QUO VADIS PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELE

(1)

QUO VADIS PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS DAN KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA?

Muhammad Rizal Rachman

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Gajah Mada IV No. 18/34 Jember. Telp. 0823 3001 8989

muhammadrizalrachman@yahoo.co.id Abstrak

Dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah tidak akan lepas dari adanya sengketa yang terjadi antara dua pihak. Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah secara yuridis di-selesaikan oleh pengadilan agama. Dimana hal itu menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Pengadilan agama di Indonesia telah mengalami pasang surut kedudukan, eksistensi maupun kompetensi. Era reformasi, menjadi babak baru bagi pengadilan agama yang memiliki kedudukan yang kuat dalam penyelesaian sengketa. Berbagai perkembangan dari pengadilan agama membawa pertanyaan akan dibawa kemana arah pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah). Metodologi yang digunakan adalah metodologi dalam ilmu hukum, mengingat objek kajian adalah mengenai arah perjalanan eksistensi pengadilan agama yang dibahas secara yuridis-normatif. Dan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan konseptual. Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengadilan agama mempunyai sejarah yang panjang dalam penegakan hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Selain itu adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi telah mengukuhkan kompetensi pengadilan agama sebagai satu-satunya penyelesai sengketa ekonomi syariah. Kewenangan baru berarti juga tantangan baru bagi hakim pengadilan agama, serta pengadilan agama ditempatkan sebagai sarana akhir penyelesaian sengketa dalam kegiatan ekonomi syariah. Pada akhirnya, pengadilan agama dapat memberikan putusan yang adil bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah.

Kata kunci:Pengadilan Agama,Penyelesaian Sengketa,Ekonomi Syariah Abstract

In the Islamic financial business activities will not be loose from the dispute between the two parties. Disputes resolution in Islamic economic legally be resolved by religious courts. Where it becomes absolute competence religious courts. Religious courts in Indonesia has experienced ups and downs position, the existence and competence. Reform era, a new chapter for religious courts have a strong position in the dispute resolution. Various developments of the religious court to bring the question to be brought where the direction of the religious courts in the resolution of business disputes and Islamic finance (Islamic economics). The methodology used is the methodology of the science of law, given the object of study is about the direction of travel of the existence of religious courts are discussed in juridical-normative. And the approach used is a statutory approach, historical approach and the conceptual approach. From the results and discussion, it can be concluded that the religious courts have a long history in law enforcement dispute resolution Islamic economics. Besides the decision of the Constitutional Court has confirmed the competence of the religious courts as the only Islamic economics of dispute resolution. The new authority also means new challenges for the religious court judges, as well as religious courts placed as the final means of dispute resolution in the activities of Islamic economics. In the end, the religious court can provide a fair verdict to the parties in dispute resolution in the field of Islamic economics.

Keyword:Religious Court,Dispute Resolution,Islamic Economy


(2)

1. Pendahuluan

Pada mulanya, manusia sebelum mengenal adanya hukum adalah makhluk yang hidup secara bebas. Tidak ada sebuah aturan yang mengikat dalam setiap perbuatan yang akan dilakukannya. Masa inilah manusia mengalami keadaan yang disebut sebagai homo homini lupus (manusia memakan manusia lainnya) atau bellum omnium contra omnes. Yang oleh Thomas Hobbes dikatakan bahwa dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ (Asshiddiqie, 2009: 345). Nihil-nya hukum saat itu mengakibatkan tatanan kehidupan manusia yang kacau dan tak terkendali. Setiap manusia mempunyai kepentingannya masing-masing. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi (Mertokusumo, 2010:1). Manusia dalam hidupnya dikelilingi oleh pelbagai bahaya yang mengancam kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia ingin dilindingi berbagai kepentingannya dari bahaya yang ada. Oleh karena itulah, manusia membutuhkan bantuan manusia lainnya. Dengan adanya bantuan dan kerjasama dari manusia lain, kepentingan tersebut akan ter-lindungi dan terjamin pemenuhanya. Maka, manusia perlu membentuk suatu kelompok atau masyarakat yang didalamnya terdiri atas manusia yang bersatu dan bekerjasama saling mem-bantu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Bentuk kerjasama antar manusia itulah yang oleh Jean Jacques Rousseau disebut sebagai kontrak sosial (contract social). Kontrak sosial menentukan bahwa perjanjian atau kontrak itu berlaku bersama dengan seluruh masya-rakat yang tiap-tiap individu itu adalah anggotanya yang sederajat, sehingga suara, pikiran, dan keputusan individu dalam masyarakat itu dengan tak kecualinya. Dengan demikian, tak adalah penguasa yang diatas sekaliannya, sebab ia pun tunduk kepada perjanjian atau kontrak bersama (Rousseau, 2010: xiii).

Dapatlah dikatakan bahwa tidak ada seorang manusia yang hidup seorang diri terpencil jauh dan lepas dari kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin berdiri di luar atau tanpa masyarakat. Sebaliknya masyarakat tidak mungkin ada tanpa adanya manusia. Sudah men-jadi sifat pembawaannya bahwa manusia hanya dapat hidup dalam masyarakat. Manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia dan masyarakat merupakan pengertian yang komplementer (Mertokusumo, 2010: 3). Sehingga tidak dapat dielakkan bahwa manu-sia tidak dapat hidup menyediri untuk waktu yang lama.

Kehidupan bersama dalam satu tatanan bermasyarakat tak pelak menciptakan suatu kontak, hubungan atau interaksi antara kepentingan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Kontak tersebut dapat menimbulkan hal yang menyenangkan ataupun bahkan perten-tangan. Pertentangan kepentingan (conflict of interest) antar manusia itulah yang menyebab-kan persaingan, konflik ataupun sengketa dalam masyarakat.

Konflik atau sengketa timbul apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepen-tingannya, seseorang merugikan kepentingan atau hak orang lain. Islam mengakui dan menghormati hak-hak personal individu manusia sebagai nikmat karunia yang dianugerahkan Tuhan Allah SWT dan mengakui dan menghormati hak-hak kolektivitas sebagai hak publik dalam rangka menata kehidupan di muka bumi dengan konsep hablum minannas wahablum minallah. Islam meletakkan hak-hak individu dalam penggunaannya memberi manfaat baik bagi manusia individu maupun bagi manusia lainnya (manusia yang baik yang dapat memberi manfaat bagi manusia lainnya) (Qamar, 2013:88). Sangat jelas bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak dapat dikesampingkan (non-derogable rights).

Disinilah peran negara diuji dalam menjaga ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dalam kehidupan bermasyakat. Negara sebagai wujud perwakilan kekuasaan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat memegang tugas penting penyelesaian sengketa dalam masya-rakat Negara menurut teori Trias Politika dari Montesquieu terbagi dalam tiga bagian kekuasaan. Yaitu kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang), kekuasaan eksekutif


(3)

(melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (mengawasi semua peraturan untuk ditaat serta mengadili pelanggaran undang-undang) (Winarno, 2012: 40).

Secara normatif penyelesaian sengketa menurut hukum positif Indonesia diselesaikan melalui pengadilan (secara litigasi) maupun diluar pengadilan (secara non-litigasi). Peng-adilan selaku pelaku Kekuasaan Kehakiman menyelenggarakan perPeng-adilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yang sesuai dengan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa penyelesaian suatu sengketa dapat diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan atau non-litigasi, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase (UU No. 30 Tahun 1999).

Dalam kegiatan bisnis atau keuanganpun, hubungan atau interaksi antara kepentingan yang satu dengan kepentingan orang lain juga dapat menimbulkan sengketa. Tanpa kecuali mengenai sengketa yang timbul dalam kegiatan bisnis yang berbasis ekonomi syariah. Salah satu sengketa yang timbul antara lain kredit macet yang terjadi karena debitor tidak beritikad baik membayar utangnya kepada kreditor.

Penyelesaian sengketa niaga menurut Sistem Ekonomi Syariah juga tidak jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa pada umumnya. Penyelesaiannya yang berlandaskan hukum Islam dapat dilakukan dengan cara perdamaian (sulh/islah), melalui arbitrase (tahkim) dan melalui pengadilan (al-Qadla) (Sinaga, 2007: 171). Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah secara eksplisit diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 huruf i menyatakan bahwa “Penga-dilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: …..(i) Ekonomi Syari-ah.” Hal tersebut diperkuat juga dengan Pasal 55 ayat (1) UU N0. 21 Tahun 2008 ten-tang Perbankan Syariah. Namun, dalam ayat (2) pasal tersebut memungkinkan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah diselesaikan sesuai dengan isi akad/perjanjian. Yaitu melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas, atau melalui pengadilan umum.

Penulis memfokuskan pembahasan tentang penyelesaian sengketa dalam sistem ekono-mi syariah melalui pengadilan agama (litigasi). Dimana penyelesaian sengketa bisnis dalam pengadilan merupakan upaya terakhir (the last resort) apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil.

Melalui penulisan karya ilmiah (paper) itu, penulis bertujuan untuk mencari dan meng-gali berbagai kelebihan dan kelemahan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan agama. Serta mencari arah masa depan pengadilan agama dalam mengadili perkara ekonomi syariah. Hal ini penting, mengingat tingkat sengketa yang timbul dalam kegiatan ekonomi syariah dari waktu ke waktu semakin tinggi dan banyak. Terlebih lagi penguatan kedudukan pengadilan agama terhadap kompetensi absolut yang dimilikinya setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi bahwa pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah hanya pengadilan agama (kompetensi absolut pengadilan umum dibatalkan).


