesusilaan atau budi pekerti, dan nilai-nilai pendidikan moral. Adapun nilai-nilai pendidikan yang paling menonjol dalam novel ini adalah nilai pendidikan sosial atau kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa- peristiwa yang dialami tokoh dengan masyarakat sangat mempengaruhi (mendominasi) alur cerita novel ini. (3) Analisis struktural dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel ini telah sesuai dengan materi pembelajaran sastra di SMA: (a) Kompetensi Dasar Kelas XI semester I yaitu : menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan Indikator menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat) novel indonesia. (b) Kompetensi Dasar Kelas X semester I yaitu : menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi. Dengan materi pembelajaran: naskah cerita pendek yang mengandung nilai-nilai budaya, nilai moral, nilai agama, dan nilai politik. Sedangkan penelitian tentang Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi dan Kaitannya dengan Pembelajaran di SMP mengkaji nilai estetika dan dari segi strukturnya tidak membahas seutuhnya seperti yang dilakukan Sobbah. Dalam penelitian ini hanya membahas aspek gaya bahasa,

  

setting (latar), pesan atau amanat, dan aspek budaya yang terkandung dalam

  legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alan Malingi. Jika dalam penelitian yang dilakukan Sobbah mengkaitkan dengan pembelajaran sasrta di SMA maka dalam penelitian ini dikaitkan dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

  Penelitian selanjutnya adalah penelitian tentang Nilai Sosial Budaya

  dalam Novel Saraswati Karya AA. Navis yang dilakukan oleh Baiq Leli

  Febriana pada tahun 2009. Baiq leli dalam penelitian tersebut bembahas masalah budaya, jadi relevan dengan penelitian Nilai Estetika dalam Legenda

  Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi dan Kaitannya dengan Pembelajaran Muatan Lokal di SMP yang juga mebahas aspek budaya.

B. Landasan Teori

1. Estetika

  Secara sederhana, estetika merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari keindahan. Dari sisi historis, estetika termasuk dalam bagian filsafat (keindahan). Estetika yang dalam bahasa Yunani dibaca aisthetike ini pertama kali digunakan oleh seorang filsuf bernama Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1750. Baumgarten kemudian membawa estetika menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan alasan bahwa karya sastra didominasi oleh aspek-aspek keindahan sedangkan tolok ukur keindahan adalah estetika (http://eka. web.id/ pengertian-estetika.html

  ).

  The Lian Gie (dalam Mustofa, 1999: 67) menjelaskan teori umum tentang nilai, bahwa; keindahan dianggap sebagai salah satu nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomi, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindaham disebut nilai estetik.

  Keindahan pada dasarnya alamiah. Alamiah artinya wajar, tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Kalau lukisan wanita lebih cantik dari yang sebenarnya, justru tidak alamiah. Karena akan ada ucapan lebih cantik dari

  

warna aslinya (Mustofa, 1999: 68). Dalam legenda Wadu Ntanda Rahi

  banyak diterangkan hal yang bersifat alamiah. Seperti tokoh La Nggini dilukiskan sebagai perempuan yang sangat cantik. Bukan cantik karena dipoles dengan make-up yang tebal, bukan pula karena pakaian yang anggun dan selembut sutra, namun karena kealamiahan yang dimiliki oleh gadis desa.

  Cantik secara alami, itulah yang terurai dalam legenda Wadu Ntanda Rahi. Lukisan tentang kehidupan zaman dulu, di mana alam masih lestari dan adat istiadat yang masih kental. Keindahan dalam legenda wadu Ntanda Rahi sesuai dengan yang dipaparkan oleh Mustofa, bahwa keindahan pada dasarnya alamiah. Bukan karena dibuat-buat atau dilebih-lebihkan. Diperjelas lagi oleh Ratna (2007: 9), bahwa ada empat kemungkinan sumber keindahan itu, yakni Tuhan, seniman, karya seni itu sendiri, dan penikmat. Atas pertimbangan Ratna, bahwa segala sesuatu berasal dari kebesaran, kekuatan, dan kemuliaan Tuhan, yang sama sekali berada di luar kemampuan akal manusia, maka sumber utama keindahan adalah Tuhan. Keseluruhan ciptaan Tuhan berbentuk indah. Ratna menambahkan bahwa setiap aspek kebudayaan, setiap aspek kehidupan manusia menampilkan ciri-ciri keindahan. Sikap, tingkah laku, dan perbuatan sehari-hari menampilkan berbagai macam keindahan. Lambaian tangan, kerdipan mata, dan anggukan kepala, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keindahan, maka akan memberikan kenikmatan pada diri sendiri dan dengan sendirinya pada orang lain (Ratna, 2007: 18, 19).

