Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor . 30 Tahun 2004

(1)

PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN

DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM

MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH KELUARNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR . 30 TAHUN 2004

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister kenotariatan

OLEH : T. MUZAKKAR 067011095/MKN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor . 30 Tahun 2004

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh T. Muzakkar 067011095/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 20O8


(3)

Judul Tesis : PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN

PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG

NOMOR . 30 TAHUN 2004

Nama Mahasiswa : T . Muzakkar

Nomor Pokok : 067011095

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Sanwani Nasution, SH) Ketua

(Chairani Bustami, SH, SpN, Mkn) (Notaris/PPAT Syahril Sofyan,SH, M.Kn) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktris

(Prof. Dr. Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,MSc) Tanggal Lulus : 02 September 2008


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 02 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Sanwani Nasution, SH

Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn 2. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, M.Kn 3. Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum


(5)

KATA PENGANTAR

Teriring Salam dan doa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmad dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul :

“Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor . 30 Tahun 2004’’

Dan tak lupa kita panjatkan doa kehadirat junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari tempat yang gelap ketempat yang terang benderang .

Adapun penulisan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara .

Dalam penulisan ini penulis telah banyak mendapat masukan dari berbagai pihak , baik dosen , rekan mahasiswa , dan para praktisi , untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH , selaku ketua pembimbing , Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, Mkn dan Bapak Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, M.Kn , selaku anggota pembimbing , juga Bapak Prof. Dr . Runtung Sitepu , SH, M.Hum dan Ibu Dr. T.keizerina Devi Azwar , SH,CN,M.Hum selaku para anggota penguji . Atas kesediaan beliau dalam membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini .


(6)

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp A (K) , selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas Kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi kami untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. T. Chairun Nisa ,B, MSc, Selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh Dosen dan Pegawai Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan bantuan kepada penulis . 5. Seluruh responden yang telah memberikan bantuan dan saran untuk

penyempurnaan tesis ini .

6. Seluruh rekan mahasiswa Magister Kenotariatan stambuk 2006 terutama , Rita Silvia , SH, Marianne Magda Ketaren SH,M.Kn, Mardiah SH, Siti Nurmawani , SH, M.Kn dan Suyati , SH yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk penyempurnaan tesis ini .

Terima kasih saya ucapkan khusus kepada :

1. Kedua orang tua yang sangat saya cintai dan hormati yang telah melahirkan kedunia dan telah membesarkan saya Almarhum H.T. Jafar Kari dan Almarhumah Hj. Rosmawati yang dengan tulus mencintai dan menyayangi penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini .


(7)

2. Juga terima kasih saya ucapkan kepada kakak dan abang ipar saya Cut Julina , SH dan Mayor Kes Dr. Faisal juga kepada keponakan saya Nayla dan Dafa yang telah menghibur saya juga yang tak lupa saya ucapkan kepada adik saya T. Rizkhi Maulana semoga dapat menjadi contoh bagi pendidikannya.

3. Juga tak lupa saya ucapkan kepada orang yang saya sayangi dan cintai Rikha Anggraini Dewi , SH yang telah memberikan semangat dan dorongan sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini dan penulis harapkan dapat menjadi Istri yang baik yang Mendampingi dalam suka dan duka .

4. Buat saudara-saudara saya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu tak lupa penulis mengucapkan terima kasih atas kritikan dan masukan kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini .

Semoga penulisan ini semoga dapat berguna bagi khalayak umum dan khususnya dalam bidang kenotariatan dan ilmu hukum . Dalam Penulisan ini penulis sadar masih terdapat kelemahan dan kesalahan disana-sini dan penulis harapkan saran dan kritikan yang membangun sehingga dapat perbaikan demi kesempurnaan tesis ini dan semoga Allah SWT masih memberikan hidayah kepada kita semua , Amin Ya Rabbal Allamin.

Medan , September 2008

Penulis


(8)

Daftar Riwayat Hidup

1. Nama : T. Muzakkar

2. Tempat / Tanggal Lahir : Medan , 29 Desember 1981

3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Pekerjaan : Wiraswasta

5. NIM : 067011095

6. Alamat : Jalan Cut Nyak Dhien Nomor 51 Binjai

7. Riwayat Pendidikan

1. Taman Kanak-Kanak (TK) Ahmad Yani Binjai 1987-1988

2. Sekolah Dasar (SD) Ahmad Yani Binjai 1988-1994

3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Binjai 1994-1997

4. Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Binjai 1997-2000

5. Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (S1)

Hukum Pidana, Medan 2000-2006

6. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (S2)

Program Magister Kenotariatan , Medan 2006-2008

8. Riwayat Organisasi

1. Anggota Gerakan Pramuka Kwarcab Binjai tahun 1994-sekarang 2. Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Binjai 1997-sekarang

3. Ketua Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR) Kota Binjai 1997-Sekarang

4. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Islam Sumatera Utara 2000-2006

5. Gubernur Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) 2003-2004

6. Koordinator Wilayah I NAD-SUMUT Ikatan Senat Mahasiswa Hukum se-Indonesia (ISMAHI) 2003-2006


(9)

7. Wakil Ketua Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum Kosgoro 1957 Kota Binjai 2006-sekarang

8. Staf Advokasi Barisan Muda Kosgoro 1957 Kota Binjai 2006-sekarang

9. Sekretaris Umum Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2007-2008

9. Riwayat Keluarga

Nama Bapak : H.T.Jafar Kari (Alm) Nama Ibu : Hj. Rosmawati (Almh) Nama Saudara : 1. Cut Julina, SH


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

BAB I : PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah……….. 7

C. Tujuan Penelitian ……….. 8

D. Manfaat Penelitian ……… 8

E. Keaslian Penelitian ……… 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ……… 10

G. Metode Penelitian ……… 49

BAB II: PENGAWASAN BAGI NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGASNYA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 ... 53

A. Sejarah Pengawasan Notaris Pra Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ... 53

B. Sejarah Pengawasan Notaris Pasca Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ... 56

BAB III: MANFAAT PENGAWASAN BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN TUGASNYA ... 65 BAB IV: PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN

MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA


(11)

UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 ... 69

A. Dewan Kehormatan Notaris ... 69

B. Majelis Pengawas Notaris ... 91

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 130


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam era globalisasi1 sekarang ini, lembaga notariat memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat pada saat masyarakat ingin mengadakan suatu perbuatan hukum misalnya, sewa menyewa, jual beli, hutang piutang dan sebagainya.

