Putusan Mahkamah Konstitusi: Pengukuhan Kompetensi Absolut Peradilan Agama

8

3.2. Putusan Mahkamah Konstitusi: Pengukuhan Kompetensi Absolut Peradilan Agama

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar dalam sistem kekuasan negara mo- dern. Jauh sebelum berkembang seperti saat ini, pemisahan kekuasaan separation of power telah dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad SAW. Bedanya, pada masa Rasulullah dan Para Khalifah kekuasaan kehakiman masih berada dibawah satu kekuasaan pemerintahan. Sehingga masih dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Namun pada saat ini, keku- asaan kehakiman yudikatif merupakan kekuasaan yang bebas dan mandiri untuk menye- lenggarakan peradilan, tanpa dapat diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuasaan yang lainnya, baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif Asshiddiqie, 2009: 311. Peradilan agama selaku salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, secara bebas dan mandiri untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan penyelesaian sengketa yang terjadi antara orang-orang yang beragama Islam. Peran peradilan agama sejak era reformasi sangat- lah kuat, yaitu sejak penyatuatapan lembaga peradilan agama dengan Mahkamah Agung. Hal itu merupakan salah satu konsekuensi dari sejarah ketatanegaraan Indonesia saat pergerakan reformasi tahun 1998, sampai dengan amandemen terhadap UUD 1945. Perubahan politik hukum di bidang peradilan dan kekuasaan kehakiman itu menurut Mahfud MD disebut dengan perubahan yang bersifat proliferatif berkembang biak Mahfud, 2013: 139. Transformasi peradilan agama telah terjadi baik kelembagaan, eksistensi dan kewenangan kompetensi. Setiap lembaga peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung memiliki kompetensi yang berbeda-beda. Di Indonesia dalam sistem peradilannya dewasa ini terdapat empat lingkungan peradilan, yang masing-masing mempunyai lembaga peradilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Lingkungan-lingkungan peradilan yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: a. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam lingkungan peradilan umum; b. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam lingkungan peradilan agama; c. Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dan d. Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer. Peradilan Agama dalam meyelenggarakan fungsi yudisial kehakiman mempunyai kompetensi yang berbeda dengan kompetensi Peradilan lainnya. Kompetensi menurut Ka- mus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah kewenangan kekuasaan untuk menentukan memutus sesuatu. Artinya bahwa peradilan agama memiliki kewenangan untuk memutus atau mengadili suatu perkara tertentu dalam hal ini perkara yang berprinsip syariah. Kompetensi di dalam peradilan terbagi menjadi 2, yaitu kompetensi absolut dan kom- petensi relatif. Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara atau sengketa yang diatur dalam undang-undang. Jadi disini yang ditekankan adalah jenis-jenis sengketa apa yang dapat diadili oleh pengadilan agama. Sementara itu, kompe- tensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu sengketa di wilayah hukumnya. Dalam kompetensi relatif yang ditekankan adalah mengenai wilayah hukum pengadilan agama dalam mengadili suatu perkara. Kompetensi absolut pengadilan agama telah dimuat dalam Pasal 49 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyele- saikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; 9 b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Waqaf dan shadaqah.” Awal pembentukan undang-undang tentang Peradilan Agama memang pada saat itu masih terbatas. Penyelesaian sengketa yang menjadi kompetensi peradilan agama masih ber- kisar penyelesaian masalah nikah, talaq, dan rujuk NTR atau al-ahwal al-syakhsiah saja Suparman, 2010: 7. Selain itu juga menyangkut masalah kewarisan dalam Islam. Peng- adilan agama sebagai tempat penyelesaian sengketa terkait dengan hukum keluarga. Hukum keluarga menurut R. Soebekti: “mengatur perihal hubungan-hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, curatele.”Subekti, 2003: 16 Setelah berlaku sekitar 17 tahun, maka perlu diadakan perubahan terhadap UU No. 7 Tahun 1989 tersebut agar mengikuti perkembangan jaman. Barulah pada tanggal 28 Februari 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Pengesahan Perubahan terha- dap UU No. 7 Tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun 2006. Dalam undang-undang yang ba- ru, terdapat beberapa perubahan pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang lama. Salah satunya tentang kompetensi absolut pengadilan agama. Pada Pasal 49 tersebut menye- butkan penambahan kewenangan pengadilan agama dalam mengadili suatu perkara antar sesama orang yang beragama Islam. Selengkapnya Pasal 49 menyatakan: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah;dan i. ekonomi syariah” Penambahan dan perluasan kompetensi absolut pengadilan agama tidak terlepas dari berbagai tuntutan masyarakat khususnya Islam untuk menyelesaikan sengketa muamalah atau perdagangan berdasarkan prinsip syariah. Sebagai konsekuensi ditambahnya kompetensi absolut pengadilan agama, maka kewenangan pengadilan agama setara dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa-sengketa bisnis yang diajukan kepadanya. Satu hal yang secara prinsipil membedakan pengadilan agama dengan pengadilan negeri dalam memeriksa sengketa bisnis adalah basis sengketanya, yaitu lembaga ekonomi syariah. Sedangkan apabila sengketa yang timbul itu mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri dalam lingkungan Peradilan Umum Linda Rachmainy Anita Afriana dalam Suparman, 2010: 7. Perbedaan pengadilan agama dengan pengadilan umum dalam menyelesaikan sengketa bisnis adalah basis sengketanya yaitu lembaga ekonomi syariah. Apa saja yang termasuk da- lam lembaga-lembaga ekonomi syariah? Untuk menjawabnya perlu dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa: “yang termasuk dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: a bank syariah; b asuransi syariah; c reasuransi syariah; d reksa dana syariah; e obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; f sekuritas syariah; g pembiayaan syariah; h pegadaian syariah; i dana pensiun lembaga 10 keuangan syariah; j bisnis syariah; k lembaga keuangan mikro syariah.” Dari uraian di- atas dapat disimpulkan pengadilan agama saat ini tidak hanya menyelesaikan sengketa terkait dengan hukum keluarga dalam Islam, tetapi juga sengketa terkait dengan ekonomi syariah. Salah satu jenis kegiatan usaha ekonomi syariah adalah bank syariah atau perbankan syariah. Secara khusus telah dibuat undang-undang mengatur tentang Perbankan Syariah yai- tu UU No. 21 Tahun 2008. Pasal 1 angka 1 menyatakan: “Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.” Dari definisi diatas jelas menjelaskan bahwa perbankan syariah mengatur tentang hal- hal yang berkaitan dengan bank serta unit usaha yang berprinsip syariah. Lantas jika terjadi suatu sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dimana? Undang-undang tersebut juga telah mengatur sesuai dengan Pasal 55 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradil- an agama. Berarti penyelesaian sengketa hanya dilakukan di pengadilan agama saja. Namun di dalam ayat 2 di pasal yang sama menyebutkan yang pada intinya apabila para pihak telah menjanjikan penyelesaiannya di luar pengadilan agama maka dilakukan sesuai dengan isi akadkontrak. Ketentuan tersebut mencerminkan asas kebebasan berkontrak dalam setiap pembuatan kontrak. Kini yang menjadi pertanyaan adalah peradilan umum menjadi salah sa- tu pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan agama. Sangat disayangkan jika penye- lesaian yang dipilih oleh para pihak dalam sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui peradilan umum. Sudah jelas-jelas perbankan syariah itu perbankan yang berprinsip syariah, sehingga penyelesaiannya pun diselesaikan dengan prinsip syariah yang sesuai dengan Pasal 55 ayat 3 undang-undang tersebut. Dengan begitu seolah-olah menunjukkan bahwa peradilan umum telah menegasikan kewenangan yang dimiliki oleh peradilan agama. Serta mengakibatkan overlapping kewenangan atas sengketa perbankan syariah. Padahal setiap peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung mempunyai kompetensi kewenangan absolutnya sendiri-sendiri. Tanpa kecuali bagi peradilan agama itu sendiri. Pada dasarnya, persoalan dualisme kompetensi absolut telah pernah terjadi dalam ling- kungan peradilan agama dan peradilan umum, khususnya dalam menangani sengketa waris antara orang-orang yang beragama Islam. Hal tersebut sering terjadi sebelum dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006 Setiyowati, 2013: 917. Jika ditelusuri lebih jauh, penyebab utama terdapatnya dualisme tersebut dikarenakan adanya perbedaan penafsiran pada Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1989. Dari kasus ini, memang menimbulkan ketidakpastian hukum yang sangat nyata. Terhadap dualisme kompetensi absolut tersebut, maka digugatlah ke Mahkamah Kons- titusi. Mahkamah Konstitusi dengan salah satu fungsinya sebagai the protector of the human rights bertugas melindungi hak-hak asasi manusia jika terjadi ketidakpastian hukum terhadap kepentingannya. Melalui Putusan No. 93PUU-X2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa peradilan umum tidak lagi berwenang untuk memutus sengketa yang terjadi dalam perbankan syariah. Karena menurut para Hakim Konstitusi bersepakat bahwa penegakan hukum perbankan syariah melalui lembaga peradilan umum menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip konstitusi sepertimana dijamin dalam Pasal 28D ayat 1 UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersbut tidak berlaku bagi perkara sengketa yang timbul itu mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan negeri dalam lingkungan Per- adilan Umum. Juga perkara contohnya mengenai overspel perzinahan yang dilakukan oleh 11 orang-orang yang beragama Islam, karena basis sengketanya yang berbeda dengan peradilan umum yaitu ekonomi syariah. Oleh karena itu, sudah barang tentu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kedudukan, eksistensi dan kompetensi pengadilan agama sangatlah kuat. Serta menjadi pengukuhan terhadap keberadaan pengadilan agama yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia. Terbukti dengan penyatuatapan kedudukan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang bebas dan mandiri, eksistensi yang semakin kuat sebagai satu diantara empat lingkungan peradilan, dan perluasan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yaitu kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah khususnya bisnis dan keuangan syariah. Last but not least, putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan presedent baik bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah di masa yang akan datang.

3.3. Hakim Pengadilan Agama: Kewenangan Baru, Tantangan Baru