  Berdasarkan pendapat Mustofa dan Ratna di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nilai estetika dalam penelitian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi Karya Alan Malingi adalah segala hal yang murni, bersifat alamiah yang terkandung dalam legenda tersebut, terutama dalam penguraian tentang ciri dan watak tokoh, juga tentang keadaan alam yang merupakan ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, sumber utama keindahan adalah Tuhan, dan segala ciptaan Tuhan berbentuk indah, terutama yang masih alami, yang belum tersentuh oleh budaya luar.

2. Struktur

  Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca (Ratna,2010: 93).

  Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 36) mengatakan bahwa sebuah karya sastra atau fiksi menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.

  Struktur di sini berarti susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Adapun hubungan antara unsur-unsur tersebut dengan objek kajiannya yaitu legenda, dalam legenda tersebut dapat dikaji gaya bahasanya, setting (latar), pesan, dan dalam legenda itu pula terdapat banyak pemaparan tentang tradisi seperti upacara pernikan yang bisa dikaji unsur budayanya. Kemudian hal-hal yang alamiah seperti alam dan kecantikan termasuk dalam kajian estetika.

  Strukturalisme atau pendekatan struktural memberikan intensitas terhadap struktur instrinsik yang meliputi beberapa unsur, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa (Ratna, 2010: 93).

  Dengan memperhatikan pengertian struktural yang meliputi unsur- unsur karya sastra tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis struktural berarti menyelidiki atau menganalisis karya sastra dengan mengungkapkan unsur- unsur yang ada di dalamnya, yaitu unsur-unsur yang membangun keutuhan struktur itu seperti unsur instrinsik dan ekstrinsik.

  A. Unsur Instrinsik

1. Gaya Bahasa

  Bahasa merupakan media yang digunakan pengarang untuk mengekspresikan pengalaman batin dan memperkenalkan kepribadiannya, dengan mengetahui gaya bahasa berarti kita akan lebih mudah memahami isi karya sastra (Badrun, 1983: 111). Unsur-unsur bahasa yang dapat membangun atau menciptakan teknik bercerita yang khas dinamakan gaya bahasa. Aminuddin (2010: 72) mengemukakan bahwa “istilah gaya berasal dari bahasa Inggris ‘style’ yaitu ragam, cara, kebiasaan dalam menulis. Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”.

  Gaya bahasa ini digunakan pengarang untuk membangun jalinan cerita dengan pemilihan diksi, percakapan, majas (kiasan) dan sebagainya, yang menimbulkan kesan estetik dalam karya sastra. Gaya bahasa juga merupakan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Cara khas itu dapat berupa kalimat-kalimat yang dihasilkannya menjadi hi

  Gaya bahasa dalam karya sastra umumnya disebut diksi yang berarti pemilihan kata. Kata-kata yang digunakan dalam karya sastra bukanlah seperti perkataan sehari-hari, kata-kata ini dipilih pengarang atau penulis dengan mempertimbangkan efek, salah satunya adalah efek estetis. Dalam legenda Wadu Ntanda Rahi terdapat banyak syair dan pantun yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang berefek estetis.

  Dale (dalam Tarigan, 2009: 4) menerangkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertetu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara membentuk atau menciptakan bahasa sastra dengan memilih diksi, sintaksis, ungkapan-ungkapan, majas, irama, imaji-imaji yang tepat untuk memperoleh kesan estetik yang dituangkan ke dalam kalimat- kalimat.