(4)

2. Metodologi

Metodologi penulisan adalah sudut pandang kita (our worldview)dari analisa/pemikir-an yanalisa/pemikir-ang dituanalisa/pemikir-angkanalisa/pemikir-an pada paper. Metodologi secara etimologis terdiri atas dua gabunganalisa/pemikir-an kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos (cara atau jalan menuju suatu jalan) dan logos (ilmu). Secara terminologis, metode menurut Rosady Ruslan adalah kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek atau subjek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya (Hamidi, 2004: 24).

Berdasarkan topik-topik yang ada, penulis mengambil topik dalam ‘Urgensi Pengem-bangan Aspek Hukum Bisnis dan Keuangan Syariah’ dengan sub-topik yang berkaitan tentang ‘Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Keuangan Syariah melalui Arbitrase maupun Pengadilan Agama’. Hal ini berarti, paper ini lebih mengarah pada metodologi penulisan yang bersifat yuridis atau hukum.

Metodologi penulisan dalam ilmu hukum sangat berbeda dengan metode penulisan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu hukum adalah sui generis artinya hukum merupakan ilmu yang mempunyai jenis sendiri (suum: sendiri, genus: sendiri) dalam arti ilmu hukum tidak dapat dikelompokkan dalam salah satu cabang dari pohon ilmu (Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora) (Poesoko, 2009: 7). Oleh sebab itu, penulis tidak meng-gunakan metodologi, baik metodologi kuantitatif maupun metodologi kualitatif. Penulis le-bih menggunakan metode penulisan secara yuridis-normatif dalam mengkaji judul dalam karya ilmiah (paper) ini.

Sementara itu, metode analisis atau pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan historis (historical appro-ach) dan pendekatan konseptual (conceptual approappro-ach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (judul). Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai sub-topik. Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Marzuki, 2014: 133-135). Pe-nelitian dalam ilmu hukum secara normatif tidak mengenal adanya data. Data hanya dija-dikan sebagai bahan hukum sekunder yang relevan dengan sub-topik atau judul yang dibahas. Dalam kajian tentang hukum, perbedaan berpikir dan bermetode menghasilkan dua ragam kajian tentang hukum, salah satunya kajian tentang hukum yang dikonsepsikan sebagai norma ajaran atau aturan-aturan. Dalam wacana metodologi penelitian hukum di Indonesia, penelitian terhadap hukum yang dikonsepsikan sebagai aturan-aturan normatif tersebut per-tama itu dibilangkan sebagai penelitian normatif. (Wignjosoebroto, 2013: 12).

Sehingga, metodologi yang digunakan dalam paper ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis-normatif dalam ilmu hukum (sesuai dengan topik tema). Dan metode analisis atau pendekatan yang digunakan untuk mengkaji tema paper adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan konseptual. Oleh karena topik yang dibahas oleh penulis mengenaiurgensi pengembangan aspek hukum bisnis dan keuangan syariah.


(5)

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Seputar Pengadilan Agama

Saat ini, kita telah mengenal pengadilan agama adalah tempat pencari keadilan bagi orang yang sama-sama beragama Islam yang bersengketa. Keberadaan pengadilan agama di Indonesia tidak terlepas dari pasang surutnya sejarah yang menyelimutinya. Pasang surut ba-ik segi penamaan, status dan kedudukan, maupun kewenangannya (Apirin, 2008: 13). Itulah mengapa eksistensi Pengadilan Agama mengalami berbagai macam rezim pemerintahan, dari masa kerajaan, penjajahan hingga pada masa reformasi yang menjunjung tinggi Demokrasi.

Jauh sebelum masa penjajahan terjadi di indonesia, perjalanan sejarah kekuasaan keha-kiman Islam, yaitu kekuasaan yudikatif dilaksanakan oleh beberapa lembaga yang berkuasa di bidangnya. Kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam saat masa Nabi Muhammad SAW sering dipadankan dengan istilahsulthah qadhaiyah.Sulthahberartial-malik al-qudrah, yaitu kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan yang dimaksud yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan lembaga lain yang dimaksud dengan kekuasaan eksekutif disebut dengan al-Sulthah al-Tanfidziyah, kekuasaan legislatif disebut al-Sulthah al-Tasyiri’iyah, serta bank sentral disebut dengan al-Sulthah al-Maliyah (Abdul Kadir Audah dalam Aripin, 2013:156). Pada masa itulah pemisahan kekuasaan pemerintahan telah berlaku. Kemudian muncul istilah yang dimaksud dengan Nomokrasi Islam, yang menurut Tahir Azhari adalah suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (Syariah) dan merupakanrule of Islamic law.

Ketika Dinasti Umayah berkuasa menyebut dengan nizham al-qadha (pelaksana hu-kum). Sedangkan pada masa Dinasti Abbasiyah lembaga ini disebut dengan al nizham al-mazhalim. Kedua dinasti itu meskipun menggunakan term pelaksana kekuasaan kehakiman yang berbeda, akan tetapi masing-masing badam yang berada dibawahnya sama-sama memi-liki tiga badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu: qadha, hisbah, dan madzalim. Bahkan pada masa Dinasti Mamluk, terdapat satu pelaksana kekuasaan kehaki-man lagi, yaitu al-mahkamah al-asykariyyah (Mahkamah Militer). Kesemuanya berada di bawah naunganal-qadhi al-qudhah(Mahkamah Agung) yang perseden keberadaannya sudah ada sejak masa Umar bin Khattab (Aripin, 2008: 162). Untuk dapat menjalankan kekuasaan kehakiman secara efektif dan efisien, maka dibentuklah organ-organ kekuasan kehakiman, yaitu antara lain:hajib al-hujjah(pemberi izin masuk),naqib al-qadi(pemanggil saksi), asy-syuhud al-udul(pemeriksa bukti-bukti), umana al-qadi (penjaga harta anak yatim), kitab al-qadi (panitera), at-turjuman (penerjemah), al-jilwaz (penjaga keamanan) dan wukala dar al-qadi(penjaga pintu).

Bila ditelusuri lebih jauh, eksistensi kekuasaan kehakiman dalam Islam, bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat dihukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran, supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa mengabaikan maslahat.

Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi, ketika itu sudah banyak orang yang memeluk agama Islam. Penyebaran agama Islam di Nusantara tidak terle-pas dari peran pedagang-pedagang arab yang berniaga ke Indonesia. Agama Islam saat itu menjadi komunitas yang besar serta mewarnai kehidupan masyarakat Nusantara yang tidak hanya terbatas pada persoalan ibadah, tapi juga masalahmunakahat,muamalah dan jinayah. Karena itu, jika terjadi perselisihan dan/atau sengketa menyangkut masalah munakahat, muamalahdan jinayah pasti diselesaikan dengan menggunakan instrument hukum Islam dan melalui lembaga yangsui generiscocok dan diakui oleh umat Islam (Aripin, 2013: 2).

Pada masa kerajaan Islam berdiri di Nusantara, lembaga-lembaga penyelesaian sengke-ta (Pengadilan Agama) muncul di hampir seluruh kerajaan Islam yang ada, meskipun dengan macam dan ragam yang berbeda, termasuk penamaan atau penyebutannya. Selain macam dan ragam dan penamaan yang berbeda-beda, pada masa itu umumnya pengadilan agama


(6)

bentuknya sangat sederhana. Hal ini ditandai salah satunya dengan tempat yang digunakan dalam proses peradilan yaitu dilakukan hanya di serambi-serambi masjid. Masjid dijadikan tempat peradilan saat itu karena:

a. masjid merupakan tempat ibadah bagi umat Islam, namun fungsionalisasinya tidak hanya digunakan untuk ibadah (sholat) dan tempat mengaji akan tetapi dijadikan pula untuk seluruh macam aktivitas masyarakat muslim termasuk sebagai tempat bertransaksi serta sebagai tempat untuk penyelesaian sengketa antar orang muslim; b. orang yang ditunjuk menyelesaikan sengketa (Hakim) saat itu umumnya berasal

dari kalangan penghulu atau ulama yang merupakan orang yang dekat dan melekat dengan masjid;

c. masjid merupakan identitas yang kuat bagi umat Islam.

Ketiga alasan itulah yang mendasari kenapa umat Islam ketika itu lebih nyaman menye-lesaikan perkaranya di serambi masjid dengan penghulu dan/atau ulama sebagai hakimnya, ketimbang ditempat lain dengan pihak selain ulama/penghulu bertindak sebagai hakimnya.

Masa penjajahan dimulai sekitar abad ke-17, yang ditandai masuknya Belanda dengan VOC-nya memaksakan menerapkan hukum dan perundangannya termasuk pembentukan badan-badan peradilan di daerah-daerah yang dikuasainya. Namun dalam perjalanannya ti-dak berjalan mulus dan mengalami berbagai hambatan. Sehingga Belanda membiarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat untuk dilaksanakan seperti semula. Dan Belanda tidak mengakui pengadilan agama dalam masyarakat sebagai pengadilan yang sah ataulegal.

Pada tahun 1882, Raja Willem III membuat keputusan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi pengadilan agama melalui Staatsblad 1882 Nomor 152. Inilah yang me-nurut pendapat dominan merupakan tonggak awal berdirinya peradilan agama di Indonesia yang ketika itu bernama Priesteraaden yang lazimnya disebut Rapat Agama atau Raad Agamadan terakhir dengan pengadilan agama. Masa ini, pengadilan agama mulai mengala-mi pasang surut eksistensi dan kewenangan.