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau

unimpeachble)2

Dengan berkembangnya kehidupan perekonomian dan sosial budaya masyarakat, maka kebutuhan Notaris makin dirasakan perlu dalam kehidupan masyarakat, oleh karena itu kedudukan Notaris dianggap sesuai sebagai suatu fungsionaris dalam

1

Pengertian Globalisasi secara lengkap dan akurat tidak mudah untuk diartikan, banyak para ahli yang sudah mencoba melakukan/membuat suatu pengertian akan tetapi tidak selalu memuaskan. Menurut Ida Susanti Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia

Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hal 2.

Globalisasi berasal dari kata “globe” yang bermakna “dunia” dan “sasi” yang menggambarkan proses perkembangan sesuatu kearah terjadinya sesuatu yang bersifat global atau mengarah ke arah terciptanya atau terjadinya sesuatu yang bersifat mendunia, proses atau perkembangan atas sesuatu objek atau fenomena kehidupan yang semula bersifat lokal atau regional dengan kata itu digambarkan sudah mencapai sesuatu yang sifatnya global. Menurut W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa

Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, berada dalam situasi perubahan dari segala aspek kehidupan seperti

ekonomi, sosial budaya, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan sebagainya.

2

Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar BaruVan Hoeve, Jakarta, 2000, hal 162.


(13)

masyarakat, pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasehat yang boleh diandalkan, pejabat yang dapat membuat suatu dokumen menjadi kuat sehingga dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti dalam proses hukum.

Lembaga notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya lembaga notariat ini terutama diperuntukkan bagi bangsa Belanda dan golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putera yang karena undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum perdata atau menundukkan diri pada Burgelijk Wetboek (B.W) atau umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.3

Fungsi dan peranan Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini semakin luas dan berkembang, hal ini disebabkan karena kepastian hukum dari pelayanan dan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris semakin dirasakan oleh masyarakat, oleh karena itu pemerintah dan masyarakat khususnya sangat mempunyai harapan kepada Notaris agar jasa yang diberikan oleh Notaris benar-benar memiliki citra nilai yang tinggi serta bobot yang benar-benar dapat diandalkan dalam peningkatan perkembangan hukum nasional.

Hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom masyarakat sehingga hukum perlu dibangun secara terencana agar hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, seimbang, selaras dan

3

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 1


(14)

pada gilirannya kehidupan hukum mencerminkan keadilan, kemanfaatan sosial dan kepastian hukum. 4

Dengan adanya tuntutan fungsi dan peranan Notaris maka diperlukan Notaris yang berkualitas baik kualitas ilmu, amal, iman, maupun taqwa serta menjunjung tinggi keluhuran martabat Notaris dalam memberikan pelayanan jasa hukum bagi masyarakat. Untuk itu Notaris harus mampu memberikan pelayanan yang baik atau profesional karena jasa Notaris dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Apabila seorang Notaris tidak mampu untuk memberikan pelayanan yang baik atau tidak professional, maka akan terdapat banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat hukum dari kesalahaan atau kelalaian yang telah diperbuat oleh Notaris.

Selain itu Notaris juga harus mampu untuk memberikan informasi yang jelas bagi masyarakat, agar Notaris dapat menghindarkan klaim atas informasi yang menyesatkan (misrepresentation) dari awal berkontrak yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Notaris supaya jangan terjadi mislei’ding. Notaris bertanggung jawab memastikan info yang didapat satu pihak bukan merupakan sesuatu deskripsi yang misrepresentation supaya jangan terjadi kontrak dalam perjanjian yang

mislei’ding (menyesatkan).

Seiring dengan pentingnya Notaris dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik yang digunakan sebagai alat bukti, maka Notaris mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang

4

Liliana Tedjosaputro. Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Biagraf Pubslishing, Yogyakarta, 1994, hal 4


(15)

membuat akta otentik dan sekaligus Notaris merupakan perpanjangan tangan pemerintah.

Pasar 1 butir 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut Undang-undang Jabatan Notaris), menyebutkan bahwa :Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 5

Notaris dikatakan pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dalam Pasal 1868 K.U.H Perdata yang menyatakan bahwa Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang dibuat oleh atau dihadapakan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu. Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Pejabat Umum itu, oleh karena itu di dalam Pasal 1 UUJN diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik adalah Notaris, sepanjang tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta otentik adalah Hakim, Pegawai Catatan Sipil dan sebagainya. 6 yaitu undang-undang Jabatan Notaris yang berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004 telah dijadikan dasar acuan oleh Notaris dalam

5

Bandingkan dengan Peraturan Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut PJN) menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain (Dikutip dari G.H.S Lumbantobing dalam bukunya

Peraruran Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992, hal 31)

6


(16)

pelaksanaan tugas dan jabatannya sehingga Notaris terkait dengan hak dan kewajibannya atau tugas yang diembannya.

Peraturan yang berlaku bagi Notaris yaitu Undang-undang Jabatan Notaris memberikan jaminan kepada masyarakat bahwasannya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya benar-benar untuk kepentingan masyarakat dan sebagai pejabat umum yang harus bertanggung jawab terhadap pembuatan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris.

Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus selalu dilandasi pada suatu integritas dan kejujuran yang tinggi dari pihak Notaris sendiri karena hasil pekerjaanya yang berupa akta-akta maupun pemeliharaan protokol-protokol sangat penting dalam penerapan hukum pembuktian, yatiu sebagai alat bukti otentik yang dapat menyangkut kepentingan bagi pencari keadilan baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan suatu usaha, maka pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus didukung oleh suatu itikad moral yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai konsekwensi yang logis maka seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris pada masyarakat, haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenanganya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan.

Oleh karenanya yang menjadi tugas pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang


(17)

bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Dengan demikian, perlu adanya mekanisme pengawasan yang terus menerus terhadap Notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya, baik yang bersifat preventif dan kuratif terhadap pelaksanaan tugas Notaris. Mekanisme tersebut dijalankan atas dasar Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.7

Oleh karena itu disepakatilah untuk membuat suatu undang-undang yang baru yang mana undang-undang tersebut akan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari Notaris itu sendiri terutama dalam hal pengaturan pengawasan terhadap Notaris, dan hal itu kemudian terwujud dengan terbentuknya suatu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 6 Oktober 2004.

