BAHASA AL-QUR'AN.doc 36KB Jun 13 2011 06:28:23 AM

BAHASA AL-QUR'AN
Adib Susila
BARANGKALI karena lazimnya, jarang sekali kita memperhatikan bahasa
yang kita gunakan. Bahasa sudah kita anggap sebagai hal yang biasa, seperti
makan, minum, dan bernafas. Tetapi sebenarnya, bahasa memainkan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan kita. Bahkan hal paling penting yang
membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan
berbahasa. Seperti dikatakan oleh Quintilian, "Tuhan, Sang Pencipta Alam Yang
Maha Kuasa serta Arsitek Dunia, telah memberikan kepada manusia suatu
sifat yang sangat tepat untuk membedakannya daripada hewan, yakni daya
bicara." (Mario Pei, 1970)
Mayoritas umat Islam di seluruh dunia sepakat, bahwa bahasa al-Qur'an
adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammad juga bangsa (orang) Arab, maka
banyak orang yang menyamaratakan (termasuk para orientalis), bahwa semua
yang berbau Arab (Timur Tengah) adalah Islam. Namun bila kita cermati lebih
dalam lagi, wajar bila timbul pertanyaan, kalau memang benar bahwa bahasa
al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammaad adalah bangsa (orang)
Arab, maka Arab manakah yang dimaksudkan? Apakah Arab Badui, Arab
Palestina, Arab Yaman, Arab Mesir, Arab Himyar, Arab Quraiys atau Arab
Hadramaut?
Ditinjau dari sejarahnya, sekurang-kurangnya ada dua jenis klan besar Arab

yang mendiami daerah Hijaz (jazirah Arab). Yang pertama adalah Arab asli
(True Arabs) atau Arab al-'Ariba dan yang kedua adalah Arab pendatang
(Arabized Arabs) atau Arab al-Musta'riba. Arab asli adalah keraturunan dari
Qathan, sedangkan Arab pendatang merupakan keturunan dari Ismail, yang
datang dari Babylonia (Mesopotamia).
Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Makkah sebagai pusat kota yang
terpenting pada saat itu. Praktis dikuasai oleh orang Arab pendatang yang
populer dengan sebutan suku bangsa Quraisy. Didukung oleh persekutuan
antar kabilah yang kuat dalam perjanjian hilfufudhul, maka bahasa Arab
Quraisy secara de facto telah menjadi lingua france (bahasa utama) di seluruh
jazirah Arab pada masa itu.
Berdasarkan data sejarah dan bukti dari berbagai ayat al-Qur'an dapat
disimpulkan bahwa, bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arabs Quraisy. Singkatnya
disebut dengan bahasa Araby.
Kemudian, mengapa kita memakai istilah Araby? Apakah karena kata Araby
berbeda dengan kata Arab? Istilah Araby berasal dari kata Arab yang ditambah
dengan huruf "ya nisbah", yaitu huruf "ya" di akhir kata yang berfungsi
sebagai penghubung dari kata itu. Dalam konteks bahasa, "ya nisbah"
berfungsi untuk merumpunkan suatu bahasa dengan kelompoknya. Seperti
halnya bahasa Indonesia adalah serumpun dengan bahasa Malaysia, yakni

termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Jadi, yang kita maksud bahasa alQur'an sebagai bahasa Araby, adalah karena bahasa Arab Quraiys yang
dipakai al-Qur'an tersebut serumpun dengan bahasa Arab seumumnya.

Yang penting digarisbawahi di sini adalah, dari dua bahasa yang serumpun
seringkali tidak sama persis antara yang satu dengan yang lainnya. Ada
banyak hal yang sama, tetapi ada beberapa hal lain yang berbeda.
Perbedaan antara bahasa Arab dengan bahasa al-Qur'an, adalah:
1. Bahasa Arab adalah bahasa kontemporer yang masih mengalami proses
perubahan dan perkembangan (bisa bertambah dan berkurang). Sedang
bahasa al-Qur'an adalah bahasa klasik yang sudah baku.
2. Secara struktur, bahasa Arab tersusun dari kalimat, kata dan huruf tanpa
ada ikatan yang kuat. Sedang bahasa al-Qur'an terikat dalam kitab, surat,
ayat, kalimat, kata, dan huruf.
Bahasa Arab sebagai Bahasa Asli
ASAL-usul bahasa sampai kini masih menjadi perdebatan para peneliti. Salah
satu pendapat menyatakan, bahasa mempunyai rumpun atau keluarga. Di
dunia ini ada empat rumpun bahasa. Rumpun Semit, Indo Eropa, Arya, dan
Mongol. Bahasa Melayu, termasuk bahasa Indonesia adalah keluarga dari
rumpun Mongol.
Apabila kita perhatikan kata "ardl" dalam al-Qur'an kemudian kita

bandingkan dengan earth (Inggris), terra (italia), terre (Perancis), tierra
(Spanyol), erde (Jerman), aarde (Belanda), rat (Jawa, bumi - Indonesia), maka
dari ketujuh bahasa tersebut ada kemiripan dalam bunyi ucapan (lafadz) dan
kesinoniman dalam makna yang dikandungnya. Bila ada pertanyaan, bahasa
manakah yang paling tua umurnya? Untuk menjawab pertanyaan ini memang
tidak mudah.
Ada seorang dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris,
Prof. Dr. Tahiyya Abdul Aziz yang menulis buku berjudul Arabic Language The
Origin of Languages. Dalam bukunya, Prof. Tahiyya berani menyimpulkan,
bahasa Arab merupakan sumber dan asal-usul dari semua bahasa yang ada di
muka bumi ini. Sungguh pun bahasa Arab itu dipandang dari sudut literatur
adalah bahasa yang termuda di antara kumpulan bahasa-bahasa Samyah
(Semite), tetapia bahasa ini lebih banyak mewarisi sifat-sifat asli bahasa
induknya, yaitu bahasa Samyaha daripada bahasa Ibrani dan lain-lain bahasa
yang bersaudara dengan itu (Philip K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, hal.
11). Dan tanah Arablah negeri asal dari cikal-bakal suku-suku bangsa bani
Samyah, yaitu, bangsa Babylonia, Assyiria, Chaldea, Amorayah, Aram,
Phunisia, Ibrani, Arab, dan Abessinia (hal. 12).
Dalam Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) dikatakan, "Adapun
seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya." (Kejadian 11: 1). Kemudian

dalam The Story of Language, Mario Pei mengutip pernyataan Cowper, "Para
sarjana filologi, yang memburu sebuah suku-kata terengah-engah lewat ruang
dan waktu, mulai darii rumah, mengejarnya dalam gelap-gulita ke Gallia, ke
Yunani, ke Bahtera Nabi Nuh juga." Dalam beberapa pernyataan yang kita
kutip tersebut, bila kemudian dihubungkan dengan Surat ash-Shaaffaat ayat 83
yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar pendukung
dan pelanjut dari Nuh. Lalu disambung dengan Surat al-A’laa ayat 18 dan 19,
yang secara tegas menyebutkan, al-Qur'an hingga sampai kepada Nabi Nuh.

Bila sudah sampai pada Nabi Nuh, maka untuk menghubungkannya hingga
Nabi Adam as, ibaratnya, tinggal selangkah lagi. Yakni, tinggal
menghubungkannya melalui Nabi Idris. Inilah yang disebut sebagai Arabic
language oleh Prof. Tahiyya sebagai asal-usul semua bahasa di dunia ini.
Bahasa wahyu, bahasa para Nabi. Sejak Adam hingga Muhammad. Dalam kaithubungan dengan bangsa Arab, bukan berarti wahyu al-Qur'an yang mengikuti
bangsa Arab, tatapi bahasa dan budaya bangsa Arablah yang mengikuti
bahasa dan budaya para Nabi (al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur, Shukhur Ula, alAsma dll).
Apabila sejarah timbulnya bahasa dirunut sejak Nabi Adam as., sebenarnya
kemampuan manusia dalam berbahasa tidak bisa lepas dari pengajaran yang
diberikan oleh Allah. Karena Adam itu satu dan Allah Maha Esa, maka bahasa
pun pada awal mula kelahirannya, semestinya, hanya satu juga. Bila dikatakan

bahwa bahasa itu adalah ciptaan manusia, kemungkinan besar yang dicitakan
manusia hanyalah berupa bentuk tulisannya saja.
Bahasa dalam bentuk aslinya yang pertama adalah berupa suara atau
rangkaian bunyi (ujaran) yang mengandung makna tertentu. Bentuk bahasa
ucap atau percakapan ini pastilah bukan ciptaan manusia, tetapi pemberian
dari Allah.
Bentuk Bahasa al-Qur'an
BAHASA ucap atau bahasa lidah merupakan landasan bagi semua bahasa.
Bahasa wahyu yang didokumentasikan dalam al-Qur'an disebut sebagai
qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan atau perkataan lisan. Hal ini perlu
kita tandaskan karena perbedaan bentuk bahasa akan sangat berpengaruh
pada makna yang dikandungnya.
Sebagai perbandingan antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis antara
lain:
1. Bahasa tulis sangat terikat oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap
lebih longgar dalam.
2. Dalam bahasa ucap, intonasi atau tinggi rendah tekanan (nada) suara
sangat mempengaruhi makna yang dikandungnya, sementara dalam bahasa
tulis tidak ada persoalan dalam hal intonasi.
3. Pihak-pihak yang berbicara biasanya saling bertemu secara langsung

dalam ruang dan waktu yang sama secara dialogis dan interaktif (dalam
bahasa ucap), sedangkan dalam bahasa tulis tidak demikian.
4. Yang paling tahu dari suatu ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila
objek (lawan bicara) tidak mengerti, bisa langsung ditanyakan kepada yang
bersangkutan saat itu juga. Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali
pemahaman, tafsiran, dan interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan kadangkadang bertolak-belakang dengan maksud si penulis, akan tetapi tidak bisa
langsung dikonfirmasikan saat itu juga.
Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur'an sebenarnya adalah bahasa
ucap atau bahasa lisan yang ditulis (diabadikan) dalam mushaf, maka kita bisa
lebih berhati-hati, terutama dalam upaya melagukan atau menyanyikan alQur'an. Jangan sampai sebuah kisah yang heroik di dalam al-Qur'an (misalnya

Surat al-Kafirun) menjadi terdengar lucu, karena keliru melagukannya, yakni
dengan nada meratap misalnya. Atau sebaliknya, yang seharusnya meratap
menadahkan harapan dalam suasana syahdu, tetapi malah dilagukan dengan
semangat berapi-api.
Di samping itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu penting, tetapi alQur'an sebagai bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori gramatika
(tata bahasa) tersendiri. Tidak cukup hanya dengan sekadar belajar Nahwu
Sharaf (tata bahasa Arab biasa). Jadi, untuk belajar bahasa al-Qur'an memang
harus mempelajari tata bahasa al-Qur'an itu sendiri.
Dalam al-Qur'an Surat al-Haaqqaah ayat 42-43 diterangkan, bahasa alQur'an adalah bahasa percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada

utusan-Nya, yang dari segi bentuk maupun kandungannya mempunyai nilai
yang sangat mulia (qaulu arasuulin kariimin). Al-Qur'an bukan termasuk
bahasa semodel bahasa para sastrawan atau penyair (syaa'irin) yang terlalu
berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja. Bahasa al-Qur'an juga bukan
bahasa seperti bahasa para manterawan (kaahinin) atau peramal atau dukun,
karena bentuk bahasa model ini seringkali sulit dinalar dan tidak komunikatif.
Biasanya, bahasa jenis ini memerlukan juru tafsir khusus.
Dari semua bentuk bahasa tersebut, baik yang syaa'irin maupun kaahinin,
yang tahu hanya para tokoh dan juru tafsirnya. Semakin sulit dipahami oleh
orang awam akan terasa semakin hebat, dan tentu saja semakian mahal
harganya.
Paradoks Bahasa
DALAM al-Itqan, as-Suyuthi mengatakan, "Barangsiapa menyatakan telah
memahami rahasi-rahasia yang tersimpan dalam al-Qur'an, tetapi tidak
menguasai makna lahiriahnya (tekstual), maka ibaratnya sama dengan orang
yang mengatakan bahwa dia telah sampai (masuk) di tengah sebuah rumah,
tetapi tidak melewati pintunya." Dari pendapat as-Suyuthi ini bisa disimpulkan
bahwa seseorang tidak mungkian bisa memahami makna suatu bahsa tanpa
mempelajari bahasa yang bersangkutan.
Akan tetapi, pengalaman kita dalam belajar bahasa membuktikan, bahasa

sebagai alat untuk menyampaikan makna sama sekali tidak menentukan
makna yang dikandungnya. Misalnya kata "bisa" mempunyai makna "dapat"
atau "racun". Dalam kasus ini sebuah lambang bahasa mempunyai kandungan
makna lebih dari satu. Kadang-akadang dalam kasus yang lain, satu makna
yang sama tetapi diungkapkan dengan lambang bahasa yang berbeda-beda,
contoh kata "ibarat", "umpama", "misal", "bagaikan", "seperti", "penaka", dsb,
walaupun kata ini diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda, tetapi
maksudnya tetap sama. Inilah paradoks bahasa yang dimasudkan, di satu segi
kita harus melalui bahasa untuk mempelajari makna yang dikandungnya, di
segi lain kita tidak boleh terjebak pada bahasa sebagai alat penyampai makna
yang secara prinsip sama sekali tidak menentukan makna.
Bahasa sebagai alat ibaratnya seperti sebuah keranjang (wadah/tempat).
Apakah isi keranjang itu batu, buah-buahan atau pakaian, tidak ditentukan
oleh keranjang itu sendiri. Paling-paling orang hanya bisa menduga

berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kebiasaannya. Misalnya, andai
keranjangnya model seperti begini, maka biasanya untuk tempat buahbuahan, kalau bentuknya begitu, biasanya untuk tempat pakaian, dan
seterusnya.
Begitulah cara kita dalam berusaha belajar bahasa al-Qur'an (bahasa
ucap/wahyu Allah), yang harus kita sikapi dengan penuh kehati-hatian untuk

bisa lebih cermat dalam menyimak, menangkap, dan memahami makna yang
dikandungnya, baik secara lahiriah maupun substansinya. Lebih-lebih
sebagaimana kita tahu bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya Kitab Suci (wahyu
Allah) bagi umat Islam yang masih utuh dan asli, tidak tercampuri atau
terkotori oleh tangan-tangan manusia yang dapat merobah dan mengurangi
serta mengkaburkan isi dan makna yang dikandungnya, dibandingkan dengan
Kitab-kitab Suci lain.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04