Selain itu, pada masa penjajahan Jepang, pada saat itu situasinya dasarnya merupakan bentukstatus quo. Meskipun ada perubahan struktural, yakni digantinya nama Priesteraaden (peradilan agama) menjadi Sooyoo hooin dan Hop voor Islamiestische Zaken (Mahkamah Tinggi Islam) menjadiKaikoo Kooto Hooin(Aripin, 2013: 6).

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 membuka seja-rah baru pengadilan agama. Awal-awal kemerdekaan, terkait institusi lembaga hukum tidak banyak mengalami perubahan, yang tercermin dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pasang surut kedudukan pengadilan agama di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Ketetapan Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946 yang menetapkan bahwa pengadilan agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama.

Pergantian roda pemerintahan dari orde lama ke orde baru, tidak terlalu berdampak pada pengadilan agama. Pada era orde baru inilah dibentuklah undang-undang yang meng-atur tentang kedudukan pengadilan agama secara jelas, yakni UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Didalam undang-undang tersebut eksis-tensi peradilan agama diakui sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bahkan disejajarkan dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Meskipun begitu, kedudukan peradilan agama masih berada di bawah Kementerian Agama. Sehingga masih terbayang-bayang pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.

Peradilan agama baru memiliki aturan yang khusus pada tahun 1989 dengan diundang-kannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupa-kan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai peradilan agama, sesuai dengan asas dalam ilmu hukum yaitu lex specialis derogate lex generalis (undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum). Didalam Pasal 2 di-nyatakan bahwa:


(7)

“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini.”

Selanjutnya pada Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.”

Kedudukan peradilan agama sejak diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 secara mutatis mutandis berada dibawah naungan Mahkamah Agung, dan bukan lagi dibawah naungan Kementerian Agama. Kesempatan itulah yang dapat dijadikan untuk memperkuat bargaining powerpengadilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman.

Telah disinggung diatas bahwa pengadilan agama adalah tempat penyelesaian sengketa bagi orang-orang yang beragama Islam. Maka disini sebuah timbul pertanyaan bahwa apa yang menjadi sumber hukum bagi hakim dalam memutus sengketa dengan prinsip syariah? Yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah prinsip penyelesaian sengketa yang didasarkan kepada sistem hukum Islam.

Von Savigny mengatakan bahwa ‘hukum itu tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat’ (Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke). Seiring perkembangan jaman, suatu perundang-undangan tidak akan bisa menjangkau perkembangan dalam masyarakat dimasa yang akan datang. Sehingga perlu adanya perubahan terhadap per-undang-undangan agar bisa menyesuaikannya. Dalam konteks UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2006 dan tahun 2009. Pada tahun 2006, UU Peradilan Agama telah diubah dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006. Kemudian diubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009. Perubahan tersebut membawa konsekuensi perkembangan dinamika dalam penyelenggaan peradilan agama. Sa-lah satunya tentang kedudukan (sudah dijelaskan diatas) dan kompetensi peradilan agama.

Pangadilan Agama dalam menyelenggarakan peradilan serta sebagai salah satu peme-gang Kekuasaan Kehakiman, harus memperhatikan asas-asas yang terkandung didalamnya. Asas merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman dasar yang diformulasikan men-jadi perangkat peraturan perundang-undangan. Adapun asas-asas yang berlaku pada peng-adilan agama pada dasaarnya hampir sama dengan asas-asas yang berlaku di pengpeng-adilan umum, antara lain (Aripin, 2008: 348):

a. Asas Personalitas Keislaman b. Asas Kebebasan

c. Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada d. Asas Hakim wajib mendamaikan

e. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

f. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak g. Asas Persidangan terbuka untuk umum

h. Asas Hakim aktif memberi bantuan

i. Asas Peradilan dilakukan dengan hakim majelis

Selain itu, berdasarkan pada UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Abdullah Tri Wahyudi menambahkan beberapa asas lagi yang juga berlaku di pengadilan agama yang tercantum dalam undang-undang tersebut, yaitu (Wahyudi, 2004:37):

a. Asas Pemeriksaan dalam dua tingkat

b. Asas Kewenangan Mengadili tidak meliputi sengketa hak milik c. Asas Hakim bersifat menunggu (hakim pasif-nemo judex sine acto) d. Asas bahwa putusan pengadilan harus memuat pertimbangan

e. Asas berpekara dengan biaya f. AsasNe bis in Idem


(8)

3.2. Putusan Mahkamah Konstitusi: Pengukuhan Kompetensi Absolut Peradilan Agama

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar dalam sistem kekuasan negara mo-dern. Jauh sebelum berkembang seperti saat ini, pemisahan kekuasaan (separation of power) telah dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Bedanya, pada masa Rasulullah dan Para Khalifah kekuasaan kehakiman masih berada dibawah satu kekuasaan pemerintahan. Sehingga masih dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Namun pada saat ini, keku-asaan kehakiman (yudikatif) merupakan kekukeku-asaan yang bebas dan mandiri untuk menye-lenggarakan peradilan, tanpa dapat diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuasaan yang lainnya, baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif (Asshiddiqie, 2009: 311).

Peradilan agama selaku salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, secara bebas dan mandiri untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan penyelesaian sengketa yang terjadi antara orang-orang yang beragama Islam. Peran peradilan agama sejak era reformasi sangat-lah kuat, yaitu sejak penyatuatapan lembaga peradilan agama dengan Mahkamah Agung. Hal itu merupakan salah satu konsekuensi dari sejarah ketatanegaraan Indonesia saat pergerakan reformasi tahun 1998, sampai dengan amandemen terhadap UUD 1945. Perubahan politik hukum di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman itu menurut Mahfud MD disebut dengan perubahan yang bersifat proliferatif (berkembang biak) (Mahfud, 2013: 139). Transformasi peradilan agama telah terjadi baik kelembagaan, eksistensi dan kewenangan (kompetensi).

Setiap lembaga peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung memiliki kompetensi yang berbeda-beda. Di Indonesia dalam sistem peradilannya dewasa ini terdapat empat lingkungan peradilan, yang masing-masing mempunyai lembaga peradilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Lingkungan-lingkungan peradilan yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

a. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam lingkungan peradilan umum; b. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam lingkungan peradilan

agama;

c. Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dan

d. Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer.

Peradilan Agama dalam meyelenggarakan fungsi yudisial (kehakiman) mempunyai kompetensi yang berbeda dengan kompetensi Peradilan lainnya. Kompetensi menurut Ka-mus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutus sesuatu). Artinya bahwa peradilan agama memiliki kewenangan untuk memutus atau mengadili suatu perkara tertentu (dalam hal ini perkara yang berprinsip syariah).

Kompetensi di dalam peradilan terbagi menjadi 2, yaitu kompetensi absolut dan kom-petensi relatif. Komkom-petensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara atau sengketa yang diatur dalam undang-undang. Jadi disini yang ditekankan adalah jenis-jenis sengketa apa yang dapat diadili oleh pengadilan agama. Sementara itu, kompe-tensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu sengketa di wilayah hukumnya. Dalam kompetensi relatif yang ditekankan adalah mengenai wilayah hukum pengadilan agama dalam mengadili suatu perkara. Kompetensi absolut pengadilan agama telah dimuat dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyele-saikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:


(9)

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Waqaf dan shadaqah.”

Awal pembentukan undang-undang tentang Peradilan Agama memang pada saat itu masih terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi peradilan agama masih ber-kisar penyelesaian masalah nikah, talaq, dan rujuk (NTR) atau al-ahwal al-syakhsiah saja (Suparman, 2010: 7). Selain itu juga menyangkut masalah kewarisan dalam Islam. Peng-adilan agama sebagai tempat penyelesaian sengketa terkait dengan hukum keluarga. Hukum keluarga menurut R. Soebekti:

“mengatur perihal hubungan-hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian,curatele.”(Subekti, 2003: 16) Setelah berlaku sekitar 17 tahun, maka perlu diadakan perubahan terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tersebut agar mengikuti perkembangan jaman. Barulah pada tanggal 28 Februari 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Pengesahan Perubahan terha-dap UU No. 7 Tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun 2006. Dalam undang-undang yang ba-ru, terdapat beberapa perubahan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang lama. Salah satunya tentang kompetensi absolut pengadilan agama. Pada Pasal 49 tersebut menye-butkan penambahan kewenangan pengadilan agama dalam mengadili suatu perkara antar sesama orang yang beragama Islam. Selengkapnya Pasal 49 menyatakan:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq;

h. shadaqah;dan i. ekonomi syariah”

Penambahan dan perluasan kompetensi absolut pengadilan agama tidak terlepas dari berbagai tuntutan masyarakat (khususnya Islam) untuk menyelesaikan sengketa muamalah atau perdagangan berdasarkan prinsip syariah. Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah. Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri dalam lingkungan Peradilan Umum (Linda Rachmainy & Anita Afriana dalam Suparman, 2010: 7).

Perbedaan pengadilan agama dengan pengadilan umum dalam menyelesaikan sengketa bisnis adalah basis sengketanya yaitu lembaga ekonomi syariah. Apa saja yang termasuk da-lam lembaga-lembaga ekonomi syariah? Untuk menjawabnya perlu dilihat dada-lam Penjelasan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa: “yang termasuk dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: (a) bank syariah; (b) asuransi syariah; (c) reasuransi syariah; (d) reksa dana syariah; (e) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (f) sekuritas syariah; (g) pembiayaan syariah; (h) pegadaian syariah; (i) dana pensiun lembaga


(10)

keuangan syariah; (j) bisnis syariah; (k) lembaga keuangan mikro syariah.” Dari uraian di-atas dapat disimpulkan pengadilan agama saat ini tidak hanya menyelesaikan sengketa terkait dengan hukum keluarga dalam Islam, tetapi juga sengketa terkait dengan ekonomi syariah.

Salah satu jenis kegiatan usaha ekonomi syariah adalah bank syariah atau perbankan syariah. Secara khusus telah dibuat undang-undang mengatur tentang Perbankan Syariah yai-tu UU No. 21 Tahun 2008. Pasal 1 angka 1 menyatakan:

“Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalammelaksanakan kegiatan usahanya.”

Dari definisi diatas jelas menjelaskan bahwa perbankan syariah mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan bank serta unit usaha yang berprinsip syariah. Lantas jika terjadi suatu sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dimana? Undang-undang tersebut juga telah mengatur sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradil-an agama. Berarti penyelesaiperadil-an sengketa hperadil-anya dilakukperadil-an di pengadilperadil-an agama saja. Namun di dalam ayat (2) di pasal yang sama menyebutkan yang pada intinya apabila para pihak telah menjanjikan penyelesaiannya di luar pengadilan agama maka dilakukan sesuai dengan isi akad/kontrak. Ketentuan tersebut mencerminkan asas kebebasan berkontrak dalam setiap pembuatan kontrak. Kini yang menjadi pertanyaan adalah peradilan umum menjadi salah sa-tu pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan agama. Sangat disayangkan jika penye-lesaian yang dipilih oleh para pihak dalam sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui peradilan umum. Sudah jelas-jelas perbankan syariah itu perbankan yang berprinsip syariah, sehingga penyelesaiannya pun diselesaikan dengan prinsip syariah yang sesuai dengan Pasal 55 ayat (3) undang-undang tersebut. Dengan begitu seolah-olah menunjukkan bahwa peradilan umum telah menegasikan kewenangan yang dimiliki oleh peradilan agama. Serta mengakibatkan overlapping kewenangan atas sengketa perbankan syariah. Padahal setiap peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung mempunyai kompetensi (kewenangan) absolutnya sendiri-sendiri. Tanpa kecuali bagi peradilan agama itu sendiri.

Pada dasarnya, persoalan dualisme kompetensi absolut telah pernah terjadi dalam ling-kungan peradilan agama dan peradilan umum, khususnya dalam menangani sengketa waris antara orang-orang yang beragama Islam. Hal tersebut sering terjadi sebelum dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 (Setiyowati, 2013: 917). Jika ditelusuri lebih jauh, penyebab utama terdapatnya dualisme tersebut dikarenakan adanya perbedaan penafsiran pada Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1989. Dari kasus ini, memang menimbulkan ketidakpastian hukum yang sangat nyata.

Terhadap dualisme kompetensi absolut tersebut, maka digugatlah ke Mahkamah Kons-titusi. Mahkamah Konstitusi dengan salah satu fungsinya sebagaithe protector of the human rightsbertugas melindungi hak-hak asasi manusia jika terjadi ketidakpastian hukum terhadap kepentingannya. Melalui Putusan No. 93/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa peradilan umum tidak lagi berwenang untuk memutus sengketa yang terjadi dalam perbankan syariah. Karena menurut para Hakim Konstitusi bersepakat bahwa penegakan hukum perbankan syariah melalui lembaga peradilan umum menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip konstitusi sepertimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersbut tidak berlaku bagi perkara sengketa yang timbul itu mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri dalam lingkungan Per-adilan Umum. Juga perkara contohnya mengenaioverspel(perzinahan) yang dilakukan oleh


(11)

orang-orang yang beragama Islam, karena basis sengketanya yang berbeda dengan peradilan umum yaitu ekonomi syariah.

Oleh karena itu, sudah barang tentu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kedudukan, eksistensi dan kompetensi pengadilan agama sangatlah kuat. Serta menjadi pengukuhan terhadap keberadaan pengadilan agama yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia. Terbukti dengan penyatuatapan kedudukan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang bebas dan mandiri, eksistensi yang semakin kuat sebagai satu diantara empat lingkungan peradilan, dan perluasan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yaitu kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah (khususnya bisnis dan keuangan syariah). Last but not least, putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan presedent baik bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah di masa yang akan datang.

3.3. Hakim Pengadilan Agama: Kewenangan Baru, Tantangan Baru

Dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, orang yang berperan penting sebagai pemutus perkara adalah hakim. Katahakim secara etimologis berarti “orang yang memutus-kan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutusmemutus-kan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul fikih kata hakim adalah pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki (Effendi, 2014: 68). Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam Surat al-An’am ayat 57 yang artinya sebagai berikut:

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. al-An’am/6:57)

Pada hakikatnya, pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk mencari keadilan (justiciabelen). Dimana seseorang yang datang ke pengadilan pasti mempunyai perkara atau perselisihan yang ingin diputus oleh hakim. Perkara timbul karena sesuatu kepentingan telah merugikan kepentingan orang lain, tanpa terkecuali dalam kegiatan bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah. Oleh karena itu, agar kepentingan tersebut terlindungi maka perlu disele-saikan melalui pengadilan. Salah satu fungsi peradilan adalah juga agar tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan.

Setiap perkara yang ingin diadili oleh seorang hakim harus didaftarkan lebih dahulu ke paniteraan pengadilan. Karena terdapat asas “Judex Ne Procedat Ex Officio”yang berarti di-mana tidak ada yang menggugat, disana tidak ada hakim (Ali, 2012: 61). Atau juga asas yang disebut dengan “Wo kein Klager ist, ist kein Richter” (dimana tidak ada tuntutan/ penuntut, maka tidak ada hakim). Selain itu, juga karena hakim bersifat pasif. Artinya hakim menunggu perkara yang didaftarkan dan bukan malah mencari perkara.

Kemudian, perkara yang diajukan tersebut sekalipun tidak ada hukum yang mengatur-nya, hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan tidak ada hukum. Yaitu apa yang disebut dengan asas “ius curia novit” (hakim dianggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya). Bukan menjadi alasan dan tidak masuk akal bagi hakim menolak suatu perkara. Hakim wajib menciptakan hukum dalam hal adanya kekosongan hukum (rechts-vacuum). Serta hakim juga wajib menggali nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat agar dapat memberikan putusan memuaskan para pihak.

Prinsip peradilan agama yang paling penting adalah peradilan yang bebas dan tidak memihak (imparsial). Hakim harus memutus perkara dengan adil, tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain, tidak boleh memutus perkara di bawah tekanan-tekanan, sehingga mem-pengaruhi hakim dalam memberikan putusan yang adil (Qamar, 2013: 39). Sebagaimana fir-man Allah SWT yang artinya berbunyi sebagai berikut:


(12)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)

Hakim dalam memutus suatu sengketa, seharusnya kembali lagi kepada Allah SWT yang memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya dan wajib pula menetapkan hukum secara adil kepada pihak yang berperkara. Selanjutnya, firman Allah SWT yang lain juga mengajar-kan prinsip persamaan sesama manusia, yang berarti para hakim harus memberimengajar-kan putusan yang mencerminkan persamaan ciptaan Allah SWT serta tidak pilih kasih, berpihak pada hawa nafsu, dan lain sebagainya yang mengakibatkan kemudaratan.

“Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”(QS. An-Nisa: 135)

Dari dua firman Allah SWT yang ada diatas, telah tampak bahwa Allah SWT sangat mengajarkan kepada para hakim (khususnya hakim pengadilan agama) dalam memberikan putusan harus mengandung unsur keadilan (rechtsvaardigheid). Dimana menurut Gustav Radbruch, salah satu tujuan hukum dan yang utama adalah keadilan. Selain tujuan hukum yang lain adalah kepastian hukum (rechtszekerheid) dan kemanfaatan (zweckmassigheid). Biasanya, hakim akan terjebak dalam suatu keadaan dimana keadilan berdiri secara diametral dengan kepastian hukum. Hal itu menyebabkan hakim harus memilih diantara keduanya.

Herowati Poesoko mengatakan bahwa “…semua penyelesaian masalah pada akhirnya akan dikembalikan kepada hakim. Baik jaksa, polisi, pengacara semuanya tidak dapat menyelesaikan masalah”. Itulah sebabnya peran hakim begitu besar sebagai pemeriksa, pemutus, dan penyelesai masalah. Yang pada akhirnya akan bermuara ke pengadilan.

Hakim sebelum memberikan putusan harus berpijak pada pembuktian didalam per-sidangan. Tujuan pembuktian sendiri menurut Milton C. Jacobs ada dua, yaitu: (i) untuk mencapai kebenaran; dan (ii) untuk dapat menghasilkan putusan (Ali, 2012: 19-20). Kebe-naran yang dicari adalah kebeKebe-naran formil, yaitu kesesuaian yang terjadi antara fakta dan bukti yang ada selama persidangan. Oleh karena itu, hakim harus mendengarkan para pihak secara sama atau seimbang (audi at alteram partem). Dalam ilmu hukum, kebenaran yang dicarinya itu belum atau tidak ada diluar subjek, terletak disana di dalam kenyataan dan menunggu untuk ditemukan oleh subjek (hakim) (Sidharta, 2013: 92).