  2. Setting (latar) Setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita.

  Latar biasanya meliputi tiga dimensi yaitu tempat, ruang, dan waktu. Latar adalah keterangan yang mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (KBBI, 2003: 501). Setting waktu juga berarti apakah lakon terjadi di waktu siang, pagi, sore dan malam hari. Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa “latar adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung”.

  Penggambaran setting atau tempat kejadian dalam cerita fiksi harus jelas dan mampu membawa pembaca dalam mengikuti cerita.

  Penggambaran setting atau tempat kejadian secara jelas merupakan hal yang sangat penting karena setting atau tempat kejadian harus seolah-olah nyata.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita.

  3. Aspek Pesan atau Amanat

  Pesan atau amanat merupakan salah satu unsur intrinsik dalam karya sastra. Dalam KBBI edisi kedua (1996) menjelaskan bahwa amanat berarti konsep dan perasaan yang disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar atau pembaca. Disebutkan juga bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (KBBI, 1996: 30).

  B. Unsur Ekstrinsik

1. Pengertian Unsur Ekstrinsik

  Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berbeda di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting (Nurgiyantoro, 2010: 23- 24).

  Sebagaimana halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek & Werren dalam Nurgiyantoro, 2010: 24) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung kompleksitas karya sastra seperti legenda dari luar yang mampu memperkuat nilai karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik seperti nilai sosial dan moral, nilai pendidikan, dan lainnya tidak dibahas dalam penelitian ini. Yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah nilai budaya.

2. Aspek Budaya

  Budaya atau kebudayaan berasal dari yaitu

  buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

  Dalam Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia

  

  Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk

   sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha bedengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari

  Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia

  

  Menurut J.J. Hoenigman (dalam Wikipedia), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

  Gagasan

   Gagasan atau Wujud ideal kebudayaan adalah kumpulan ide-ide, gagasan, Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

  Aktivitas

   Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

  Artefak

   Artefak adalah wujud kebudayaan yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

  Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

3. Legenda

   Legenda atau cerita rakyat merupakan kisah yang dianggap pernah

  terjadi oleh masyarakat setempat. Legenda biasanya berisi tentang kultur budaya dimana kisah atau cerita itu berlangsung. Dalam legenda dipaparkan asal muasal, sejarah masing-masing bangsa. Seperti dikemukakan dalam KBBI edisi ke-II (1996) legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah (KBBI, 1996: 576).

  Artikel yang ditulis oleh blogger bernama Adicita memuat beberapa pendapat mengenai legenda yakni Menurut Emeis, legenda adalah cerita kuno yang setengah berdasarkan sejarah dan yang setengah lagi berdasarkan angan-angan. Menurut William R. Bascom, legenda adalah cerita yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Menurut Hooykaas, legenda adalah dongeng tentang hal-hal yang berdasarkan sejarah yang mengandung sesuatu hal yang ajaib atau kejadian yang menandakan kesaktian (http://www.adicita. com/artikel/detail/id/202/Pengertian-Legenda-Cerita-Rakyat ).

  Legenda merupakan salah satu karya sastra. Karya sastra dibangun oleh dua unsur yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam secara intern. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, amanat, perwatakan, latar, pusat pengisahan atau sudut pandang, dan gaya bahasa. Namun yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya gaya bahasa, amanat atau pesan, dan makna. Selanjutnya, unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks yang berpengaruh terhadap teks itu sendiri. Unsur-unsur tersebut antara lain nilai pendidikan, nilai moral, nilai sosial,nilai estetika dan biografi pengarang. Namun dalam penelitian ini yang akan dibahasa hanya nilai estetika dan budaya.

