Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA

OLEH

Ris Ulina Dewi Sartika Purba 080501086

PROGRAM STUDI PERENCANAAN REGIONAL DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN MEDAN

PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI

Nama : Ris Ulina Dewi Sartika Purba

NIM : 080501086

Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Regional

Judul Skripsi : Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Medan, Maret 2012 Penulis

Ris Ulina Dewi Sartika Purba NIM:080501086


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN MEDAN

BERITA ACARA UJIAN

Nama : Ris Ulina Dewi Sartika Purba

NIM : 080501086

Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Regional

Judul Skripsi : Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Ketua Program Studi S-1 Pembimbing Skripsi Ekonomi Pembangunan

Irsyad Lubis, S.E, M.Soc.Sc, Ph.D

NIP: 19710503 200312 1 003 NIP: 19750920 200501 1 002 Paidi Hidayat, S.E, M.Si

Penguji I Penguji II

Drs.Coki Ahmad Syahwier, S.E, M.Sp

NIP: 19590912 198703 1 003 NIP: 19811106 200312 1 002 Haroni Doli Hamoraon, S.E, M.Si


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN MEDAN

PERSETUJUAN ADMINISTRASI AKADEMIK

Nama : Ris Ulina Dewi Sartika Purba

NIM : 080501086

Program Studi : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perencanaan Regional

Judul Skripsi : Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Tanggal, Maret 2012 Ketua Program Studi

NIP: 19710503 200312 1 003 Irsyad Lubis, S.E, M.Soc.Sc, Ph.D

Tanggal, Maret 2012 Dekan

NIP: 19550810 198303 1 004 Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA UTARA” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2012

080501086


(6)

ABSTRACT

The research finds the financial performance in regencies/municipalities in North Sumatera with analysis description qualitative and quantitative method. Based on the fiscal decentralization degree, autonomous region finance ratio, ability finance map with quadrant and index, the result shows that in overall the financial performance in regencies/municipalities in North Sumatera is Low and there are many regencies/municipalities that not able to do autonomy yet.

Key Words : financial performance, fiscal decentralization degree, autonomous region finance ratio, ability finance map with quadrant and index


(7)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara dengan menggunakan metode analisis deskriftif kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran, dan Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (IKKD) dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara masih kurang dan kebanyakan kabupaten/kota di Sumatera Utara belum sanggup berotonomi daerah.

Kata Kunci : Kemampuan Keuangan, Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran, Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (IKKD)


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Allah karena atas kasih anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya yang selalu mendoakan dan mendidik saya.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E, M.Ec. selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si. selaku Sekertaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Irsyad Lubis, S.E, M.Soc, Ph.D. selaku Ketua Program Studi Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Paidi Hidayat, S.E, M.Si. selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai


(9)

dosen pembimbing saya yang telah banyak memberikan motivasi, arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs.Coki Ahmad Syahwier, M.Sp. selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran dan masukan untuk kemaksimalan pengerjaan skripsi ini. 7. Bapak Haroni Doli Hamoraon, S.E, M.Si. selaku Dosen Penguji II yang telah

memberikan saran dan masukan untuk kemaksimalan pengerjaan skripsi ini. 8. Bapak/Ibu Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengajar penulis selama masa pendidikan di kampus Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 9. Bapak/Ibu Pegawai Administrasi Departemen Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang sangat banyak membantu penulis dalam melengkapi segala keperluan administrasi penulis.

10.Bapak/Ibu pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah banyak membantu penulis khususnya dalam memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini.

11.Terima kasih kepada Mama Tua dan Bapak Tua Jesa yang selalu mendukung penulis berupa doa dan motivasi yang positif dalam penyelesaian penelitian ini.

12.Terima kasih untuk abang, kakak dan adikku (Parningotan Purba, Hanna Silitonga, Artita Purba, Samuel Purba, Jesa Purba, Besrini Sitanggang) yang terus memberi dukungan dan doa buat penulis.

13.Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di EP 2008 khususnya (Rolis Saragih, Julintri Hutapea, Hetty Kristina, Pebrina Sembiring, dan M.Ilham).


(10)

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada pembaca dan peneliti selanjutnya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, kiranya teman-teman peneliti selanjutnya dapat menyempurnakan kekurangan dari penelitian yang telah saya lakukan.

Medan, Maret 2012 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah ... 12

2.2 Desentralisasi Fiskal ... 15

2.3 Keuangan Daerah ... 19

2.4 Kemampuan Keuangan Daerah ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 34

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 35

3.3 Pengolahan Data ... 35

3.4 Analisis Data ... 35

3.4.1 Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal ... 36

3.4.2 Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah .. 37

3.4.3 Analisis Peta Kemampuan Keuangan Daerah .... 38

3.4.3.1 Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran ... 38

3.4.3.2 Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (Indeks Kemampuan Keuangan/IKK) ... 40

3.5. Defenisi Operasional ... 42

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Provinsi Sumatera Utara ... 44

4.2 Kondisi Umum Keuangan Daerah di Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara ... 50

4.3 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 53

4.3.1 Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009) ... 53


(12)

4.3.2 Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera

Utara (2001-2009) ... 57

4.3.3 Analisis Peta Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009) ... 60

4.3.3.1 Metode Kuadran ... 61

4.3.3.2 Metode Indeks ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 70

5.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(13)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ... 7 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 28 2.2 Skala Interval lndeks Kemampuan Rutin Daerah ... 28 2.3 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan

Daerah ... 29 2.4 Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi

(Tinjauan Atas Kinerja PAD) ... 31 3.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal ... 37 3.2 Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan

Daerah ... 37 3.3 Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi

(Tinjauan Atas Kinerja PAD) ... 39 4.1 Daftar Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Tahun 2010... 46 4.2 Realisasi Penerimaan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Tahun 2000-2009... 50 4.3 Perkembangan PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Tahun 2000-2009... 51 4.4 Peran PAD terhadap APBD Tahun 2000-2009 ... 52 4.5 Perkembangan Porsi Belanja Pembangunan dan

Belanja Rutin terhadap APBD Tahun 2000-2009 ... 53 4.6 Rata-Rata DDF 25 per Kabupaten/Kota di Sumatera

Utara Selama 2001-2009... 54 4.7 Rata-Rata DDF untuk 25 Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara per Tahun ... 56 4.8 Rata-Rata RKKD per Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara Selama 2001-2009 ... 58 4.9 Rata-Rata RKKD untuk 25 Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara Per Tahun ... 60 4.10 Rata-Rata Jumlah dan Letak Kuadran Kabupaten/


(14)

No. Tabel Judul Halaman 4.11 Letak Kuadran Total se-Sumatera Utara per tahun

Secara Keseluruhan Tahun 2001-2009 ... 65 4.12 Rata-Rata Indeks Kemampuan Keuangan Daerah per

Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Selama

Tahun 2001-2009... 66 4.13 Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah

Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara dari Tahun

2001-2009 ... 67 4.14 Perkembangan Kemampuan Keuangan Daerah


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

4.1. Peta Provinsi Sumatera Utara ... 44 4.2. Peta Kemampuan Keuangan Daerah di


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman 1 Perkembangan pemekaran daerah Kabupaten/

Kota di Sumatera Utara 2001-2009 ... 75 2 Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/

Kota di Sumatera Utara 2001-2009 ... 78 3 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di

Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

2001-2009 ... 79 4 Nilai Indeks Share di Kabupaten/Kota

di Sumatera Utara 2001-2009 ... 80 5 Nilai Indeks Growth di Kabupaten/Kota

di Sumatera Utara 2001-2009 ... 81 6 Letak Kuadran Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara ... 82 7 Indeks Kemampuan Keuangan Daerah di

Kabupaten/Kota di Sumatera Utara


(17)

ABSTRACT

The research finds the financial performance in regencies/municipalities in North Sumatera with analysis description qualitative and quantitative method. Based on the fiscal decentralization degree, autonomous region finance ratio, ability finance map with quadrant and index, the result shows that in overall the financial performance in regencies/municipalities in North Sumatera is Low and there are many regencies/municipalities that not able to do autonomy yet.

Key Words : financial performance, fiscal decentralization degree, autonomous region finance ratio, ability finance map with quadrant and index


(18)

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara dengan menggunakan metode analisis deskriftif kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran, dan Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (IKKD) dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara masih kurang dan kebanyakan kabupaten/kota di Sumatera Utara belum sanggup berotonomi daerah.

Kata Kunci : Kemampuan Keuangan, Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran, Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (IKKD)


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sehingga tujuan mencapai masyarakat yang adil dan makmur merupakan kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya, dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen mengatur bahwa Negara Indonesia terbagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi tersebut dibagi atas Kabupaten/Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten/Kota tersebut mempunyai Pemerintahan Daerah yang kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan dilaksanakan secara hirarkis dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional. (Soekarwo, 2003)

Kualitas kinerja lembaga dalam pemerintahan berkorelasi positif dengan daya dukung pembiayaan yang ada. Dukungan sumber daya keuangan yang memadai mempengaruhi optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugasnya melayani masyarakat. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah harus juga disertai dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah supaya daerah memiliki kemandirian dalam membiayai belanja pemerintahan dan


(20)

kegiatan pembangunan di daerah tanpa tergantung kepada pusat. Oleh karena itu, desentralisasi pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah merupakan aspek terpenting bagi kerja pemerintahan dan pembangunan. (Chalid, 2005)

Di Indonesia, dorongan desentralisasi telah melahirkan dua Undang-Undang (UU), yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang ini mengamanatkan berbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan dan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selain itu, kedua UU tersebut merupakan respon atas berbagai aspirasi masyarakat dan daerah di Indonesia, yang sebenarnya telah cukup lama menginginkan kemandirian dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah. Hal ini mengandung arti bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kepada daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang secara nyata ada dan diperlukan, termasuk segala kewajiban yang ada di dalamnya.

Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah


(21)

dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya (Sidik, 2002). Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manausia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya (Adi, 2005). Akan tetapi bagi daerah yang tidak memiliki potensi yang memadai, kebijakan tersebut sangat memberatkan. Karena bagi daerah yang tidak mempunyai sumber dana yang melimpah akan kesulitan dalam membiayai belanja mereka (Bappenas, 2003).

Adanya kewenangan yang lebih besar memberikan peluang kepada daerah menggali berbagai potensi daerah dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya yang dimiliki yang pada gilirannya dapat mendorong tercapainya kemampuan keuangan yang lebih baik. Dalam jurnal Bappenas (2003) yang membahas tentang peta kemampuan keuangan menyatakan bahwa:


(22)

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antara satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan Pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Sutedi (2009) menyebutkan bahwa berbicara tentang otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan dari tiap-tiap daerah. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Sedangkan Munir et al (2004) menyebutkan kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya.

Menurut Halim dalam (Sutedi, 2009) menyebutkan ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber


(23)

keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

2. Ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Menurut Musgrave (1991) dalam megukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat dipergunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan derajat kemandirian daerah (mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah) dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan) maka akan terlihat kemampuan keuangan daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri maka akan menunjukkan kemampuan keuangan yang positif. Dalam hal ini, kemampuan keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandiran keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Adapun kemampuan keuangan daerah dicerminkan melalui formula anggaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran disusun dengan memperhatikan semua potensi daerah yang ada sehingga formulasi anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. (Chalid, 2005)


(24)

APBD memiliki posisi strategis bagi kemampuan keuangan pemerintah daerah, seperti halnya portofolio suatu perusahan yang mencerminkan performance kinerja perusahan. Oleh karena itu penyusunan arah dan kebijakan umum APBD merupakan bagian dari upaya pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstrada (Rencana Strategi Daerah). (Kuntadi, 2002)

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang turut dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dan banyak mengalami pemekaran daerah yang juga melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Pada awal Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal dilaksanakan yaitu 1 Januari 2001, Sumatera Utara hanya terdiri atas 13 (tiga belas) Kabupaten dan 6 (enam) Kota. Hingga tahun 2010, Sumatera Utara memiliki 25 (dua puluh lima) Kabupaten dan 8 (delapan) Kota (BPS Sumatera Utara). Semua daerah Kabupaten/Kota telah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Untuk lebih jelasnya data perkembangan pemekaran daerah di Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 1.

Kreativias dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Seperti yang telah disebutkan pada uraian di atas, bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus didukung oleh kemampuan keuangan daerah. Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya.


(25)

Otonomi daerah telah dilaksanakan kurang lebih selama sebelas tahun (2001-2011), yang mana dalam kurun waktu tersebut pastinya telah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah kabupaten/kota dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dari sumber Pendapatan Asli Daerah.

Tabel 1.1

PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (000 Rupiah)

No Kabupaten/ Kota 2001 2005 2009

1 Nias 5469232 6698432 23169535

2 Mandailing Natal 1943576 5801500 10085650 3 Tapanuli Selatan 4305466 7547546 23006401 4 Tapanuli Tengah 3020770 5697235 13316530 5 Tapanuli Utara 4342558 6954793 12616652 6 Toba Samosir 10661957 8617024 9661372 7 Labuhan Batu 8383322 25454818 39013695 8 Asahan 15569195 23100001 21076220 9 Simalungun 11796209 18822379 45517693 10 Dairi 3987533 5243095 14244491

11 Karo 4688606 12750000 27186838

12 Deli Serdang 26996853 59145801 103686291 13 Langkat 9361131 16834743 33987115 14 Nias Selatan - 1796000 14543916 15 Humbang Hasundutan - 3087312 8039936

16 Pakpak Barat - 1373000 5282210

17 Samosir - 5210897 14829816

18 Serdang Bedagai - 12896921 19018703 19 Sibolga 2463313 18342667 12820154 20 Tanjung Balai 4140494 9574573 16525446 21 Pematangsiantar 9468203 14923315 20458428 22 Tebing Tinggi 4118449 6851238 17339056 23 Medan 88262844 170180000 368564026 24 Binjai 3909632 13002786 17272606 25 Padangsdempuan 4682000 11836009

Sumber : Laporan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (BPS Sumut)


(26)

Dalam tabel 1.1 di atas dapat kita perhatikan bahwa pada tahun 2001, 2005 dan 2009 jumlah PAD pada masing-masing kabupaten/kota di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 Sumatera Utara masih terdiri atas 19 (sembilan belas) kabupaten/kota dengan tiga urutan PAD tertinggi yaitu Kota Medan (88,26 milyar), Kabupaten Deli Serdang ( 26,99 milyar) dan Kabupaten Asahan (15,56 milyar) dan tiga urutan PAD terendah yaitu Kabupaten Mandailing Natal (1,94 milyar), Kota Sibolga (2,46 milyar), dan Kabupaten Tapanuli Tengah (3,02 milyar).

Kemudian pada tahun 2005 Sumatera Utara yang melakukan pemekaran daerah menjadi 25 (dua puluh lima) kabupaten/kota dengan tiga urutan PAD tertinggi telah berbeda dari tahun 2001 menjadi Kota Medan (170,18 milyar), Kabupaten Deli Serdang (59,14 milyar) dan Kabupaten Labuhan Batu (25,45 milyar) dan tiga urutan PAD terendah yaitu Kabupaten Pakpak Bharat (1,37 milyar), Nias Selatan (1,79 milyar), dan Kabupaten Humbanghasundutan (3,08 milyar).

Selanjutnya, pada tahun 2009 tiga urutan PAD tertinggi telah berubah menjadi Kota Medan (368,56 milyar), Kabupaten Deli Serdang (103,68 milyar), dan Kabupaten Simalungun (45,51 milyar) dan tiga urutan PAD terendah yaitu Kabupaten Pakpak Barat (5,28 milyar), Humbang Hasundutan (8,03 milyar), dan Toba Samosir (9,66 milyar).

Adapun data-data yang tertera di atas menunjukkan bahwa sangat besarnya perbedaan jumlah PAD dari daerah yang PADnya tertinggi dengan daerah yang PADnya terendah. Meskipun demikian, yang terpenting ialah


(27)

bagaimana kemampuan keuangan daerah masing-masing yang mana telah disebutkan pada penjelasan di atas bahwa kemampuan keuangan dapat dilihat dari kemampuan suatu daerah dalam membiayai belanja daerahnya dengan dana yang diperoleh dari pendapatan asli daerah dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa daerah tersebut sanggup untuk melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Ada beberapa daerah yang memiliki PAD tinggi tetapi tidak mampu membiayai belanja daerahnya. Hal ini menunjukkan daerah tersebut belum mampu melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, ada juga daerah yang PADnya rendah tetapi mampu membiayai belanja daerahnya. Hal ini berarti, daerah tersebut mampu melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Berdasarkan keadaan atau kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara, yang akan digambaran melalui derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, dan peta kemampuan keuangan. Adanya kewenangan yang lebih besar memberikan peluang kepada daerah untuk menggali berbagai potensi daerah dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya yang dimiliki, yang pada gilirannya dapat mendorong tercapainya kemampuan keuangan yang lebih baik. Sehingga dalam penelitian ini penulis mengangkat judul Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.


(28)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis mengajukan rumusan masalah yang menjadi acuan dalam mengkaji penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

2. Bagaimana tingkat Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

3. Bagaimana peta kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengetahui dan menganalisis tingkat Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

2. Mengetahui dan menganalisis tingkat Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

3. Mengetahui dan menganalisis perkembangan peta kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).


(29)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sebagai tambahan pengalaman dan wawasan bagi penulis untuk

mengetahui bagaimana kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara.

2. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada yang menyangkut dengan topik yang sama yaitu terkait masalah kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara.

3. Sebagai informasi dan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya dengan topik yang sama yaitu terkait masalah kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara.

4. Bagi masyarakat umum diharapkan menjadi sebuah wacana untuk melihat keefektifan keuangan daerah dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuan keuangan daerah di kabupaten/kota di Sumatera Utara.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah

Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa/kata latin yaitu “autos” yang berarti “sendiri”, dan “nomos” yang berarti “aturan”. Sehingga otonomi diartikan “pengaturan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri” (Sasana, 2006).

Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah: “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa: “otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang-undangan, dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah”.

Otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun di negara kita diharapkan bukan hanya pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk menggeser kekuasaan. Hal itu ditegaskan oleh Kaloh (2002) bahwa: “otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi “daerah” dalam pengertian wilayah/teritorial tertentu di tingkat lokal”. Otonomi daerah bukan hanya merupakan pelimpahan wewenang tetapi juga peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Berbagai


(31)

manfaat dan argumen yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah tidak langsung dapat dianggap bahwa otonomi adalah sistem yang terbaik.

Berbagai kelemahan masih menyertai pelaksanaan otonomi yang harus diwaspadai dalam pelaksanaannya. Remy Pnid'homme dalam (Sugiyanto, 2000) mencatat beberapa kelemahan dan dilema dalam otonomi daerah, antara lain :

1. Menciptakan kesenjangan antara daerah kaya dengan daerah miskin

2. Mengancam stabilisasi ekonomi akibat tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal.

3. Mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya lembaga perwakilan rakyat dengan indikator masih lemahnya public hearing.

4. Perluasan jaringan korupsi dari pusat menuju daerah.

Prinsip-prinsip otonomi daerah yang dianut dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi keanekaragaman daerah 2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata,

dan bertanggung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.


(32)

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan semacamnya, berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

7. Pelaksanaan tugas pembantuan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga pemerintah daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.

Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi dalam (Frediyanto, 2010) menegaskan beberapa ukuran sebagai berikut:

1. Kemampuan struktural organisasi

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya,


(33)

jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan. 3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.

4. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.

2.2 Desentralisasi Fiskal

Asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu : “desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan”. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.


(34)

Desentralisasi fiskal yaitu : “suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan”. Menurut Khusaini (2006) desentralisasi fiskal merupakan “pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat”.

Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 Pasal 1, desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1, huruf e, UU No. 22/ 1999). Sedangkan Pengertian desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam kamus Webster’s Third New International Dictionary, disebutkan defenisi desentralisasi yaitu “The dispersion or distribution of functions and powers from a central authority to regional and local governing bodies”. (Saragih, 2003)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) “money should follow function” merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan (Bahl dalam Sasana, 2006). Artinya, setiap penyerahan atau


(35)

pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Bahl dalam (Sasana, 2006) mengemukakan dalam aturan yang kedua belas, bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan di antara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar meningkatkan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan.

Barzelay dalam (Sasana, 2006) menyebutkan bahwa pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal memiliki tiga misi utama, yaitu:

a. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah b. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta

(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sangat penting untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :


(36)

1. Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (welfare state).

2. Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi, kekuasaan yang di dalamnya terdapat lingkungan kekuasaan baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal itu, perlu pemencaran kekuasaan (dispersed of power).

3. Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum. Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Menurut Bahl (dalam Sasana, 2006) desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya kemampuan pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah ini secara teori dapat berdampak positif maupun


(37)

negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dampak positif pajak (local tax rate) dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa tax revenue akan digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur dan membiayai berbagai pengeluaran publik. Sebaliknya, dampak negatif pajak bagi pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan karena pajak menimbulkan “dead weight loss of tax”. Ketika pajak dikenakan pada barang, maka pajak akan mengurangi surplus konsumen dan produsen.

Menurut Oates dalam (Sasana, 2006) desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional/ pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Oates juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi daripada kebijakan pemerintah pusat. Menurutnya daerah memiliki kelebihan dalam membuat anggaran pembelanjaan sehingga lebih efisien dengan memuaskan kebutuhan masyarakat karena lebih mengetahui keadaannya.

2.3. Keuangan Daerah

Kebijakan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal sesuai UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan awal era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih otonom. Dalam rangka melaksanakan fungsinya secara efektif maka, pemerintah daerah harus didukung sumber-sumber pendapatan yang pasti agar pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintah di daerah terjamin. Berdasarkan UU tersebut, daerah memiliki kewenangan mendayagunakan potensi keuangan daerah, dana


(38)

perimbangan keuangan pusat dan daerah serta antar daerah, dan kewenangan mendayagunakan akses terhadap pinjaman di dalam negeri maupun di luar negeri.

Defenisi Keuangan Daerah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105 Tahun 2000 adalah “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.”

Menurut Jaya dalam (Munir et al, 2004) pengertian Keuangan Daerah adalah “Seluruh tatanan, perangkat kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan belanja daerah”. Sedangkan menurut Mamesah dalam (Munir et al, 2004) pengertian Keuangan Daerah adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku”.

Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.


(39)

Berdasarkan pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur pokok yaitu:

- Hak Daerah yang dapat dinilai - Kewajiban Daerah dengan uang

- Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah. Hak daerah tersebut meliputi antara lain :

1. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000). 2. Hak untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU

No. 34 tahun 2000).

3. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).

4. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33 tahun 2004). Kewajiban daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan pusat sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2. Memajukan kesejahteraan umum, 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4. Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.


(40)

Sebelum Undang-Undang Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini adalah anggaran yang berimbang dimana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan, bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah.

Adapun struktur baru APBD berdasarkan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah terdiri atas sebagai berikut:

i. Pendapatan daerah ii. Belanja daerah iii. Pembiayaan

Apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Lebih aman jika tidak mendesain anggaran daerah yang ekspansif tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya.

Dasar hukum yang digunakan dalam pengelolaan keuangan daerah dimana merupakan perwujudan dan rencana kerja keuangan tahunan pemerintah daerah, berdasarkan ketentuan-ketentun sebagai berikut (Munir et al, 2004) :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.


(41)

2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2000 tentang Informasi Keuangan Daerah.

Tujuan utama pengelolaan keuangan daerah menurut Binder dalam (Frediyanto, 2010) yaitu:

(1) Tanggung jawab,

(2) Memenuhi kewajiban keuangan, (3) Kejujuran,

(4) Hasil guna, dan (5) Pengendalian

Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah saat ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah menurut Mardiasmo dalam (Frediyanto, 2010) adalah sebagai berikut:


(42)

1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentinganpublik (public oriented ). Hal tersebut tidak hanya terlihat dari besarnya pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat dari besarnya partisipasi masyarakat (DPRD) dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan daerah.

2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta dari partisipasi yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya.

4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah, dan PNS, baik rasio maupun dasar pertimbangannya.

6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.

7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang-barang daerah yang lebih profesional.

8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, serta transparansi informasi anggaran kepada publik.


(43)

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.

10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudah mendapatkan informasi.

2.4. Kemampuan Keuangan Daerah

Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri (Kaho dalam Berti, 2006). Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangannya sendiri guna membiayai kebutuhan daerah tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat. Selain itu, salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keuangan merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.

Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah “kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerah”. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 2002).


(44)

Otonomi daerah tersebut juga termasuk didalamnya desentralisasi fiskal yang mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Desentralisasi fiskal dilakukan pada saat daerah mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (Adi, 2006). Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003).

Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah, Insukindro et al dalam (Berti, 2006) mengemukakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah daerah. Pada prinsipnya, semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecilnya tingkat ketergantungan daerah kepada pemerintah daerah atau kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab.

Dalam rangka implementasi Undang-undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004, salah satu faktor yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah adalah kemampuan keuangan daerah, sedangkan indikator yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah tersebut ialah rasio PAD dibandingkan dengan total penerimaan APBD (Kuncoro, 2003).


(45)

Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave (1991) dalam megukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat dipergunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah.

Besarnya derajat desentralisasi fiskal dapat dilakukan melalui analisis rasio. Reksohadiprojo dalam (Munir, 2004) menjelaskan bahwa untuk derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah digunakan ukuran:

(a) Rasio PAD terhadap TPD

(b) Rasio BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah) terhadap TPD

(c) Rasio Sumbangan dan Bantuan (SB) terhadap TPD

Dhiratayakinnat dalam (Munir, 2004) menyebutkan pengukuran derajat desentralisasi fiskal daerah kabupaten/kota dengan menggunakan administrative independency ratio yaitu rasio antara PAD dengan total APBD suatu daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

= X 100%

Total Pendapatan Daerah (TPD)

BHPBP

= X 100%

Total Pendapatan Daerah (TPD)

Sumbangan Daerah

= X 100%


(46)

dalam kurun waktu tertentu minus transfer dari pemerintah pusat.

Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri RI bekerjasama dengan FISIPOL UGM menentukan tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio PAD terhadap total APBD sebagai berikut:

Tabel 2.1

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0,00 – 10,00

10,01 – 20,00 20,01 – 30,00 30,01 – 40,00 40,01 – 50,00 > 50,00 Sangat Kurang Kurang Sedang Cukup Baik Sangat Baik

Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 (dalam Munir, 2004)

Sedangkan menurut Kuncoro dan Radianto dalam (Munir, 2004) desentralisasi fiskal dapat dicerminkan melalui struktur pengeluaran daerah, dengan angka Indeks Kemampuan Rutin (IKR), yaitu proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat. Tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio PAD terhadap pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat dapat menggunakan skala seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.2

Skala Interval lndeks Kemampuan Rutin Daerah

PAD/Pengeluaran Rutin (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0,00 – 10,00

10,01 – 20,00 20,01 – 30,00 30,01 – 40,00 40,01 – 50,00 > 50,00 Sangat Kurang Kurang Sedang Cukup Baik Sangat Baik Sumber : Tumilar (dalam Munir, 2004)


(47)

Jika, DDF (Derajat Desentralisasi Fiskal) menurun maka, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan keuangan daerah cenderung menurun walaupun PAD (Pendapatan Asli Daerah) meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan TPD (Total Pendapatan Daerah). Sedangkan besarnya Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilakukan melalui analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Sumardi, 2008) :

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah dapat dijelaskan dengan menggunakan skala seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 2.3

Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Sumber :.

Jika, RKKD (Rasio Kemandirian Keuangan Daerah) menurun maka, hal ini menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung menurun walaupun PAD meningkat sebab, peningkatannya lebih lambat dibandingkan dengan peningkatan bantuan dan sumbangan. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa

Kemampuan Keuda RKKD Pola Hubungan

Rendah Sekali 0% s/d 25% Instruktif

Rendah 25% s/d 50% Konsultatif

Sedang 50% s/d 75% Partisipatif Tinggi 75% s/d 100% Delegatif

Pendapatan Asli Daerah =


(48)

daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.

Adapun Pola hubungan Keuangan Daerah tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

- Pola Hubungan Instruktif : Peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (Daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)

- Pola Hubungan Konsultatif : Campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.

- Pola Hubugan Partisipatif : Peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

- Pola Hubungan Delegatif : Campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

Apabila dipadukan rasio kemandirian keuangan daerah (mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah) dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan) maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri maka akan menunjukkan kinerja keuangan yang


(49)

positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandiran keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi kemampuan keuangan daerah diperlukan pemetaan terhadap kemampuan keuangan daerah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan keuangan daerah dalam membiayai belanja pemerintah kabupaten dan kota. Untuk membuat peta kemampuan keuangan dapat menggunakan metode kuadran dan metode indeks (Sumardi, 2008).

Metode Kuadran digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah dengan melihat posisi kabupaten/kota di kuadran. Interpretasi dari masing-masing kuadran sebagai berikut:

Tabel 2.4.

Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi (Tinjauan Atas Kinerja PAD)

Kuadran Kondisi

I

Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukkan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi.

II

Kondisi ini belum ideal, tetapi daerah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan PAD tinggi.

III

Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD mempunyai peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Disini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah.

IV

Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal


(50)

Metode kuadran merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X,Y), dimana X merupakan rata-rata dari skor rata-rata indeks growth dan Y adalah rata-rata dari rata-rata skor indeks share. Selanjutnya kabupaten/kota di Sumatera Utara ditempatkan di kuadran sesuai skor yang dimilikinya (Frediyanto, 2010). Indeks Share merupakan rasio PAD terhadap total belanja daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Rasio ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan daerah. Sedangkan growth merupakan angka pertumbuhan PAD pada periode APBD dari tahun sebelumnya. Secara matematis ukuran nilai share dan growth dapat diperoleh melalui rumus berikut:

- Share (Kontribusi)

- Growth (Pertumbuhan)

Adapun peta kemampuan keuangan daerah metode Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) merupakan rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share. Untuk menyusun indeks ketiga komponen tersebut, ditetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing komponen.

- Menghitung Indeks Growth (Pertumbuhan) = XG : Ghasil pengukuran - Gminimum

=

(PADn - PADn-1)

X 100% PADn-1

PADn

X 100% APBDn


(51)

- Menghitung Indeks Share (Kontribusi) = XS : - Menghitung Indeks Elasticity = XE

-- Menghitung Indeks Elasticity = XE

Berdasarkan persamaan di atas maka persamaan Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) dapat ditulis sebagai berikut:

Keterangan:

XG = Indeks Growth (PAD)

XE = Indeks Elastisitas (Pertumbuhan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi) XS = Indeks Share (PAD terhadap APBD)

Adapun Indeks Growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dari tahun i-1. Sedangkan Indeks Elastisitas adalah rasio pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini digunakan untuk melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan ekonomi suatu daerah. Dan Indeks Share merupakan rasio PAD terhadap belanja rutin dan belanja pembangunan daerah. Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. (Bappenas, 2003)

Shasil pengukuran - Sminimum

=

Smaksimum - Sminimum

Shasil pengukuran - Sminimum

=

Smaksimum - Sminimum

XG + XE + XS

IKK =


(52)

BAB III METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memechkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yakni:

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dititik beratkan pada pembahasan mengenai: - Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001- 2009).

- Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

- Peta kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009).

Penelitian ini mengambil studi wilayah pada tingkat daerah kabupaten/ kota di Sumatera Utara. Untuk keperluan analisis jumlah kabupaten/ kota tidak akan mengikuti jumlah kabupaten/ kota di Sumatera Utara yang ada pada tahun 2009 yaitu sebanyak 33 kabupaten/ kota, melainkan akan menggunakan kabupaten/ kota sebelum tahun 2008 yaitu sebanyak 25 kabupaten/ kota dengan memasukkan kabupaten/ kota baru pada kabupaten/ kota lamanya. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data pada kabupaten/ kota baru. Dengan demikian, unit daerah yang diamati meliputi:


(53)

(1) Kabupaten Nias; (2) Mandailing Natal; (3) Tapanuli Selatan; (4) Tapanuli Tengah; (5) Tapanuli Utara; (6) Toba Samosir; (7) Labuhan Batu; (8) Asahan; (9) Simalungun; (10) Dairi; (11) Karo; (12) Deli Serdang; (13) Langkat; (14) Nias Selatan; (15) Humbang Hasundutan; (16) Pakpak Barat; (17) Samosir; (18)Serdang Bedagai; (19) Sibolga; (20) Tanjung Balai; (21) Pematangsiantar; (22) Tebing Tinggi; (23) Medan; (24) Binjai; dan (25) Padangsidempuan. 3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder yang bersifat kuantitatif (dalam bentuk angka-angka). Berdasarkan waktu pengumpulannya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel, yakni gabungan dari data time series (2001-2009) dan data cross section (25 Kabupaten /Kota di Sumatera Utara).

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini secara umum merupakan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara serta bahan-bahan kepustakaan berupa bacaan yang berhubungan dengan penelitian, website, artikel dan jurnal-jurnal. 3.3. Pengolahan Data

Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007, dan juga menggunakan aplikasi Microsoft Word 2007 dalam penulisan penelitian ini. 3.4. Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan adalah metode analisis deskriftif kuantitatif dan kualitatif. Untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (2001-2009) dapat digunakan


(54)

derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dan derajat kemandirian daerah. Derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian daerah digunakan untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah. (Musgrave, 1991) 3.4.1. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal

Besarnya derajat desentralisasi fiskal dapat dilakukan melalui analisis rasio. Reksohadiprojo (dalam Munir, 2004 : 101) menjelaskan bahwa untuk derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah terdapat tiga

ukuran rasio yaitu:

(a) Rasio PAD terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah). (b) Rasio BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah) terhadap

TPD (Total Pendapatan Daerah).

(c) Rasio Sumbangan dan Bantuan (SB) terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah).

Dalam Penelitian ini digunakan ukuran rasio yang pertama yaitu Rasio PAD terhadap TPD (Total Pendapatan Daerah) dengan rumus sebagai berikut:

Rasio PAD terhadap TPD

Dimana pengukuran derajat desentralisasi fiskal daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan administrative independency ratio yaitu rasio antara PAD dengan total APBD suatu daerah dalam kurun waktu tertentu minus transfer dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

= X 100%


(55)

pemerintah pusat (Dhiratayakinnat dalam Munir, 2004) dengan Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal sebagai berikut:

Tabel 3.1

Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan

Daerah 0,00 – 10,00

10,01 – 20,00 20,01 – 30,00 30,01 – 40,00 40,01 – 50,00

> 50,00 Sangat Kurang Kurang Sedang Cukup Baik Sangat Baik

Sumber : Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991 (dalam Munir, dkk. 2004 : 106)

3.4.2 Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Besarnya Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut (Sumardi. 2008) :

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah dapat dijelaskan dengan menggunakan skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah seperti dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.2

Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Sumber :

Kemampuan Keuda RKKD Pola

Hubungan Rendah Sekali 0% s/d 25% Instruktif

Rendah 25% s/d 50% Konsultatif

Sedang 50% s/d 75% Partisipatif Tinggi 75% s/d 100% Delegatif Pendapatan Asli Daerah

=


(56)

Adapun Pola hubungan Keuangan Daerah tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut :

- Pola Hubungan Instruktif : Peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (Daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)

- Pola Hubungan Konsultatif : Campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.

- Pola Hubugan Partisipatif : Peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.

- Pola Hubungan Delegatif : Campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

3.4.3 Analisis Peta Kemampuan Keuangan Daerah

Untuk membuat peta kemampuan keuangan daerah dapat menggunakan metode kuadran dan metode indeks. Metode Indeks biasa disebut dengan Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) (Sumardi, 2008).

3.4.3.1Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Kuadran

Peta kemampuan keuangan daerah metode kuadran merupakan suatu bangun yang dibagi atas 4 (empat) bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik (X , Y), dimana X merupakan rata-rata dari skor rata-rata indeks growth dan Y adalah rata-rata dari rata-rata skor indeks


(57)

share. Selanjutnya daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara ditempatkan di kuadran sesuai skor yang dimilikinya (Frediyanto, 2010). Interpretasi dari masing-masing Kuadran sebagai berikut:

Tabel 3.3

Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Era Otonomi (Tinjauan Atas Kinerja PAD)

Kuadran Kondisi

I

Kondisi paling ideal. PAD mengambil peran besar dalam APBD dan daerah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Kondisi ini ditunjukkan dengan besarnya nilai share disertai nilai growth yang tinggi.

II

Kondisi ini belum ideal, tetapi daerah mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal. Sehingga PAD berpeluang memiliki peran besar dalam APBD. Sumbangan PAD terhadap APBD masih rendah namun pertumbuhan PAD tinggi.

III

Kondisi ini juga belum ideal. Peran PAD yang besar dalam APBD mempunyai peluang mengecil karena pertumbuhan PADnya kecil. Disini sumbangan PAD terhadap APBD tinggi, namun pertumbuhan PAD rendah.

IV

Kondisi ini paling buruk. PAD belum mengambil peran yang besar dalam APBD dan daerah belum mempunyai kemampuan mengembangkan potensi lokal

Sumber : Sumardi (2008)

Secara matematis ukuran nilai share dan growth dapat diperoleh melalui rumus berikut:

- Share (Kontribusi) PADn

X 100% APBDn


(58)

- Growth (Pertumbuhan)

3.4.3.2Peta Kemampuan Keuangan Daerah Metode Indeks (Indeks Kemampuan Keuangan/IKK)

Untuk menentukan IKK dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Adi, 2005) :

1. Perhitungan dan Analisis Kinerja PAD melalu ukuran share, growth dan elastisitas

Share PAD = PADt / Total Belanja ... …………1) Growth PAD = (PADt - PADt -1) / PAD t-1 ...………2) Elastisitas = Growth PAD / Pertumbuhan Ekonomi…..3) Pertumbuhan Ekonomi = (PBRBt– PDRBt-1)/ PDRBt-1 ...………..4) Keterangan :

PADt = Pendapatan Asli Daerah tahun t PADt-1 = Pendapatan Asli Daerah tahun t-1

PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto tahun t PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto tahun t-1

2. Menetapkan nilai maksimum dan minimum dari masing-masing indeks.

3. Menyusun Indeks untuk setiap komponen Indeks Kemampuan Keuangan. Indeks ini diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

- Menghitung Indeks Growth (Pertumbuhan) = XG : Ghasil pengukuran - Gminimum

=

Gmaksimum - Gminimum (PADn - PADn-1)

X 100% PADn-1


(59)

- Menghitung Indeks Share (Kontribusi) = XS :

- Menghitung Indeks Elasticity = XE

4. Dari persamaan di atas, kemudian dihitung IKK yang diperoleh dari persamaan berikut ini :

Keterangan :

XG = Indeks Growth (pertumbuhan PAD) XS = Indeks Share PAD terhadap Belanja

XE = Indeks Elastisitas pertumbuhan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi

5. Menyusun Peta Kemampuan Keuangan berdasarkan IKK yang diperoleh dari persamaan.

6. Berdasarkan range IKK tertinggi dan IKK terendah, kemudian disusun peta kemampuan keuangan yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Nilai IKK 25 (dua puluh lima) kabupaten/kota di Sumatera Utara akan diurutkan dimulai dari yang terbesar. Sepertiga besar pertama dikelompokkan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai kemampuan keuangan tinggi. Sepertiga besar kedua dikelompokkan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai kemampuan keuangan sedang, dan sepertiga besar ketiga dikelompokkan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai kemampuan keuangan rendah.

Shasil pengukuran - Sminimum =

Smaksimum - Sminimum

Shasil pengukuran - Sminimum =

Smaksimum - Sminimum

XG + XE + XS IKK =


(60)

3.5. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional dan Pengukuran varibel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Realisasi Pendapatan adalah total jumlah penerimaan yang berhasil diperoleh dari pos-pos pendapatan yang terdiri dari PAD, dana perimbangan, pendapatan lainnya yang dianggap sah pada tahun tertentu. (000 Rupiah)

2. Realisasi Belanja adalah total jumlah pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pos-pos belanja yang terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung pada tahun tertentu . (000 Rupiah)

3. Pendapatan Asli Daerah adalah jumlah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan penerimaan lain-lain yang dianggap sah. (000 Rupiah)

4. Derajad Desentralisasi Fiskal adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar peran PAD terhadap Total Pendapatan Daerah yang diperoleh dengan mengolah data PAD dan data Pendapatan Daerah. (persen)

5. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar tingkat kemandirian keuangan suatu daerah yang diperoleh dengan mengolah data PAD dan data Bantuan/Sumbangan dari pemerintah pusat. (persen)

6. Peta kemampuan keuangan daerah adalah sebuah tabel yang dapat menunjukkan dan menjelaskan kondisi keuangan masing-masing daerah yang


(61)

letaknya (kuadran I-II-III-IV) disusun berdasarkan rata-rata skor indeks share dan rata-rata indeks growth.

7. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar kemampuan keuangan daerah dalam membiayai belanja pemerintah kabupaten dan kota yang diperoleh dengan mencari rata-rata hitung dari Indeks Pertumbuhan (growth), Indeks Elastisitas, dan Indeks Share.(persen)


(62)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara terletak diantara 98°-100° Bujur Timur dan 1°- 4° Lintang Utara dengan luas daerah 71.680 Km² atau 3,72 % dari Luas Wilayah Indonesia. Dikelilingi 162 pulau, yang mana 156 pulau tersebar sepanjang Pantai Barat dan 6 pulau sepanjang Pantai Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan D. I. Aceh, sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatera Barat dan Propinsi Riau, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera India dan sebelah Timur berbatasan dengan selat Malaka. Provinsi ini juga berdekatan dengan Negara Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Sumber : http:/

Gambar 4.1


(63)

Sumatera Utara pada dasarnya dibagi atas empat wilayah yaitu Pesisir Timur, Pegunungan Bukit Barisan, Pesisir Barat, dan Kepulauan Nias. Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Di wilayah tengah provinsi berjajar beberapa wilayah yang menjadi konsentrasi menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau. Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka). Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli.

Pembagian topografi Sumatera Utara dibagi dalam tiga daerah yaitu daerah datar di Pesisir Timur, daerah yang tidak rata dan berbukit di Dataran Tinggi, sepanjang Pegunungan Bukit Barisan dan daerah yang curam dan curam sekali di Pesisir Barat. Berikut tabel daftar kabupaten/kota di Sumatera Utara tahun 2010.


(1)

No Kabupaten/Kota Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) (%) Rata-Rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DDF (%) 1 Nias 29.541 28.998 17.082 19.648 14.212 27.282 13.264 15.145 14.161 19.926 2 Mandailing Natal 8.125 26.466 20.109 30.861 26.795 31.093 13.747 13.636 10.117 20.105 3 Tapanuli Selatan 11.991 29.230 34.071 21.083 17.412 32.494 15.955 11.934 12.244 20.713 4 Tapanuli Tengah 13.978 15.220 39.117 12.403 10.924 55.204 11.969 11.563 16.234 20.735 5 Tapanuli Utara 17.576 17.222 16.864 15.001 35.118 37.209 13.365 10.277 10.587 19.247 6 Toba Samosir 24.072 31.216 13.684 32.919 26.027 37.078 9.941 9.772 8.801 21.501 7 Labuhan Batu 30.114 25.022 45.895 72.942 32.538 33.104 11.733 11.388 9.379 30.235 8 Asahan 43.363 40.476 56.618 41.986 60.219 42.852 15.333 10.913 11.589 35.928 9 Simalungun 54.354 45.033 31.966 30.060 41.814 39.689 22.143 15.318 23.938 33.813 10 Dairi 32.522 23.625 7.017 24.420 15.925 42.711 19.240 10.721 13.998 21.131 11 Karo 10.742 21.365 19.997 38.834 71.811 49.056 12.855 21.031 13.145 28.760 12 Deli Serdang 45.819 77.134 61.529 59.286 59.486 70.737 32.649 32.578 30.398 52.180 13 Langkat 23.704 30.295 40.954 10.946 26.954 38.300 18.720 14.833 15.674 24.487 14 Nias Selatan 21.230 10.949 9.072 42.296 4.177 5.039 15.460 15 Humbang Hasundutan 17.199 45.353 25.966 9.168 11.019 11.726 20.072 16 Pakpak Barat 29.711 10.475 14.450 7.456 8.183 8.360 13.106

17 Samosir 15.396 22.411 17.533 6.352 5.149 13.368

18 Serdang Bedagai 41.904 35.406 13.484 23.002 14.067 25.573

19 Sibolga 32.483 29.811 70.595 20.680 21.429 44.491 13.705 18.467 21.731 30.377 20 Tanjung Balai 8.396 14.113 9.776 17.644 20.534 18.215 12.370 9.517 13.949 13.835 21 Pematangsiantar 70.423 32.763 31.794 29.563 33.253 51.806 22.635 21.742 15.498 34.386 22 Tebing Tinggi 48.789 23.341 21.252 19.686 19.396 22.891 13.989 16.496 12.996 22.093 23 Medan 48.011 48.760 11.098 48.969 88.817 86.226 40.858 41.927 29.710 49.375 24 Binjai 42.188 14.547 81.040 55.772 100.000 100.000 16.340 23.620 29.672 51.464 25 Padangsidempuan 62.247 18.338 21.632 43.301 13.074 14.108 18.080 27.254 Sumatera Utara 31.379 31.844 33.182 29.964 34.735 40.442 17.353 15.509 15.050 27.717 Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

2001-2009


(2)

No Kabupaten/Kota Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) (%) Rata-Rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 RKKD (%) 1 Nias 2.799 2.937 0.346 4.547 3.566 2.960 5.385 3.891 4.844 3.475 2 Mandailing Natal 1.330 4.435 2.147 5.111 2.980 2.825 2.892 2.714 2.303 2.971 3 Tapanuli Selatan 1.881 2.700 0.775 2.696 2.694 3.695 3.823 3.933 3.571 2.863 4 Tapanuli Tengah 2.844 4.022 0.819 4.637 3.431 3.414 3.554 3.319 3.792 3.315 5 Tapanuli Utara 2.207 4.180 0.431 4.007 4.254 3.068 2.654 2.307 2.995 2.900 6 Toba Samosir 8.882 9.678 0.288 7.111 7.182 5.731 2.468 3.456 2.928 5.303 7 Labuhan Batu 4.828 6.090 1.819 16.610 8.761 7.744 6.707 6.629 6.117 7.256 8 Asahan 7.220 8.000 2.962 7.990 7.794 5.520 5.222 3.267 2.357 5.593 9 Simalungun 4.173 4.790 0.778 4.659 5.926 4.775 4.884 4.208 6.394 4.510 10 Dairi 3.427 3.780 0.116 3.373 3.512 2.655 2.504 2.990 3.790 2.905 11 Karo 5.069 5.253 0.301 4.603 6.167 4.714 4.314 6.281 6.140 4.760 12 Deli Serdang 8.072 7.843 2.100 9.511 17.676 9.330 10.016 11.324 11.847 9.746 13 Langkat 4.448 5.107 1.572 3.393 5.493 3.628 5.339 3.829 5.138 4.216

14 Nias Selatan 1.367 1.873 1.841 2.250 3.342 4.598 2.545

15 Humbang Hasundutan 3.660 3.134 2.810 2.841 3.133 2.599 3.030

16 Pakpak Barat 0.946 2.645 1.909 2.205 2.796 2.580 2.180

17 Samosir 7.870 4.932 5.300 3.402 5.101 5.321

18 Serdang Bedagai 6.556 3.892 2.679 4.993 4.033 4.431

19 Sibolga 6.626 4.841 4.827 5.218 5.568 4.553 4.064 4.777 5.156 5.070 20 Tanjung Balai 9.518 8.291 1.154 8.082 8.469 5.395 5.469 5.004 6.139 6.391 21 Pematangsiantar 9.671 7.776 2.297 9.043 9.431 6.051 6.187 6.732 5.900 7.010 22 Tebing Tinggi 5.491 5.179 0.281 8.328 5.633 6.891 6.775 7.296 6.808 5.854 23 Medan 31.175 41.778 0.579 35.380 65.548 52.578 42.823 41.458 39.509 38.981 24 Binjai 3.492 4.429 5.924 8.129 8.438 4.513 3.728 4.542 5.535 5.414 25 Padangsidempuan 3.077 4.248 3.460 3.411 3.595 3.366 4.008 3.595 Sumatera Utara 6.482 7.209 1.553 7.072 8.322 6.353 5.907 5.960 6.167 6.114

Lampiran. 3

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara 2001-2009


(3)

No Kabupaten/Kota Indeks Share (%) Rata-Rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks Share (%) 1 Nias 2.523 2.716 4.156 3.633 2.589 3.388 4.361 3.009 4.330 3.412

2 Mandailing Natal 1.203 3.770 2.810 3.990 2.468 2.317 2.275 2.223 1.792 2.539

3 Tapanuli Selatan 1.582 2.342 2.360 2.157 2.009 2.969 3.227 2.985 4.141 2.641

4 Tapanuli Tengah 2.697 3.556 2.808 3.338 2.638 2.816 2.816 2.641 2.916 2.914

5 Tapanuli Utara 2.754 4.847 5.008 2.847 3.044 2.628 2.232 1.800 2.484 3.072

6 Toba Samosir 4.589 5.659 4.117 5.802 5.092 4.470 2.132 2.628 2.097 4.065

7 Labuhan Batu 3.820 4.897 7.429 11.359 5.953 5.327 4.679 5.050 5.489 6.001

8 Asahan 5.829 6.030 6.027 5.916 5.621 4.345 4.365 3.358 3.115 4.956

9 Simalungun 3.534 3.929 3.777 3.710 4.543 4.255 4.228 3.168 4.879 4.003

10 Dairi 3.001 3.221 2.328 2.675 2.634 2.290 2.360 2.418 3.094 2.669

11 Karo 3.451 4.319 3.996 3.861 5.133 4.761 3.323 5.939 4.603 4.376

12 Deli Serdang 6.281 6.387 7.613 7.927 11.323 7.243 7.659 8.216 8.243 7.877

13 Langkat 3.548 4.112 3.666 2.280 4.076 3.017 4.050 3.013 3.699 3.496

14 Nias Selatan 1.306 1.410 1.414 2.254 3.327 3.092 2.134

15 Humbang Hasundutan 2.850 2.532 2.275 2.210 2.391 2.116 2.396

16 Pakpak Barat 0.688 1.749 2.035 1.919 2.269 1.971 1.772

17 Samosir 4.798 4.547 5.873 2.495 2.664 4.076

18 Serdang Bedagai 4.987 3.067 2.215 4.179 3.059 3.501

19 Sibolga 5.391 4.785 5.782 4.276 3.871 3.594 3.398 3.833 4.283 4.357 20 Tanjung Balai 7.185 6.371 7.272 6.325 5.422 3.802 4.619 3.705 4.573 5.475 21 Pematangsiantar 8.887 6.430 6.449 6.658 6.805 5.583 4.886 5.172 4.440 6.146 22 Tebing Tinggi 5.522 4.938 3.873 6.977 4.268 4.755 5.388 5.588 4.913 5.136 23 Medan 17.188 20.254 20.794 14.490 24.845 21.593 18.262 18.331 19.383 19.460 24 Binjai 3.315 3.162 4.486 6.078 6.602 3.976 2.839 3.456 4.433 4.261 25 Padangsidempuan 2.674 2.719 3.350 2.671 2.871 2.686 2.592 3.154 2.840 Sumatera Utara 4.858 5.220 5.374 4.891 5.083 4.373 4.170 4.151 4.359 4.720

Nilai Indeks Share di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara 2001-2009


(4)

No Kabupaten/Kota Indeks Growth (%) Rata-Rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks Growth (%) 1 Nias 215.222 12.487 77.660 -31.305 -10.787 53.870 111.900 -16.122 26.477 48.822 2 Mandailing Natal 48.878 236.161 0.280 38.908 -36.254 60.230 21.681 7.557 -17.098 40.038 3 Tapanuli Selatan 90.368 60.121 14.294 -9.700 6.079 143.647 18.290 7.689 -1.789 36.555 4 Tapanuli Tengah 173.409 64.608 9.278 25.473 -16.437 50.921 22.630 6.515 18.568 39.441 5 Tapanuli Utara 59.057 104.530 26.693 -46.846 16.278 38.979 0.543 -7.387 40.181 25.781 6 Toba Samosir 221.879 29.011 -11.561 -1.304 -28.229 57.689 -46.509 44.838 -8.227 28.621 7 Labuhan Batu 95.128 59.324 91.893 79.598 -44.702 53.120 -5.657 8.352 -2.080 37.220 8 Asahan 80.713 22.134 18.992 1.103 0.979 26.162 6.474 -27.029 -6.919 13.623 9 Simalungun 130.243 21.728 21.824 -16.667 29.119 42.401 17.749 -3.219 49.021 32.466 10 Dairi 48.867 25.266 -5.055 -0.406 11.006 53.486 9.206 30.192 24.497 21.895 11 Karo -13.760 59.935 24.159 -1.701 39.315 33.389 6.962 54.869 -3.499 22.185 12 Deli Serdang 112.485 19.701 60.637 -11.061 28.107 5.336 23.105 27.639 5.916 30.207 13 Langkat 107.499 32.446 19.627 -34.804 74.097 10.726 72.324 -21.995 35.641 32.840

14 Nias Selatan 90.042 131.091 43.066 77.088 38.314 75.920

15 Humbang Hasundutan 11.918 105.126 19.633 20.710 -12.086 29.060

16 Pakpak Barat 384.551 117.697 32.838 39.322 -4.512 113.979

17 Samosir 97.705 29.742 -29.971 58.433 38.977

18 Serdang Bedagai 1.367 -21.404 108.938 -11.411 19.373

19 Sibolga 91.725 72.836 67.599 -27.209 16.623 29.286 8.817 37.030 9.783 34.055 20 Tanjung Balai 92.550 100.587 19.606 -11.007 8.307 7.783 13.356 8.020 30.779 29.998 21 Pematangsiantar 112.687 6.535 14.635 16.606 10.679 8.608 15.929 22.472 -11.097 21.895 22 Tebing Tinggi 98.049 38.780 9.582 54.901 -29.382 95.380 13.970 21.028 -6.092 32.913 23 Medan 58.303 66.469 59.259 -37.784 93.858 10.854 3.644 6.244 6.982 29.759 24 Binjai 36.939 45.936 45.699 38.416 13.005 -14.381 -7.370 34.233 24.779 24.139 25 Padangsidempuan 59.988 50.309 -10.584 55.108 24.478 6.801 22.595 23.188 Sumatera Utara 97.907 56.768 31.254 3.776 28.591 51.023 17.416 18.553 12.286 35.286

Lampiran 5

Nilai Indeks Growth di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara 2001-2009


(5)

No Kabupaten/Kota Rata-Rata Nilai Rata-Rata Nilai Letak Indeks Share (%) Indeks Share Indeks Growth (%) Indeks Growth Kuadran

1 Nias 3.412 Rendah 48.822 Tinggi II

2 Mandailing Natal 2.539 Rendah 40.038 Tinggi II

3 Tapanuli Selatan 2.641 Rendah 36.555 Tinggi II

4 Tapanuli Tengah 2.914 Rendah 39.441 Tinggi II

5 Tapanuli Utara 3.072 Rendah 25.781 Rendah IV

6 Toba Samosir 4.065 Rendah 28.621 Rendah IV

7 Labuhan Batu 6.001 Tinggi 37.220 Tinggi I

8 Asahan 4.956 Tinggi 13.623 Rendah III

9 Simalungun 4.003 Rendah 32.466 Rendah IV

10 Dairi 2.669 Rendah 21.895 Rendah IV

11 Karo 4.376 Rendah 22.185 Rendah IV

12 Deli Serdang 7.877 Tinggi 30.207 Rendah III

13 Langkat 3.496 Rendah 32.840 Rendah IV

14 Nias Selatan 2.134 Rendah 75.920 Tinggi II

15 Humbang Hasundutan 2.396 Rendah 29.060 Rendah IV

16 Pakpak Barat 1.772 Rendah 113.979 Tinggi II

17 Samosir 4.076 Rendah 38.977 Tinggi II

18 Serdang Bedagai 3.501 Rendah 19.373 Rendah IV

19 Sibolga 4.357 Rendah 34.055 Rendah IV

20 Tanjung Balai 5.475 Tinggi 29.998 Rendah III

21 Pematangsiantar 6.146 Tinggi 21.895 Rendah III

22 Tebing Tinggi 5.136 Tinggi 32.913 Rendah III

23 Medan 19.460 Tinggi 29.759 Rendah III

24 Binjai 4.261 Rendah 24.139 Rendah IV

25 Padangsidempuan 2.840 Rendah 23.188 Rendah IV

Rata-rata share dan growth 25 Kabupaten/Kota

di Sumatera Utara 4.543 35.318

Letak Kuadran Kabupaten/Kota di Sumatera Utara


(6)

No Kabupaten/Kota Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Rata-Rata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 IKK 1 Nias 0.487 0.044 0.486 0.319 0.168 0.308 0.716 0.108 0.240 0.320 2 Mandailing Natal 0.137 0.693 0.063 0.549 0.121 0.288 0.277 0.161 0.003 0.255 3 Tapanuli Selatan 0.194 0.078 0.123 0.317 0.169 0.614 0.329 0.219 0.169 0.246 4 Tapanuli Tengah 0.296 0.203 0.108 0.482 0.147 0.269 0.323 0.203 0.320 0.261 5 Tapanuli Utara 0.384 0.343 0.265 0.261 0.196 0.224 0.218 0.120 0.520 0.281 6 Toba Samosir 0.591 0.138 0.045 0.445 0.166 0.331 0.004 0.392 0.074 0.243 7 Labuhan Batu 0.403 0.221 0.759 0.924 0.189 0.325 0.242 0.262 0.193 0.391 8 Asahan 0.379 0.162 0.217 0.455 0.213 0.214 0.282 0.042 0.099 0.229 9 Simalungun 0.293 0.122 0.265 0.318 0.243 0.274 0.337 0.166 0.661 0.298 10 Dairi 0.343 0.092 0.021 0.373 0.182 0.298 0.263 0.334 0.395 0.256 11 Karo 0.208 0.249 0.225 0.394 0.257 0.243 0.270 0.518 0.163 0.281 12 Deli Serdang 0.618 0.143 0.557 0.474 0.324 0.172 0.428 0.417 0.315 0.383 13 Langkat 0.377 0.151 0.233 0.070 0.304 0.139 0.599 0.067 0.500 0.271

14 Nias Selatan 0.015 0.105 0.640 0.440 0.596 0.555 0.392

15 Humbang Hasundutan 0.052 0.182 0.460 0.219 0.269 0.041 0.204

16 Pakpak Barat 0.671 0.507 0.351 0.354 0.106 0.398

17 Samosir 0.562 0.438 0.014 0.683 0.424

18 Serdang Bedagai 0.088 0.125 0.715 0.070 0.249

19 Sibolga 0.280 0.230 0.501 0.306 0.210 0.205 0.279 0.374 0.272 0.295 20 Tanjung Balai 0.394 0.337 0.242 0.421 0.220 0.132 0.336 0.242 0.503 0.314 21 Pematangsiantar 0.376 0.114 0.199 0.538 0.186 0.156 0.344 0.333 0.094 0.260 22 Tebing Tinggi 0.345 0.153 0.140 0.680 0.151 0.478 0.340 0.332 0.149 0.307 23 Medan 0.752 0.516 0.721 0.528 0.593 0.425 0.556 0.517 0.530 0.571 24 Binjai 0.397 0.132 0.309 0.581 0.243 0.042 0.195 0.358 0.401 0.295 25 Padangsidempuan 0.006 0.253 0.585 0.155 0.289 0.328 0.204 0.358 0.272 Sumatera Utara 0.382 0.206 0.287 0.413 0.235 0.307 0.330 0.293 0.297 0.305

Lampiran 7

Indeks Kemampuan Keuangan Daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara 2001-2009