Pada akhirnya, hakim akan memberikan suatu putusan untuk mengakhiri sengketa. Kiranya sebelum membahas tentang putusan, seyogyanya harus tahu apa yang disebut dengan putusan. Putusan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah putusan pada akhir pemeriksaan perkara di sidang pengadilan yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, per-timbangan hukum, dan putusan pokok perkara. Sementara itu, putusan menurut Bambang AS dan Sujayadi adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Jika dapat disimpulkan, putu-san adalah sikap hakim sebagai pejabat yang berwenang untuk memutus perkara.

Tiap institusi yang bertugas mengemban hukum, baik pada faset legislasi maupun pada faset judikasi memperoleh predikat kehormatan yang melekat pada tugas yang mereka jalankan. Institusi pengadilan diberikan kehormatan sebagai lembaga yang mulia, karena tugasnya mengadili secara otonom dan imparsial sehingga kebenaran dan keadilan


(13)

ditemu-kan (Tanya, 2014: 104). Kemuliaan yang disandangnya, mengharusditemu-kan para hakim menge-depankan kearifan dan kepekaan nurani (geweten) mengenai kebenaran dan keadilan dalam mengadili. Tanggung jawab yang besar mengukuhkan hakim sebagai orang pilihan (primus interpares) yang terletak pada pencapaian, prestasi, dan intergritas dalam menjalankan tugas. Keutamaan hakim adalah memutus secara adil menurut peraturan perundang-undangan yang ada, disamping itu juga memperhatikan apa yang ada didalam hati nuraninya. Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain hakim disini ber-peran sebagai pembentuk hukum dan padanya tidak diperkenankan hanya sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi) dan terkungkung dalam hukum positif. Selain itu, ha-kim apabila tidak menemukan hukumnya maka ia wajib berijtihaddan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung-jawab.

Pertanyaan besarnya adalah dimana hakim menemukan menemukan hukumnya dalam memutus sebuah perkara? Hakim di pengadilan agama pada dasarnya sangat berbeda dengan hakim di pengadilan lainnya. Bedanya adalah sumber hukum di pengadilan agama. Meng-ingat pengadilan agama adalah tempat orang sesama Islam menyelesaikan sengketa, maka penyelesaiannyapun selain diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga diselesaikan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah atau sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

a. Al-Quran;

b. Al-Hadist/As-Sunnah; dan

c. Arra’yu/Ijtihad (Ijma, Qiyas, Istidal, Masalihal Mursalah, Istihsan, Istisab, dan ‘Urf/ Adat istiadat).

Sebelumnya telah disinggung bahwa sejak disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan (kompetensi absolut) pengadilan agama telah bertambah yaitu penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Di sini membuktikan bahwa tugas dari hakim pengadilan agama secara mutatis mutandis juga akan bertambah. Sebelumnya hanya menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hukum ke-luarga (familierecht) dalam Islam, kini ditambah dengan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hukum kekayaan (vermogensrecht) dalam Islam yaitu ekonomi syariah.

Masuknya ekonomi syariah dalam wewenang absolut pengadilan agama, menuntut ada-nya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syariah. Di dalam hukum perkawinan, warisan, dan waqaf kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita be-lum memilikinya (Agustianto, 2007: 179). Hal tersebut telah dijawab dengan dikeluarkannya SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia.

Dengan tidak ada dan jelasnya aturan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan yang baru bagi para hakim di pengadilan agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah. Sebagaimana telah diketahui bahwa saat ini regulasi yang mengatur tentang ekonomi syariah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain itu, sudah terdapat aturan/peraturan yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah yaitu UU No. 21 Tahun 2008.

Kewenangan baru dan tantangan baru tersebut menimbulkan permasalahan yang ber-kepanjangan apabila tidak diselesaikan secara cepat dan tepat. Menurut Wahiduddin Adams, diperlukan kesiapan dalam 3 (tiga) aspek untuk melaksanakan peran peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa niaga syariah, yaitu (Adams, 2007: 144):

a. Aspek hukum materiil;


(14)

c. Aspek Sarana dan Prasarana.

Pertama, aspek hukum materiil. Sampai saat ini hanya ada satu peraturan secara khusus yang mengatur tentang ekonomi syariah, yaitu Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008). Disamping itu, meskipun tidak diatur secara jelas tentang Asuransi Syariah, namun kebera-daannya telah diakui dan memberikan kepastian hukum dengan disahkannya UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Lain halnya dengan dua jenis lembaga ekonomi syariah yang lain, seperti lembaga keuangan mikro syariah, pegadaian syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan lain sebagainya belum memiliki payung hukum peraturan perundang-undangan tersendiri. Hal itu dijawab dengan diberlakukannya PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Selain itu, untuk menunjang peraturan tentang ekonomi syariah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) yang mengelu-arkan fatwa-fatwa terkait masalah ekonomi syariah. Juga sumber hakim mencari hukumnya yang berprinsip syariah adalah didapat dari fikih dan ushul fikih, adab kebiasaan, serta yurisprudensi pengadilan terdahulu (Lubis, 2012: 223). Memang setiap peraturan di masa sekarang dan dimasa yang akan datang kebutuhannya berbeda. Alhasil, selain berpedoman kepada peraturan yang ada, cara hakim untuk menemukan hukumnya dengan berijtihad dan melakukan penemuan hukum (rectsvervinding). Penemuan hukumnya dapat dilakukan baik dengan cara sebagai berikut:

a. argumentum per analogiam (menerapkan metode yang sama pada peristiwa yang sama, serupa dan sejenis);

b. argumentum a contrario (dengan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang); atau

c. penyempitan hukum (rechtsverifijning) yaitu penyempitan ruang lingkup peraturan perundang-undangan yang terlalu umum atau luas untuk diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (Aripin, 2013: 128).

Kedua, aspek sumber daya manusia. Hakim pengadilan agama yang akan menangani perkara ekonomi syariah sebagai kewenangan baru di lingkungan peradilan agama, perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui pelatihan terkait dengan hukum ekonomi dan bisnis. Seperti hukum tentang perbankan, perdagangan (niaga), asuransi, serta yang terkait dengan hukum ekonomi dan bisnis.

Ketiga, aspek sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kinerja pengadilan agama dalam menangani perkara/sengketa ekonomi syariah adalah tersedianya perpustakaan di lingkungan peradilan untuk menyedia-kan informasi dan literatur hukum yang sangat diperlumenyedia-kan oleh hakim. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan pula.

Selain Wahiduddin Adams, gagasan hal-hal yang penting bagi pengadilan agama meng-hadapi penyelesaian sengketa ekonomi syariah diajukan pula oleh Eman Suparman. Hal-hal tersebut adalah pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah. Ketiga, para hakim agama juga perlu me-ningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam (Suparman, 2010: 17).


(15)

3.4. Pengadilan Agamavis a visBadan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Transaksi bisnis atau niaga umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme, kepercayaan (trust) diantara para pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan diantara para pihak. Didalam dunia bisnis dan keua-ngan syariah perselisihan muncul karena masalah utang-piutang atau tidak menjalankan pres-tasi (wanprespres-tasi) sebagaimana yang diperintahkan dalam perjanjian atau akad. Perselisihan tersebut dapat menibulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan diluar pengadilan.

Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu (Nurdin, 2007: 207):

a. Dalam bentuk litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. b. Dalam bentuk non-litigasi atau Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif

Penyelesaian Sengketa (APS). Bentuk lembaga ini bersifat partikulir, ia tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat.

Jadi, saat ini di Indonesia penyelesaian sengketa antara dua pihak diselesaikan dengan dua macam penyelesaian. Di luar pengadilan atau di dalam pengadilan. Berbicara tentang APS maka berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka yang menjadi jenis-jenis dari APS selain arbitrase yaitu mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli. Kedua macam pola penyelesaian sengketa tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Tanpa terkecuali, setiap kegiatan bisnis tidak pernah lepas dengan apa yang disebut dengan sengketa/perselisihan/konflik. Yang kesemuanya membutuhkan sebuah jalan keluar atau penyelesaian untuk mendapatkan keadilan serta kepastian di dalam hukum. Terkadang, antara keadilan dan kepastian bak sepertipendulum yang selalu bergerak untuk mencari titik temu yang sama-sama memuaskan para pihak. Bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah-pun tak luput dari apa yang namanya sengketa. Biasanya, penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) diselesaikan dengan kalau tidak ke pengadilan agama atau ke Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Pola penyelesaiannya dapat ditemukan dalam isi akad/perjanjiannya. Hal tersebut menandakan bahwa penyelesaian sengketa dalam bisnis tidak secara melulu ke pengadilan agama. Tergantung pilihan hukum (choice of law) atau pilihan forum (choice of forum) dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan dimana. Kebebasan para pihak untuk memilih pola penyelesaian sengketa telah mewujudkan asas yang didalam ilmu hukum dise-but dengan asas kebebasan berkontrak. Secara umum kontrak atau perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak sebelumnya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang membaginya dengan empat syarat, yaitu:

a. Adanya kesepakatan para pihak; b. Kecakapan dari para pihak;

c. Adanya objek tertentu dalam perjanjian; dan

d. Adanya sebab yang halal terhadap perjanjian yang dibuat.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian diatas, yang paling utama adalah syarat adanya kesepakatan dari para pihak. Itu artinya adalah arti kesepakatan begitu penting dari pembuat-an setiap akad/perjanjian dalam kegiatan bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah. Tak pelak jika syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya akad/perjanjian tersebut dapat dibatalkan (Vernietigbaar).

Di dalam isi perjanjian memuat berbagai kesepakatan antara satu pihak dengan pihak lainnya sehingga perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah ketentuan


(16)

mengenai cara penyelesaian sengketa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Cara itu yang disebut dengan pilihan hukum (choice of law). Pilihan hukum adalah sistem menge-nai pilihan para pihak yang diberlakukan dalam perjanjian yang dibuat dan hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketanya (Jauhari, 2007: 193). Pilihan hukum ini menurut Sudargo Gautama, bersifat otonom bagi mereka.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa penyelesaian sengketa tidak melulu harus diselesikan secara litigasi tetapi juga secara non-litigasi. Penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) juga dapat diselesaikan secara non-litigasi, yaitu arbitra-se, mediasi, konsiliasi ataupun pendapat ahli. Namun para pelaku bisnis lebih sering meng-gunakan arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya daripada APS yang lain.

Arbitrase di dalam hukum positif Indonesia telah diatur dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999. Arbitrase secara etimologis berasal dari kata arbitrage (Belanda), arbitrase (Latin),tahkim (Islam). Menurut Sudargo Gautama, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyelesaian melalui saluran-saluran biasa. Kemudian menurut Abdulkadir Muhammad, arbitrase adalah peradilan swasta diluar lingku-ngan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase merupakan peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak yang berseng-keta. Sedangkan secara yuridis, dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 manyatakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang dida-sarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian jelaslah bahwa arbitrase itu merupakan suatu sistem penyelesaian sengketa keperdataan atas dasar kesepakatan/perjanjian secara tertulis oleh para pihak yang bersengke-ta dan putusannya bersifat final dan mengikat. Asas-asas yang ada dalam arbitrase adalah asas final and binding (Pasal 68 ayat (1) UU Arbitrase); asas resiprositas (Pasal 66 huruf a UU Arbitrase); asas ketertiban umum (Pasal 66 huruf c UU Arbitrase); asas kewenangan absolut arbitrase (Pasal 3 UU Arbitrase); dan asas separabilitas.

Secara khusus telah dibentuk suatu badan arbitrase permanen dalam penyelesaian seng-keta bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang semula dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 5 Jumadil Awwal 1414 H atau tanggal 21 Oktober 1993 M. Sesuai dengan rekomendasi dari Rakernas MUI tahun 2002 dan kemu-dian dengan putusan MUI tanggal 30 Syawwal 1424 H atau 24 Desember 2003 M, kedudukan Basyarnas merupakan perangkat organisasi MUI dan satu-satunya badan hakam milik MUI, yang dalam menjalankan fungsinya sebagai badan hakam yang bersifat indepeden dan otonom (Jauhari, 2007: 191).

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam.

Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas di-hubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir.

Baik pengadilan agama maupun Basyarnas pada hakikatnya sama yaitu untuk menyele-saikan sengketa yang terjadi dalam ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam. Bedanya, yang satu didalam pengadilan (litigasi) dan lainnya diluar pengadilan


(17)

(non-litigasi). Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Tergantung para pihak memilih kemana penyelesaian sengketanya yang sama-sama mengupayakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Juga guna untuk memberikan kepastian bagi para pihak yang berhak mendapatkannya.

Dalam praktik, terdapat titik singgung yang terjadi antara pengadilan agama dengan arbitrase (Basyarnas). Pasal 11 UU Arbitrase menyatakan bahwa:

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan di dalam suatu penye-lesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

Hal tersebut diperkuat dalam Pasal 3 UU Arbitrase, yang menyatakan bahwa:

“Pengadila Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah ter-ikat dalam perjanjian arbitrase.”

Sebelum SEMA No. 8 Tahun 2010 hal-hal yang menyangkut arbitrase yang berprinsip syariah diatur oleh pengadilan negeri. Barulah setelah SEMA tersebut keluar, maka hal-hal yang terkait dengan arbitrase yang berprinsip syariah diatur oleh pengadilan agama. Itu artinya adalah pengadilan agama tidak lagi ikut campur sedikitpun dalam penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalur non-litigasi. Tapi peran peradilan agama ternyata turut campur sebagai dalam urusan arbitrase antara lain:

a. dalam hal pengangkatan arbiter;

b. hak ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak terhadap arbiter yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama;

c. pendaftaran dan pelaksanaan putusan arbitrase.

Satu hal yang menarik adalah dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi :

‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.

Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus men-cantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Maka timbul pertanyaan dimana kedudukan fatwa DSN dalam hierarkhi tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Apa-kah fatwa tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada?

Jika dilihat dalam sejarahnya, kewenangan DSN untuk mengatur perihal tentang per-bankan syariah tidak lepas dari pelimpahan kewenangan yang menjadi tugas dari Bank Indo-nesia sebagai regulator dan pengawasan terhadap kegiatan perbankan syariah di IndoIndo-nesia. Sebelum fatwa DSN menjadi regulator dalam kegiatan perbankan syariah, tugas tersebut menjadi wewenang Bank Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN dibentuk lewat SK MUI No Kep-754/MUI/II/99 yang bertujuan untuk menghindari perbedaan ketentuan kegiatan tertentu yang dibuat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing LKS (Lembaga Keuangan Syariah). Latar belakang utamanya adalah tingkat kebutuhan akan adanya ketentuan yang mengatur di setiap lini kehidupan masyarakat, khususnya msyarakat muslim yang menja-lankan kegiatan usaha berprinsip syariah. Menurut Yeni Salma Barlianti, kedudukan fatwa DSN tersebut memang tidak mengikat secara umum seperti halnya Al-Qur’an, Hadits, dan peraturan perundang-undangan. Lanjutnya, para hakim agama dan arbiter tak melihat


(18)

keter-kaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan, tetapi lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri yang bukan dianggap sebagai sumber hukum Islam yang utama.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bawah fatwa DSN mengenai keharusan untuk men-cantumkan klausul penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah melalui Basyarnas bukan merupakan suatu hal yang mengikat kepada para pihak dalam membuat perjanjian/akad.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah baik litigasi dan non-litigasi pada dasarnya adalah sama-sama menyelesaikan sengketa yang lahir dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah. Namun secara yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, legitimasi (kompetensi absolut) penyelesaian sengketa ekonomi syariah diselesaikan melalui Peradilan Agama.

3.5. Pengadilan Agama: Ultimum Remedium Penyelesaian Sengketa Bisnis dan Keuangan Syariah?

Sama halnya dengan hubungan dalam keluarga, hubungan dalam kegiatan bisnis juga tidak akan luput dari apa yang dinamakan sengketa. Sengketa timbul sebagai konsekuensi adanya perbuatan salah satu pihak yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya. Keru-gian itu menjadikan pihak yang dirugikan meminta pertanggung-jawaban kepada pihak yang merugikan. Kadangkala pihak yang merugikan tidak mengakui kesalahannya yang telah me-rugikan pihak lainnya. Oleh sebab itu, diperlukanlah penyelesaian sengketa antara para pihak yang bersengketa tersebut. Karena kedua belah pihak sama mempunyai pendirian terhadap kepentingannya sendiri-sendiri.

Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa dalam dunia hukum dibagi menjadi dua pilihan, yaitu melalui proses litigasi dan proses non-litigasi. Menurut Suyud Margono dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lainnya, selain itu pe-nyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil (Suyud Margono dalam Winarta, 2010: 2). Apakah yang dimaksud dengan sarana akhir itu? dan penyelesaian seng-keta apakah dapat dikatakan penyelesaiannya secara berjenjang? dari non-litigasi ke litigasi atau sebaliknya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu dijawab mengingat betapa kru-sialnya permasalahan tersebut.

Penyelesaian sengketa baik proses litigasi maupun non-litigasi telah diuraikan sebelum-nya mempusebelum-nyaiplus danminusdalam penerapannya. Tergantung para pihak memilih dima-na penyelesaiannya. Jika secara litigasi, jelas kewedima-nangan berada di pengadilan agama, kalau secara non-litigasi dibagi menjadi melalui arbitrase (Basyarnas), mediasi, konsiliasi maupun pendapat ahli. Yang kesemuanya dikembalikan kepada pilihan hukum (choice of law) dalam akadatau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Pada hakikatnya mengapa pengadilan agama disebut sebagai sarana akhir (ultimum remedium) atau the last resort penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah karena kewe-nangan yang dimiliki oleh pengadilan agama sangat kuat dan sangat berbeda dengan alterna-tif penyelesaian sengketa yang ada. Ada beberapa kewenangan yang hanya dimiliki oleh pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa baik masalah hukum dalam keluarga dan masalah hukum dalam perdagangan (muamalah). Sebab, dari segi sistem hukum yang dimili-ki pengadilan agama lebih lengkap dan pasti. Misalnya setiap putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur) sampai ada putusan dari hakim diatasnya yang membatalkannya. Kepastian akan putusan dapat diajukan oleh para pi-hak apabila tidak menerima hasil putusan pi-hakim pengadilan agama. Contoh lain, terhadap sengketa utang-piutang yang berakhir pada kredit macet atau wanprestasi dan untuk mempai-litkan Debitor dapat diajukan ke pengadilan agama, dan pengadilan agama akan membentuk pengadilan niaga syariah ad-hoc untuk menyelesaikan perkara tersebut. Selain itu, dalam proses beracara di pengadilan agama, sebenarnya juga menerapkan proses secara damai (sulh/


(19)

islah) yang tidak dimiliki oleh lembaga penyelesaian sengketa secara bersama. Itulah bebera-pa hal yang hanya dimiliki oleh pengadilan agama dibandingkan lembaga penyelesaian lain.

Jika ditilik lebih jauh, keberlakuan hukum atau syariat Islam dalam penyelesaian sengketa baik dalam hukum keluarga dan muamalah tidak terlepas dari perjalanan panjang agama Islam di Indonesia. Para ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia (Sayuti Thalib, 1985: 4). Saat itu, sumber penyelesaiannya berada di dalam syariat Islam, baik Al-Quran, Al-Hadist, dan Ar-Ra’yu.

Kemudian muncul sebuah teori yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje yaitu teori Receptie. Di dalam teorinya, Snouck mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila diresepsi (diterima) oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam (Aripin, 2013: 264). Itu artinya, bagi orang-orang yang beragama Islam berlakulah hukum didalam agama Islam (syariat Islam). Pada intinya, seorang muslim secara sukarela mengikatkan dirinya kepada hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kecuali apabila terjadi perselisihan atau sengketa yang terjadi dengan sesama muslim.

Teori Receptie menekankan penerimaan terhadap syariat Islam dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Hal tersebut berarti menyampingkan hukum nasional negaranya dan mengutamakan hukum agamanya yang berlaku dan relevan dengan permasalahannya. Dalam konteks penyelesaian sengketa ekonomi syariah (bisnis dan keuangan syariah) yang berprin-sip syariah telah dilegitimasikan kepada pengadilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006. Dengan begitu, pengadilan agama merupakan tempat yang ideal demi mencari kea-dilan bagi para pihak sebagai sarana utama (premium remedium) penyelesaian sengketa dan sarana akhir (ultimum remedium) apabila penyelesaian secara non-litigasi tidak berhasil.

Jadi, pengadilan agama diharapkan mampu menjawab semua tantangan ke depan terhadap sengketa yang terjadi dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) terlepas dari kelebihan dan kekurangannya. Semua merupakan keniscayaan yang dapat ter-wujud apabila semua pelaku yang berada dalam peradilan agama menjalankan tugas secara efektif dan efisien. Dengan begitu, pengadilan agama akan menjadi tempat yang efektif dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia.


(20)

4. Simpulan

Untuk menutup karya ilmiah (paper) ini, berikut disampaikan beberapa simpulan seba-gai berikut:

Pertama, sejarah membuktikan bahwa pengadilan agama telah mengalami pasang surut kedudukan, eksistensi dan kewenangan sejak masa kolonial atau penjajahan hingga era refor-masi ini. Kemudian setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, eksistensi pengadilan agama mulai diperhitungkan. Sejak era reformasi kedudukan pengadilan agama telah diakui sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung yang bebas dan mandiri menyelenggarakan peradilan dan bukan lagi merupakan bagian dari pemerintah.

Kedua, dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, kewenangan/kompetensi absolut dari pengadilan agama bertambah dari pemutus sengketa mengenai hukum keluarga dalam Islam dan ditambah sebagai pemutus sengketa mengenai ekonomi syariah. Dan pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengukuhkan kewenangan pengadilan agama sebagai pemutus sengketa dalam ekonomi syariah. Dimana sebelumnya terjadi dualisme kompetensi absolut antara pengadilan agama dan pengadilan umum.

Ketiga, kewenangan/kompetensi baru berarti menjadi sebuah tantangan baru bagi ha-kim pengadilan agama dalam memutus sengketa bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syari-ah). Oleh karena itu, wawasan hakim pengadilan agama mengenai ekonomi syariah sangatlah penting, sehingga diperlukan pelatihan bagi hakim pengadilan agama serta perlu adanya sara-na dan prasarasara-na untuk menunjang hakim dalam menyelesaikan sengketa.

Keempat, telah dikemukakan bahwa tempat penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah adalah pengadilan agama. Namun hal tersebut dapat disimpangi dengan dirumuskan-nya pilihan forum (choice of forum) dalamakaduntuk menyelesaikan sengketa salah satunya adalah arbitrase (Basyarnas). Pada hakikatnya cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu litigasi dan non-litigasi. Keduanya mempunyai plus dan minusnya masing-masing. Tetapi ada beberapa hal yang tidak dimiliki oleh Basyarnas, sehingga menja-di kelebihan pengamenja-dilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah.

Kelima, pada akhirnya pengadilan agama dijadikan sarana akhir (ultimum remedium) penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah dengan berbagai kelebihannya. Penegak-an hukum dalam pengadilPenegak-an agama akPenegak-an berjalPenegak-an efektif apabila semua unsur dalam sistem hukum, baik struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum bersinergitas menghasil-kan suatu sistemm yang baik dalam penyelesaian sengketa yang ada.

Dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah tidak akan lepas dari adanya sengketa se-perti halnya kegiatan bisnis lainnya. Hal yang sepatutnya dihindari apabila para pihak dapat menjalankan prestasinya secara baik sesuai dengan isiakad. Dan kemudian sengketa itu akan diajukan ke pengadilan agama untuk diadili. Kegiatan bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) sebenarnya adalah kegiatan yang baik dan diridhoi oleh Allah SWT jika dilakukan dengan baik pula. Mengingat dasarnya berpedoman pada syariah-syariah dalam Islam. Oleh karena itu, dapat dilihat secara jelas potensi manfaat keberadaaan sistem perekonomian syariah ditujukan kepada bukan hanya untuk warga masyarakat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia (rahmatanlil ‘alamin- rahmat bagi seluruh alam semesta).

Sebagai penutup akhir dalam paper ini, penulis mengambil adagium dalam hukum romawi yaitu “Juris Ignerantia Nocet, Facti Non Nocet” artinya “Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal fakta-fakta tidak merugikan”.


(21)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim…

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan salam yang tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memberikan kenikmatan, kesehatan dan kelancaran dalam menyelesaikan karya ilmiah (paper) ini secara baik dan tepat waktu. Serta kepada:

1. Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Acara Perdata sekaligus Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Fakultas Hukum Uni-versitas Jember yang senantiasa memberikan arahan dan masukan mengenai materi metodologi penulisan ilmiah kepada penulis, baik dalam bangku perkuliahan maupun di dalam diskusi-diskusi.

2. Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., Dosen Mata Kuliah Perbankan Syariah dan Ekonomi Syariah Fakultas Hukum Universitas Jember yang memberikan sumbangan pikiran, masukan dan ide sebagai penyempurnaan dalam penulisan karya ilmiah ini. 3. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. Dosen Mata Kuliah Legal Opinion dan Legal

Memorandum Fakultas Hukum Universitas Jember yang memberikan arahan dan masukan mengenai materi metodologi penulisan hukum dan materi pembahasan yang baik kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

Yang kesemuanya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah berkontri-busi besar dalam penulisan karya ilmiah penulis. Semoga Allah SWT membalas amal-amal baik dari para guru penulis di Fakultas Hukum Universitas Jember dan mengganti-Nya secara berlipat ganda.Amin ya rabbal ‘alamin…


(1)

19 islah) yang tidak dimiliki oleh lembaga penyelesaian sengketa secara bersama. Itulah bebera-pa hal yang hanya dimiliki oleh pengadilan agama dibandingkan lembaga penyelesaian lain.

Jika ditilik lebih jauh, keberlakuan hukum atau syariat Islam dalam penyelesaian sengketa baik dalam hukum keluarga dan muamalah tidak terlepas dari perjalanan panjang agama Islam di Indonesia. Para ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia (Sayuti Thalib, 1985: 4). Saat itu, sumber penyelesaiannya berada di dalam syariat Islam, baik Al-Quran, Al-Hadist, dan Ar-Ra’yu.

Kemudian muncul sebuah teori yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje yaitu teori Receptie. Di dalam teorinya, Snouck mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila diresepsi (diterima) oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam (Aripin, 2013: 264). Itu artinya, bagi orang-orang yang beragama Islam berlakulah hukum didalam agama Islam (syariat Islam). Pada intinya, seorang muslim secara sukarela mengikatkan dirinya kepada hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa kecuali apabila terjadi perselisihan atau sengketa yang terjadi dengan sesama muslim.

Teori Receptie menekankan penerimaan terhadap syariat Islam dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Hal tersebut berarti menyampingkan hukum nasional negaranya dan mengutamakan hukum agamanya yang berlaku dan relevan dengan permasalahannya. Dalam konteks penyelesaian sengketa ekonomi syariah (bisnis dan keuangan syariah) yang berprin-sip syariah telah dilegitimasikan kepada pengadilan agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006. Dengan begitu, pengadilan agama merupakan tempat yang ideal demi mencari kea-dilan bagi para pihak sebagai sarana utama (premium remedium) penyelesaian sengketa dan sarana akhir (ultimum remedium) apabila penyelesaian secara non-litigasi tidak berhasil.

Jadi, pengadilan agama diharapkan mampu menjawab semua tantangan ke depan terhadap sengketa yang terjadi dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) terlepas dari kelebihan dan kekurangannya. Semua merupakan keniscayaan yang dapat ter-wujud apabila semua pelaku yang berada dalam peradilan agama menjalankan tugas secara efektif dan efisien. Dengan begitu, pengadilan agama akan menjadi tempat yang efektif dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia.


(2)

20 4. Simpulan

Untuk menutup karya ilmiah (paper) ini, berikut disampaikan beberapa simpulan seba-gai berikut:

Pertama, sejarah membuktikan bahwa pengadilan agama telah mengalami pasang surut kedudukan, eksistensi dan kewenangan sejak masa kolonial atau penjajahan hingga era refor-masi ini. Kemudian setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, eksistensi pengadilan agama mulai diperhitungkan. Sejak era reformasi kedudukan pengadilan agama telah diakui sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung yang bebas dan mandiri menyelenggarakan peradilan dan bukan lagi merupakan bagian dari pemerintah.

Kedua, dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, kewenangan/kompetensi absolut dari pengadilan agama bertambah dari pemutus sengketa mengenai hukum keluarga dalam Islam dan ditambah sebagai pemutus sengketa mengenai ekonomi syariah. Dan pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengukuhkan kewenangan pengadilan agama sebagai pemutus sengketa dalam ekonomi syariah. Dimana sebelumnya terjadi dualisme kompetensi absolut antara pengadilan agama dan pengadilan umum.

Ketiga, kewenangan/kompetensi baru berarti menjadi sebuah tantangan baru bagi ha-kim pengadilan agama dalam memutus sengketa bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syari-ah). Oleh karena itu, wawasan hakim pengadilan agama mengenai ekonomi syariah sangatlah penting, sehingga diperlukan pelatihan bagi hakim pengadilan agama serta perlu adanya sara-na dan prasarasara-na untuk menunjang hakim dalam menyelesaikan sengketa.

Keempat, telah dikemukakan bahwa tempat penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah adalah pengadilan agama. Namun hal tersebut dapat disimpangi dengan dirumuskan-nya pilihan forum (choice of forum) dalamakaduntuk menyelesaikan sengketa salah satunya adalah arbitrase (Basyarnas). Pada hakikatnya cara penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu litigasi dan non-litigasi. Keduanya mempunyai plus dan minusnya masing-masing. Tetapi ada beberapa hal yang tidak dimiliki oleh Basyarnas, sehingga menja-di kelebihan pengamenja-dilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah.

Kelima, pada akhirnya pengadilan agama dijadikan sarana akhir (ultimum remedium) penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah dengan berbagai kelebihannya. Penegak-an hukum dalam pengadilPenegak-an agama akPenegak-an berjalPenegak-an efektif apabila semua unsur dalam sistem hukum, baik struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum bersinergitas menghasil-kan suatu sistemm yang baik dalam penyelesaian sengketa yang ada.

Dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah tidak akan lepas dari adanya sengketa se-perti halnya kegiatan bisnis lainnya. Hal yang sepatutnya dihindari apabila para pihak dapat menjalankan prestasinya secara baik sesuai dengan isiakad. Dan kemudian sengketa itu akan diajukan ke pengadilan agama untuk diadili. Kegiatan bisnis dan keuangan syariah (ekonomi syariah) sebenarnya adalah kegiatan yang baik dan diridhoi oleh Allah SWT jika dilakukan dengan baik pula. Mengingat dasarnya berpedoman pada syariah-syariah dalam Islam. Oleh karena itu, dapat dilihat secara jelas potensi manfaat keberadaaan sistem perekonomian syariah ditujukan kepada bukan hanya untuk warga masyarakat Islam, melainkan kepada seluruh umat manusia (rahmatanlil ‘alamin- rahmat bagi seluruh alam semesta).

Sebagai penutup akhir dalam paper ini, penulis mengambil adagium dalam hukum romawi yaitu “Juris Ignerantia Nocet, Facti Non Nocet” artinya “Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal fakta-fakta tidak merugikan”.


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim…

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan salam yang tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memberikan kenikmatan, kesehatan dan kelancaran dalam menyelesaikan karya ilmiah (paper) ini secara baik dan tepat waktu. Serta kepada:

1. Prof. Dr. Herowati Poesoko, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Acara Perdata sekaligus Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Fakultas Hukum Uni-versitas Jember yang senantiasa memberikan arahan dan masukan mengenai materi metodologi penulisan ilmiah kepada penulis, baik dalam bangku perkuliahan maupun di dalam diskusi-diskusi.

2. Dr. Dyah Ochtorina Susanti, S.H., M.Hum., Dosen Mata Kuliah Perbankan Syariah dan Ekonomi Syariah Fakultas Hukum Universitas Jember yang memberikan sumbangan pikiran, masukan dan ide sebagai penyempurnaan dalam penulisan karya ilmiah ini. 3. Dr. Ermanto Fahamsyah, S.H., M.H. Dosen Mata Kuliah Legal Opinion dan Legal

Memorandum Fakultas Hukum Universitas Jember yang memberikan arahan dan masukan mengenai materi metodologi penulisan hukum dan materi pembahasan yang baik kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

Yang kesemuanya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah berkontri-busi besar dalam penulisan karya ilmiah penulis. Semoga Allah SWT membalas amal-amal baik dari para guru penulis di Fakultas Hukum Universitas Jember dan mengganti-Nya secara berlipat ganda.Amin ya rabbal ‘alamin…


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Ali, Achmad. 2012. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Ali, Zainuddin. 2010.Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Aripin, Jaenal. 2013. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

---. 2008. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Asshiddiqie, Jimly. 2009.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press. Bambang AS dan Sujayadi, 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen

Litigasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Effendi, Satria. 2014.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hamidi. 2004.Metodologi Penelitian Kualitatif. Malang: UM Malang.

Lubis, Suhrawardi K. dan Farid Wajdi. 2012.Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Mahfud, Moch. M.D. 2007.Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi.

Jakarta: LP3ES Press.

Marzuki, Peter Mahmud. 2014.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mertokusumo, Sudikno. 2010.Mengenal Hukum. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Poesoko, Herowati. 2009. Hak Kreditor Separatis dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit. Yogyakarta: LaksbangPressindo.

Qamar, Nurul. 2013.Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi(Human Rights in Democratiche Rechtsstaat). Jakarta: Sinar Grafika.

Rousseau, Jean Jaques. 2010.Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip Hukum-Politik. terjemahan Tim Forum Jakarta-Paris (Ed.). Jakarta: Dian Rakyat.

Sidartha, Bernard Arief. 2013.Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Subekti, R. 2003.Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Tanya, Bernard L. 2014.Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing Thalib, Sayuti. 1985.Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara.

Wahyudi, Abdullah Tri. 2004.Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2013.Hukum, Konsep dan Metode. Malang: Setara Press.

---. 2013. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press.


(5)

Widjaja, Gunawan. 2008. Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: Arbitrase vs. Pengadilan, Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Winarno. 2012. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: PT Bumi Aksara.

Winarta, Frans Hendra. 2010.Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal/Majalah:

Adams, Wahiduddin. 2007. Peran dan Kesiapan Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah. Majalah Hukum Nasional, BPHN, Nomor 2, 135-146.

Agustianto, 2007. Legislasi Ekonomi Syariah di Indonesia. Majalah Hukum Nasional, BPHN, Nomor 2, 177-184.

Nurdin, Andriani. 2007. Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri sebagai Cikal Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah di Pengadilan Agama. Majalah Hukum Nasional, BPHN, Nomor 2, 207-213.

Setyowati, Ro’fah. 2013. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 terkait Penegakan Hukum Perbankan Syariah dari Perspektif Hukum Progresif, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, 917-930. Yogyakarta: Thafa Media.

Sinaga, Syamsudin Manan. 2007. Arbitrase dan Kepailitan dalam Sistem Ekonomi Syariah. Majalah Hukum Nasional, BPHN, Nomor 1, 171-182.

Karya Ilmiah:

Barlianti, Yeni Salma. 2010. Kedudukan Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional. dalam Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Suparman, Eman. 2010. Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa Bisnis menurut Prinsip Syariah. makalah disampaikan pada acara Sharia Economic Research Day dengan Tema: “Penguatan Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Guna Mendukung Pertumbuhan Industri Keuangan Syariah” diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat; Auditorium Universitas YARSI, Jakarta: Kamis, 10 Juni 2010.


(6)

CURRICULUM VITAE ( Daftar Riwayat Hidup )

DATA PRIBADI

Nama : Muhammad Rizal Rachman

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat, tanggal lahir : Jember, 08 November 1993 Kewarganegaraan : Indonesia

Status perkawinan : Belum Kawin Tinggi, berat badan : 176 cm, 51 kg

Kesehatan : Baik

Agama : Islam

Alamat lengkap : Jl. Gajah Mada IV No.18/36 RT 02/RW 020 Kaliwates Kab. Jember Telepon, HP : (0331) 483448, 082 330 018 989

E-mail :muhammadrizalrachman@yahoo.co.idatau mrizalrachman6@gmail.com

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

1998–2000 : TK Al Baitul Amin Jember

2000 - 2006 : SD Negeri Jember Kidul 02 Jember 2006–2009 : SMP Negeri 10 Jember

2009 - 2012 : SMA Negeri Arjasa Jember

2012 - sekarang : Program Studi Ilmu Hukum (S-1) Fakultas Hukum UNEJ

PENGALAMAN ORGANISASI

2009 - 2011 : Organisasi Pecinta Alam Hega’s Wana SMAN Arjasa Jember

2012 - sekarang : UKM - Fakultas Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam AKASIA FH-UNEJ 2012 - sekarang : UKM - Fakultas FK2H (Forum Kajian Keilmuan Hukum) FH-UNEJ

KARYA TULIS YANG PERNAH DIBUAT

1. Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Calon Presiden Perseorangan (Independent) sebagai Finalis Constitutional Law Festival 2013 di Universitas Brawijaya. 2. Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun