Pengadilan Agama vis a vis Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS

15

3.4. Pengadilan Agama vis a vis Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS

Transaksi bisnis atau niaga umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme, kepercayaan trust diantara para pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan diantara para pihak. Didalam dunia bisnis dan keua- ngan syariah perselisihan muncul karena masalah utang-piutang atau tidak menjalankan pres- tasi wanprestasi sebagaimana yang diperintahkan dalam perjanjian atau akad. Perselisihan tersebut dapat menibulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan diluar pengadilan. Sarana untuk menyelesaikan persengketaan pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu Nurdin, 2007: 207: a. Dalam bentuk litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dalam masyarakat. b. Dalam bentuk non-litigasi atau Alternatif Dispute Resolution ADR atau Alternatif Penyelesaian Sengketa APS. Bentuk lembaga ini bersifat partikulir, ia tidak dibentuk oleh pemerintah tetapi oleh kebutuhan masyarakat. Jadi, saat ini di Indonesia penyelesaian sengketa antara dua pihak diselesaikan dengan dua macam penyelesaian. Di luar pengadilan atau di dalam pengadilan. Berbicara tentang APS maka berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka yang menjadi jenis-jenis dari APS selain arbitrase yaitu mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli. Kedua macam pola penyelesaian sengketa tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Tanpa terkecuali, setiap kegiatan bisnis tidak pernah lepas dengan apa yang disebut dengan sengketaperselisihankonflik. Yang kesemuanya membutuhkan sebuah jalan keluar atau penyelesaian untuk mendapatkan keadilan serta kepastian di dalam hukum. Terkadang, antara keadilan dan kepastian bak seperti pendulum yang selalu bergerak untuk mencari titik temu yang sama-sama memuaskan para pihak. Bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah- pun tak luput dari apa yang namanya sengketa. Biasanya, penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah ekonomi syariah diselesaikan dengan kalau tidak ke pengadilan agama atau ke Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas. Pola penyelesaiannya dapat ditemukan dalam isi akadperjanjiannya. Hal tersebut menandakan bahwa penyelesaian sengketa dalam bisnis tidak secara melulu ke pengadilan agama. Tergantung pilihan hukum choice of law atau pilihan forum choice of forum dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan dimana. Kebebasan para pihak untuk memilih pola penyelesaian sengketa telah mewujudkan asas yang didalam ilmu hukum dise- but dengan asas kebebasan berkontrak. Secara umum kontrak atau perjanjian atau akad yang dibuat oleh para pihak sebelumnya harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata Burgerlijk Wetboek yang membaginya dengan empat syarat, yaitu: a. Adanya kesepakatan para pihak; b. Kecakapan dari para pihak; c. Adanya objek tertentu dalam perjanjian; dan d. Adanya sebab yang halal terhadap perjanjian yang dibuat. Dari keempat syarat sahnya perjanjian diatas, yang paling utama adalah syarat adanya kesepakatan dari para pihak. Itu artinya adalah arti kesepakatan begitu penting dari pembuat- an setiap akadperjanjian dalam kegiatan bisnis dan keuangan yang berprinsip syariah. Tak pelak jika syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya akadperjanjian tersebut dapat dibatalkan Vernietigbaar. Di dalam isi perjanjian memuat berbagai kesepakatan antara satu pihak dengan pihak lainnya sehingga perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang bagi para pihak yang membuatnya pacta sunt servanda. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah ketentuan 16 mengenai cara penyelesaian sengketa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Cara itu yang disebut dengan pilihan hukum choice of law. Pilihan hukum adalah sistem menge- nai pilihan para pihak yang diberlakukan dalam perjanjian yang dibuat dan hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan sengketanya Jauhari, 2007: 193. Pilihan hukum ini menurut Sudargo Gautama, bersifat otonom bagi mereka. Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa penyelesaian sengketa tidak melulu harus diselesikan secara litigasi tetapi juga secara non-litigasi. Penyelesaian sengketa bisnis dan keuangan syariah ekonomi syariah juga dapat diselesaikan secara non-litigasi, yaitu arbitra- se, mediasi, konsiliasi ataupun pendapat ahli. Namun para pelaku bisnis lebih sering meng- gunakan arbitrase untuk menyelesaikan sengketanya daripada APS yang lain. Arbitrase di dalam hukum positif Indonesia telah diatur dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999. Arbitrase secara etimologis berasal dari kata arbitrage Belanda, arbitrase Latin, tahkim Islam. Menurut Sudargo Gautama, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyelesaian melalui saluran-saluran biasa. Kemudian menurut Abdulkadir Muhammad, arbitrase adalah peradilan swasta diluar lingku- ngan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase merupakan peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak yang berseng- keta. Sedangkan secara yuridis, dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 manyatakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang dida- sarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian jelaslah bahwa arbitrase itu merupakan suatu sistem penyelesaian sengketa keperdataan atas dasar kesepakatanperjanjian secara tertulis oleh para pihak yang bersengke- ta dan putusannya bersifat final dan mengikat. Asas-asas yang ada dalam arbitrase adalah asas final and binding Pasal 68 ayat 1 UU Arbitrase; asas resiprositas Pasal 66 huruf a UU Arbitrase; asas ketertiban umum Pasal 66 huruf c UU Arbitrase; asas kewenangan absolut arbitrase Pasal 3 UU Arbitrase; dan asas separabilitas. Secara khusus telah dibentuk suatu badan arbitrase permanen dalam penyelesaian seng- keta bisnis dan keuangan syariah ekonomi syariah yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas yang semula dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia BAMUI yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia, pada tanggal 5 Jumadil Awwal 1414 H atau tanggal 21 Oktober 1993 M. Sesuai dengan rekomendasi dari Rakernas MUI tahun 2002 dan kemu- dian dengan putusan MUI tanggal 30 Syawwal 1424 H atau 24 Desember 2003 M, kedudukan Basyarnas merupakan perangkat organisasi MUI dan satu-satunya badan hakam milik MUI, yang dalam menjalankan fungsinya sebagai badan hakam yang bersifat indepeden dan otonom Jauhari, 2007: 191. Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam. Sejarah berdirinya Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas di- hubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia BMI dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariah BPRS serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir. Baik pengadilan agama maupun Basyarnas pada hakikatnya sama yaitu untuk menyele- saikan sengketa yang terjadi dalam ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam. Bedanya, yang satu didalam pengadilan litigasi dan lainnya diluar pengadilan non- 17 litigasi. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Tergantung para pihak memilih kemana penyelesaian sengketanya yang sama-sama mengupayakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Juga guna untuk memberikan kepastian bagi para pihak yang berhak mendapatkannya. Dalam praktik, terdapat titik singgung yang terjadi antara pengadilan agama dengan arbitrase Basyarnas. Pasal 11 UU Arbitrase menyatakan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan di dalam suatu penye- lesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Hal tersebut diperkuat dalam Pasal 3 UU Arbitrase, yang menyatakan bahwa: “Pengadila Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah ter- ikat dalam perjanjian arbitrase.” Sebelum SEMA No. 8 Tahun 2010 hal-hal yang menyangkut arbitrase yang berprinsip syariah diatur oleh pengadilan negeri. Barulah setelah SEMA tersebut keluar, maka hal-hal yang terkait dengan arbitrase yang berprinsip syariah diatur oleh pengadilan agama. Itu artinya adalah pengadilan agama tidak lagi ikut campur sedikitpun dalam penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalur non-litigasi. Tapi peran peradilan agama ternyata turut campur sebagai dalam urusan arbitrase antara lain: a. dalam hal pengangkatan arbiter; b. hak ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak terhadap arbiter yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama; c. pendaftaran dan pelaksanaan putusan arbitrase. Satu hal yang menarik adalah dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar didapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana di setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi : ‘’Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional DSN tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus men- cantumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antara perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas. Maka timbul pertanyaan dimana kedudukan fatwa DSN dalam hierarkhi tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Apa- kah fatwa tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada? Jika dilihat dalam sejarahnya, kewenangan DSN untuk mengatur perihal tentang per- bankan syariah tidak lepas dari pelimpahan kewenangan yang menjadi tugas dari Bank Indo- nesia sebagai regulator dan pengawasan terhadap kegiatan perbankan syariah di Indonesia. Sebelum fatwa DSN menjadi regulator dalam kegiatan perbankan syariah, tugas tersebut menjadi wewenang Bank Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia PBI. Pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN dibentuk lewat SK MUI No Kep- 754MUIII99 yang bertujuan untuk menghindari perbedaan ketentuan kegiatan tertentu yang dibuat Dewan Pengawas Syariah DPS di masing-masing LKS Lembaga Keuangan Syariah. Latar belakang utamanya adalah tingkat kebutuhan akan adanya ketentuan yang mengatur di setiap lini kehidupan masyarakat, khususnya msyarakat muslim yang menja- lankan kegiatan usaha berprinsip syariah. Menurut Yeni Salma Barlianti, kedudukan fatwa DSN tersebut memang tidak mengikat secara umum seperti halnya Al-Qur’an, Hadits, dan peraturan perundang-undangan. Lanjutnya, para hakim agama dan arbiter tak melihat keter- 18 kaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan, tetapi lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri yang bukan dianggap sebagai sumber hukum Islam yang utama. Dengan begitu, dapat disimpulkan bawah fatwa DSN mengenai keharusan untuk men- cantumkan klausul penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah melalui Basyarnas bukan merupakan suatu hal yang mengikat kepada para pihak dalam membuat perjanjianakad. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah baik litigasi dan non-litigasi pada dasarnya adalah sama-sama menyelesaikan sengketa yang lahir dalam kegiatan bisnis dan keuangan syariah. Namun secara yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, legitimasi kompetensi absolut penyelesaian sengketa ekonomi syariah diselesaikan melalui Peradilan Agama.

3.5. Pengadilan Agama: Ultimum Remedium Penyelesaian Sengketa Bisnis dan