pengertian bencana alam

Pengertian Bencana Alam (wikepedia)
Bencana alam adalah suatu peristiwa alam yang mengakibatkan dampak besar bagi
populasi manusia.[1] Peristiwa alam dapat berupa banjir, letusan gunung berapi, gempa
bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas,
hurikan, badai tropis, taifun, tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit.[2] Beberapa
bencana alam terjadi tidak secara alami.[2] Contohnya adalah kelaparan, yaitu
kekurangan bahan pangan dalam jumlah besar yang disebabkan oleh kombinasi faktor
manusia dan alam.[2] Dua jenis bencana alam yang diakibatkan dari luar angkasa jarang
mempengaruhi manusia, seperti asteroid dan badai matahari.[2]
Sejak masa lalu manusia telah menghadapi bencana alam yang berulang kali
melenyapkan populasi mereka.[3] Pada zaman dahulu, manusia sangat rentan akan
dampak bencana alam dikarenakan keyakinan bahwa bencana alam adalah hukuman dan
simbol kemarahan dewa-dewa.[4] Semua peradaban kuno menghubungkan lingkungan
tempat tinggal mereka dengan dewa atau tuhan yang dianggap manusia dapat
memberikan kemakmuran maupun kehancuran.[4] Kata bencana dalam Bahasa Inggris
"disaster" berasal dari kata Bahasa Latin "dis" yang bermakna "buruk" atau
"kemalangan" dan "aster" yang bermakna "dari bintang-bintang".[1] Kedua kata tersebut
jika dikombinasikan akan menghasilkan arti "kemalangan yang terjadi di bawah bintang",
yang berasal dari keyakinan bahwa bintang dapat memprediksi suatu kejadian termasuk
peristiwa yang buruk.[1]
Zaman kuno[sunting | sunting sumber]

The Last Day of Pompeii (1833), lukisan karya Karl Briullov yang menceritakan letusan
Gunung Vesuvius di Pompeii, tahun 79.
Bencana alam yang dialami oleh manusia pada masa kuno tercatat dalam kitab suci,
mitos, cerita-cerita rakyat,[5] Bencana alam yang terjadi di zaman kuno umumnya
diketahui secara jelas lewat catatan sejarah dan hasil penelitian arkeologi.[6] Beberapa di
antaranya:
Wabah Antonine, penyakit yang menyebar pada masa Kekaisaran Romawi tahun 165 M
-189 M.[3] Dinamakan demikian karena salah satu korbannya adalah Marcus Aurelius
Antoninus, kaisar Romawi. Dinamakan juga Demam Galen karena didokumentasikan
dengan baik oleh Galen, seorang dokter Yunani.[3] Sejarawan meyakini bahwa Demam
Antonine tidak lain adalah wabah cacar air yang dibawa oleh para serdadu Romawi yang
pulang berperang dari timur.[3] Akibat wabah ini lebih dari 5 juta orang tewas di
Kekaisaran Romawi.[3] Seorang sejarawan bernama Dio Cassius menulis bahwa di
Roma sendiri, hampir 2000 orang meninggal setiap harinya.[3]
Gempa Kreta dan Tsunami Alexandria, terjadi pada tanggal 21 Juli tahun 365.[7] Dimulai
dengan gempa bumi besar yang terjadi di dasar Laut Tengah dekat Pulau Kreta, Yunani,
dengan kekuatan diperkirakan mencapai 8 skala richter atau lebih.[7] Gempa ini
menghancurkan hampir seluruh kota di pulau tersebut yang kemudian diikuti tsunami
besar yang melanda Yunani, Libya, Siprus, Sisilia dan Mesir.[7] Catatan mengenai
bencana alam ini paling baik terdokumentasikan di Alexandria (Iskandariah), Mesir.[7]


Sejarawan Ammianus Marcellinus menuliskan dengan detail bagaimana air laut
menghempas dan menghancurkan kota Alexandria.[7]
Letusan Gunung Vesuvius, terjadi pada tanggal 29 Agustus 79 di Teluk Napoli, Italia.
Banjir lahar yang ditimbulkan Gunung Vesuvius mengubur kota Pompeii dan
Herculaneum yang berdekatan.[7] Awalnya dimulai dengan gempa bumi namun
diabaikan oleh warga kota tersebut.[7] Namun akhirnya menjadi lebih besar diiringi
muntahan debu, banjir lahar dan asap yang membumbung tinggi.[7] Kota Pompeii dan
Herculaneum ditemukan pada tahun 1631 setelah dilakukannya pembersihan oleh warga
setempat. Pada abad ke-20, keberadaan kota ini secara jelas terkuak dengan jasad-jasad
manusia yang telah menjadi fosil utuh.[7]
Erupsi Santorini, terjadi sekitar tahun 1645 SM.[8] Informasi bencana alam ini umumnya
diketahui lewat penelitian arkeologi.[8] Diketahui bahwa tahun 1645 SM, gunung berapi
yang meletus di Santorini menghancurkan permukiman di pulau tersebut beserta Pulau
Kreta di dekatnya.[8] Pada zaman moderen, sisa-sisa peradaban manusia yang lenyap
akibat bencana tersebut telah ditemukan dan masih terus dipelajari.[8]
Gempa Bumi dan Tsunami Helike, terjadi pada tahun 375 SM.[8] Bencana alam ini
mengakibatkan kota Helike yang berada di Teluk Korintus, Yunani tenggelam ke dasar
laut.[8] Korban jiwa tak diketahui.[8] Penelitian terhadap reruntuhan permukiman
manusia zaman itu mulai dilakukan sejak akhir abad ke-19 dengan penemuan reruntuhan

kota, jalan-jalan dan artefak.[9]
Bencana alam di abad ke-20 sampai 21[sunting | sunting sumber]
Pemanasan Global karena suhu yang meningkat drastis selama tahun 2000-2009.
Pada abad ke-20, beberapa bencana alam yang paling umum adalah kelaparan dan wabah.
[2] Sejak awal abad ke-20, lebih dari 70 juta orang tewas akibat kelaparan, dengan
korban 30 juta orang tewas selama masa kelaparan di Cina dari tahun 1958-1961.[2] Di
Uni Soviet, beberapa kali terjadi kelaparan yang diakibatkan kebijakan kolektif Stalin
yang membunuh jutaan orang.[2] Dalam sejarah, kelaparan telah mengakibatkan
munculnya sifat buruk manusia seperti kekejaman dan kanibalisme.[2] Bencana alam
terburuk lainnya pada abad ke-20 adalah wabah.[2] Pandemi terburuk terutama adalah
menularnya Flu Spanyol di seluruh dunia dari tahun 1918-1919 yang membunuh 50 juta
orang, lebih banyak daripada korban Perang Dunia I yang terjadi sebelumnya.[2]
Pada abad ke-21, bencana alam yang semakin banyak terjadi adalah bencana terkait iklim
yang disebabkan meningkatnya suhu bumi (pemanasan global).[10] Pemanasan global
sebagian besar diikuti banjir, kekeringan, cuaca ekstrim dan musim yang tak bisa diramal.
[10] Perubahan iklim berpotensi meningkatkan kemiskinan dan kerentanan dalam jumlah
besar.[10] Pada saat yang sama bencana iklim semakin meningkat, lebih banyak manusia
yang terkena dampaknya dikarenakan kemiskinan, kurangnya sumber daya, pertumbuhan
populasi, pergerakan dan penempatan manusia ke daerah yang tidak menguntungkan.[10]
Jenis bencana alam[sunting | sunting sumber]


Hurikan Katrina, 2005.

Bencana alam dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu bencana alam yang bersifat
meteorologis, bencana alam yang bersifat geologis, wabah dan bencana ruang angkasa.
[2]
Bencana alam meteorologi[sunting | sunting sumber]
Bencana alam meteorologi atau hidrometeorologi berhubungan dengan iklim.[11]
Bencana ini umumnya tidak terjadi pada suatu tempat yang khusus, walaupun ada
daerah-daerah yang menderita banjir musiman, kekeringan atau badai tropis (siklon,
hurikan, taifun) dikenal terjadi pada daerah-daerah tertentu.[11] Bencana alam bersifat
meteorologis seperti banjir dan kekeringan merupakan bencana alam yang paling banyak
terjadi di seluruh dunia.[11] Beberapa di antaranya hanya terjadi suatu wilayah dengan
iklim tertentu.[11] Misalnya hurikan terjadi hanya di Karibia, Amerika Tengah dan
Amerika Selatan bagian utara.[4] Kekhawatiran terbesar pada abad moderen adalah
bencana yang disebabkan oleh pemanasan global.[11]
Bencana alam geologi[sunting | sunting sumber]
Letusan Gunung Merapi.
Bencana alam geologi adalah bencana alam yang terjadi di permukaan bumi seperti
gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan gunung meletus.[11] Gempa bumi dan gunung

meletus terjadi di hanya sepanjang jalur-jalur pertemuan lempeng tektonik di darat atau
lantai samudera.[11] Contoh bencana alam geologi yang paling umum adalah gempa
bumi, tsunami dan gunung meletus.[11] Gempa bumi terjadi karena gerakan lempeng
tektonik.[11] Gempa bumi pada lantai samudera dapat memicu gelombang tsunami ke
pesisir-pesisir yang jauh.[11] Gelombang yang disebabkan oleh peristiwa seismik
memuncak pada ketinggian kurang dari 1 meter di laut lepas namun bergerak dengan
kecepatan ratusan kilometer per jam.[11] Jadi saat mencapai perairan dangkal, tinggi
gelombang dapat melampaui 10 meter.[11] Gunung meletus diawali oleh suatu periode
aktivitas vulkanis seperti hujan abu, semburan gas beracun, banjir lahar dan muntahan
batu-batuan.[11] Aliran lahar dapat berupa banjir lumpur atau kombinasi lumpur dan
debu yang disebabkan mencairnya salju di puncak gunung, atau dapat disebabkan hujan
lebat dan akumulasi material yang tidak stabil.[11]
Wabah[sunting | sunting sumber]
Wabah atau epidemi adalah penyakit menular yang menyebar melalui populasi manusia
di dalam ruang lingkup yang besar, misalnya antar negara atau seluruh dunia.[12] Contoh
wabah terburuk yang memakan korban jiwa jumlah besar adalah pandemi flu, cacar dan
tuberkulosis.[12]
Bencana alam dari ruang angkasa[sunting | sunting sumber]
Bencana dari ruang angkasa adalah datangnya berbagai benda langit seperti asteroid atau
gangguan badai matahari.[13] Meskipun dampak langsung asteroid yang berukuran kecil

tidak berpengaruh besar, asteroid kecil tersebut berjumlah sangat banyak sehingga
berkemungkinan besar untuk menabrak bumi.[13] Bencana ruang angkasa seperti
asteroid dapat menjadi ancaman bagi negara-negara dengan penduduk yang banyak
seperti Cina, India, Amerika Serikat, Jepang, dan Asia Tenggara.[13]
Dampak bencana alam[sunting | sunting sumber]

Kehancuran fasilitas akibat Gempa bumi Haiti 2010.
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial
dan lingkungan.[14] Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak
dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan
kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan
yang melindungi daratan.[14] Salah satu bencana alam yang paling menimbulkan
dampak paling besar, misalnya gempa bumi, selama 5 abad terakhir, telah menyebabkan
lebih dari 5 juta orang tewas, 20 kali lebih banyak daripada korban gunung meletus.[11]
Dalam hitungan detik dan menit, jumlah besar luka-luka yang sebagian besar tidak
menyebabkan kematian, membutuhkan pertolongan medis segera dari fasilitas kesehatan
yang seringkali tidak siap, rusak, runtuh karena gempa.[11] Bencana seperti tanah
longsor pun dapat memakan korban yang signifikan pada komunitas manusia karena
mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu dan dapat dipicu oleh
bencana alam lain terutama gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan lebat atau topan.

[4]
Manusia dianggap tidak berdaya pada bencana alam, bahkan sejak awal peradabannya.[3]
Ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen darurat menyebabkan
kerugian dalam bidang keuangan, struktural dan korban jiwa.[15]. Kerugian yang
dihasilkan tergantung pada kemampuan manusia untuk mencegah dan menghindari
bencana serta daya tahannya.[15] Menurut Bankoff (2003): "bencana muncul bila
bertemu dengan ketidakberdayaan".[15] Artinya adalah aktivitas alam yang berbahaya
dapat berubah menjadi bencana alam apabila manusia tidak memiliki daya tahan yang
kuat.[15]
Penanggulangan[sunting | sunting sumber]

Konstruksi rumah yang menggunakan sistem pegas untuk persiapan terjadinya gempa
bumi.
Penanggulangan bencana alam atau mitigasi adalah upaya berkelanjutan untuk
mengurangi dampak bencana terhadap manusia dan harta benda.[16] Lebih sedikit orang
dan komunitas yang akan terkena dampak bencana alam dengan menggerakan program
ini.[16] Perbedaan tingkat bencana yang dapat merusak dapat diatasi dengan
menggerakan program mitigasi yang berbeda-beda sesuai dengan sifat masing-masing
bencana alam.[16]
Persiapan menghadapi bencana alam termasuk semua aktivitas yang dilakukan sebelum

terdeteksinya tanda-tanda bencana agar bisa memfasilitasi pemakaian sumber daya alam
yang tersedia, meminta bantuan dan serta rencana rehabilitasi dalam cara dan
kemungkinan yang paling baik.[16] Kesiapan menghadapi bencana alam dimulai dari
level komunitas lokal.[16] Jika sumber daya lokal kurang mencukupi, maka daerah
tersebut dapat meminta bantuan ke tingkat nasional dan internasional.[16]
Pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat bahaya tinggi ("hazard"), memiliki
kerentanan/kerawanan ("vulnerability'"), bencana alam tidak memberi dampak yang luas
jika masyarakat setempat memiliki ketahanan terhadap bencana ("disaster resilience").
[15] Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-

infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani tantangan-tantangan serius dari
bencana alam.[15] Sistem ini memperkuat daerah rawan bencana yang memiliki jumlah
penduduk yang besar.[15]
Bencana alam di Indonesia dan penanggulangannya[sunting | sunting sumber]

Meulaboh, Aceh, pasca Gempa bumi Samudra Hindia 2004.
Indonesia merupakan negara yang sangat rawan dengan bencana alam seperti gempa
bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan angin puting beliung.[17]
Sekitar 13 persen gunung berapi dunia yang berada di kepulauan Indonesia berpotensi
menimbulkan bencana alam dengan intensitas dan kekuatan yang berbeda-beda.[17]

Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 yang memakan banyak
korban jiwa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara
memaksa diadakannya upaya cepat untuk mendidik masyarakat agar dapat
mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi bencana alam.[17] Namun, upaya
yang dilaksanakan tidak efektif karena persiapan menghadapi bencana alam belum
menjadi mata pelajaran pokok dalam kurikulum di Indonesia.[17] Materi-materi
pendidikan yang berhubungan dengan bencana alam juga tidak banyak.[17]
Laporan Bencana Asia Pasifik 2010 menyatakan bahwa masyarakat di kawasan Asia
Pasifik 4 kali lebih rentan terkena dampak bencana alam dibanding masyarakat di
wilayah Afrika dan 25 kali lebih rentan daripada di Amerika Utara dan Eropa.[18]
Laporan PBB tersebut memperkirakan bahwa lebih dari 18 juta jiwa terkena dampak
bencana alam di Indonesia dari tahun 1980 sampai 2009.[18] Dari laporan yang sama
Indonesia mendapat peringkat 4 sebagai salah satu negara yang paling rentan terkena
dampak bencana alam di Asia Pasifik dari tahun 1980-2009.[18] Laporan Penilaian
Global Tahun 2009 pada Reduksi Resiko Bencana juga memberikan peringkat yang
tinggi untuk Indonesia pada level pengaruh bencana terhadap manusia – peringkat 3 dari
153 untuk gempa bumi dan 1 dari 265 untuk tsunami.[18]
Walaupun perkembangan manajemen bencana di Indonesia meningkat pesat sejak
bencana tsunami tahun 2004, berbagai bencana alam yang terjadi selanjutnya
menunjukkan diperlukannya perbaikan yang lebih signifikan.[18] Daerah-daerah yang

rentan bencana alam masih lemah dalam aplikasi sistem peringatan dini, kewasapadaan
resiko bencana dan kecakapan manajemen bencana.[18] Sistem Peringatan Dini Tsunami
Indonesia yang dimulai tahun 2005, masih dalam tahap pengembangan.[18]
Menurut kebijakan pemerintah Indonesia, para pejabat daerah dan provinsi diharuskan
berada di garis depan dalam manajemen bencana alam.[18] Sementara Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan tentara dapat membantu pada saat yang dibutuhkan.[18]
Namun, kebijakan tersebut belum menciptakan perubahan sistematis di tingkat lokal.[18]
Badan penanggulangan bencana daerah direncanakan di semua provinsi namun baru
didirikan di 18 daerah.[18] Selain itu, kelemahan manajemen bencana di Indonesia salah
satunya dikarenakan kurangnya sumber daya dan kecakapan pemerintah daerah yang
masih bergantung kepada pemerintah pusa