Pendahuluan QUO VADIS PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELE

2

1. Pendahuluan

Pada mulanya, manusia sebelum mengenal adanya hukum adalah makhluk yang hidup secara bebas. Tidak ada sebuah aturan yang mengikat dalam setiap perbuatan yang akan dilakukannya. Masa inilah manusia mengalami keadaan yang disebut sebagai homo homini lupus manusia memakan manusia lainnya atau bellum omnium contra omnes. Yang oleh Thomas Hobbes dikatakan bahwa dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ Asshiddiqie, 2009: 345. Nihil- nya hukum saat itu mengakibatkan tatanan kehidupan manusia yang kacau dan tak terkendali. Setiap manusia mempunyai kepentingannya masing-masing. Kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi Mertokusumo, 2010:1. Manusia dalam hidupnya dikelilingi oleh pelbagai bahaya yang mengancam kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia ingin dilindingi berbagai kepentingannya dari bahaya yang ada. Oleh karena itulah, manusia membutuhkan bantuan manusia lainnya. Dengan adanya bantuan dan kerjasama dari manusia lain, kepentingan tersebut akan ter- lindungi dan terjamin pemenuhanya. Maka, manusia perlu membentuk suatu kelompok atau masyarakat yang didalamnya terdiri atas manusia yang bersatu dan bekerjasama saling mem- bantu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Bentuk kerjasama antar manusia itulah yang oleh Jean Jacques Rousseau disebut sebagai kontrak sosial contract social. Kontrak sosial menentukan bahwa perjanjian atau kontrak itu berlaku bersama dengan seluruh masya- rakat yang tiap-tiap individu itu adalah anggotanya yang sederajat, sehingga suara, pikiran, dan keputusan individu dalam masyarakat itu dengan tak kecualinya. Dengan demikian, tak adalah penguasa yang diatas sekaliannya, sebab ia pun tunduk kepada perjanjian atau kontrak bersama Rousseau, 2010: xiii. Dapatlah dikatakan bahwa tidak ada seorang manusia yang hidup seorang diri terpencil jauh dan lepas dari kehidupan bersama. Manusia tidak mungkin berdiri di luar atau tanpa masyarakat. Sebaliknya masyarakat tidak mungkin ada tanpa adanya manusia. Sudah men- jadi sifat pembawaannya bahwa manusia hanya dapat hidup dalam masyarakat. Manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia dan masyarakat merupakan pengertian yang komplementer Mertokusumo, 2010: 3. Sehingga tidak dapat dielakkan bahwa manu- sia tidak dapat hidup menyediri untuk waktu yang lama. Kehidupan bersama dalam satu tatanan bermasyarakat tak pelak menciptakan suatu kontak, hubungan atau interaksi antara kepentingan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Kontak tersebut dapat menimbulkan hal yang menyenangkan ataupun bahkan perten- tangan. Pertentangan kepentingan conflict of interest antar manusia itulah yang menyebab- kan persaingan, konflik ataupun sengketa dalam masyarakat. Konflik atau sengketa timbul apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepen- tingannya, seseorang merugikan kepentingan atau hak orang lain. Islam mengakui dan menghormati hak-hak personal individu manusia sebagai nikmat karunia yang dianugerahkan Tuhan Allah SWT dan mengakui dan menghormati hak-hak kolektivitas sebagai hak publik dalam rangka menata kehidupan di muka bumi dengan konsep hablum minannas wahablum minallah. Islam meletakkan hak-hak individu dalam penggunaannya memberi manfaat baik bagi manusia individu maupun bagi manusia lainnya manusia yang baik yang dapat memberi manfaat bagi manusia lainnya Qamar, 2013:88. Sangat jelas bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak dapat dikesampingkan non-derogable rights. Disinilah peran negara diuji dalam menjaga ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dalam kehidupan bermasyakat. Negara sebagai wujud perwakilan kekuasaan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat memegang tugas penting penyelesaian sengketa dalam masya- rakat Negara menurut teori Trias Politika dari Montesquieu terbagi dalam tiga bagian kekuasaan. Yaitu kekuasaan legislatif membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif 3 melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif mengawasi semua peraturan untuk ditaat serta mengadili pelanggaran undang-undang Winarno, 2012: 40. Secara normatif penyelesaian sengketa menurut hukum positif Indonesia diselesaikan melalui pengadilan secara litigasi maupun diluar pengadilan secara non-litigasi. Peng- adilan selaku pelaku Kekuasaan Kehakiman menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yang sesuai dengan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa penyelesaian suatu sengketa dapat diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan atau non-litigasi, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase UU No. 30 Tahun 1999. Dalam kegiatan bisnis atau keuanganpun, hubungan atau interaksi antara kepentingan yang satu dengan kepentingan orang lain juga dapat menimbulkan sengketa. Tanpa kecuali mengenai sengketa yang timbul dalam kegiatan bisnis yang berbasis ekonomi syariah. Salah satu sengketa yang timbul antara lain kredit macet yang terjadi karena debitor tidak beritikad baik membayar utangnya kepada kreditor. Penyelesaian sengketa niaga menurut Sistem Ekonomi Syariah juga tidak jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa pada umumnya. Penyelesaiannya yang berlandaskan hukum Islam dapat dilakukan dengan cara perdamaian sulhislah, melalui arbitrase tahkim dan melalui pengadilan al-Qadla Sinaga, 2007: 171. Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah secara eksplisit diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 huruf i menyatakan bahwa “Penga- dilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: ….. i Ekonomi Syari- ah.” Hal tersebut diperkuat juga dengan Pasal 55 ayat 1 UU N0. 21 Tahun 2008 ten-tang Perbankan Syariah. Namun, dalam ayat 2 pasal tersebut memungkinkan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah diselesaikan sesuai dengan isi akadperjanjian. Yaitu melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas, atau melalui pengadilan umum. Penulis memfokuskan pembahasan tentang penyelesaian sengketa dalam sistem ekono- mi syariah melalui pengadilan agama litigasi. Dimana penyelesaian sengketa bisnis dalam pengadilan merupakan upaya terakhir the last resort apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil. Melalui penulisan karya ilmiah paper itu, penulis bertujuan untuk mencari dan meng- gali berbagai kelebihan dan kelemahan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan agama. Serta mencari arah masa depan pengadilan agama dalam mengadili perkara ekonomi syariah. Hal ini penting, mengingat tingkat sengketa yang timbul dalam kegiatan ekonomi syariah dari waktu ke waktu semakin tinggi dan banyak. Terlebih lagi penguatan kedudukan pengadilan agama terhadap kompetensi absolut yang dimilikinya setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi bahwa pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah hanya pengadilan agama kompetensi absolut pengadilan umum dibatalkan. 4

2. Metodologi