Dengan terbentuknya Undang-undang Jabatan Notaris, maka yang menjadi pengawas untuk mengawasi segala tugas dan jabatan Notaris diatur dalam Pasal 67

7

Bandingkan dengan Pasal 1 butir 8 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01 H. T 03-01 Tahun 2003 tentang Kenotariatan (untuk selanjutnya disebut Kep Men Keh & HAM Nomoe M-01 H.T. Tahun 2003) yang tata caranya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, menyebutkan bahwa Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan


(18)

yang mana pengawasan dilakukan oleh Menteri dan dalam melaksanakan pengawasan tersebut menteri membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari 9 (sembilan) orang, yaitu :

1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang

2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang 3. Ahli/akademis sebanyak 3 (tiga) orang

Majelis Pengawas sebagaimana yang dimaksud di atas terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat, yang hal ini masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda.

Dengan adanya suatu pembentukan lembaga pengawasan yang baru dalam bidang kenotarisan maka dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang pengawasan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sehari-hari dan melakukan perbandingan terhadap pengawasan yang terdahulu dengan pengawasan yang sekarang telah dibentuk.

Oleh karenanya Penulis akan menuangkannya dalam bentuk sebuah tesis yang berjudul “PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004”.


(19)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimanakah pengawas melakukan Pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris?

2. Apakah manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya?

3. Bagaimanakah perbandingan peranan Dewan kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengawas melakukan Pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2. Untuk mengetahui manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya 3. Untuk mengetahui tentang perbandingan peranan Dewan kehormatan dengan

Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 .


(20)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan khususnya pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi Pemerintah yang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris untuk mengawasi Notaris dalam menjalankan jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku

2. Notaris

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi Notaris untuk mengkoreksi diri atas berbagai kekurangan yang dilakukan selama ini sehingga dalam pembuatan akta Notaris pada masa-masa mendatang lebih berhati-hati, cermat dan teliti serta jujur dan bertanggung jawab.


(21)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan yang nantinya akan memangku jabatan sebagai seorang Notaris agar di dalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih bertanggung jawab dan jujur serta memegang teguh pada peraturan yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara. Penelitian dengan judul : PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul penelitian diatas sebelumnya. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan , yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu , maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum . Dengan itu harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada


(22)

unsur hukum . Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan , isu kebijakan maupun nara sumber penting lainnya . Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya .

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian , membuat beberapa pemikiran , ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan . Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya .

Adapun teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah mazhab sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika , tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis , sebenarnya akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode functioneel.

Haruslah kita bedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum . Keruwetan yang selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound .

Dasar fundamental mazhab ini ialah bahwa kita tak dapat memahami sesuatu hal bila tidak tidak kita ketahui apa kerjanya . Barangkali usaha untuk mempelajari lebih


(23)

dalam methode judicial inilah yang menyebabkan banyak penulis berusaha untuk memperluas batas-batas ilmu pengetahuan hukum . Umumnya pada waktu ini diinsyafi bahwa proses judicial tidak dapat memberi jawaban terhadap masalah-masalah yang konkrit dengan tepat sekali seperti halnya dengan mesin hitung.

Bagi Pound hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan , dan menjamin pemuasan kebutuhan-kebutuhan maksimal dengan pengorbanan minimal . Berulang-ulang Pound menggunakan analogi social engineering. Hasil pekerjaan Pound benar-benar seimbang ternyata dari toleransi dan skeptisme tajam yang terdapat di dalamnya . Terhadap mereka yang menyukai pertentangan-pertentangan itu tidak ada manfaatnya , karena dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat banyak sekali bagian-bagiannya .

A. Gambaran Umum Tentang Notaris 1. Pengertian Notaris

Lembaga Notariat di Indonesia telah berumur ± 145 tahun sejak berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga Notariat bukan lembaga yang baru dalam kalangan masyarakat.

Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan


(24)

oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. 8

Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, ialah nama yang pada zaman romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama

Notaris lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada

abad ke-dua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan dengan tulisan cepat. 9

Menurut sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat Negara/Pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapaianya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan.

Pengertian Notaris dapat dilihat dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa :“ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang ini”.10

Berdasarkan pengertian diatas, Notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik, namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri.

8

G.H.S Lumban Tobing Op. Cit. hal 3-4

9

R. Sugondo Notodiserojo, Op. Cit. hal 13

10

Sedangkan pengertian Notaris menurut pasal 1 PJN, menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang satu satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan suatu peraturan umumnya tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain


(25)

Menurut Hoge Raad (arrest tanggal 30 Januari 1911, W.p.n.r1949; tanggal 25 Oktober 1915, N.J. 1915, 1205; 6 Desember 1920; N.J, 1921, 121) menyatakan bahwa pegawai negeri adalah mereka yang diangkat oleh penguasa yang berhak untuk kepentingan atau kegunaan dari setiap orang atau mereka yang bekerja pada badan publik, misalnya Negara, Propinsi atau Kotapraja yang mewakili badan itu di dalam menjalankan tugasnya dan menjalankan kekuasaan yang ada pada badan itu.11

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa secara administratif, Notaris memang memiliki hubungan dengan negara dalam hal ini, yaitu pemerintahan misalnya yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Notaris.12

Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang Jabatan Notaris, yakni :

a. Warga Negara Indonesia

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. Berumur paling sedikit 27 tahun

d. Sehat jasmani dan rohani

e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawa Notaris dalam waktu 12 bulan berguru-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan

11

Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 4.16 II Tanggal 3 September 2004, hal 37

12

Berdasarkan ketentuan pasal; 2 JPN, jabatan Notaris dijalankan oleh :

1. Orang yang khusus diangkat untuk itu


(26)

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, Advokat, atau tiak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 13

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu: 1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah

didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettlelijke ” dan ”niet wettelijke”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat

2. Notariat profesionel, dala kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.

14

Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia merupakan Notaris fungsional atau Notaris professional adalah :

ta

ereka yang diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara.

a. Bahwa akta yang dibuat dihadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang berkeberatan dengan ak tersebut maka pihak yang berkeberatan, berkewajiban untuk membuktikannya. b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasya dari Negara dalam bentuk delegasi

dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada m

13

Sedangkan menurut Pasal 13 PJN, syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris, yaitu

1. Berkewenegaraan Indonesia

2. telah mencapai umur 25 tahun

3. Membuktikan kelakuan baik, sedapat mungkin selama 4 tahun terakhir, yang dinyatakan

dengan suatu keterangan yagn diberikan oleh Kepala Pemerintah Setempat, dimana ia selama waktu itu mempunyai tempat tinggal yang tetap.

4. telah memiliki ijazah bagian III Ujian Negara atau lulusan pendidikan notariat pada suatu universitas negeri.

14


(27)

c. Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement

op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli disebutkan bahwa “ambt” adalah “jabatan”.15

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Menurut Wawan Setiawan 16, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang Notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :

1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan-ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.17

2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya.

15

Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 2,14,II, Tanggal 3 Juli 2004, hal 20

16

Sumber : Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal 23

17


(28)

2. Tugas dan Wewenang Notaris

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum yang diangkat oleh negara mempunyai tugas yang berat, yaitu memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat guna tercapainya kepastian hukum.

Dalam PJN dan K.U.H Perdata umumnya diatur ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan jabatan Notaris. Pelayanan jabatan Notaris maksudnya adalah untuk membebaskan anggota masyarakat dari penipuan dan kepada orang-orang tertentu memberikan kepastian terhadap hilangnya hak-hak mereka, sehingga untuk kepentingan tersebut diperlukan tindakan-tindakan preventif yang khusus, antara lain juga mempertahankan kedudukan akta-akta otentik khususnya akta-akta Notaris.18

Menurut Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.19

18

Muhammad Adam, Asal Usul Dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung, 1985, hal 45

19

Bandingkan dengan pasal 1 PJN Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik


(29)

Notaris selain untuk membuat akta-akta otentik juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legaliseren) 20 surat-surat/akta-akta yang dibuat dibawah tangan serta memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang terutama isi dari akta yang dibuat di hadapan Notaris.

Tugas utama Notaris adalah membuat dokumen-dokumen hukum yang dikenal dengan akta otentik, dan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHAP), akta otentik sebagai produk Notaris dikategorikan sebagai alat bukti surat.

Pada dasarnya akta yang dibuat oleh maupun di hadapan Notaris adalah atas dasar permintaan Undang-undang dan demi kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan jasa Notaris. Berdasarkan atas dua kepentingan di atas, dapat dikatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugasnya mengemban amanat yang berasal dari 2 (dua) sumber yaitu :

1. Anggota masyarakat yang menjadi klien Notaris

2. Perintah dari peraturan perundang-undangan kepada Notaris agar perbuatan hukum tertentu dituangkan dan dinyatakan dengan suatu akta otentik.

20

Waarmerking terdapat dalam Ordonansi tanggal 17 Januari 1916, Stb 1916 No. 46 juncto 43, yakni Waarmerking Van Onderhandse Akten Enz yang diatur dalam ordonansi tersebut adalah kalimat legalisasi dicantumkan dan cap ibu jari dalam akta dibawah tangan, sedangkan rumusan oleh Para Notaris dan pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Pasal 1 yang dicantumkan pada kaki akta : pada kata legalisasi Notaris mempunyai tanggung jawab terhadap akta tersebut yakni menjamin tanda tangan yang dibubuhkan di akta tersebut yang dilakukan di hadapan Notaris yang bersangkutan sedangkan pada akta waarmeking Notaris tidak dilakukan di hadapan Notaris yang bersangkutan tersebut karena hanya sebatas bahwa akta tersebut telah didaftarkan di kantor Notaris dimana akta tersebut didaftarkan.


(30)

Berdasarkan hal tersebut dapatlah diketahui bahwa Notaris diangkat oleh pemeritnah bukan hanya sekedar untuk kepentingan diri sendiri akan tetapi bertugas untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Selain itu, Notaris juga mempunyai wewenang yang meliputi 4 hal, 21 yaitu : a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu

b. Notaris harus berwenang sepanjang orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Sedangkan pada pasal 15 ayat (2) menyebutkan kewenangan Notaris yang lain, yakni :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau

g. Membuat akta risalah lelang. 3. Daerah Jabatan Notaris

21


(31)

Daerah jabatan Notaris adalah daerah kerja Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik.

Setiap Notaris harus ditentukan daerah jabatannya, hal ini bertujuan supaya Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang membutuhkan pelayanan Notaris dapat lebih mudah untuk menjumpai Notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang maupun pada waktu malam hari, dan disamping itu untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris.

Berdasarkan Pasal 18,19 dan 20 Undang-undang Jabatan Notaris, ruang lingkup kerja Notaris, yaitu :

1. Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota

2. Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya

Pasal 19, berbunyi sebagai berikut :

1. Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. 2. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat

kedudukannya.


(32)

1. Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidak berpihakan dalam menjalankan jabatannya.

2. Bentuk perserikatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengenai tempat daerah kerja Notaris dapat dilihat dalam surat pegangkatannya yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam penentuan daerah jabatan Notaris bertujuan agar Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga untuk kepentingan masyarakat umum, agar Notaris mudah ditemui oleh orang-orang yang membutuhkan bantuannya dan disamping itu untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris.

Dalam pasal 17 butir a Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya.22 Apabila Notaris membuat akta diluar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai akta dibawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu ”Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak.”

22

Bandingkan Pasal 9 PJN, menyebutkan bahwa Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya.


(33)

4. Akta Notaris a. Pengertian Akta

Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti.23 Ditinjau dari cara pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bahagian yakni Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan.

Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut atau berdasar pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik24

Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum, sedangkan pengertian akta otentik diuraikan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu diperbuat.

Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu :

23

M.U Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997, hal 3

24

Trimoelja D. Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juni 2003.


(34)

1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris

Akta jenis ini biasanya diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan, akte berita acara penarikan undian.

Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, ata apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een)

Notaris akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya. 25

Dalam pembuatan akta, PJN telah menentukan bahwa akta harus dibuat antara lain dihadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai pembacaan oleh Notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani.26

Selain itu di dalam akta perlu juga diperhatikan 2 unsur, yaitu : unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum dari akta adalah unsur yang harus termuat dalam semua dan setiap akta pada umumnya. Setiap akta otentik misalnya harus mencantumkan nama dan tempat kedudukan dari pejabat dihadapan siapa akta itu diperbuat. Apabila hal itu tidak dicantumkan maka akta itu kehilangan sifat otentiknya. Sedangkan unsur khusus adalah unsur yang secara khusus harus terkandung dalam akta tertentu, akan tetapi keberadaanya itu bukan meruapakn keharusan dalam akta lainnya. 27

Ditinjau dari cara penyimpananya, maka otentik dapat dibedakan atas 2 jenis28 yaitu :

25

M.U Sembiring, Op. Cit, hal 6-7

26

Tan Thong Kie Op.Cit hal 155

27

M.U Sembiring, Op. Cit hal 1-2

28


(35)

1. Akta yang aslinya atau orisinalnya disimpan oleh Notaris dinamakan akta minut,

2. akta yang aslinya atau orisinalnya diserahkan kepada penghadap yang meminta akta diperbuat, dinamakan akta yang dikeluarkan original.

Berdasarkan Pasal 1 butir 7 Undang-undang Jabatan Notaris, akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena undang-undang dan peraturan Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang membuat akta tersebut.

Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni :

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijracht);

Dengan kekuatan pembuktian lahirian ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Sepanjang mengenai kekuatan ini, yang merupakan pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama.

2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam


(36)

menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya.

3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari notaris yang dicantumkan di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan prevue preconcstitue, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata, antara pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengeculian dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu. 29

b. Bentuk-Bentuk Akta

Menurut Undang-undang Jabatan Notaris,30 bentuk-bentuk akta terdapat dalam beberapa pasal, yakni :

29

G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit. hal 55-59

30

Dalam PJN adapula pasal-pasal yang terkait dalam penentuan bentuk-bentuk dari akta Notaris yakni :

a. Pasal 26 PJN, menyatakan bahwa akta Notaris harus ditulis dengan dapat dibaca, dalam hubungan

satu sama lain yang tidak terputus, tanpa kependekan-kependekan, ruangan-ruangan kosong atau sela-sela kosong, terkecuali untuk beberapa macam akta terdapat contoh-contoh yang dicetak berdasarkan ketentuan dari pihak yang berwajib, ruangan-ruangan kosong dalam badan akta yang terpaksa ditulisi, harus digaris dengan jelas dengan tinta sebelum akta ditutup, agar tidak dapat dipergunakan lagi, semua angka-angka yang menentukan jumlah atau besarnya benda yang disebutkan dalam akta, demikian juga tanggal-tanggal harus dinyatakan dalam huruf-huruf tulisan, akan tetapi dapat diulagi atau didahului dengan angka-angka.

b. Pasal 27, menyatakan bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa yang dikehendaki oleh para pihak,

asal saja dimengerti oleh Notaris.

c. Pasal 32, menyatakan bahwa semua perubahan dan tambahan harus ditulis di sisi akta, akan tetapi

hal itu hanya sah, apabila itu tersendiri-tersendiri ditanda tangnai atau disahkan oleh para penghdap yang menanda tangani akta itu, oleh Notaris dan para saksi. Jika suatu peruhahan atau tambahan terlalu panjang untuk ditulis di sisi akta, hal tersebut ditulis pada akhir kata, akan tetapi sebelum penutup akta, asal saja ditunjuk halaman dan baris dimana itu termasuk, dengan ancaman batal setiap perubahan atau tambahan yang dilakukan dengan cara lain atau tanpa penunjukan.


(37)

a. Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan.

b. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditanda tangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka.

2. Pasal 43, berbunyi sebagai berikut : a. Akta dibuat dalam bahasa Indonesia

b. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu Notaris wajib menerjemahkan oleh penghadap

c. Apabila Notaris tidak dapat menterjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.

d. Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.

d. Pasal 33, menyatkaan, bahwa tidak dibenarkan dalam suatu akta atau perubahan dan tambahan

yang tertulis di sisia tau pada sebelum penutup akta menulis tindih, menyisipkan atau menambah kata-kata atau huruf-huruf atau dengan cara lain mencoret atau menghapus dan menggantinya dengan yang lain, dengan ancaman batal kata-kata atau huruf-huruf yang ditulis sebagai gantinya dan yang disisipkan atau ditambahkan.


(38)

e. Dalam hal akta dibuat sebagaimana yang dimaksud pada ayat d, Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

3. Pasal 44, berbunyi sebagai berikut :

a. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

b. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat a dinyatakan secara tegas dalam akta.

c. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat c ditandatangani oleh penghadap, saksi, Notaris dan penerjemah resmi.

d. Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan dan penanda tanganan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat a dan ayat c dan pasal 43 ayat b, ayat c dan ayat e dinyatakan secara tegas pada akhir akta.

c. Bagian-Bagian Akta

Akta Notaris mempunyai bagian-bagian atau kerangka akta yang terdiri dari : 1. Judul akta

2. Keterangan-keterangan dari Notaris mengenai para penghadap atau atas permintaan siapa dibuat berita acara atau lazim dinamakan “komparisi”

3. Keterangan-keterangan pendahuluan dari para penghadap (jika ada) atau lazim dinamakan “premisse”


(39)

4. Isi akta itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Penutup dari akta yang biasanya didahului oleh perkataan-perkataan : Maka akta ini dan seterusnya atau “Akta ini dibuat” dan seterusnya 31

Ditinjau dari segi anatomi akta, 32 akta Notaris dibagi dalam tiga bagian yakni:

a. Kepala akta b. Badan akta c. Kaki akta

Ad.a. Kepala akta ialah bagian pembukaan atau bagian depan dari satu akta yang memuat hal-hal yang perlu bagi memenuhi syarat-syarat formal dari satu akta akan tetapi belum menyentuh isi akta. Kepala akta terdiri dari lima bagian yakni :

1. Judul akta 2. Nomor akta 3. Tanggal akta 4. Komparisi akta 5. Premisse akta

Ad.b. Badan akta ialah bahagian dari akta yang memuat hal-hal yang merupakan isi akta berupa pernyatan atau perjanjian yang diperbuat oleh para pihak yang meminta itu diperbuat. Dengan perkataan lain badan akta adalah identik dengan isi akta.

31

G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit, hal 215

32


(40)

Ad.c. Kaki akta adalah bahagian paling akhir kata yang dalam praktek notariat memuat :

1. Tempat dimana akta tersebut diperbuat

2. Nama-nama pekerjaan dan tempat tinggal para saksi instrumentair33

3. Nama-nama, pekerjaan dan tempat tinggal para saksi attesteren (saksi yang memperkenalkan) jikalau dalam kasus bersangkutan para penghadap memang diperkenalkan oleh saksi attasteren34

4. Disebutkan pula bahwa akta tersebut telah dibacakan kepada para penghadap dan saksi .

5. Seandainya salah seorang atau semua penghadap tidak memahami dengan baik bahasa yang dipergunakan dalam akta tersebut dan karena itu harus diterjemahkan kepada yang bersangkutan oleh Notaris itu sendiri atau oleh orang lain maka dilakukannya penterjemahan serta nama yang menterjemahkan itu harus pula dinyatakan dalam akta tersebut.

6. Harus pula disebutkan dalam kaki akta bahwa “Segera setelah akta dibacakan maka seketika itu juga akta ditandatangani oleh para penghadap saksi-saksi dan Notaris.

Dalam Pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa setiap akta Notaris terdiri atas :

33

Saksi instrumentair adalah orang yang memberikan kesksian tentang apa yang ia saksikan yakni yang dialaminya, didengarnya dan dilihatnya baik berupa tindakan atau perbuatan maupun berupa keadaan atau kejadian.

34


(41)

a. Awal akta atau kepala akta memuat : 1. Judul akta

2. Nomor akta

3. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun

4. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris b. Badan akta memuat :

1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili

2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap

3. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan

4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

c. Akhir atau penutup akta memuat :

1. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf 1 atau Pasal 16 ayat 7

2. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahaan akta apabila ada

3. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta


(42)

4. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

5. Sumpah Jabatan Notaris

Sudah menjadi suatu azas hukum publik (publiekrechtelijk beginsel) bahwa seorang pejabat umum harus terlebih dahulu mengangkat sumpah agar ia dapat menjalankan jabatannya dengan sah.35

Demikian juga halnya dengan Notaris bahwa sebelum melaksanakan tugas dan jabatannya berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut :

”Saya bersumpah/berjanji :

- Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. - Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama,

mandiri dan tidak berpihak.

- Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.

35


(43)

- Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.

- Bahwa saya dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.36

Sumpah jabatan Notaris ini dapat dibagi dalam dua bagian, yakni yang dinamakan

”belovende eed, dan zuiveringseed. Dalam bagian yang disebut pertama Notaris

bersumpah akan patuh setia kepada Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Dasarnya serta menghormati semua pembesar-pembesar hakim pengadilan dan pembesar-pembesar lainnya. Bagian sumpah ini juga dinamakan ”politieke eed”. Di dalam bagian kedua Notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan jabatan Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan itu, bagian sumpah ini dinamakan ”beroepseed” (sumpah jabatan). 37

Setelah pengucapan sumpah jabatan. Notaris maka Notaris yang telah diambil sumpahnya di hadapan instansi yang terkait maka Notaris tersebut telah berwenang

36

Sedangkan menurut Pasal 17 PJN, bahwa Notaris terlebih dahulu harus disumpah dan pengucapannya harus dihadapan Kepala Pemerintahan dari daerah atau kabupaten, dimana terletak tempat kedudukan mereka, sumpah (janji dan keterangan) dari Notaris yang berbunyi sebagai berikut :

“Saya bersumpah (berjanji) :

- Bahwa saya akan patuh setia kepada Negara Repulik Indonesia dan Undang-Undang

Dasarnya.

- Bahwa saya akan menghormati semua pembesar hakim Pengadilan dan

pembesar-pembesar lainnya.

- Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan jujur, saksama dan tidak berpihak

- Bahwa saya akan menepati dengan seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan bagi jabatan

Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan

- Bahwa saya akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan

ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tadi

- Bahwa saya untuk mendapatkan pengangaktan saya langsung atau tidak langsung dengan

nama atau kilah apapun juga, tidak pernah telah memberikan atau menjanjikan sesuatupun, tidak akan memberikan atau menjanjikannya kepada siapan juga.

37


(44)

untuk melaksanakan tugas dan jabatannya terutama untuk membuat akta Notaris. Terhadap ketentuan di atas berlaku pula bagi Notaris pengganti.

Apabila Notaris yang telah melaksanakan tugas dan jabatannya sebelum mengucapkan sumpah jabatan, berdasarkan Pasal 18 PJN maka kepadanya akan dikenakan denda Rp. 100,- sampai Rp. 300,- dengan tidak mengurangi kewajiban mereka untuk membayar biaya, ganti kerugian dan bunga.38

Setelah pengucapan sumpah jabatan dilakukan oleh Notaris, maka Pemerintah39 akan membuat suatu Berita Acara Penyumpahan Notaris yang ditandatangani oleh Notaris itu sendiri dan yang mengangkat sumpah serta oleh dua orang saksi.

Pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.

6. Kode Etik Notaris

Etika berasal dari kata ”ethos” sebuah kata dari Yunani, yang diartikan identik dengan moral atau moralitas. 40 Istilah ini dijadikan sebagai pedoman atau ukuran bagi tindakan manusia dengan penilaian baik atau buruk dan benar atau salah.

Etika melibatkan analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk menentukan suatu nilai benar dan salah dari segi kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu istilah

38

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tidak ada mengatur tentang sanksi apabila Notaris yang telah melaksanakan tugas dan jabatannya sebelum mengucapkan sumpah jabatan.

39

Pemerintah dalam hal ini adalah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM

40


(45)

etika sering juga diartikan dengan tata krama, sopan santun, pedoman moral, dan norma susila.

Etika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan norma moral yang mengatur perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dan institusi di dalam masyarakat. Oleh karena itu etika merupakan ilmu yang memberikan pedoman norma tentang bagaimana hidup manusia diatur secara harmonis, agar tercapai keselarasan dan keserasian dalam kehidupan baik antar sesama manusia maupun antar manusia dengan lingkungannya, juga mengatur tata hubungan antara institusi di dalam masyarakat dengan institusi lain dalam sistem masyarakat dan environment (lingkungannya)41

Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dipergunakannya etika dalam pergaulan antar masyarakat pada hakikatnya agar tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi dan saling menguntungkan.

Oleh karena itu, Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik oleh Notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasar keputusan Kongres

41


(46)

Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.42

Hardjo Gunawan43 berpendapat bahwa ada beberapa alasan diperlukannya kode etik profesi, yaitu :

1. Kode etik profesi dipakai sebagai sarana kontrol sosial

2. Kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan dari luar terhadap intern perilaku anggota-anggota kelompok profesi tersebut, karena nilai-nilai etika;

3. Kode etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang tinggi dari para anggota kelompok profesi tersebut yakni meningkatkan tingkat profesioanlismenya guna peningkatan mutu pelayanan yang baik dan bermutu kepada masyarakat umum yang membutuhkan jasa pelayanan mereka.

Berdasarkan Pasal 3 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005, menyebutkan : bahwa dalam melaksanakan tugas jabatan Notaris berkewajiban untuk:

1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik

42

Sebagai perbandingan lihat hasil rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya, Kode Etik Notaris adalah suatu sikap seorang Notaris yang merupakan suatu kepribadian yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan

43


(47)

2. Menghormati dan menjungjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan

4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimilik tidak terbatas pada ilmu

pengetahuan hukum dan kenotariatan

6. Mengutamakan pengabdian kepada masyarakat dan Negara

7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotariatan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium

8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.

9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :

a. Nama lengkap dan gelar yang sah

b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris

c. Tempat kedudukan

d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax;dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas


(48)

dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.

10.Hadir, mengikuti dan berpartisiapsi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.

11.Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib

12.Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia

13.Melaksankaan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan

14.Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penadantanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah

15.Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi. 16.Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan

status ekonomi dan/atau status sosialnya.

17.Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :


(49)

a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

c. Isi sumpah jabatan Notaris

d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.44

44

Bandingkan dengan Pasal 3 Kode Etik (Kongres I.NI ke -17 Tahun 1999), baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi Notaris, Wakil Notaris Sementara serta Notaris Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia diwajibkan untuk :

a. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Notaris.

b. Senantiasa menjunjung tinggi dasar Negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai

dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar.

c. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara

d. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional,

khususnya di bidang hukum

e. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak

f. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya

g. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan

maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan anggota masyarakat.

h. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara

Cuma-Cuma

i. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan

dan sesama rekan sejawat.

j. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps Notaris atas dasar rasa solidaritas

dan sikap tolong menolong secara konstruktif

k. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan

pelaksanaan tugas dan jabatannya

l. Menetapkan sutu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris

yang bersangkutan dalam melaksankaan tugas dan jabatan sehari-hari

Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebaai kewajiban untuk ditatati dan dilaksanakna, antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam :

1. Peraturan jabatan Notaris

2. Isi sumpah Jabatan

3. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah

ditetpakan oleh Perkumpulan Notaris Indonesia, misalnya : membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang Notaris atau mantan Notaris meninggal dunia, mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan.


(50)

Dengan adanya Kode Etik dalam kalangan Notaris, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu perlu dilakukan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Kode Etik dalam kongres Luar Biasa INI Tahun 2005, yaitu :

a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah

b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah

c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.45

Berdasarkan Pasal 9 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005, dalam rangka penegakan Kode Etik dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam hal :

1. Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.

45

Bandingkan dengan pasal 7 Kode Etik Kongres I.N.I Ke-17 Tahun 1999, pengawasan dilakukan dengan cara , yaitu :

a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris dan Majelis Kehormatan Daerah

b. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis Kehormatan


(51)

2. Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.

3. Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode Etik serta penjatuhan saksi terhadap pelanggarannya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangan dari pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal ini

4. Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang itu maupun dalam sidang lainnya sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambat-lambatnya 15 (limabelas) hari kerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah di mana Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaanya

5. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya


(52)

6. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali lagi dengan jarak waktu 7 (tujuh) hari keja untuk setiap panggilan.

7. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah panggilan ke tiga ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis berlaku ketentuan dalam ayat 5, 6, dan 9 .

8. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (Schorsing) atau pemecatan (onzeting) dari keanggotaan Perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya. 9. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan

Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah.

10.Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan


(53)

Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan. Dewan kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya.

Terhadap hal tersebut di atas, berdasarkan Pasal 6 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005 maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :

a. Teguran b. Peringatan

c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan d. Onzelling (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan atau

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.

B. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan. 1. Pengertian Pengawasan

Dalam setiap organisasi terutama dalam organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh


(54)

daerah-daerah dan oleh pemerintah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna46

Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam bahasa Inggris disebut “controlling”. Dalam bahasa Indonesia, fungsi controlling itu mempunyai 2 (dua) padanan, yaitu pengawasan dan pengendalian.

Pengawasan dalam hal ini adalah pengawasan dalam arti sempit, yaitu Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sedangkan pengendalian pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya. 47

Pengertian dasar dari pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.48

Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.49

Pasal 2 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari :

a. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

46

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan Di

Daerah, Sinar Grafika, 1993, hal 233

47

Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Sinar Grafika, 1987, hal 53

48

Ibid, hal 63

49


(55)

b. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawasan. 2. Manfaat Pengawasan

Dari beberapa pengertian tentang pengawasan yang telah disebut di atas maka jelaslah bahwa manfaat pengawasan secara umum adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang obyek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.

Jika dikaitkan dengan masalah penyimpangan, manfaat pengawasan adalah untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadinya penyimpangan, dan bila terjadi perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan tersebut. 50

Selain itu, pengawasan berfungsi pula sebagai bahan baku untuk melakukan perbaikan-perbaikan di waktu yang akan datang, setelah pekerjaan suatu kegiatan dilakukan pengawasan oleh pengawas.

3. Norma dan Etika Pengawasan a. Norma Pengawasan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata norma dijelaskan sebagai “ukuran (untuk menentukan sesuatu), urgeren51 kata “norma” berasal dari Bahasa Belanda, norm yang oleh wojowasito diberi arti sebagai norma aturan, ukuran nilai. 52 Jadi norma pengawasan adalah patokan, kaidah atau ukuran yang ditetapkan oleh pihak

50

Sujamto, Op. Cit, hal 64

51

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal

52

S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1978, hal 428


(56)

yang berwenang yang harus diikuti dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan agar dicapai mutu pengawasan yang dikehendaki.53

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 116 Tahun 1981 tentang Pedoman Pengawasan Umum di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, Norma Umum Pengawasan adalah :

1. Pengawasan tidak mencari-cari kesalahan, yaitu tidak mengutamakan mencari siapa yang salah tetapi apabila ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan suaya dilaporkan sebab-sebab dan bagaimana terjadinya, serta menemukan cara bagaimana memperbaikinya.

2. Pengawasan merupakan proses yang berlanjut, yaitu dilaksanakan terus-menerus, sehingga dapat memperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan.

3. Pengawasan harus menjamin adanya kemungkinan pengambilan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan, untuk mencegah berlanjutnya kesalahan dan/atau penyimpangan.

4. Pengawasan bersifat mendidik dan dinamis, yaitu dapat menimbulkan kegairahan untuk memperbaiki, mengurangi atau meniadakan penyimpangan disamping menjadi pendorong dan perangsang untuk menertibkan dan menyempurnakan kondisi obyek pengawasan.

b. Etika Pengawasan

53


(1)

Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, dan juga juga harus diingat jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya.

Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3) BW).

Peraturan Menteri tersebut menjadi dilemma bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk senantiasa menjaga rahasia jabatan sebbagai suatu kewajiban, jika dilanggar, maka kepada Notaris yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yaitu dilakukan oleh Pengadilan Negeri namun dengan keluarnya undang-undang tersebut maka fungsi pengawasan dilakukan oleh sebuah badan yang bernama Majelis Pengawas Notaris Yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu pemerintah , ahli/ akademisi dan notaris.

2. Manfaat yang diperoleh terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Yaitu :

1. Notaris mampu untuk meningkatkan kemampuan profesioanlismenya dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

2. Notaris sedapat mungkin, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan baginya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

3. Notaris mampu berperan untuk terciptanya suatu kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya demi kepentingan masyarakat.

4. Notaris menyadari bahwa tugas yang di bebankan kepadanya adalah untuk kepentingan para pihak.

3. Perbedaan peranan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Dan Majelis Pengawas Notaris yaitu dimana pengawasan yang dilakukan oleh Dewan


(3)

Kehormatan hanya mengenai pelanggaran kode etik dan tidak menyangkut orang lain hanya notaris itu sendiri sedangkan Majelis Pengawas Notaris memiliki ruang lingkup pengawasan dalam pelanggaran yang menyangkut Undang-Undang dan pelanggaran jabatan notaris.

B. SARAN

1. Hendaknya Dewan Kehormatan diberikan kewenangan untuk dapat memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas berupa pemecatan terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik agar sanksi dan peran Dewan Kehormatan mempunyai pengaruh yang strategis dimata profesi Notaris.

2 Hendaknya unsur-unsur pada Majelis Pengawas terdiri dari;

1. Pengadilan Negeri yang telah berpuluh-puluh tahun berpengalaman membina dan mengawasi Notaris.

2. Para Werda Notaris bukan Notaris yang masih aktif menjabat, agar tidak terjadi benturan kepentingan antara Notaris yang diawasi dengan Notaris yang mengawasi.

3. Dengan adanya pengawasan yang dilaksanakan bagi Notaris, Notaris hendaknya bisa menjadi seorang pejabat umum yang profesional dalam jabatannya khususnya dalam pembuatan akta yang bersifat otentik. Dan melaksanakan tugas dan jabatannya benar-benar memperhatikan nilai luhur, martabat dan etika serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Muhammad, 1985, Asal usul dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung. Andasasmita Komar, 1981, Notaris I, Sumur Bandung.

Ali, Faried, H.M, 2004, Filsafat Administrasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Buku I, Sinar

Grafika.

Kabul, Imam, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Analisa Potensi dan Problem, Kurnia Alam, Yogyakarta.

Kie, Tan Thong, 2000, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Kohar, A, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung.

Lumbang Tobing, G.H.S 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Poedjawijatma, 1984, Etika-Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Sembiring, M.U, 1997, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Siagian, Sugiarto Dergibson, Lasmono Tri Sunaryanto dan Deny S. Oetomo, 2003, Teknik Sampling, Gramedia Pustama Utama, Jakarta.

Soegondo Notodisoerjo, R, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV, Rajawali, Jakarta.

_________________, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.


(5)

Subagio, P, Joko, Metoed Penelitian Dalam Teori dan Praktek, 1996, Rineka Cipta. Subekti, R, 1983, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta.

Sujamto, 1983, Beberapa Pengertian dibidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

________, 1987, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ________, 1989, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Susanti, Ida, 2003, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Tedjosaputro, Liliana, 1994. Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Untung, Budi H, 2001, Visi Global Notaris, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Wojowasito, 1978, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Yandianto, 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit M2S, Bandung.

Makalah :

Soerjadi, D, Trimoelja, 2003, Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT. Perundang-undangan :

Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M-01.H.T.03.01 Th. 2003 tentang Kenotarisan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(6)

Kode Etik Kongres luar Biasa 1 N I Tahun 2005

Peraturan Jabatan Notaris, Ordonantie Stablaad Nomor 3 Tahun 1860.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaanm Majelis Pengawas Notaris.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang cara Pengawasan Terhadap Notaris.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Majalah/Jurnal :

Majalah Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004 Majalah Renvoi Nomor 2.14.II Tanggal 3 Juli 2004 Majalah Renvoi Nomor 3.15.II Tanggal 3 Agustus 2004 Majalah Renvoi Nomor 4.16.II Tanggal 3 September 2004 Majalah Renvoi Nomor 9.21.II Tanggal 3 Pebruari 2004 Majalah Renvoi Nomor 10.22.II Tanggal 3 Maret 2004


Dokumen yang terkait

Perbandingan Fungsi Pengawas Notaris Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (Suatu Penelitian Di Kota Medan)

0 32 143

Perbandingan Fungsi Pengawas Notaris Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30

0 15 2

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 78 167

SKRIPSI Pelaksanaan Pengawasan Notaris Oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi: MPD Kota Surakarta).

0 0 14

PENDAHULUAN Pelaksanaan Pengawasan Notaris Oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi: MPD Kota Surakarta).

0 0 15

DAFTAR PUSTAKA Pelaksanaan Pengawasan Notaris Oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi: MPD Kota Surakarta).

0 0 4

PELAKSANAAN PENGAWASAN NOTARIS OLEH MAJELIS PENGAWAS DAERAH (MPD) BERDASARKAN Pelaksanaan Pengawasan Notaris Oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi: MPD Kota Surakarta).

0 3 39

PERANAN MAJELIS PENGAWAS TERHADAP PROFESI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2OO4 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 1 9

FUNGSI DAN KEDUDUKAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH NOTARIS SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS NOMOR 30 TAHUN 2004.

0 1 12

Pengawasan Terhadap Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 88