Hakim Pengadilan Agama: Kewenangan Baru, Tantangan Baru

11 orang-orang yang beragama Islam, karena basis sengketanya yang berbeda dengan peradilan umum yaitu ekonomi syariah. Oleh karena itu, sudah barang tentu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kedudukan, eksistensi dan kompetensi pengadilan agama sangatlah kuat. Serta menjadi pengukuhan terhadap keberadaan pengadilan agama yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam di Indonesia. Terbukti dengan penyatuatapan kedudukan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang bebas dan mandiri, eksistensi yang semakin kuat sebagai satu diantara empat lingkungan peradilan, dan perluasan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yaitu kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah khususnya bisnis dan keuangan syariah. Last but not least, putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan presedent baik bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah di masa yang akan datang.

3.3. Hakim Pengadilan Agama: Kewenangan Baru, Tantangan Baru

Dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, orang yang berperan penting sebagai pemutus perkara adalah hakim. Kata hakim secara etimologis berarti “orang yang memutus- kan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul fikih kata hakim adalah pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki Effendi, 2014: 68. Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an dalam Surat al-An’am ayat 57 yang artinya sebagai berikut: “…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” QS. al-An’am6:57 Pada hakikatnya, pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk mencari keadilan justiciabelen. Dimana seseorang yang datang ke pengadilan pasti mempunyai perkara atau perselisihan yang ingin diputus oleh hakim. Perkara timbul karena sesuatu kepentingan telah merugikan kepentingan orang lain, tanpa terkecuali dalam kegiatan bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah. Oleh karena itu, agar kepentingan tersebut terlindungi maka perlu disele- saikan melalui pengadilan. Salah satu fungsi peradilan adalah juga agar tidak terjadi main hakim sendiri eigenrichting. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan. Setiap perkara yang ingin diadili oleh seorang hakim harus didaftarkan lebih dahulu ke paniteraan pengadilan. Karena terdapat asas “Judex Ne Procedat Ex Officio” yang berarti di- mana tidak ada yang menggugat, disana tidak ada hakim Ali, 2012: 61. Atau juga asas yang disebut dengan “Wo kein Klager ist, ist kein Richter” dimana tidak ada tuntutan penuntut, maka tidak ada hakim. Selain itu, juga karena hakim bersifat pasif. Artinya hakim menunggu perkara yang didaftarkan dan bukan malah mencari perkara. Kemudian, perkara yang diajukan tersebut sekalipun tidak ada hukum yang mengatur- nya, hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan tidak ada hukum. Yaitu apa yang disebut dengan asas “ius curia novit” hakim dianggap tahu akan hukumnya perkara yang diperiksanya. Bukan menjadi alasan dan tidak masuk akal bagi hakim menolak suatu perkara. Hakim wajib menciptakan hukum dalam hal adanya kekosongan hukum rechts- vacuum. Serta hakim juga wajib menggali nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat agar dapat memberikan putusan memuaskan para pihak. Prinsip peradilan agama yang paling penting adalah peradilan yang bebas dan tidak memihak imparsial. Hakim harus memutus perkara dengan adil, tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain, tidak boleh memutus perkara di bawah tekanan-tekanan, sehingga mem- pengaruhi hakim dalam memberikan putusan yang adil Qamar, 2013: 39. Sebagaimana fir- man Allah SWT yang artinya berbunyi sebagai berikut: 12 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. An-Nisa: 58 Hakim dalam memutus suatu sengketa, seharusnya kembali lagi kepada Allah SWT yang memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya dan wajib pula menetapkan hukum secara adil kepada pihak yang berperkara. Selanjutnya, firman Allah SWT yang lain juga mengajar- kan prinsip persamaan sesama manusia, yang berarti para hakim harus memberikan putusan yang mencerminkan persamaan ciptaan Allah SWT serta tidak pilih kasih, berpihak pada hawa nafsu, dan lain sebagainya yang mengakibatkan kemudaratan. “Wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” QS. An-Nisa: 135 Dari dua firman Allah SWT yang ada diatas, telah tampak bahwa Allah SWT sangat mengajarkan kepada para hakim khususnya hakim pengadilan agama dalam memberikan putusan harus mengandung unsur keadilan rechtsvaardigheid. Dimana menurut Gustav Radbruch, salah satu tujuan hukum dan yang utama adalah keadilan. Selain tujuan hukum yang lain adalah kepastian hukum rechtszekerheid dan kemanfaatan zweckmassigheid. Biasanya, hakim akan terjebak dalam suatu keadaan dimana keadilan berdiri secara diametral dengan kepastian hukum. Hal itu menyebabkan hakim harus memilih diantara keduanya. Herowati Poesoko mengatakan bahwa “…semua penyelesaian masalah pada akhirnya akan dikembalikan kepada hakim. Baik jaksa, polisi, pengacara semuanya tidak dapat menyelesaikan masalah”. Itulah sebabnya peran hakim begitu besar sebagai pemeriksa, pemutus, dan penyelesai masalah. Yang pada akhirnya akan bermuara ke pengadilan. Hakim sebelum memberikan putusan harus berpijak pada pembuktian didalam per- sidangan. Tujuan pembuktian sendiri menurut Milton C. Jacobs ada dua, yaitu: i untuk mencapai kebenaran; dan ii untuk dapat menghasilkan putusan Ali, 2012: 19-20. Kebe- naran yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kesesuaian yang terjadi antara fakta dan bukti yang ada selama persidangan. Oleh karena itu, hakim harus mendengarkan para pihak secara sama atau seimbang audi at alteram partem. Dalam ilmu hukum, kebenaran yang dicarinya itu belum atau tidak ada diluar subjek, terletak disana di dalam kenyataan dan menunggu untuk ditemukan oleh subjek hakim Sidharta, 2013: 92. Pada akhirnya, hakim akan memberikan suatu putusan untuk mengakhiri sengketa. Kiranya sebelum membahas tentang putusan, seyogyanya harus tahu apa yang disebut dengan putusan. Putusan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah putusan pada akhir pemeriksaan perkara di sidang pengadilan yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, per- timbangan hukum, dan putusan pokok perkara. Sementara itu, putusan menurut Bambang AS dan Sujayadi adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Jika dapat disimpulkan, putu- san adalah sikap hakim sebagai pejabat yang berwenang untuk memutus perkara. Tiap institusi yang bertugas mengemban hukum, baik pada faset legislasi maupun pada faset judikasi memperoleh predikat kehormatan yang melekat pada tugas yang mereka jalankan. Institusi pengadilan diberikan kehormatan sebagai lembaga yang mulia, karena tugasnya mengadili secara otonom dan imparsial sehingga kebenaran dan keadilan ditemu- 13 kan Tanya, 2014: 104. Kemuliaan yang disandangnya, mengharuskan para hakim menge- depankan kearifan dan kepekaan nurani geweten mengenai kebenaran dan keadilan dalam mengadili. Tanggung jawab yang besar mengukuhkan hakim sebagai orang pilihan primus interpares yang terletak pada pencapaian, prestasi, dan intergritas dalam menjalankan tugas. Keutamaan hakim adalah memutus secara adil menurut peraturan perundang-undangan yang ada, disamping itu juga memperhatikan apa yang ada didalam hati nuraninya. Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain hakim disini ber- peran sebagai pembentuk hukum dan padanya tidak diperkenankan hanya sebagai corong undang-undang la bouche de la loi dan terkungkung dalam hukum positif. Selain itu, ha- kim apabila tidak menemukan hukumnya maka ia wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung- jawab. Pertanyaan besarnya adalah dimana hakim menemukan menemukan hukumnya dalam memutus sebuah perkara? Hakim di pengadilan agama pada dasarnya sangat berbeda dengan hakim di pengadilan lainnya. Bedanya adalah sumber hukum di pengadilan agama. Meng- ingat pengadilan agama adalah tempat orang sesama Islam menyelesaikan sengketa, maka penyelesaiannyapun selain diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga diselesaikan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah atau sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu: a. Al-Quran; b. Al-HadistAs-Sunnah; dan c. Arra’yuIjtihad Ijma, Qiyas, Istidal, Masalihal Mursalah, Istihsan, Istisab, dan ‘Urf Adat istiadat. Sebelumnya telah disinggung bahwa sejak disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan kompetensi absolut pengadilan agama telah bertambah yaitu penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Di sini membuktikan bahwa tugas dari hakim pengadilan agama secara mutatis mutandis juga akan bertambah. Sebelumnya hanya menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hukum ke- luarga familierecht dalam Islam, kini ditambah dengan menyelesaikan sengketa yang terkait dengan hukum kekayaan vermogensrecht dalam Islam yaitu ekonomi syariah. Masuknya ekonomi syariah dalam wewenang absolut pengadilan agama, menuntut ada- nya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syariah. Di dalam hukum perkawinan, warisan, dan waqaf kita telah memiliki KHI Kompilasi Hukum Islam, sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita be- lum memilikinya Agustianto, 2007: 179. Hal tersebut telah dijawab dengan dikeluarkannya SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Dengan tidak ada dan jelasnya aturan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan yang baru bagi para hakim di pengadilan agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah. Sebagaimana telah diketahui bahwa saat ini regulasi yang mengatur tentang ekonomi syariah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional DSN di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia MUI. Selain itu, sudah terdapat aturanperaturan yang mengatur secara khusus tentang Perbankan Syariah yaitu UU No. 21 Tahun 2008. Kewenangan baru dan tantangan baru tersebut menimbulkan permasalahan yang ber- kepanjangan apabila tidak diselesaikan secara cepat dan tepat. Menurut Wahiduddin Adams, diperlukan kesiapan dalam 3 tiga aspek untuk melaksanakan peran peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa niaga syariah, yaitu Adams, 2007: 144: a. Aspek hukum materiil; b. Aspek Sumber Daya Manusia; 14 c. Aspek Sarana dan Prasarana. Pertama, aspek hukum materiil. Sampai saat ini hanya ada satu peraturan secara khusus yang mengatur tentang ekonomi syariah, yaitu Perbankan Syariah UU No. 21 Tahun 2008. Disamping itu, meskipun tidak diatur secara jelas tentang Asuransi Syariah, namun kebera- daannya telah diakui dan memberikan kepastian hukum dengan disahkannya UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Lain halnya dengan dua jenis lembaga ekonomi syariah yang lain, seperti lembaga keuangan mikro syariah, pegadaian syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan lain sebagainya belum memiliki payung hukum peraturan perundang- undangan tersendiri. Hal itu dijawab dengan diberlakukannya PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah KHES. Selain itu, untuk menunjang peraturan tentang ekonomi syariah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional DSN yang mengelu- arkan fatwa-fatwa terkait masalah ekonomi syariah. Juga sumber hakim mencari hukumnya yang berprinsip syariah adalah didapat dari fikih dan ushul fikih, adab kebiasaan, serta yurisprudensi pengadilan terdahulu Lubis, 2012: 223. Memang setiap peraturan di masa sekarang dan dimasa yang akan datang kebutuhannya berbeda. Alhasil, selain berpedoman kepada peraturan yang ada, cara hakim untuk menemukan hukumnya dengan berijtihad dan melakukan penemuan hukum rectsvervinding. Penemuan hukumnya dapat dilakukan baik dengan cara sebagai berikut: a. argumentum per analogiam menerapkan metode yang sama pada peristiwa yang sama, serupa dan sejenis; b. argumentum a contrario dengan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang; atau c. penyempitan hukum rechtsverifijning yaitu penyempitan ruang lingkup peraturan perundang-undangan yang terlalu umum atau luas untuk diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu Aripin, 2013: 128. Kedua, aspek sumber daya manusia. Hakim pengadilan agama yang akan menangani perkara ekonomi syariah sebagai kewenangan baru di lingkungan peradilan agama, perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui pelatihan terkait dengan hukum ekonomi dan bisnis. Seperti hukum tentang perbankan, perdagangan niaga, asuransi, serta yang terkait dengan hukum ekonomi dan bisnis. Ketiga, aspek sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mendukung peningkatan kinerja pengadilan agama dalam menangani perkarasengketa ekonomi syariah adalah tersedianya perpustakaan di lingkungan peradilan untuk menyedia- kan informasi dan literatur hukum yang sangat diperlukan oleh hakim. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan pula. Selain Wahiduddin Adams, gagasan hal-hal yang penting bagi pengadilan agama meng- hadapi penyelesaian sengketa ekonomi syariah diajukan pula oleh Eman Suparman. Hal-hal tersebut adalah pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksadana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah. Ketiga, para hakim agama juga perlu me- ningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Selain itu, perlu pula peningkatan wawasan dasar hukum dalam peraturan dan perundang-undangan, juga konsepsi dalam fiqh Islam Suparman, 2010: 17. 15

3.4. Pengadilan Agama vis a vis Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS