Index of /ProdukHukum/kehutanan

(1)

G

PLAN

LO

ISSN : 1858-3261

SEKAPUR SIRIH

KEPALA BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN

Sejarah menunjukkan bahwa walaupun secara umum semua fihak sama berpendapat betapa pentingnya keberadaan

sumberdaya hutan bagi kehidupan, namun dalam kenyataannya pembangunan sumberdaya hutan secara berkelanjutan selalu

saja dibenturkan dengan kepentingan sumber-sumber pembangunan bersifat kepentingan jangka pendek. Kondisi tersebut

yang akhirnya berujung pada degradasi kuantitas dan kualitas hutan, karena konversi kawasan secara otomatis menghilangkan

potensi modal pembangunan sosial budaya, ekonomi dan lingkungan sumberdaya hutan yang melekat dan ada karena

keberadaannya

Dalam era globalisasi tekanan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan bagi kepentingan sekarang dan masa depan

makin menggema, bahkan kewajiban pengelolaan sumberdaya hutan secara bertanggung jawab dikaitkan dengan berbagai

prasyarat berjalannya negosiasi dan komitmen-komitmen internasional yang sangat strategis bagi kepentingan nasional.

Peran kompetensi dan komitmen sumberdaya manusia pengelola dan para fihak yang terkait dengan sumberdaya hutan

layak dianggap menjadi kunci solusi lingkaran permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan sekarang dan kedepan. Upaya

peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia

harus menjadi upaya yang tidak terpisahkan dengan

upaya

peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya.

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, jalur fungsional menjadi

alternatif pilihan upaya percepatan peningkatan

kapabilitas aparat secara berkesinambungan. Penetapan fungsional perencana (planolog) adalah salah satu upaya strategis

yang diharapkan dapat menjadi jawaban peningkatan profesionalisme pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidak dalam

mendukung penyusunan kebijakan perencanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Dalam rangka dukungan nyata atas upaya peningkatan kapabilitas aparat fungsional perencana, kami menilai perlu untuk

menerbitkan suatu media sebagai ajang penyampaian, pertukaran dan pemutakhiran informasi yang menyangkut

keplanologian kepada publik., berdasarkan argumen itulah Buletin ”PLANOLOG” ini diterbitkan.

Akhirnya dengan tulus kami menyampaikan penghargaan atas kerja keras dan sumbangan pemikiran semua fihak yang

memungkinkan terbitnya buletin triwulanan ini. Mudah-mudahan semangat tersebut dapat menjadi modal utama agar media

ini dapat berkesinambungan dan bermanfaat bagi semua fihak sesuai dengan tujuannya.

Demikian dan Sukses Bersama Kita Bisa ...

Berbagai hal baik teknis maupun non teknis telah merintangi penerbitan edisi perdana buletin PLANOLOG ini, namun

atas kerja keras tim redaksi dan lindungan Yang Maha Kuasa, akhirnya buletin perdana ini terbit juga ke depan pembaca.

Berbagai informasi dan wacana yang berharga dalam persoalan kehutanan khususnya keplanologian dapat anda

cermati di dalamnya. Selanjutnya pembaca bisa menilai isi edisi perdana ini, kami sangat berharap tanggapan dan masukan dari

pembaca demi memajukan buletin ini untuk lebih baik kedepannya. Kami juga sangat membuka diri bagi yang ingin

menyumbangkan artikel maupun buah pikiran yang berhubungan dengan keplanologian.

Harapan kami semoga kehadiran buletin ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kehutanan khususnya yang

terkait dengan keplanologian.

Selamat membaca.

Redaksi


(2)

Halaman

2

Latar Belakang

Identifikasi Permasalahan

Seakan berbarengan dengan reformasi, frekuensi konflik lahan hutanpun di berbagai daerah mencuat kepermukaan. Berbagai klaim dan tuntutan kepemilikan kelompok-kelompok komunitas tertentu, atas kawasan hutan yang secara hukum telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara. Klaimpun berkembang sedemikian rupa atas lahan hutan, baik yang bebas maupun telah dibebani hak guna usaha, hak pengusahaan hutan. Dalih penyerobotan lahan milik komunitas menjadi lahan hutan negara, merupakan argumen klaim yang paling umum dengan modus disertai ancaman dan tindak anarkis apabila klaim mendapat respon atau mendapat respon tetapi tidak sesuai dengan isi tuntutan. Keberhasilan demi keberhasilan klaim seakan menjadi preseden bagi modus klaim serupa di berbagai tempat lainnya.

Kembali seakan belum cukup kepelikan masalah lahan yang ada, tekanan klaim dalam bentuk lain muncul terhadap

lahan hutan dalam bentuk ” ” yang

berdalih kepentingan umum dan kepentingan peningkatan penerimaan negara dari sektor-sektor strategis seperti pertambangan, perkebunan, transmigrasi sampai dengan pembukaan jaringan jalan.. Klaim dalam bentuk yang terakhir ini kerap membenturkan penafsiran antar peraturan dan perundangan yang mendasari masing-masing sektor.

Penitikberatan permasalahan pada terminologi sumberdaya lahan/kawasan semata , telah menafikan pengertian kawasan hutan adalah merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari sumberdaya lahan dan tegakan hutan/rencana penghutanan kembali di atasnya. Pergeseran tersebut telah mengaburkan manfaat sumberdaya hutan yang bukan saja menghasilkan outputnya sendiri berupa hasil hutan, namun yang tak kalah penting, sumberdaya hutan juga berperan strategis dalam menunjang eksistensi pembangunan sektor-sektor lain

Terlepas dari pengaburan makna hakiki dari sumberdaya hutan di atas, pertanyaan yang timbul, ”Begitu Lemahnyakah Peraturan PerUndangan yang mendasari penetapan Kawasan Hutan Negara, sehingga upaya konversi lahan hutan bisa mencabik-cabik kawasan dan fungsinya yang strategis hanya dengan dalih kepentingan-kepentingan jangka pendek ?”

Dasar hukum penetapan kawasan hutan Negara dimulai dari penafsiran pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang pada intinya menetapkan, bahwa hutan termasuk komoditi strategis bagi hajat hidup

trade off interest & comodity

Dari Sisi Internal Kehutanan

Tinjauan Persepsi Peraturan Per-Undang-Undang-an

masyarakat (public goods), sehingga dikuasai oleh negara d a n d i k e l o l a u n t u k s e b e s a r - b e s a r kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Berangkat dari penafsiran atau persepsi dikuasai dan dikelola oleh negara, maka lahirlah perUUan sebagai deivasi pasal 33 tersebut berupa UU Pokok Kehutanan No.5 tahun 1967 yang masih mengakomodasi berberapa ordonansi yang diterbitkan jaman Hindia Belanda.yang menyangkut perlindungan alam, penunjukkan register hutan dlsb. Sampai akhirnya dengan berbagai pertimbangan UU No.5 tahun 1967 dirubah menjadi UU No.41 tahun 1999 dengan judul yang sama.

Dalam perkembangannya kawasan hutan dari penunjukkan secara parsial kemudian meningkat menjadi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang bersifat makro indikatif dan telah ditanda tangani berbagai fihak lintas sektor yang kemudian ditata batas secara bertahap (mikro definitif) dan disahkan Berita Acaran Tata Batasnya oleh para Bupati setempat.

Persepsi internal kehutanan yang ditanamkan dalam proses penetapan kawasan hutan negara ini adalah : Secara hukum penetapan kawasan hutan dengan SK Menhut sama kuatnya secara hukum dengan Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Agraria/BPN. Oleh karena itu adalah suatu pelanggaran hak, apabila ada penggunaan kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan tanpa seijin Pemerintah cq Departemen Kehutanan. Padahal klausul tersurat tentang persepsi tersebut tidak terdapat baik dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan, PP No. 34 tahun 2003 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan maupun PP No.44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, bahkan pengertian tentang pemantapan kawasan hutan pun belum disepakati !.

Menanggapi realitas perkembangan kebutuhan pembangunan yang membuka peluang kemungkinan terjadinya kebutuhan lahan oleh fihak lain (non kehutanan), maka telah dibuat pelbagai peraturan yang mengatur kriteria, mekanisme/tata cara penggunaan lahan kawasan hutan antara lain melalui cara pelepasan, tukar menukar dan pinjam pakai. Namun pada prakteknya tidak terselenggara secara harmonis, kerap sekali penggunaan lahan hutan telah dilaksanakan kendati perijinannya belum atau sedang berproses.

Mengacu pada perjalanan proses di atas, dimana persepsi internal yang beranggapan seolah tidak ada yang salah dengan peraturan perundangan kehutanan dan penerapannya sangat berbeda nyata dengan kondisi senyatanya di lapangan, berdampak pada semua kegiatan yang berkaitan dengan kawasan hutan direncanakan dan dilaksanakan dalam konteks ”business as usual” atau dengan kata lain seperti tidak ada konflik di lahan hutan.. Hal tersebut jelas merugikan performance kinerja kehutanan secara keseluruhan dan berdampak pada rendahnya share kehutanan pada pembangunan nasional.

MERETAS UNIVERSALITAS ENTITAS PEMBANGUNAN

MENUJU SOLUSI

PROBLEM LAND TENURE, DEGRADASI HUTAN DAN KAWASAN HUTAN

(Suatu Pencerahan Pemahaman)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN


(3)

Dari Sisi Peraturan PerUUan Sektor Terkait

Terkait dengan aspek lahan, maka Agragria/BPN sebagai organ Pemerintah yang diberi otoritas untuk mengurus masalah pertanahan Nasional jelas berperan strategis dalam status aspek legal kawasan/lahan hutan. UU Agraria/Pertanahan mengatur otoritas BPN untuk menerbitkan pengakuan legalitas alas hak atas tanah dalam berbagai tingkatnya mulai dari hak milik, hak guna usaha, hak garap yang didasarkan atas permohonan pengguna dan sebab musabab yang mendasari timbulnya hak, seperti jual beli, waris, hibah, ijin usaha dsb. Dalam hal ini termasuk aset milik negara seperti tanah untuk kantor, gudang, rumah dinas menjadi wajib bersertifikat hak milik demi terjaminnya keamanan kekayaan negara. Kenyataan menunjukkan bahwa, sampai dengan saat ini belum ada satupun unit kawasan hutan negara yang disertifikasi oleh BPN, malah sebaliknya di beberapa bagian kawasan hutan yang telah ditunjuk dan ditetapkan dengan SK. Menhut, BPN mengeluarkan sertifikat hak kepemilikan atas tanah, sehingga b i s a d i s i m p u l k a n , b a h w a B P N t i d a k / b e l u m m e n g e t a h u i / m e n g a k u i S K M e n h u t t e n t a n g penunjukkan/penetapan kawasan hutan tersebut.

UU Pertambangan yang lahir lebih dahulu daripada UU Pokok Kehutanan sering sekali menjadi argumen sektor pertambangan untuk memprioritaskan pemanfaatan lahan untuk tambang bahkan di kawasan hutan lindung dan konservasi sekalipun. Hal ini menunjukkan, pengabaian atas SK. Menhut tentang penunjukkan dan penetapan hutan., dimana secara hukum positif, pengabaian tersebut didukung oleh hasil-hasil vonis pengadilan yang memenangkan pertambangan atas sengketa pemanfaatan tambang di atas lahan hutan.

UU Transmigrasi mengatur, bahwa pelaksanaan pemukiman transmigrasi di kawasan hutan, baru boleh dilakukan setelah ijin pelepasan kawasan dari Menhut terbit. Namun dalam prakteknya tidak ada pembatalan terhadap penggunaan lahan kawasan hutan yang terlanjur di gunakan untuk pemukiman transmigrasi sebelum terbit/ada ijin pelepasannya dari Menhut. Kenyataan lapangan menunjukkan penyelesaian status kawasan hutan yang digunakan oleh transmigrasi menjadi status quo, bahkan telah ada yang diterbitkan hak kepemilikannya oleh BPN setempat.

Dari tinjauan UU-UU dan implikasinya dari Sektor terkait tersebut, didapatkan kecenderungan keseragaman pandangan, yaitu ; belum/tidak diakuinya kekuatan SK Menhut sebagai alas hukum penetapan kawasan hutan negara. Hal ini diperkuat dari hasil-hasil putusan Pengadilan yang mengadili konflik penyerobotan lahan kawasan hutan oleh fihak pengguna secara tidak sah, hampir selalu dimenangkan oleh ”penyerobot” baik masyarakat maupun antar sektor di dalam tubuh pemerintahan sama (pertambangan, perkebunan, transmigrasi dsb.).

Dari tinjauan sisi internal dan eksternal kehutanan /sektor terkait di atas, maka dapat dirumuskan masalah mendasar dari adanya konflik lahan adalah :

Perumusan Masalah

”Ketidak pastian status yang menderivasi ketidak pastian sanksi yang mengikat telah mengakibatkan rendahnya pengakuan properti lahan kawasan sekaligus fungsi strategis hutan Negara”

penyebab strategis rendahnya pengakuan atas eksistensi/keberadaan kawasan hutan yang bermuara pada tingginya laju degradasi lahan hutan dan hutan, sedangkan tujuan dan manfaat nya adalah untuk mendapatkan alternatif upaya peningkatan peningkatan pengakuan kawasan hutan, sehingga laju degradasi hutan dan lahan hutan dapat diminimalisasi.

Maksud dan Tujuan

Analisis/Pembahasan

Maksud penulisan kajian umum ini adalah untuk mendapatkan

Lebih dari 30 tahun upaya Pemerintah cq Departemen Kehutanan secara terpadu dengan Pemerintah Kabupaten dan Propinsi yang telah menghabiskan begitu banyak biaya dan tenaga untuk mengukuhkan kawasan hutan negara, namun terhadap penunjukkan hutan negara seluas ± 13.805.509 ha sampai dengan tahun 2004 tercatat dari ± 217.163,25 km batas luar baru terealisasi ± 165.990,69 km, sedangkan dari ± 81.380 km tata batas fungsi-fungsi dalam kawasan hutan negara baru terealisasi ± 51.172,56 km, dengan catatan, bahwa masih dipertanyakan/ditelusuri seberapa jauh kesesuaian dan kelengkapan dokumentasi hasil pengukuran (Peta, Buku Ukur, Berita Acara Tata Batas, Hasil Padu serasi Rencana Tata Ruang) dan kondisi pal sebagai batas fisik di lapangan serta kondisi fisik kawasan hutan senyatanya. Sebagai catatan, seharusnya program/kegiatan penelusuran alas hukum kawasan hutan ini menjadi prioritas utama program pra-kondisi hutan.

Kenyataan kondisi yang ditinjau dari aspek hukum cukup rawan di atas menjadi makin rumit, karena dilain fihak fenomena konflik lahan kawasan hutan adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari atau ditutup-tutupi, karena eksternalitas negatifnya terhadap degradasi luas dan fungsi hutan sangat jelas terlihat dan terasa, baik dalam bentuk bencana alam maupun kerugian negara, kerugian finansil para pengusaha yang secara sah telah mendapatkan ijin pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan dan bermuara terancamnya kelestarian hutan dan hilangnya potensi sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dari tinjauan singkat aspek hukum, jelas bahwa status legal kawasan hutan ternyata hanya diakui secara ekslusif oleh lingkup Departemen Kehutanan secara internal saja, sedangkan sebagian fihak-fihak lain yang berkepentingan dengan lahan cenderung memandangnya sebagai lahan bebas/bera'. Apabila hal ini tidak segera diluruskan, akan timbul lemahnya posisi tawar Departemen Kehutanan mewakili Pemerintah dalam legalitas kawasan hutan sebagai aset negara, timbulnya kerancuan pada para pengguna lahan kawasan hutan yang tertib hukum (baca: mengakui eksistensi SK. Menhut) antara lain seperti timbulnya kekhawatiran atas jaminan kepastian status hukum lahan usahanya.

Halaman

3

G

P

L

A

N

L

O


(4)

Halaman

4

Upaya pelurusan yang dilakukan jelas harus canggih dan berdampak jangka pendek dan yang pasti akan tidakpopuler, karena menyangkut friksi kepentingan lintas sektor, namun demikian boleh diyakini kepastian status hukum kawasan hutan sebagai aset negara mestilah menjadi prioritas, karena kepentingannya yang menyangkut sosial politik dan ekologi serta ekonomi bukan saja strategis di internal negara tetapi telah menjadi isu global .

Mengingat dimensi permasalahan lahan hutan paling tidak meliputi dimensi ekonomi, sosial dan ekologi, maka dimensi hukum haruslah diletakkan sebijak mungkin agar tidak memperumit permasalahan yang sudah ada. Hukum s e l a y a k n y a m e n j a d i p e n g a w a l y a n g m e n j a m i n terselenggaranya optimalisasi manfaat aspek sosial, ekonomi dan ekologi dari lahan hutan dan hutan secara proporsional, kontradiksi antar UU seharusnya tidak menciptakan trade off antar fungsi manfaat aspek melainkan mensinerjikannya.

Ketika aspek sosial, ekonomi dan ekologi disepakati sebagai entitas pembangunan, maka sudah seharusnya aspek-aspek tersebut mutlak menjadi dasar pertimbangan setiap kegiatan pembangunan yang menggunakan lahan hutan yang berkonsekuensi konversi hutan yang tumbuh di atasnya. Berangkat dari kesamaan entitas/karakteristik tersebutlah solusi minimalisasi ekternalitas negatif pembangunan terhadap aspek-aspek tersebut dibangun.

Integrasi domein sumberdaya hutan sebagai sumber output barang dan jasa hasil hutan dan jasa lingkungan dengan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang terselenggaranya keberadaan pembangunan sektor terkait yang seringkali terdikhotomi karena rigiditas perhitungan PDRB secara langsung maupun tidak langsung mengkondisikan inferioritas sampai peniadaan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang sektor lain, padahal keberhasilan pembangunan Nasional merupakan integrasi dari pembangunan parsial masing-masing sektor Pengintegrasian kedua domein akan menjadi penghubung ketergantungan pembangunan lintas sektor sekaligus menjadi forum pensinerjian antar sektor kehutanan dengan sektor terkait, sebagai contoh ; ketergantungan pembangunan pangan sangat tergantung pada pengairan yang notabene merupakan salah satu benefit keberadaan sumberdaya hutan, sediaan alur sungai yang reperesentatif sebagai alternatif moda transportasi, kedalaman pantai yang layak untuk pelabuhan dan sediaan air sebagai penggerak turbin PLTA akan menjadi effektif dan effisien (minimalisasi biaya pengerukan yang mahal dan minimalisasi ekternalitas kekeringan) dengan keberadaan sumberdaya hutan yang meminimalisasi endapan akibat erosi dan abrasi serta belum lagi kaitan sumberdaya hutan yang mampu menyerap polutan dan mentransmisikan oksigen sangat strategis bagi sektor kesehatan, serta pengaruh keberadaan sumberdaya hutan terhadap iklim dlsb.

Dari penempatan amanat hukum secara proporsional, kesamaan entitas yang berlaku universal dan tinjauan domein sumberdaya kehutanan tidak sekedar output namun terintegrasi secara utuh dengan domein sumberdaya hutan sebagai input tersebut, paling tidak ada 3 (tiga) alternatif pendekatan dalam tinjauan masalah land tenure lahan hutan dari sisi pandangan pembangunan nasional dan berdampak positif terhadap pengakuan kawasan hutan, yaitu :

1. Penegasan status lahan kawasan hutan sebagai Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN), sehingga,

kewajiban pengamanannya mulai dari aspek alas hukum l a h a n ( s e r t i f i k a t ) , r e g i s t r a s i ( r e g i s t e r h u t a n ) pengamanan(patroli) dan pemeliharaan (rekontruksi) serta pemanfaatannya(sewa guna). Pengamanan IKMN mewajib- kan sertifikasi sah atas tanah-tanah hutan sebagai milik sah Negara dan dibuat registernya serta dokumen berkaitan pemilikan termasuk patok batas di lapangan harus teradministrasi dengan rapih dan aman, setiap penggunaannya (peminjaman, penambahan dan pengurangan) harus tercatat dan didasari oleh ijin sah yang berlaku. Pola penggunaan/pemanfaatan dalam bentuk apapun tidak menghilangkan kepemilikan negara atas lahan hutan tersebut (tidak mengurangi luas hutan negara ), kecuali dilakukan suatu ruijslaag yang memenuhi ketentuan. Dengan berlakunya status IKMN, maka baik hukum administrasi tata laksana, hukum perdata dan hukum pidana berlaku atas properti negara tersebut. Pendekatan ini merupakan upaya minimalisasi potensi kerugian negara sekaligus meningkatkan posisi tawar Pemerintah cq Departemen Kehutanan dalam p e n g e l o l a a n h u t a n y a n g s e c a r a e k o n o m i s menguntungkan, namun tetap ramah lingkungan dan berfihak pada local specific entity dalam memelihara k e s e i m b a n g a n d i s t r u b u s i m a n f a a t h u t a n . 2. Penetapan/Pengukuhan lahan kawasan hutan cukup sampai SK Menhut RI seperti saat ini, namun dalam pengalokasian pemanfaatan dalam kerangka pengelolaannya menitik beratkan pada Fungsi Utama/Dominan dari bagian kawasan hutan yang b e r s a n g k u t a n . M a k s i m a l i s a s i p e m a n f a a t a n multiguna/multi produk (barang dan jasa) dengan menjaga fungsi tersebut pada ambang yang aman secara teknis dalam arti minimalisasi transmisi potensi ekternalitas negatif yang mungkin terjadi akibat pemanfaatan.

3. Pengayaan SK Menhut RI tentang Penetapan Kawasan hutan dengan SKB Menteri tentang Integrasi penetapan kawasan hutan dalam konteks sumberdaya hutan sebagai input strategis penunjang pembangunan sektor terkait Terwujudnya SKB ini boleh diyakini akan memperkuat pengakuan kawasan hutan terutama dari sektor terkait, sehingga potensi friksi/konflik bisa digiring menjadi proses pensinerjian pembangunan lintas sektor.

Bahwa hutan secara umum sesuai pasal 33 UUD 1945 dikategorikan sebagai ”public goods” bukanlah berarti kawasan yang bersifat status quo, sehingga dapat digunakan secara ”bebas nilai”, namun dikuasai oleh negara seharusnya ditafsirkan bukan sebagai penghilangan property right Negara atas kawasan hutan tersebut. Dengan kata lain ditinjau dari sisi pandang Hukum Nasional kawasan Hutan adalah juga ”private goods” yang wajib dilindungi dengan properti right yang jelas dan sah menurut hukum demi keamanan keberadaannya. Pemahaman ini berimplikasi UU keagrarian sebagai sentral otoritas kepemilikan wajib memberikan alas hukum yang sah terhadap kawasan hutan sebagai salah satu aset nasional yang dimandatkan pengurusan dan pengelolaannya opada Departemen Kehutanan. Bahwa pasal 33 UUD 1945 menetapkan ”hutan, tanah dan air ... untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, wajib ditafsirkan dalam konteks maksimalisasi fungsi dan manfaat serta minimalisasi dampak/eksternalitas pengelolaannya, sehingga perlu dilindungi keberadaannya dan diatur pengelolaannya sebijaksana mungkin sesuai karakter sumberdaya-sumberdaya dimaksud, sehingga

G

P

L

A

N

L

O


(5)

Halaman

5

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

ketika tata ruang/tata guna lahan yang mencerminkan land capability dan land suitability telah disepakati didasari oleh karakteristik sumberdaya, maka konteks untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat haruslah berbasis pada konsistensi kesepakatan yang telah dibuat tersebut .

Penetapan suatu kawasan hutan negara, didasarkan atas terpenuhinya karakteristik dimensi fungsi hutan, sedangkan fungsi kawasan hutan dengan luasan lahan di bawahnya diklasifikasikan berdasarkan bentangan Daerah Aliran Sungai (DAS), karena DAS mewakili topografi yang mencerminkan klasifikasi karakteristik tingkat resiko ekternalitas negatif dari pengelolaannya terhadap kepentingan umum kehidupan secara menyeluruh(sebesar-besar kemakmuran rakyat), yaitu semakin menyeluruh(sebesar-besar kemiringan lahan dan semakin tinggi lahan dari atas permukaan laut serta semakin dekat dekat dengan sumber-sumber air (sungai, danau dan laut) semakin besar potensi ekternalitas negatif pengelolaannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pengelolaan adalah yang bertendensi pada konversi yang berakibat pada pengurangan tegakan hutan di atas lahan hutan, sehingga fungsi ekologinya terganggu dalam mendukung kepentingan pembangunan ekonomi dan sosial di sekitar wilayah dampak.

Berangkat dari proses penetapan kawasan hutan di atas, maka sangatlah tepat pendekatan entitas pembangunan trilogi sosial, ekologi dan ekonomi sebagai wujud fungsi manfaat sumberdaya hutan dan pencuatan domein sumberdaya hutan sebagai input serta pendekatan hukum yang dipandang sebagai faktor pengikat/penjamin terselenggaranya entitas pembangunan secara proporsional digunakan sebagai dasar solusi terjaminnya pengelolaan kawasan hutan secara harmonis dengan sektor-sektor terkait dalam dimensi pembangunan Nasional.

Te r b u k t i b a h w a , r e n d a h n y a p e n g a k u a n eksistensi/keberadaan kawasan hutan dengan pembenaran aspek legalitas masing-masing sektor .salah satu penyebab utama dari tingginya laju degradasi hutan dan lahan hutan Perbedaan pandangan internal kehutanan yang ”over value” atas status hukum kawasan hutan satu sisi dan pandangan eksternal kehutanan yang ”under value” atas fungsi dan benefit sumberdaya hutan di sisi lain mengakibatkan konflik-konflik lahan hutan berkembang seolah ”unsoluable” .

Dari analisis pembahasan masalah penyebab degradasi terutama terkait dengan rendahnya pengakuan atas keberadaan/eksistensi kawasan hutan yang bermuara pada degradasi lahan hutan dan hutan, maka sebagai alternatif upaya meningkatkan pengakuan kawasan hutan, disimpulkan dan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : 1. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat

dilakukan melalui penegasan statusnya sebagai Inventaris Kekayaan Milik Negara (IKMN) dalam bentuk peningkatan status hukumnya dari SK Menhut RI menjadi Sertifikat Hak Milik Lahan Hutan Negara cq Dep. Kehutanan. Alternatif ini selain menjamin keamanan dan meningkatkan akurasi neraca sumberdaya hutan, namun j u g a b e r k o n s e k u e n s i b e r l a k u n y a a t u r a n penyelenggaraan IKMN atas kawasan hutan sesuai ketentuan yang berlaku.

Kesimpulan dan Rekomendasi

2. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat dilakukan melalui, Penempatan aspek hukum secara p r o p o r s i o n a l l e b i h s e b a g a i p e n g i k a t e n t i t a s pembangunan , sosial, ekologi dan ekonomi seluruh s e k t o r, d a r i p a d a s e b a g a i a l i b i p e m b e n a r a n penyelenggaraan pembangunan sektor masing-masing, s e h i n g g a s i n e r j i s i t a s m a k s i m a l i s a s i f u n g s i , benefit/manfaat serta minimalisasi potensi ekternalitas negatiflah yang menjadi pertimbangan prioritas pembangunan seluruh sektor. Alternatif mendukung pengamanan kawasan hutan dari sisi luas dan fungsi secara partisipatif oleh seluruh pengguna/pemanfaat kawasan hutan.

3. Peningkatan pengakuan atas kawasan hutan dapat dilakukan melalui pemanfaatan domein sumberdaya hutan sebagai input penunjang pembangunan berbagai sektor terkait yang mendasari SKB antar Menteri Sektor terkait. Alternatif ini mengedepankan harmonisasi share forward linkage sub-sistem on farm sumberdaya hutan dengan backward linkage sector lain yang tergantung kepada keberadaan hutan dalam luas yang cukup. Semoga dengan reformasi kebijakan lahan khususnya di kawasan hutan dapat mendukung paradigma

ke masa depan. (SR/AD)

Sustained Development


(6)

Halaman

6

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Dalam rangka menindak lanjuti rangkaian Internasional workshop desentralisasi kehutanan yang dilaksanakan di Interlaken Swiss pada tanggal 27-30 April 2004. Departemen Kehutanan dengan dukungan FLBEU,MFP-DFID,World Bank, serta JICA menyelenggarakan workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Indonesia.

Workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Indonesia dilaksanakan di hotel Intercontinental Mid Plaza Jakarta pada tanggal 26 27 Agustus 2004. Workshop ini dihadiri oleh para pengambil keputusan dari pemerintah kabupaten dan propinsi, Perguruan Tinggi, LSM, BUMN, Organisasi Profesi Kehutanan, Lembaga Donor, Departemen Kehutanan, Departemen Luar Negeri, Bapennas, Departemen Dalam Negeri dan Swasta, dihadiri oleh 132 peserta. Workshop ini bertujuan untuk memperkenalkan prinsipprinsip umum pelaksanaan desentralisasi,pertukaran pengalaman pengelolaan sumber daya hutan oleh pemerintah daerah serta mencari wacana (model) baru pengembangan desentralisasi Kehutanan. Tulisan ini mencoba menginformasikan hasil identifikasi beberapa permasalahan desentralisasi sektor Kehutanan dari hasil workshop tersebut.

Berdasarkan pandangan umum yang disampaikan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, Mr. Christian Kuchli (Pemerintah Swiss), Mr. Ronan Mac-Aongusa (Komisi Eropa) dan presentasi yang disampaikan oleh Dr. I Made Suwandi (Depdagri), Dr. Dedi M. Masykur Riyadi (Bappenas), Bupati Rokan Hilir, Bupati Kutai Barat, Djauhari Oratmangun (Deplu) serta hasil Diskusi Kelompok dan Diskusi Plena, di identifikasi permasalahan-permasalahan yang mengemuka dan perlu mendapat tindak lanjut, yaitu :

P e r m a s a l a h a n p a d a P e n g a t u r P e r a n d a n Tanggungjawab Lintas Tataran dan Sektor dalam Kaitannya dengan Sektor Kehutanan adalah perumusan kebijakan dan p e r e n c a n a a n k e h u t a n a n b e l u m s i s t e r n a t i s d a n terintegrasi,kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum dirumuskan dengan mantap,belum mantapnya kebijakan penetapan dan pengelolaan kawasan hutan serta pemanfaatannya,masih lemahnya upaya penegakan hukum dan koordinasi antar sektor dan stakeholder terkait,proses perijinan tidak konsisten dan cenderung panjang untuk pengelolaan hutan,belum optimalnya fasilitasi dan dialog yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah dan stakeholders terkait di daerah serta kurangnya dukungan pendanaan dari pemerintah pusat kepada daerah serta belum optimalnya pelayanan publik di bidang kehutanan.

tuntutan masyarakat terhadap kepastian kawasan (terutama hutan milik/adat/ulayat) semakin meningkat,ketidakpastian terhadap status kawasan berdampak negatif terhadap hutan,di banyak kabupaten terdapat kebutuhan lahan hutan untuk membangun perkebunan. Hal ini menuntut peninjauan kembali peraturan

Permasalahan pada Kerangka Kebijakan dan Pengaturan Penganggaran serta Pengembangan Investasi adalah

perundangan mengenai pelepasan kawasan hutan konversi.Masalah tenurial masih lebih terkait dengan pemanfaatan kayu dan belum mengedepankan jasa lingkungan yang disediakan sumber daya hutan.Masyarakat merasakan terbatasnya akses untuk memanfaatkan hasil hutan serta kewenangan bupati memberikan ijin pemanfaatan kayu seluas 100 hektar merupakan instrumen pengendali terhadap pencurian kayu/penebangan ilegal.

Permasalahan pada Proses Multipihak dan Peningkatan Kapasitas adalah keterwakilan dalam proses partisipasi multi-pihak yang masih kurang memuaskan, proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, proses m u l t i p i h a k t e r k e n d a l a o l e h w a k t u d a n a n g g a r a n , k e t i d a k j e l a s a n k e w e n a n g a n D i s h u t , ketidaksesuaian antara UU 41/99 dengan peraturan perundangan yang terkait lainnya, kelembagaan kehutanan di daerah belum optimal, kurangnya komitmen dalam penyediaan sumberdaya dan keuangan dari para pihak yang terlibat serta keterbatasan sumberdaya keuangan dari Pemerintah dalam peningkatan kapasitas daerah di bidang k e h u t a n a n . A d a p u n o p s i p e n y e l e s a i a n y a n g direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut: a. Melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dan

peraturan perundangan dibidang Kehutanan.

b. Perlu keseimbangan dan

c. Pelaksanaan desentralisasi kehutanan perlu mengacu

kepada proses pembelajaran ( ) dari

beberapa. negara yang memiliki tingkat keberhasilan yang nyata dan aspirasi daerah sebagai basis kelembagaan.

d. Memantapkan konsistensi dalam implementasi konsep tata ruang dengan memperhatikan kepentingan dan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

e. Perlu strategi pengembangan dan restrukturisasi industri perkayuan.

f. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta stakeholder terkait lainnya.

g. Mengembangkan pola pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional secara kolaborasi (

).

h. Segera dilakukan penyesuaian Peraturan Perundangan yang saling bertentangan.

i. Perlu ada agenda konkrit untuk penguatan desentralisasi.

j. Pelaksanaan desentralisasi perlu dilakukan melalui pentahapan yang mencakup mobilisasi dana, penyusunan struktur pelaksana dan kultur, serta peningkatan interaksi antara pemerintah dan pemda.

k. Perlunya payung hukum ( ) untuk

memecahkan konflik antara Undang-Undang. l. Peningkatan profesionalisme dan kapasitas SDM.

1. Desentralisasi sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis perlu dilaksanakan secara gradual serta

intangible tangible benefit lesson learned

collaborative management

political will

.

Ada 2 pandangan umum tentang desentralisasi dari hasil workshop yaitu :

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DESENTRALISASI

SEKTOR KEHUTANAN DI INDONESIA

( Disarikan dari workshop penguatan desentralisasi sektor kehutanan di Jakarta,26-27 Agustus 2004)


(7)

Halaman

7

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

membangun konsensus secara terbuka, transparan dan proses yang inklusive, penentuan kebijakan secara partisipatif, pengembangan kapasitas SDM, teknis dan institusi, provisi sumberdaya finansial dan insentif bagi investasi, sejalan dengan tujuan pada konteks lokal dan fleksibilitas untuk mengantisipasi terhadap perbedaan dan perubahan situasi. Prioritas perlu ditetapkan untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas penduduk setempat untuk mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif. Pelaksanaan desentralisasi harus mempunyai manfaat yang positif kepada masyarakat setempat.

2. Suksesnya pelaksanaan desentralisasi memerlukan beberapa persyaratan antara lain perumusan yang jelas, kondisi yang kondusif untuk pengembangan aspek legal dan kerangka kebijakan serta penyebaran informasi y a n g l u a s y a n g m e m a k a n w a k t u , m a m p u mengintegrasikan proses desentralisasi ke dalam , tujuan yang dapat dicapai, aturan dan tanggung jawab yang jelas.Adanya sumberdaya dan akuntabilitas serta adanya mekanisme resolusi konflik. Suksesnya hasil pelaksanaan desentralisasi berpengaruh kuat terhadap pengamanan lahan dan aspek keuangan, penerimaan negara dan perpajakan. (PS/AD)

National Forest Program

Salah satu indikator implikasi dari good governance adalah suatu kebijakan publik yang dihasilkannya.

Rumus umum dalam kebijakan publik adalah keputusan pemrintah untuk berbuat ( ) atau tidak berbuat ( ) khususnya, terkait intervensi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik ( Dunn, 1980).

Suatu kebijakan dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik apabila di dalam proses perumusan , penetapan, implementasi, sosialisasi, evaluasi dan monitoring melibatkan publik atau dengan kata lain menganut asas transparansi. Nilai-nilai kebersamaan, keterwakilan dan berkeadilan akan mempresentasikan aapakah suatu kebijakan publik layak secara teknis, administratif, lingkungan, sosial budaya, legal dan politis.

Paradigma pemilihan Presiden/Wakil Presiden, dan legislatif secara langsung menghasilkan lingkungan kebijakan yang kondusif, yaitu dalam bentuk mensyaratkan diskusi publik dalam setiap tahap proses penetapannya.

Rencana sektor kehutanan merupakan salah satu kebijakan publik yang strategis dari Departemen Kehutanan didalam proses perumusan sampai dengan implementasinya tidak terlepas dari keharusan diskusi publik dimaksud di atas.

Apapun rencana yang disusun Departemen kehutanan harus berorientasi pada fokus kesejahteraan masyarakat dan kelestarian keberadaan, fungsi dan manfaat hutan. Hal ini sangat relevan dengan persyaratan proses dihasilkannya perencanaan hutan dan kehutanan sebagai kebijakan publik.

do do no thing

Sehubungan dengan pemenuhan persyaratan perencanaan sebagai kebijakan publik perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Didasarkan oleh perumusan hasil identifikasi p e r m a s a l a h a n y a n g t e p a t d a n f o k u s d a n memperhatikan heterogenitas sektor maupun wilayah (spasial). Hindarkan generalisasi permasalahan ! 2. Alternatif solusi merupakan hasil kajian dan komparasi

empiris yang direpresentasikan sebagai skenario-skenario dan asumsinya.

3. Terhadap setiap alternatif dilengkapi kajian dampak positif dan negatifnya.

4. Terhadap alternatif terpilih dilengkapi dengan strategi sosialisasi dan implementasi (endorsement mulai dari diskusi publik secara dini).

5. Pengendalian pelaksanaan melalui monitoring dan evaluasi, dilaksanakan secara konsisten dengan indikator yang jelas.

6. Adanya penilaian obyektif terhadap pelaksanaan sekaligus umpan balik untuk penyempurnaan rencana. (SR/SR)

POSISI RENCANA SEBAGAI SUATU KEBIJAKAN PUBLIK


(8)

Halaman

8

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Pengantar

Apa itu Perencana?

Dalam struktur organisasi Departemen Kehutanan terdapat suatu kelompok jabatan fungsional yang biasanya berada langsung di bawah kendali Eselon II. Sampai saat ini di Departemen Kehutanan terdapat beberapa jenis jabatan fungsional, antara lain: Pengendali Ekosistem Hutan, Penyuluh Kehutanan, Auditor, Widyaiswara, Arsiparis, Penata Komputer, Surveyor & Pemetaan, Peneliti, Perencana. Masing-masing jabatan fungsional tersebut berada di beberapa Eselon I lingkup Departemen Kehutanan sesuai dengan bidangnya, dengan gambaran sebagai berikut: 1. Pengendali Ekosistem hutan berada di Eselon I sesuai

dengan bidangnya.

2. Auditor berada di Inspektorat Jenderal dan dalam pembinaan Badan Pemeriksa Kehutanan (BPK).

3. Widyaiswara berada di Sekretariat Jenderal (Pusdiklat Kehutanan) dan dalam pembinaan LAN.

4. Penyuluh Kehutanan berada di Sekretariat Jenderal (Pusbinluh Kehutanan).

5. Arsiparis berada di Sekretariat jenderal.

6. Surveyor dan Pemetaan berada di Badan Planologi Kehutanan dan dalam pembinaan BAKOSURTANAL. 7. Peneliti berada di Badan Litbang Kehutanan dan dalam

pembinaan LIPI.

8. Perencana berada sebagian besar di Badan Planologi Kehutanan dan dalam pembinaan BAPPENAS.

Tulisan di bawah ini mencoba menginformasikan kepada pembaca sekilas tentang Fungsional Perencana, dengan harapan ada beberapa dari pembaca yang tertarik dan berkeinginan menyumbangkan pikiran dan karyanya untuk kemajuan pembangunan kehutanan dari aspek perencanaan dengan menjadi Fungsional Perencana.

Keberadaan fungsional perencana dilandasi dan diatur dalam Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) No. 16/Kep/M.PAN/3/2001. Fungsional Perencana dibentuk dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna SDM pada Aparatur Negara yang bertugas melakukan kegiatan perencanaan pembangunan.

Fungsional perencana selanjutnya disebut Perencana adalah PNS yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pada unit perencanaan tertentu.

Seperti lazimnya pengaturan jabatan fungsional, terdapat unsur dan sub unsur kegiatan yang menjadi semacam “spesifikasi” dari aspek-aspek yang menjadi ciri khas dari jabatan fungsional tersebut. Bagi perencana, unsur dan sub unsur kegiatannya diuraikan sebagai berikut:

1. Pendidikan, yang meliputi:

a. Mengikuti pendidikan sekolah dan memperoleh gelar/ijasah

b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan kedinasan di bidang perencanaan dan mendapatkan sertifikat dan/atau STTPL

2. Kegiatan perencanaan, yang meliputi: a. Identifikasi permasalahan

b. Perumusan alternatif kebijakan perencanaan c. Pengkajian alternatif

d. Penentuan alternatif dan rencana pelaksanaan e. Pengendalian

f. Penilaian hasil pelaksanaan 3. Pengembangan profesi yang meliputi:

a. Membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang perencanaan

b. M e n t e r j e m a h k a n / m e n y a d u r b u k u d i b i d a n g perencanaan

c. Berpartisipasi secara aktif dalam penertiban buku di bidang perencanaan

d. Berpartisipasi secara aktif dalam pemaparan (ekspose) draft/pedoman/modul di bidang perencanaan

e. Melakukan studi banding di bidang perencanaan f. Melakukan kegiatan pengembangan di bidang

perencanaan

4. Penunjang kegiatan perencanaan yang meliputi:

a. Mengajar/malatih/melakukan bimbingan di bidang perencanaan pembangunan

b. Mengikuti seminar/lokakarya di bidang perencanaan pembangunan

c. Menjadi pengurus organisasi profesi

d. Menjadi anggota delegasi dalam pertemuan internasional

e. Menjadi anggota Tim Penilai Jabatan Perencanana f. Memperoleh gelar kesarjanaan lainnya

g. Memperoleh penghargaan/tanda jasa di bidang perencanaan

Adapun jenjang jabatan perencana terdiri atas: Perencana pertama, Perencana muda, Perencana Madya, Perencana Utama, dengan pangkat dan golongan ruang jabatan digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Matrik penggolongan jenjang jabatan perencana, pangkat dan golongan ruang

FUNGSIONAL PERENCANA, TERTARIKKAH ANDA?

Oleh:Ir. Ali Djajono, M.Sc.

JENJANG JABATAN PANGKAT DAN GOLONGAN/RUANG

Perencana pertama - Penata Muda, Gol III/a - Penata Muda Tk I, Gol III/b

Pererencana muda - Penata, Gol III/c - Penata Tk I, Gol III/d

Perencana madya - Pembina, Gol IV/a - Pembina Tk I, Gol IV/b - Pembina utama muda, Gol IV/c

Perencana utama - Pembina utama madya, Gol IV/d - Pembina utama, Gol IV/e


(9)

Halaman

9

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

fungsional lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali Ekosistem dll).

Persyaratan untuk menjadi perencana pada masing-masing mekanisme digambarkan dalam tabel di bawah ini

Tabel 2. Uraian persyaratan pengangkatan menjadi Perencana

Berminat ke Perencana ?

Berminat menjadi perencana?, menurut pendapat penulis ada beberapa alasan yang menjadikan perencana menarik untuk dijadikan alternatif peningkatan potensi dan karir diluar jabatan struktural.

Alasan-alasan tersebut antara lain:

1. Adanya beberapa tantangan dan peluang kegiatan di bidang perencanaan yang masih memerlukan dukungan tenaga-tenaga spesialis (profesional) perencanaan yang lebih punya banyak waktu dibandingkan tenaga-tenaga struktural. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan, kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: penyusunan rencana-rencana kehutanan (misal: Rencana jangka panjang, Renstra, Renja, Rencana Kinerja), National Forest Programme (NFP), penyusunan rencana-rencana kegiatan lingkup Instansi, Analisis kebijakan kehutanan, perumusan kebijakan kehutanan, evaluasi dan pengendalian rencana.

2. Lawas/lingkup kegiatan perencanaan sangat luas meliputi dimensi Nasional, internal sektor, lintas sektor, regional/wilayah, daerah dan antar daerah.

3. Untuk lingkungan Departemen Kehutanan, jumlah perencana masih terbatas dan kebanyakan telah ditugaskan kembali ke struktural.

4. Penetapan sebagai perencana menggunakan sistem “levelering”, artinya bahwa pengangkatan pertama kali sebagai perencana penetapan angka kreditnya tergantung pada pangkat dan golongan ruang terakhir yang dimiliki, tidak ditentukan oleh masa kerja, jenjang pendidikan, serta pengalaman kerja dan pelatihan lainnya. Disamping itu persyaratan untuk menjadi perencana tidak begitu “rumit” seperti apabila ingin menjadi misalnya widyaiswara atau auditor serta memperoleh tunjangan yang relatif memadai.