4. Pembelajaran Muatan Lokal

  Duffy dan Roehler (1989) merumuskan bahwa pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum. sedangkan Gagne dan Briggs (1979:3) mengartikan instruction atau pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal. Kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha yang sengaja dilakukan untuk membantu proses belajar siswa dengan melibatkan dan menggunakan pengetahuan professional yang dimiliki guru. Sementara Muatan Lokal merupakan salah satu mata pelajaran yang akan di pelajari oleh siswa

  Sebuah artikel yang ditulis oleh seorang blogger bernama Sofa menerangkan bahwa muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa. Isi dalam pengertian ini adalah bahan pelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan muatan lokal Sedangkan media penyampaian merupakan metode dan sarana yang digunakan dalam penyampaian isi muatan lokal

  

  Muatan lokal dalam kurikulum dapat berperan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri atau bahan kajian suatu mata pelajaran yang telah ada. Sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, muatan lokal mempunyai alokasi waktu tersendiri. Tetapi sebagai bahan kajian mata pelajaran, muatan lokal dapat sebagai tambahan bahan kajian dari mata pelajaran yang telah ada atau disampaikan secara terpadu dengan bahan kajian lain yang telah ada. Karena itu, untuk muatan lokal dapat dan tidak dapat diberikan alokasi waktu tersendiri. Muatan lokal sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri tentu dapat diberikan alokasi jam pelajaran. Misalnya, mata pelajaran bahasa daerah, pendidikan kesenian, dan pendidikan keterampilan. Demikian pula, sebagai bahan kajian tambahan dari bahan kajian yang telah ada atau sebagai satu atau lebih pokok bahasan dapat diberikan alokasi waktu. Tetapi muatan lokal sebagai bahan kajian yang merupakan penjabaran yang lebih mendalam dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang telah ada sukar untuk diberikan alokasi jam pelajaran. Bahkan muatan lokal berupa disiplin di sekolah, sopan santun berbuat dan berbicara, kebersihan serta keindahan sangat sukar bahkan tidak mungkin diberikan alokasi waktu

  

  Pembelajaran muatan lokal berdasarkan uraian di atas dapat dijadikan bahan kajian dari mata pelajaran yang sudah ada, katakanlah mata pelajaran bahasa Indonesia. Tiap-tiap satuan pendidikan berhak menjadikan muatan lokal sebagai bahan kajian mata pelajaran apapun yang telah ada, oleh karena itu di sekolah-sekolah sekarang terdapat muatan lokal bahasa Indonesia, muatan lokal bahasa Inggris, dan sebagainya.

5. Fungsi Muatan Lokal

  Ada tiga macam fungsi muatan lokal yang disebutkan Sofa dalam artikelnya yang berjudul Fungsi dan Kedudukan Muatan Lokal dalam

  Kurikulum, yakni: 1. Fungsi Penyesuaian: Sekolah berada dalam lingkungan masyarakat.

  Karena itu, program-program sekolah harus disesuaikan dengan lingkungan. Demikian pula pribadi-pribadi yang ada dalam sekolah, perlu diupayakan agar pribadi dapat menyesuaikan diri dan akrab dengan lingkungannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan peranan legenda sebagai penambah wawasan siswa tentang sejarah lingkungan tempat sisawa itu berada. Kajian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap lingkungannya.

  2. Fungsi Integrasi: Murid merupakan bagian integral dari masyarakat, karena itu muatan lokal merupakan program pendidikan yang berfungsi untuk mendidik pribadi-pribadi yang akan memberikan sumbangan kepada masyarakat atau berfungsi untuk membentuk dan mengintegrasikan pribadi kepada masyarakat. Dengan kajian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi siswa dapat meningkatkan integritas dalam kehidupan bermasyarakat. Siswa bisa bergaul dengan mempertimbangkan nilai-nilai ataupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

  3. Fungsi Perbedaan: Pengakuan atas perbedaan berarti memberi kesempatan bagi pribadi untuk memilih apa yang diinginkanya. Karena itu muatan lokal merupakan program pendidikan yang bersifat luwes, yang dapat memberikan pelayanan terhadap perbedaan minat dan kemampuan murid.

  Ini tidak berarti mendidik pribadi menjadi orang yang individualistik tetapi muatan lokal harus dapat berfungsi mendorong pribadi kearah kemajuan sosialnya dalam masyarakat. Begitu juga dengan kajian Nilai Estetika dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi, dapat memberikan sumbangsi berupa motivasi kepada siswa untuk mempelajari adat dan tradisi dalam masyrakat kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan

6. Tujuan Muatan Lokal

  Sofa dalam artikelnya yang berjudul Fungsi dan Kedudukan Muatan

  Lokal dalam Kurikulum memaparkan secara umum tujuan program

  pendidikan muatan lokal adalah mempersiapkan murid agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungannya serta sikap dan perilaku bersedia melestarikan dan mengembangkan sumber daya alam ,kualitas sosial, dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional maupun pembangunan setempat

  Dalam artikel Sofa, tujuan penerapan muatan lokal pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu tujuan langsung dan tujuan tidak langsung. Tujuan langsung adalah tujuan yang dapat segera dicapai. Sedangkan tujuan tidak langsung merupakan tujuan yang memrlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya. Tujuan tidak langsung merupakan dampak dari tujuan langsung (http://massofa. wordpress.com/2008/07/29/ fungsi-dan-kedudukan-muatan-lokal-dalam-kurkulum/). a. Tujuan Langsung

  1. Bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh siswa;

  2. Sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan;

  3. Siswa dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya;

  4. Siswa lebih mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya.

  b. Tujuan Tidak Langsung

  1. Siswa dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya;

  2. Siswa diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya;

  3. Siswa menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan terhadap lingkungannya sendiri.

  Dengan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar maka besar kemungkinan Siswa dapat mengamati, melakukan percobaan atau kegiatan belajar sendiri. Belajar mencari, mengolah, menemukan informasi sendiri dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungannya merupakan pola dasar dari belajar. Belajar tentang lingkungan dan dalam lingkungan mempunyai daya tangkap tersendiri bagi seorang anak. Jean Piaget (dalam Sofa, 2010) telah mengatakan bahwa makin banyak seorang anak melihat dan mendengar, makin ingin ia melihat dan mendengar. Lingkungan secara keseluruhan mempunyai pengaruh terhadap cara belajar seseorang. Benyamin S.

  Bloom (dalam Sofa, 2010) menegaskan bahwa lingkungan sebagai kondisi, daya dan dorongan eksternal dapat memberikan suatu situasi “kerja” di sekitar murid. Karena itu, lingkungan secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai daya untuk membentuk dan memberi kekuatan atau dorongan untuk belajar pada seseorang.

BAB III

METODE PENELITIAN

  A. Sasaran Penelitian

  Nilai estetika dalam legenda wadu Ntanda Rahi dan kaitannya dengan pembelajaran Muatan Lokal di SMP merupakan sasaran dari penelitian ini.

  Penelitian ini bersifat analisis kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.

  Data dalam penelitian ini berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, dan teks yang terdapat dalam Legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alam Malingi. Legenda ini lahir dalam bentuk buku pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada.

  B. Data dan Sumber Data

  1. Data Penelitian Data pada dasarnya merupakan bahan mentah yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti dari dunia yang dipelajarinya (Sutopo, dalam Karnia,

  2009: 18). Data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif. Aminnudin (1990: 16) mengemukakan bahwa data kualitatif yakni data yang berupa kata, gambar, bukan angka-angka. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata- kata, ungkapan, dan kalimat dalam legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alan

  Malingi pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada.

  2. Sumber Data Sumber data penelitian ini menggunakan sumber data primer. Sumber data primer adalah sumber data asli yang langsung dan segera diperoleh. Data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama

   Sumber

  data primer dalam penelitian ini yaitu legenda Wadu Ntanda Rahi yang diterbitkan pada tahun 2007, merupakan cetakan kedua pada bulan juli oleh penerbit CV. Mahani Persada dengan tebal 273 halaman.

C. Teknik Pengumpulan Data

  Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, dan catat. Teknik pustaka adalah pengumpulan data yang menggunakan sumber data tertulis untuk memperoleh data. Teknik pustaka dilanjutkan dengan teknik catat yakni mencatat data yang diperoleh dari sumber data tertulis. Sumber data tertulis di sini adalah Legenda Wadu Ntanda Rahi.

3. Teknik Analisis Data

  Mengingat data dalam penelitian ini berupa uraian dan kata-kata, selain itu data juga diungkapkan dalam bentuk kalimat bukan melalui tanda atau lambang tertentu maka diperlukan metode yang menyajikan data sebenarnya tanpa melalui rekayasa.

  Metode yang digunakan dalam analisis data ini adalah metode deskriptif analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan (Ratna, 2010: 53).

  Metode deskriptif analitik merupakan gabungan dari dua metode yakni metode deskriptif dan metode analitik. Menurut Hadari Nawawi (dalam siswantoro, 2005: 56) metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

  Metode analitik digunakan dalam rangka menganalisis data dalam penelitian ini. Analisis berasal dari bahasa Yunani, “analyein” (‘ana’= atas, ‘lyein’=lepas, urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semat-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2010: 53).

  Dalam metode deskriptif analitik ada dua tahap, yakni tahap deskripsi dan tahap analisis. Tahap deskripsi merupakan tahap kegiatan memaparkan data apa adanya, misalnya mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau novel berdasarkan urutan cerita. Kegiatan deskripsi data ini hanya sekadar membaca dan memaparkan data apa adanya, tanpa penafsiran dan analisis (Suroso, 2008: 61).

  Selanjutnya tahap analisis, yakni tahap menguraikan data. Karya sastra merupakan struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analisis, yaitu menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sesungguhnya analisis merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi.

  Tujuan metode deskriptif analitik yaitu untuk mendeskripsikan nilai estetika dan struktur dari aspek gaya bahasa, setting (lattar), pesan atau amanat, dan aspek budaya dalam legenda Wadu Ntanda Rahi, yang di dalamnya terdapat upaya mengklasifikasikan data, mendeskripsikan, dan menganalis kondisi yang terkandung dalam legenda tersebut.

  Pengumpulan data dimulai dengan membaca legenda wadu Ntanda Rahi dari awal sampai akhir untuk mengetahui keseluruhan isi cerita. Kemudian dilanjutkan dengan menandai atau mengklasifikasikan data, mana yang termasuk nilai estetika, gaya bahasa, setting, pesan, dan mana yang termasuk aspek budaya. Setelah data diklasifikasikan, data tersebut dideskripsikan yakni memaparkan data apa adanya. Data yang dideskripsikan kemudian dianalisis atau diuraikan kondisi yang terkandung pada data tersebut untuk menjawab permasalahan, yakni bagian demi bagian dianalisis yang mengandung nilai estetika dan strukturnya dengan cara menampilkan kutipan-kutipan kalimat atau paragraf dalam legenda Wadu Ntanda Rahi untuk menghasilkan analisis yang total. Dalam tahap analisis juga dijelaskan pelajaran-pelajaran yang bisa di petik dari tiap fragmen yang deksripsikan. Terakhir yakni mengaitkan hasil analisis dengan pembelajaran muatan lokal di SMP.

  Untuk mengaitkan nilai estetika dan struktur dalam legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alan Malingi dengan pembelajaran muatan lokal di SMP digunakan metode intuitif. Metode intuitif dianggap sebagai kemampuan dasar manusia dalam upaya memahami unsur-unsur kebudayaan. Manusia memahami kebudayaan jelas dengan pikiran dan perasaannya, yaitu dengan intuisi, penafsiran, unsur-unsur, sebab akibat, dan seterusnya. Ciri khas metode intuitif adalah kontemplasi, pemahaman terhadap gejala-gejala kultural dengan mempertimbangkan keseimbangan antara individu dengan alam semesta (Ratna, 2010: 43-44).

  Berdasarkan metode yang digunakan untuk mengaitkan nilai estetika dan struktur tersebut dengan pembelajaran muatan lokal di SMP maka langkah yang ditempuh adalah menganalisis nilai estetika dan struktur dalam legenda Wadu Ntanda Rahi karya Alan Malingi kemudian mengaitkannya dengan tujuan pembelajaran muatan lokal. Apa bila hasil analisis nilai estetika dan struktur tersebut dapat membantu dalam pencapaian tujuan muatan lokal maka hasil analisis nilai estetika dan struktur dalam legenda wadu ntanda rahi dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran muatan lokal.