Apa Mekanisme dan persyaratan untuk menjadi Perencana?. Ada 3 (tiga) tipe cara pengangkatan untuk menjadi Perencana, masing-masing melalui: a) Mekanisme “Impassing”, b) Mekanisme pengangkatan pertama kali; c) Mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya, dengan persyaratan pada masing-masing mekanisme berbeda. Pengangkatan melalui mekanisme “inpassing” diberlakukan saat pertama kali jabatan fungsional perencana diperkenalkan dan diimplementasikan serta mekanisme ini hanya berlaku s/d 2003. Sehingga pengangkatan melalui mekanisme ini sudah tidak ada lagi.

Pengangkatan menjadi perencana melalui mekanisme pengangkatan pertama kali diperlakukan bagi PNS yang berminat menjadi perencana dan yang sebelumnya tidak/belum memangku jabatan struktural/fungsional lainnya. Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan sebelumnya adalah staf biasa atau belum pernah menjadi fungsional lainnya (misal: Widyaiswara, Auditor, Pengendali Ekosistem dll).

Sedangkan Pengangkatan menjadi perencana melalui mekanisme pengangkatan dari jabatan lainnya diperlakukan bagi PNS yang berminat menjadi perencana dan yang sebelumnya memangku jabatan struktural/fungsional lainnya. Ini artinya bahwa PNS yang bersangkutan sebelumnya adalah pejabat struktural atau menjadi

Dalam petunjuk teknis yang diatur dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS No. 234/M.PPN/04/2002, terdapat contoh pejabat struktural yang berkeinginan menjadi perencana. Contoh tersebut digambarkan sebagai berikut: Dra Diah Anggraeni, MA, adalah PNS dengan pangkat/golongan ruang Pembina IV/a. Dra. Diah Anggraeni, MA berkeinginan menjadi pejabat perencana. Untuk menjadi perencana harus ikut Diklat perencana dan ujian kompetensi perencana. Dalam ujian ini, Dra. Diah Anggraeni, MA dinyatakan lulus untuk jenjang jabatan perencana madya. Kepada Dra. Diah Anggraeni diberikan angka kredit sebesar 400 dan dapat diangkat menjadi perencana madya.

Untuk sekadar memberikan gambaran, tabel dibawah ini memperlihatkan jumlah angka kredit kumulatif minimal untuk pengangkatan perencana.


(10)

Halaman

10

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Perencana di Departemen Kehutanan

Seperti telah disampaikan di atas bahwa untuk lingkungan Departemen Kehutanan, tenaga perencana sebagaian besar berada di Badan Planologi Kehutanan yang sekaligus merupakan unit pembinaan tenaga perencana di lingkup Departemen Kehutanan.

Berdasarkan informasi yang ada, semua perencana yang ada di Departemen Kehutanan pengangkatannya melalui mekanisme “impassing”, dengan gambaran kondisi perencana seperti pada tabel berikut.

Tabel 4. Jumlah perencana lingkup Departemen Kehutanan diperinci per Unit Instansi

menyampaikan sumbangsih pikiran dan karyanya pada kegiatan perencanaan pembangunan dan kebijakan sektor kehutanan, namun dalam kenyataan 3 tahun perjalanan para perencana tersebut belum banyak “berkiprah”. Dalam realitanya produk-produk rencana pembangunan sektor kehutanan dan beberapa kebijakan kehutanan yang dihasilkan bukan merupakan sumbangan nyata dari para perencana. Dapatlah dikatakan bahwa perencana di Departemen Kehutanan tersebut belum “berfungsi”.

Dilain sisi banyaknya peluang kegiatan perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan kehutanan, s e b e n a r n y a s e k a l i g u s j u g a m e m b u k a kemungkinan/kesempatan keberadaan perencana pada unit perencanaan Eselon I lingkup Departemen Kehutanan diluar Badan Planologi Kehutanan.

Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa keberadaan perencana sebenarnya sangat potensial untuk mendukung d a n m e m b a n t u p e n y u s u n a n r e n c a n a - r e n c a n a pembangunan dan rumusan kebijakan di lingkup Eselon I masing-masing. Lalu mungkinkah Unit-unit Eselon I lingkup Departemen Kehutanan selain Badan Planologi Kehutanan mempunyai “hasrat” untuk memacu staf atau pejabat di lingkungannya mau menekuni jabatan lain di luar jabatan struktural untuk menjadi perencana ?.

Kesempatan ada, peluang ada. Memang lalu menjadi “PR” bagi perencana itu sendiri mengapa “kiprah”nya belum nampak. Eksistensi perencana akan sangat tergantung pada inisiatif, kreatifitas dan produktifitas dari para perencananya sendiri dalam mendukung dan menyumbang pemikiran untuk lebih memperkaya rencana-rencana pembangunan yang akan disusun maupun rumusan kebijakan yang akan ditetapkan. Selama perencana belum bisa menunjukkan eksistensinya, maka sangat wajar apabila dalam realita institusi jarang memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada perencana untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan perencanaan.

Lalu pertanyaanya adalah, apakah para pembaca (baca PNS) tulisan ini berminat menjadi Perencana dengan segala konsekwensinya?. Terserah untuk mempertimbangkannya dengan sisi pandang masing-masing. (AD/AD)

Gambaran distribusi tenaga perencana termasuk yang telah kembali ke struktural bisa mengindikasikan adanya “kegamangan” institusi atau keraguan dari perencananya sendiri dalam kedudukannya sebagai tenaga fungsional. Mungkin akan ada banyak alasan yang mendasari mengapa hal itu terjadi. Tapi dalam konteks tulisan ini informasi tersebut bisa menjadi gambaran senyatanya kepada pembaca (baca PNS) dalam rangka mempertimbangkan dirinya untuk menjadi Perencana.

Walaupun perencana di lingkungan Departemen Kehutanan telah disebutkan mempunyai peluang banyak untuk


(11)

Halaman

11

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

A. PENGANTAR

B. LATAR BELAKANG

Tulisan ini diambil dari Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 20052009 yang ditetapkan oleh Menhut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005. Penekanan pokok tulisan ini mengenai visi, misi, identifikasi masalah, kebijakan, program dan kegiatan pokok dalam Renstra-KL tanpa mengurangi substansi dan isi lengkap dari Buku Renstra-KL Departemen Kehutanan tersebut.

Renstra-KL ini disusun melalui proses komunikasi dan konsultasi dengan stakeholders di berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa, serta secara rutin dilakukan di Jakarta termasuk dengan para donor sektor kehutanan, pada akhirnya Renstra-KL ini dikonsultasikan dengan DPR-RI.

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan.

Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja d a n m e n d o r o n g p e n g e m b a n g a n w i l a y a h d a n pertumbuhan ekonomi. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non k e h u t a n a n m e n y e b a b k a n t i m b u l n y a b e r b a g a i permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial.

P e m e r i n t a h t e l a h b e r u p a y a m e n a n g a n i permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu illegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor kehutanan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam rencana - rencana kehutanan.

Dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 tahun 1999, UU No. 25 tahun 2004, UU Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan peraturan lain yang terkait, disusunlah Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Renstra-KL Departemen Kehutanan akan digunakan sebagai arahan kebijakan dan strategi pembangunan kehutanan dalam menyusun program dan kegiatan tahun 2005-2009.

C. VISI dan MISI

D. IDE

Sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 3 serta persetujuan DPR-RI periode 2004-2009, ditetapkanlah visi pembangunan kehutanan Indonesia kedepan yaitu:

Berdasarkan visi tersebut, Departemen Kehutanan menyelenggarakan pengurusan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari serta untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 dan UU No. 5 tahun 1990 serta persetujuan DPR-RI periode 2004-2009, disusunlah misi pembangunan kehutanan Indonesia yaitu:

1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari;

3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS);

4. Mendorong peran serta masyarakat;

5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan;

6. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah. Untuk melakukan analisa selanjutnya perlu dilihat kondisi kehutanan saat ini dan menetapkan kondisi kehutanan yang diinginkan kedepan dilihat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi yang selanjutnya dilakukan identifikasi permasalahan untuk menetapkan kebijakan, program dan kegiatan pokok.

Berdasarkan hasil analisa terhadap kondisi kehutanan saat ini serta kondisi kehutanan yang diinginkan kedepan dapat diidentifikasi akar permasalahan di bidang kehutanan yaitu:

A. Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal 1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara

lain oleh: proses penataan ruang belum terkoordinasi dengan baik; unit Pengelolaan pada semua fungsi kawasan hutan belum seluruhnya terbentuk dan pemanfaatan hutan belum berpihak kepada masyarakat.

2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara lain oleh: pemanfaatan sumberdaya hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih “Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk

Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat”

NTIFIKASI MASALAH

RENCANA STRATEGIS

KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL)

DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005-2009


(12)

Halaman

12

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

lemah; penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan hutan belum maksimal serta laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih rendah dibandingkan dengan laju kerusakan hutan dan lahan.

B. Peran dan distribusi manfaat belum adil

1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan antara lain oleh: tidak ada arah yang jelas, dan d u k u n g a n s e r i u s p e m e r i n t a h d a l a m mengembangkan industri kehutanan yang kompetitif serta tidak ada keadilan dalam distribusi manfaat industri kehutanan.

2. Kegiatan perekonomian masyarakat yang terkait dengan sumberdaya hutan belum optimal disebabkan antara lain oleh: peraturan perundangan yang mengatur akses masyarakat terhadap hutan belum tersedia secara memadai; belum berkembangnya industri pengolahan hasil hutan skala kecil dan menengah serta belum tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang kehutanan.

Untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah, Departemen Kehutanan menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas periode 2005-2009 (Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004), sebagai berikut:

1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal;

2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;

3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan; 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan

sekitar kawasan hutan; 5. Pemantapan kawasan hutan.

Berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, Departemen Kehutanan menetapkan program pembangunan kehutanan periode 2005-2009 yang telah diintegrasikan kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Program-program tersebut adalah: Pemantapan keamanan dalam negeri; Pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan; Perlindungan dan konservasi sumberdaya alam; Rehabilitasi dan p e m u l i h a n c a d a n g a n s u m b e r d a y a a l a m ; Pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; Pendidikan kedinasan; Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan; Penelitian pengembangan dan ilmu pengetahuan teknologi; serta Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara.

U n t u k m e n d u k u n g k e b i j a k a n p r i o r i t a s pembangunan kehutanan yang telah dibuat, E. KEBIJAKAN

F. PROGRAM

G. KEGIATAN POKOK

Departemen Kehutanan juga menetapkan kegiatan pokok pembangunan kehutanan sebagai berikut: 1. Pemberantasan pencurian kayu (illegal logging) dan

perdagangan kayu illegal, dengan kegiatan pokok antara lain :

a. Menyediakan informasi lokasi-lokasi rawan pencurian kayu;

b. Menggalang masyarakat peduli pemberantasan pencurian kayu.

c. Menurunkan ganguan terhadap hutan;

d. Mengintensifkan langkah-langkah koordinasi dengan POLRI-TNI, Kejaksaan Agung dan sektor terkait lain dalam penanganan illegal logging untuk operasi dan penyelesaian tindak pidana kehutanan;

e. Melakukan upaya-upaya operasi-operasi pemberantasan illegal logging dan illegal trade. 2. Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri

kehutanan, dengan kegiatan pokok antara lain : a. Melakukan fasilitasi peningkatan performance

industri kehutanan;

b. Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit IUPHHK hutan alam dan IUPHHK Hutan tanaman;

c. Mengupayakan peningkatan produk bukan kayu (non timber forest product);

d. Mengoptimalkan PNBP dan Dana Reboisasi (DR); e. Menfasilitasi pembangunan HTI seluas minimal 5

juta Ha;

f. Menfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta Ha.

3. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :

a. Mendorong efektivitas pelaksanaan RHL pada areal seluas 5 juta Ha termasuk rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai (60 % dalam kawasan hutan, 40 % luar kawasan hutan);

b. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di 200 unit KSA/KPA;

c. Membentuk 20 unit model Taman Nasional dan dapat beroperasi;

d. Penanggulangan kebakaran hutan;

e. Mengupayakan berfungsinya 282 DAS prioritas secara optimal, termasuk berfungsinya daerah tangkapan air dalam melindungi obyek vital (al: waduk, pembangkit listrik tenaga air);

f. Mendorong peningkatan pengelolaan jasa lingkungan melalui pengelolaan hutan wisata. 4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan

sekitar kawasan hutan, dengan kegiatan pokok antara lain :

a. Mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan;

b. Peningkatan iklim usaha kecil dan menengah serta akses masyarakat kepada hutan;

c. Memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM kehutanan;

d. M e l a n j u t k a n u p a y a p e n g e m b a n g a n pemberdayaan ekonomi masyarakat (community economic empowerment). (JL/AD)


(1)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman Perkembangan Ekowisata

Pariwisata telah menjadi sektor sosial-ekonomi utama di dunia dan menjadi salah satu komponen utama dalam perdagangan internasional. Menurut catatan

(WTO), pada tahun 2001, terdapat 693 juta kedatangan wisatawan internasional dan menghasilkan devisa sebesar US$ 462 juta di seluruh dunia (WTO, 2002). Industri pariwisata tidak hanya sebagai industri terbesar di dunia, melainkan juga industri dengan pertumbuhan tercepat dan multidimensi karena industri ini membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari berbagai pihak, baik dalam skala besar maupun skala kecil (Tisdell & Roy, 1998).

Ekowisata merupakan sebuah industri yang menarik dan relatif baru berkembang, mengkombinasikan antara kepuasan berpengalaman dan pemahaman yang spektakuler akan flora, fauna, serta warisan alam dan budaya, tentunya dengan kesempatan untuk mengembangkan peluang usaha yang menguntungkan dan mendukung upaya konservasi alam (Kerr, 1991). Ekowisata menjadi sangat populer karena manusia memiliki inisiatif yang sangat kuat dan menjadi “penasaran” untuk melihat tempat-tempat yang memiliki perbedaan karakteristik alam, suku, budaya, flora, fauna, dan berbagai hal lainnya yang sulit ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Semakin tingginya tingkat pendidikan dan pengaruh televisi dan media komunikasi lainnya telah meningkatkan rasa keingintahuan manusia terhadap sisi kehidupan di seluruh dunia (McIntosh 1995). Dengan demikian, memperhatikan industri pariwisata secara umum dilihat dari sudut pandang internasional dan berfokus pada faktor-faktor yang mampu menarik wisatawan, maka jelas bahwa Indonesia memiliki peluang yang sangat luas untuk menawarkan ekowisata kepada para calon wisatawan. Kepariwisataan di Indonesia di masa datang akan selalu sama dengan modal utama seperti pada saat ini, yaitu kekayaan alam Indonesia.

Indonesia dengan pesona alamnya yang luar biasa tentunya menjadi modal utama bagi Indonesia untuk mengembangkan industri ekowisata. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana cara memasarkan pesona alam tersebut dengan menawarkannya kepada para calon wisatawan? Memasarkan daya tarik ekowisata Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat ekowisata merupakan sesuatu yang dan tidak dapat dicoba terlebih dahulu baru kemudian membelinya (

), sehingga pemasaran ekowisata membutuhkan sebuah rencana pemasaran yang matang dan akurat. Perlu diketahui bahwa pemasaran tidak hanya diartikan dengan “menjual”, melainkan pemasaran adalah proses perencanaan produk, pembuatan produk dan penyampaian produk hingga ke tangan konsumen atau wisatawan. Jadi berkaitan dengan upaya pemasaran ekowisata, maka hal-hal yang perlu dibahas adalah merencanakan aktivitas ekowisata, mengemas aktivitas ekowisata kedalam sebuah produk atau paket ekowisata dan proses penjualan produk ekowisata kepada calon wisatawan.

World Tourism Organization

et al.,

intangible

seperti halnya dalam membeli produk barang

KAJIAN PEMASARAN EKOWISATA INDONESIA

KEPADA WISATAWAN JERMAN

Oleh: Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism

Wisatawan Jerman

Rencana Pemasaran Ekowisata Indonesia

Wisatawan Jerman memiliki peranan yang penting dalam memberikan sumbangan kunjungan wisata bagi Indonesia. Berdasarkan data Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya, pada tahun 1999, wisatawan Jerman menduduki peringkat keenam jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Tercatat sejumlah 181.777 wisatawan Jerman datang ke Indonesia pada tahun 1999. Dengan jumlah kunjungan wisatawan Jerman yang cukup besar tersebut, adalah sangat penting bagi Indonesia untuk memberikan perhatian khusus dalam mengkaji dan merumuskan langkah-langkah untuk memasarkan ekowisata Indonesia dalamrangka menarik dan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan Jerman.

Berkaitan dengan rencana pemasaran ekowisata Indonesia kepada wisatawan Jerman, langkah pertama yang harus ditempuh yaitu mengetahui karakteristik wisatawan Jerman. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui data sekunder yang diterbitkan oleh World Tourism Organization (WTO) pada tahun 2001. Data sekunder WTO tersebut berupa

yang terfokus pada ekowisata saja dan tersebut mengkaji pemasaran ekowisata di 6 (enam) negara yang salah satunya adalah negara Jerman. Data-data tersebut diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data ( ) terhadap pelaku pariwisata, analisa katalog dan brosur wisata, dan lain sebagainya, dimana dalam pelaksanaan seluruh kegiatan tersebut, WTO menunjuk tenaga ahli di masing-masing negara dan sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Berikut disampaikan beberapa informasi mengenai karakteristik wisatawan ekowisata Jerman sesuai dengan yang diterbitkan oleh WTO pada tahun 2001:

30% Pria dan 70% Wanita

40 59 tahun ( )

Guru/Pengajar ( )

US$ 18,039 - US$ 39,057 ( )

1- 2 minggu ( )

Trekking/Hiking ( )

Wisata Safari ( )

US$ 2,000 US$ 4,000

dan Katalog/Internet

Rencana pemasaran ekowisata Indonesia ditentukan dan dirumuskan berdasarkan data karakteristik wisatawan Ecotourism Market Reports

Marketing Channel

reports

survei

market reports

42.00% responden 32.40% responden

59.44% responden 41.94% responden

28.40% responden 17.05% responden

Word of Mouth

§

§

§

§

§

§

§

§

Jenis Kelamin : Sebaran Umur : Pekerjaan :

Pendapatan Tahunan : Rata-rata lama tinggal :

Aktivitas Wisata yang dipilih :

Pengeluaran per Trip : :


(2)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

yang tepat kepada para pelaku ekowisata, maka informasi yang akan disampaikan pun tidak akan sampai dan tepat sasaran. Waktu penyampaian informasi kepada para pelaku ekowisata dapat dibagi menjadi tiga,

yaitu kepada , a

wisatawan. Vellas (1995) menyarankannya sebagai berikut:

(a) Tour Operator; bahan promosi sebaiknya disampaikan paling tidak 6 (enam) bulan sebelum tour operator mempublikasikan brosur/katalog yang direncanakan;

(b) Agen Wisata; bahan promosi dapat disampaikan 8 -12 bulan sebelum dimulainya musim liburan panjang (liburan musim panas) dan

(c) Calon Wisatawan; bahan promosi disampaikan (misal melalui Internet) 6 - 8 bulan sebelum tanggal keberangkatan para calon wisatawan.

Indonesia dengan kekayaan alamnya yang mempesona merupakan modal utama bagi Indonesia dalam meningkatkan devisa negara melalui sektor pariwisata. Kekayaan alam Indonesia harus benar-benar terjaga dan terpelihara dalam mendukung perkembangan kemajuan industri pariwisata di Indonesia. Ekowisata adalah bagian dari industri pariwisata diharapkan mampu sebagai solusi dan jawaban akan kebutuhan industri yang berwawasan dan ramah lingkungan. Kemajuan industri ekowisata Indonesia sangat mutlak membutuhkan dukungan sebuah rencana pemasaran yang tepat dan akurat. Dengan porsi jumlah wisatawan Jerman ke Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Jerman adalah salah satu key customer Indonesia yang sangat menentukan perkembangan industri pariwisata Indonesia. Dengan demikian, penting bagi Indonesia untuk merancang sebuah konsep pemasaran ekowisata kepada wisatawan Jerman dengan dasar merumuskan tiga aspek pendukung pemasaran ekowisata yaitu objek ekowisata, media pemasaran ekowisata dan waktu promosi ekowisata.

Sebuah rencana pemasaran ekowisata akan semakin tepat dan akurat apabila didukung oleh data dan informasi tentang calon wisatawan yang memadai. Dengan demikian, disarankan agar Indonesia dapat mengembangkan penyediaan data dan informasi wisatawan dan calon wisatawan yang terkini melalui kegiatan analisa dan survei yang professional dan berkelanjutan, sehingga rencana pemasaran di masa datang akan lebih tajam lagi dan tepat sasaran. (RP/AD)

tour operator agen wisata, dan c lon

Kesimpulan & Saran Jerman yang telah diperoleh. Rencana pemasaran tersebut

dibagi kedalam 3 (tiga) aspek pendukung sebagai berikut:

Daerah tujuan ekowisata di Indonesia pada umumnya berpotensi untuk dipasarkan kepada wisatawan Jerman, namun daerah tujuan wisata tersebut harus sebisa mungkin dapat mengakomodir keterbatasan-keterbatasan para wisatawan Jerman, seperti keterbatasan waktu dan keterbatasan biaya. Selanjutnya paket ekowisata yang disusun diharapkan mampu menawarkan aktivitas wisata yang cenderung lebih disukai dan tentunya paket ekowisata ini dapat dinikmati dengan waktu dan dana mampu disediakan oleh para wisatawan Jerman.

Dengan demikian daerah tujuan dan paket wisata yang akan direncanakan memiliki karakteristik umum sebagai berikut: lokasi ekowisata memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi, lokasi ekowisata mampu menawarkan nilai ilmiah yang tinggi (sebagian besar wisatawan Jerman berprofesi sebagai guru/pengajar), aktivitas yang akan dilakukan berkisar trekking/hiking (ideal untuk dilakukan oleh wisatawan Jerman yang sebagian besar adalah wanita) yang didukung dengan sarana interpretasi yangmenunjang, serta seluruh kegiatan dapat dilakukan dalam kisaran waktu 1-2 minggu dan dengan biaya paket ekowisata maksimum (termasuk tiket pesawat dan souvenir) sebesar US$ 2.000 - US$ 4.000.

· Objek Ekowisata

·

·

Media Pemasaran Ekowisata

Waktu Promosi Ekowisata

Media pemasaran berfungsi sebagai jembatan informasi yang menghubungkan antara objek dan paket ekowisata dengan calon wisatawan. Media pemasaran yang disusun harus tepat arah dan tepat sasaran, sehingga informasi yang ingin disampaikan benar-benar sampai kepada calon wisatawan. Dalam tulisan ini media pemasaran yang memiliki peluang terbesar untuk digunakan sebagai media pemasaran kepada wisatawan Jerman adalah , Katalog dan Internet. Dengan demikian ketiga media pemasaran tersebut sebaiknya dimanfaatkan secara maksimal. Media

dimaksimalkan melalui pemberian pelayanan secara maksimal kepada wisatawan Jerman yang datang ke Indonesia sehingga diharapkan mereka akan menceritakan dan mempromosikan Indonesia sebagai daerah tujuan ekowisata yang sangat layak untuk dikunjungi oleh rekan dan kerabatnya. Kemudia, media Katalog dan Internet diharapkan sebagai media informasi terpercaya untuk memasarkan ekowisata Indonesia, sehingga seluruh informasi ekowisata Indonesia dapat disampaikan dalam kedua media pemasaran ini. Lebih lanjut lagi, Indonesia diharapkan dapat melakukan sebuah survei berkaitan dengan media pemasaran khususnya dalam mendukung penyampaian informasi ekowisata melaluli media katalog dan internet, sehingga diketahui komposisi adio dan visual yang paling ideal bagi wisatawan Jerman, komposisi tersebut misalnya warna, jenis dan ukuran gambar maupun tulisan.

Waktu promosi sangat penting dipertimbangkan oleh Indonesia untuk menyampaikan informasi ekowisata yang telah dipersiapkan secara matang sebelumnya. Sangat diyakini tanpa mengetahui waktu penyampaian

Word of Mouth

Word of Mouth


(3)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman Indonesia dikaruniai sumberdaya hutan yang sangat

melimpah dan lebih dari tiga dekade terakhir telah memberikan kontribusi yang nyata sebagai salah satu penggerak utama roda perekonomian nasional yang memberikan dampak positif terhadap perolehan devisa, penyediaan lapangan kerja, mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun disisi lain pemanfaatan hutan yang tidak terkendali ternyata telah menyisakan banyak permasalahan baik ekonomi, sosial maupun lingkungan. Hal ini tercermin dengan meningkatnya laju deforestasi dari 1,6 juta ha per tahun pada periode 1989-1997 menjadi 2,8 juta ha per tahun pada periode 1998-2003.

Komitmen Bangsa Indonesia terhadap pengelolaan hutan lestari telah tercermin dalam berbagai peraturan perundangan dan komitmen pada kesepakatan global. Tujuan penyelenggaraan kehutanan sendiri tertera pada Pasal 3 UU 41 tahun 1999 yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Memperhatikan permasalahan dan mengacu pada tujuan penyelenggaraan kehutanan tersebut di atas, pembangunan kehutanan ke depan memerlukan adanya perubahan orientasi pembangunan. Pembangunan kehutanan ke depan perlu diarahkan untuk tujuan pemulihan sistem penyangga kehidupan guna perbaikan dan mendukung kegiatan ekonomi nasional jangka panjang sekaligus mampu mengartikulasikan jati diri kehutanan dan dukungan kuat parapihak. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu penanganan yang sistematis, terstruktur, berkelanjutan dan lintas sektor serta melibatkan para pihak. Pada tahap awal, perlu disepakati dan dirumuskan bersama tentang arah pembangunan kehutanan dalam jangka panjang (20 tahun) sebagai komitmen para pihak dalam mewujudkan tujuan penyelenggaraan kehutanan.

Dalam kerangka mewujudkan arah pembangunan kehutanan tersebut, pada tanggal 17 Pebruari 2005, telah diselenggarakan Diskusi Arah Pembangunan Sektor Kehutanan dengan menitikberatkan pada 5 topik utama yakni:

,

, ,

serta

. Diskusi dihadiri oleh

yang melibatkan berbagai pihak yang berasal dari akademisi, praktisi, aparat pemerintah pusat dan daerah lingkup kehutanan serta sektor terkait, lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati kehutanan. Hasil diskusi diharapkan menjadi masukan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan 20 tahun ke depan. Memperhatikan arahan Menteri Kehutanan dan pemaparan Kepala Badan Planologi Kehutanan, serta hasil rangkuman diskusi dengan topik-topik Pemantapan Kawasan Hutan, Konservasi SDH, Pemanfaatan SDH, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan Sekitar Hutan diperoleh rangkuman sebagai berikut :

Arah dan Skenario Pengembangan mengenai Pemantapan Kawasan Hutan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Konservasi Sumberdaya Hutan Pemanfaatan

Sumberdaya Hutan Pemberdayaan Masyarakat

dalam dan sekitar Hutan 199 peserta

RANGKUMAN

DISKUSI ARAH PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN

Dirangkum Oleh: Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan

I. SITUASI DAN KONDISI SAAT INI

II. ISU-ISU STRATEGIS

1. Luas hutan Indonesia yang terdeforestasi dan terdegradasi meningkat dari tahun ke tahun, berdampak secara nyata terhadap menurun dan melemahnya produktifitas hutan dan lahan.

2. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan (RHL, pemanfataan, konservasi dan pendukungnya ) diakui oleh banyak pihak belum memberikan hasilguna dan dayaguna yang memadai sebagimana yang diharapkan bersama, bahkan di beberapa tempat mengalami kegagalan.

3. Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya hutan baik pelaksanaan RHL, pemanfataan, konservasi dan pendukungnya masih selalu berubah-ubah sehingga mempengaruhi kebijakan dan implementasi kebijakan secara operasional.

4. Adanya perlakuan yang bersifat bukan ekonomis ( ) di bidang kehutanan yang dicerminkan oleh rendahnya harga komoditas hasil hutan.

5. Hubungan pusat, daerah, dan antar sektor dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan dalam kerangka desentralisasi/otonomi daerah belum optimal dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. 6. Kegiatan pembangunan kehutanan pada dasarnya

merupakan kegiatan yang memerlukan biaya tinggi, sehingga memerlukan dana yang memadai dan kebijakan yang mantap.

7. Implementasi kebijakan pemerintah dan peraturan perundangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum dapat berjalan secara efektif dan efisien.

8. SDH belum dihargai sebagaimana mestinya terutama penghargaan terhadap fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan, hal tersebut tercermin dalam pola pemanfaatan yang masih terbatas terhadap hal-hal yang bersifat langsung dan jangka pendek.

9. Pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan masih belum memadai, terutama pemahaman dan kepedulian terhadap konservasi.

10. Hak dan akses penduduk lokal untuk memanfaatkan SDH masih terbatas.

11. Penyelenggaraan komponen-komponen pengelolaan sumberdaya hutan masih belum berjalan secara integratif.

12. SDM kehutanan dalam pengelolaan hutan belum profesional, masih bersifat sebagai administratur kegiatan.

13. Masyarakat yang tergantung terhadap hutan, terutama masyarakat di dalam dan sekitar hutan masih miskin.

1. Meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan termasuk sebagai akibat dari meningkatnya kebutuhan dan kepentingan pembangunan oleh berbagai sektor maupun masyarakat.

2. Kapasitas kelembagaan pengelolaan hutan masih lemah yang ditandai dengan lemahnya sistem data dan informasi, penanganan sumberdaya hutan dan produk-produk yang dihasilkannya belum kompeten serta


(4)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

sekitar hutan.

16. Kawasan hutan masih dipandang sebagai“Bank lahan”

dan penatagunaan hutan yang ada belum dapat mendorong terhadap adanya kepastian alokasi hutan dan lahan untuk dunia usaha kehutanan.

17. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang ada belum dapat berfungsi secara nyata dalam mendukung dan mengakselerasi pencapaian efektifitas pengelolaan hutan dan hasil hutan .

18. Kelembagaan pengelolaan hutan yang ada belum mendorong terhadap perwujudan sistem tata pemerintahan yang baik di bidang kehutanan (

), sistem tata usaha yang sehat oleh swasta maupun masyarakat.

19. Kebijakan yang menyangkut fiskal, investasi, keberpihakan kepada masyarakat luas ( ), dan penegakan kebijakan dan hukum ( ) dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDH, belum terimplementasi dengan baik.

20. Pengembangan kemitraan ( ) di bidang pengelolaan sumberdaya hutan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan dalam mempercepat pemerataan kesempatan kerja dan berusaha yang berkeadilan.

21. Kebijakan dan implementasi pemanfaatan hutan mendorong transformasi usaha kehutanan, khususnya industri primer kehutanan, industri jasa lingkungan kehutanan, industri non kayu, sehingga ekspor hasil industri kehutanan mencapai sebesar US$ 15 milyar/tahun.

1. Peningkatan profesionalisme SDM dan penguatan kemampuan ( ) kelembagaan dalam penyelenggaraan pengelolaan SDH.

2. Dukungan dan komitmen antar sektor untuk mempercepat tercapainya kemantapan berusaha di bidang pemanfaatan SDH yang berkelanjutan.

3. Menurunnya produktifitas sumberdaya hutan dan meningkatnya kebutuhan terhadap produk-produk sumberdaya hutan untuk konsumsi industri maupun masyarakat.

4. Konversi penggunaan hutan dan lahan menjadi penggunaan lain akibat perkembangan penduduk, pembangunan ekonomi, permintaan pasar yang mengakibatkan laju deforestasi dan degradasi yang semakin tinggi.

5. Adanya kecenderungan perubahan oleh birokrasi yang mengarah kepada desentralisasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya hutan lebih luas kepada masyarakat.

6. Adanya kecenderungan desentralisasi dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam kepada daerah yang diimbangi dengan adanya insentif kepada daerah yang melaksanakan;

7. Kegagalan dalam penegakan hukum dalam menangani perambahan hutan, pencurian kayu ( ), pelanggaran tata ruang, dan korupsi, cenderung akan melemahkan terwujudnya pengelolan hutan yang berkelanjutan.

8. Meningkatnya perhatian dan kebutuhan masyarakat global terhadap peran dan produk-produk alami hutan tropis dalam tataran global.

9. Meningkatnya kebutuhan terhadap lingkungan yang berkualitas termasuk terhadap produk-produk kehutanan

good forestry governance

pro community law enforcement

partnership

capacity building

illegal logging

III. TANTANGAN DAN ANCAMAN KE DEPAN

program dan kebijakan yang masih belum sepenuhnya mencerminkan keadilan.

3. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan dirasakan masih kurang terbuka kepada publik. Proses pengambilan keputusan yang masih lemah dan peluang partisipasi publik dalam pembangunan masih terbatas serta akuntabilitas pemanfaatan dana konservasi belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.

4. Program dan skema-skema penyelenggaraan pengelolaan hutan yang ada cenderung sering digeneralisir, sehingga seringkali menemui kegagalan karena mengabaikan muatan spesifik sumberdaya lokal yang ada.

5. Manfaat hutan secara luas belum banyak dirasakan oleh masyarakat, serta penurunan kontribusi sumberdaya hutan terhadap perekonomian, akibat menurunnya produktifitas sumberdaya hutan (kayu, satwa dan flora lainnya).

6. Partisipasi Indonesia dalam konservasi global telah ditunjukkan dengan keikutsertaan meratifikasi berbagai konvensi internasional, tetapi belum menunjukkan peran yang signifikan khususnya dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan tropis.

7. Kemiskinan yang terjadi di masyarakat semakin luas dan cenderung adanya upaya-upaya pemiskinan terhadap masyarakat akibat keserakahan, sikap oportunistik yang berlebihan serta korupsi.

8. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan menjadi perhatian semua pihak termasuk sektor-sektor diluar kehutanan, sehingga dampak pengelolaan hutan akan semakin mudah dirasakan oleh berbagai pihak.

9. Sistem insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan belum jelas bagi setiap pihak yang terkait.

10. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang karena keberhasilan penyelenggaraan pengelolaan hutan selama ini dianggap rendah dan tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan

11. Administrasi penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan melalui sistem keproyekan yang ada terlalu dominan dan berorientasi jangka pendek sehingga seringkali mengalami hambatan dan kegagalan di lapangan.

12. Kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan berskala global umumnya terjadi di negara-negara berkembang yang memerlukan dana dan pasokan bahan baku untuk pembangunan dengan melakukan ekploitasi hutan alam secara besar-besaran dengan paradigma pengelolaan hutan primitif“ ”.

13. Implementasi pengelolaan hutan paradigma “ ”di Indonesia dengan ciri asas kelestarian dan membangun hutan tanaman ( ) belum memuaskan karena membutuhkan biaya yang besar, teknologi maju, dan adanya resiko gangguan keamanan akibat tekanan penduduk di sekitar hutan masih tinggi.

14. Penyelenggaraan pengelolaan hutan melalui perusahaan-perusahaan besar belum menunjukkan efektifitas pengelolaan hutan yang lestari terutama dalam penyerapan tenaga kerja, pencerdasan masyarakat dan cenderung memarjinalisasikan masyarakat lokal yang ada.

15. Implementasi paradigma pengelolaan hutan “ ” (SF) belum dapat mengurangi laju kerusakan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

timber extraction

timber management

man-made forest

social forestry


(5)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman yang ramah lingkungan dan sehat.

10. Meningkatnya peran dan keragaman pelaku pengelola sumberdaya hutan.

1.

a. Kawasan hutan dipertahankan kecukupannya dalam setiap DAS/Pulau yang optimal, minimal 30 % dengan sebaran yang proporsinal, bersifat permanen dan tidak mudah diubah (stabil) serta diperkuat oleh adanya kelembagaan perencanaan kehutanan dan pengelola unit manajemen.

b. Pengembangan pemantapan kawasan hutan harus didasarkan pada definisi hutan itu sendiri yaitu sebagai komponen ekosistem meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, yang dicirikan oleh adanya penataan ruang berbasis ekologis yang rasional, pemanfaatan optimal, adanya komitmen yang kuat dari para pihak dan diimplementasikan dalam wujud kebersamaan kebijakan pengurusan hutan.

c. Pemantapan kawasan hutan harus dilandasi oleh p e m b a n g u n a n b u d a y a s e l u r u h p e m a n g k u kepentingan baik masyarakat, daerah, pusat yang dimulai dari sektor pemerintah dan diwujudkan dalam unit-unit pengelolaan hutan (KPHP, KPHL dan KPHK) serta dapat dikelola oleh BUMN, Pemda daerah atau kolaborasi manajemen antara Pemerintah Pusat-Provinsi-Kabupaten dan BUMD untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat di lapangan yang berkaitan dengan kehutanan.

2.

a. Penyelenggaraan konservasi sumber daya alam berlaku bagi seluruh kawasan dan fungsi hutan, yang penyelenggaraannya diperlukan adanya komitmen/ kemauan politik dan peningkatan kesadaran semua pihak.

b. Penguatan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem, jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme sumber daya manusia, serta pengembangan sistem insentif konservasi yang kondusif.

c. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan data base konservasi bagi kegiatan konservasi serta peningkatan peran dalam forum global dan pelaksanaan konvensi internasional yang telah diratifikasi;

d. K o n s e r v a s i h a r u s m a m p u m e n i n g k a t k a n kesejahteraan masyarakat, khususnya sekitar hutan, dan dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.

3.

a. RHL harus ditujukan pada rehabilitasi untuk optimalisasi fungsi kawasan hutan yang meliputi peningkatan produktivitas lahan, konservasi sistem hidro-orologi dan keragaman hayati, serta kesejahteraan masyarakat.

b. Penyelenggaraan RHL dilaksanakan dengan pola yang tepat, terencana dan terintegrasi dengan yang lainnya, berbasis DAS dengan mempertimbangkan secara cermat kondisi bio-fisik, sosial, ekonomi dan budaya setempat, melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk perempuan dan multidisiplenr/multisektor.

IV. ARAH DAN SKENARIO PENGEMBANGAN

Arah Pemantapan Kawasan Hutan

Arah Konservasi Sumberdaya Hutan

Arah Rehabilitasi Hutan dan Lahan

good forestry governance

c. Inovasi sistem keuangan negara untuk keperluan penyelenggaraan pengelolaan hutan yang dapat memberikan keluwesan dalam pelaksanaan guna meningkatkan keberhasilan.

4.

a. Dari luas hutan alam produksi (HP) seluas 57 juta ha, seluas 20 juta ha HP alam (34 %) diusahakan dengan sistem IUPHHK untuk menghasilkan kayu sebanyak 15 juta m3/tahun; seluas 10 juta ha HP alam (17 %) dialokasikan dalam bentuk social forestry dan dikelola oleh BUMN dalam bentuk usaha hutan tanaman dan hutan alam; seluas 27 juta ha (49 %) diupayakan pulih kondisinya.

b. Percepatan hutan tanaman industri yang didukung oleh sistem insentif, pola usaha yang tepat, kepastian alokasi lahan serta usaha kehutanan terkait, SDM yang profesional, dan IPTEK yang tepat;

c. Penguatan pengelolaan hutan lestari yang mendorong terhadap penyediaan dan pemanfaatn sumberdaya hutan yang optimal baik kayu maupun non kayu dan didukung oleh profesionalisme SDM, p e r l i n d u n g a n h u k u m y a n g b e r k e a d i l a n , kelembagaan yang kuat serta kompetensi teknis dan IPTEK yang tepat;

d. Restrukturisasi industri yang mendorong terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi papan domestik dan luar negeri, bersaing dan ramah lingkungan. e. Restrukturisasi Institusi untuk mendorong

terwujudnya SDM yang profesional, tata laksana pemerintahan yang baik dan benar (

) serta pembentukan kelembagaan unit-unit pengelolaan hutan produksi.

f. Peningkatan pemanfaatan hasil hutan non kayu ( ), produksi air, ekowisata dan jasa lingkungan lain yang lebih nyata agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna, termasuk pembenahan tarif jasa lingkungan yang berasal dari kawasan hutan seperti air, ekowisata, dll. g. Pengembangan kemitraan ( ) untuk mempercepat pemerataan kesempatan kerja dan berusaha dibidang pemanfaatan SDH.

5.

a. Pengembangan paradigma pengelolaan hutan

“Social Forestry”(SF) atau “Kehutanan Sosial”yang berbasis pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, melalui rekayasa teknik kehutanan ( ) dan rekayasa social-ekonomi

) secara bersama-sama.

b. Untuk kondisi di luar Pulau Jawa pengelolaannya

dalam bentuk (FRM)

dan (FEM) secara

komplementer; sedangkan di Pulau Jawa dalam

bentuk (TFM). Pada level

distrik/KPH pengelolaannya dalam bentuk management regimes untuk meningkatkan produktivitas lahan.

c. Pendekatan pengembangan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan

“Social Forestry” dilaksanakan berdasarkan regionalisasi karakteristik wilayah di Indonesia, Arah Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Arah Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan sekitar Hutan

good forestry governance

non timber forest product

partnership

forestry engineering (socio-economic engineering

forest resoures management forest ecosystem management


(6)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

typology kawasan hutan, dan sejalan dengan pengembangan wilayah ekonomi di daerah, meliputi sebagai berikut: Regional Pulau Jawa: sharing lahan dan manfaat hutan antar kehutanan dan masyarakat., Regional Pulau Sumatera: gabungan pengusahaan hutan dengan komoditas perkebunan, baik di lahan milik maupun di hutan negara, Regional Pulau Kalimantan: pengusahaan hutan manjadi inti bentuk pengelolaan hutan dengan paradigma Social Forestry, Regional Pulau Sulawesi: pengelolaan hutan kemasyarakatan dengan kombinasi komoditas perkebunan, Regional Sunda Kecil: Bali-Lombok; pengembangan agroforestry kombinasi dengan hutan rakyat dan pertanian, Sumbawa-Sumba-Flores; pengembangan hutan rakyat dikombinasikan d e n g a n p e t e r n a k a n , R e g i o n a l M a l u k u : p e n g e m b a n g a n h u t a n r a k y a t d a n h u t a n kemasyarakatan, Regional Irian Jaya: pengusahaan hutan dan pengembangan agroforestry

d. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah membangun manusia dan hubungan manusia dengan hutan untuk memakmurkan masyarakat dalam dan sekitar hutan.

e. Pengembangan peran serta/pemberdayaan masyarakat dalam dan sekitar hutan ditujukan untuk mewujudkan masyarakat mandiri berbasis pembangunan kehutanan sesuai dengan potensi SDH dan karakteristik wilayah.

f. Strategi utama pengembangan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui: a) penguatan kepastian hak MDH untuk memperoleh manfaat SDH, dan b) peningkatan kapasitas MDH beradaptasi terhadap perubahan sosial-ekonomi di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan secara bersamaan dan atau secara bertahap.

g. Untuk mendukung pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, diperlukan hierarki perencanaan dan kebijakan pengelolaan hutan yang pada dasarnya terdiri atas: a) tingkat makro (nasional): kebijakan umum/nasional paradigma pengelolaan hutan, b) tingkat regional (maeso): kebijakan pengelolaan skope/level wilayah/regional dan c) tingkat mikro (distrik/unit pelaksana pengelolaan). Pengembangan hierarki perencanaan dilaksanakan secara sinergis dengan kreativitas, karakterisasi, potensi, serta kebijakan dan program pembangunan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pelindung

Pengarah :

Pemimpin Redaksi : Ketua : Sekretaris :

Redaksi Pelaksana :

Editor : Ketua :

Anggota :

Desain Grafis :

Kontributor :

: Kepala Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Puskuh Dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan

Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr.

Ir. Thomas Nifinluri, Msc. Ir. Agus Nurhayat, MM.Agr Ir. Herman Kustaryo

Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md.

Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan Ir. Yana Juhana, Msc.Forst.

Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM. Dewi Febrianti,S.Hut, MP Tedi Setiadi, S.Hut. Ir. Joko Kuncoro Uus Danu Kusumah, S.Hut.

Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si. Dr. Silver Hutabarat, Msc..

Ir. Lilit Siswanty Julijanti, SE, MT

John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut

DEWAN REDAKSI

Meretas Universalitas Entitas Pembangunan Menuju Solusi Problem Land Tenure, Degradasi Hutan dan Kawasan Hutan

Fungsional Perencana, Tertarikkah Anda? Identifikasi Permasalahan Desentralisasi Sektor Kehutanan di Indonesia

Renstra-KL Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009

Arah Revitalisasi Kehutanan Dalam Kerangka RPPK 2005-2009

Ada Apa Dengan Rimba (AADR)? Prospek Kayu Lapis Indonesia

Kajian Pemasaran Ekowisata Indonesia Kepada Wisatawan Jerman

Rangkuman Diskusi Arah Pembangunan Sektor Kehutanan