hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur ini dapat berasal dari penelitian terdahulu dimana berupa artikel - artikel.
3.2 Data dan Sumber Data
Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan. Data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai pada perayaan ritual Bakar Tongkang. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut adalah sebagai berikut:
Sumber Data Primer : Kong Ci Profesi
: Pengusaha Walet Alamat
: Jln. Sumatera Laut no 88 Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir
Sumber Data Primer : Bapak Ahe Profesi
: Pengurus kelenteng Alamat
: Jl. Kelenteng no.42 Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab seluruh
pertanyaan. Adapun proses yang dilakukan adalah:
1. Mewawancarai beberapa masyarakat Tionghoa dan beberapa tokoh
masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi perayaan ritual
Bakar Tongkang . 2.
Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling
penting dan penyusunannya secara sistematis. 3.
Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat
penelitian ini. 3.4.Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Bagansiapiapi khususnya di kelenteng Ing Hok Kiong. Pemilihan lokasi penelitian ini, karena
kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat dimana diadakannya perayaan ritual Bakar Tongkang, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai
masyarakat Tionghoa.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Bab IV Pembahasan
4.1. Masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi
Bagansiapiapi memiliki komunitas masyarakat Tionghoa yang sangat besar. Menurut data yag penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota
Bagansiapiapi komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi sebagian besar merupakan suku Hokkian, di mana leluhurnya sebagian besar berasal dari Distrik Tongan
Tang Ua di Xiamen, provinsi Fujian, Tiongkok Selatan. Komunitas Tionghoa lainnya di Bagansiapiapi dengan jumlah cukup signifikan adalah berasal dari suku
Tiociu, sedangkan dari suku Khek Hakka, Hailam Hainan dan Konghu dapat dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih sedikit.
Etnis china di Bagansiapiapi terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan
lebih mengedepankan hubungan kerja. Mereka mengingatkan kita pada kebesaran Jengis Khan dan Timur Leng, namun mereka mempunyai selera kuliner yang
tinggi, kehalusan budaya dan kepatuhan pada peraturan. Banyak tokoh informal China yang lahir dan besar di kota Bagansiapiapi. Mereka dapat menjadi contoh
bagi kita dalam membentuk rasa persaudaraan yang kental dan kesetiakawanan. Kemampuan mereka dalam mengolah bahan baku menjadi produk bernilai tinggi
seharusnya menjadi acuan kita dalam membangun negeri ini. Syukurlah, bahwa etnis China di Bagansiapiapi ini adalah bagian dari bangsa kita. Tidak sulit untuk
belajar pada mereka bagaimana membangun negara ini dengan kegigihan dan kerja keras, asal kita menempatkan mereka berdiri sejajar, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama, tidak dikurangi atau dilebihkan. Rentang waktu, akan terbukti bahwa etnik China di Bagansiapiapi akan menjadi aset berharga yang
mengharumkan nama bangsa. Sudarno M; 2005, 12 Eksistensi komunitas Tionghoa yang kuat di Bagansiapiapi dapat dilihat
dari banyaknya kelenteng yang berdiri. Di samping itu, terdapat berbagai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perkumpulan marga Tionghoa, lengkap dengan kelentengnya masing - masing, di mana dari perkumpulan - perkumpulan marga inilah kebudayaan Tionghoa tetap
terpelihara di Bagansiapiapi meskipun dibatasi pada masa rezim Orde Baru. Perkumpulan-perkumpulan marga tersebut di antaranya adalah
Perkumpulan Marga Ang Liok Kui Tong Yayasan Sosial Marga Sad Eka 六桂堂, Perkumpulan Marga Ng Kang Ha Tong Yayasan Samvara Dharma
Wijaya 江夏堂黃氏宗親會, Perkumpulan Marga Tan Ying Chuan Tong 陳氏穎川堂, Perkumpulan Marga Lim Kiu Ling Tong 九龍堂, Perkumpulan
Marga Coa Cei Yong Tong 濟陽堂, Perkumpulan Marga Gui, Perkumpulan Marga Kho Yayasan Panca Bina Dharma Citra, Perkumpulan Marga Li,
Perkumpulan Marga Yeo, Perkumpulan Suku Tiociu Han KangYayasan Mulia Dharma Abadi 韓江公會, dan sebagainya.
Jumlah masyarakat Tionghoa dikota Bagansiapiapi setiap tahunnya mengalami perubahan, dikarenakan kebiasaan dari masyarakat Tionghoa di kota
Bagansiapiapi dimana setelah lulus Sekolah Menengah Atas mereka akan merantau disuatu tempat dan mencoba peruntungan dikota tersebut, setelah
merasa berhasil masyarakat Tionghoa perantauan akan membawa keluarga yang masih berdomisili di kota Bagansiapiapi untuk hijrah ke perantauan begitu juga
sebaliknya. Dimana masyarakat Tionghoa dari kota lain juga banyak yang memilih untukberdomisili di kota Bagansiapiapi membawa serta seluruh
keluarganya. Disini penulis melampirkan jumlah penduduk masyarakat Tionghoa
dikota Bagansiapiapi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik kota Bagansiapiapi berupa hasil sensus pendudu pada Tahun 2010.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Di Kecamatan Bangko
Etnis Tiong Hoa
Kelurahan Jenis Kelamin
Jumlah L
P Bagan Hulu
330 267
597 Bagan Timur
575 539
1,114 Bagan Kota
1,696 1,566
3,262 Bagan Barat
1,953 1,888
3,841 Bagan Jawa
215 193
408 Jumlah
4,769 4,453
9,222 Sumber : Sensus Penduduk 2010
4.2. Bakar Tongkang 4.2.1. Sejarah Bakar Tongkang
Menurut data yang penulis peroleh dari Humas Pemkab Rokan Hilir, dikatakan bahwa Bakar Tongkang diperkirakan sudah dilaksanakan sejak tahun
1820 lalu. Bagi masyarakat Bagansiapiapi,Rokan Hilir, terutama bagi masyarakat Tionghoa, Bakar Tongkang mempunyai nilai sejarah yang tak akan lekang
dimakan waktu. Karena itu tradisi ini terus dipelihara dari generasi ke generasi. Menurut penuturan staf Humas Pemkab Rohil bapak Syahdan, dikatakan
Ritual Bakar Tongkang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran masyarakat Tionghoa dari provinsi Fujian – China. Menggunakan tiga kapal kayu yang
disebut wang kang atau tongkang. Mereka orang Tiongkok yang migrasi ke Desa Songkla di Thailand pada tahun 1825. Masa migrasi di Thailand tidak
berlangsung lama. Orang Tiongkok pendatang dimusuhi penduduk asli hingga terjadi kerusuhan. Karena sadar keberadaan mereka membawa pertikaian, mereka
pun pergi. Kemudian mereka berlayar menggunakan tiga kapal mencari tempat baru yang aman.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Saat dalam kebimbangan dan kehilangan arah, mereka berdoa kepada
Dewa Kie Ong Ya yang saat itu berada di kapal tersebut agar dapat memberikan penuntun arah menuju daratan. Tidak lama, pada keheningan malam tiba – tiba
mereka melihat cahaya samar – samar . Mereka yakin dimana ada cahaya, disitulah ada daratan. Mereka mengikuti arah cahaya, hingga sampai di daratan
Selat Malaka.
Pejuang masyarakat Tionghoa yang merantau sebanyak 18 orang yaitu Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se
Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bun Ping, An Un Siong, Ang Sien In, Ang Se
Jian dan Ang Tjie Tui. Mereka inilah kemudian dianggap sebagai leluhur di Bagansiapiapi.
Keesokan harinya, mereka melihat di sungai banyak ikan, begitu juga dilaut. Dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup.
Mulailah mereka bertahan hidup di tanah Bagansiapiapi. Bagi mereka yang menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik, segera mengajak keluarga dari
negeri tirai bambu datang ke Bagansiapiapi. Sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.
Keahlian menangkap ikan yang dimiliki nelayan mendorong penangkapan hasil laut semakin berlimpah. Hasil laut yang berlimpah diekspor ke berbagai
benua, hingga menjadi terkenal. Bahkan Bagansiapiapi diklaim sebagai penghasil ikan laut terbesar kedua di dunia, Setelah Norwegia.
Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi, masyarakat Tionghoa di sana membangun sebuah kelenteng pada 1875, diberi nama Kelenteng IN Hok
Kiong. Pada 1982 kelenteng ini dibuat secara permanen. Di sinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh, asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di
tanah Bagansiapiapi.
Menurut hasil wawancara penulis dengan beberapa masyarakat Tionghoa kota Bagansiapiapi dan beberapa pemuka adat Tionghoa di kota Bagansiapiapi,
terdapat beberapa versi dari asal usul kata Bagansiapiapi. Ada yang menyerbutkan asal – usul kata Bagansiapiapi dari asal petunjuk api yang secara mistis oleh Dewa
Kie Ong Ya, saat para leluhur meminta petunjuk. Versi lain mengatakan cahaya terang yang dilihat oleh para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang
dihasilkan oleh kunang – kunang. Alasan ini,karena dulu masih mudah ditemukan kunang – kunang di Bagansiapiapi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ada juga versi lain yang jarang dibicarakan orang yaitu Bagan adalah istilah tempat atau alat penangkapan ikan model kuno dan kata api, nama sejenis
pohon di rawa – rawa yang biasanya disebut pohon api – api. Dikarenakn pada saat dulu di perairan Bagansiapiapi banyak sekali ditemukan tempat atau alat
penangkapan ikan dan rawa – rawa yang ditumbuhi oleh pohon api – api.
Ritual Bakar Tongkang merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari ancaman penguasa Silam. Kapal yang dipimpin
Ang Mei Kui, terdapat patung Dewa King Ong Ya dan lima dewa, dimana panglimanya disebut Tai Sun Ong Ya. Patung – patung ini para pelayar bawa dari
tanah Tiongkok. Menurut keyakinan para pelayar, dewa ini akan memberikan keselamatan selama dalam pelayaran, hingga akhirnya para pelayar menetap di
kota Bagansiapiapi.
Sebagai menghormati dan mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, mereka membakar wangkang tongkang yang dilakukan setiap tahun. Menurut hasil wawancara penulis terhadap beberapa
masyarakat Tionghoa di kota Bagansiapiapi, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan, ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati
hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya dewa Laut yang memiliki cirri khas tersendiri dan tidak ditemui ditempat lain di Indonesia.
4.3. Makna Ritual Bakar Tongkang Bakar Tongkang atau yang biasa disebut dengan Go Ge Cap Lak menjadi
salah satu unsur tradisi dan kepercayaan lokal yang menjadi suatu kebudayaan daerah dan nasional. Indonesia adalah Negara mempunyai tingkat pluralitas yang
tinggi terhadap pemahaman tradisi dan kepercayaan lokal yang dianut sebagian elemen masyarakat. Bangsa Indonesia hidup dalam masyarakat plural majemuk
artinya masyarakat serba ganda dalam kepercayaannya, ganda dalam ragam kebudayaannya, ganda dalam prilaku kehidupan kemasyarakatannya, tetapi
bersatu dalam satu Bangsa dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika menunjukkan ciri keragaman kehidupan Bangsa Indonesia, yang sesungguhnya berbeda-beda
tetapi dalam satu kesatuan juga.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Didalam masyarakat plural muncul berbagai tradisi dan kepercayaan lokal menjadi salah satu keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tidak
sebatas kesatuan berupa tarian-tarian, lukisan, teater atau film. Salah satu tradisi dan kepercayaan lokal pada kelompok masyarakat Indonesia Tionghoa
Bagansiapiapi di Provinsi Riau, Kabupaten Rokan Hilir telah eksis sepanjang abad lamanya yaitu Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang yang dilakukan
secara rutin pada bulan kelima penanggalan Imlek tanggal 16 disebut Go GeCap Lak. Ritual diadakan pada setiap tahun. Ritual hanyalah salah satu sarana
menyentuh dan membangun semangat Komunitas Bagan Siapi-api untuk pulang kampung. Dan pada tahun ini tradisi ritual bakar tongkang jatuh pada tanggal 4 di
bulan july kalender masehi. Perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang merupakan tradisi dan
kepercayaan masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi. Penyelenggaraan prosesi Ritual Bakar Tongkang tahun ini sama halnya perayaan beberapa tahun
terakhir, sangat semarak dibandingkan dengan perayaan Tahun Baru Imlek. Kekhasan Go Ge Cap Lak terletak pada Ritual Bakar Tongkang yang menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sejarah kehadiran warga Tionghoa di Bagan Siapi- api. Ritual ini juga berkaitan dengan Kelenteng Ing Hok Kiong merupakan tempat
pemujaan sekaligus penghormatan terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya. Dimana menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa
Bagansiapiapi dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun Ong Ya merupakan dewa keselamatan dan dewa pembawa rejeki serta kesejahteraan bagi masyarakat kota
Bagansiapiapi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.3.1. Nilai Tradisi Dan Kepercayaan Lokal 4.3.1.1 Prosesi Ritual Tan Ki
Tradisi dan kepercayaan lokal atas prosesi Ritual Bakar Tongkang dipercaya masyarakat Indonesia Tionghoa Bagansiapiapi menjadi bagian
momentum perayaan Ulang Tahun Dewa Kie Ong Ya, terutama upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang berkaitan dengan kepercayaan arah pencarian rezeki ;
Perayaan Ritual Bakar Tongkang ini untuk memperingati Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Shun Ong Ya yang memberi pencerahan keselamatan dan
kesejahteraan. Keyakinan kosmologis ini masih sangat kental dipercaya dengan melakukan prosesi Ritual Bakar Tongkang setiap tahun. Tradisi dan kepercayaan
lokal ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari kisah perjalanan dan pembangunan Kota Bagansiapiapi oleh Perantau Tionghoa pada Era 1820-an.
Berawal dari pelayaran dengan Kapal Tongkang yang selamat telah menciptakan inspirasi dan kreasi budaya oleh warga Indonesia Tionghoa
Bagansiapiapi untuk memperingati keselamatan mereka menggunakan Kapal Tongkang secara kebetulan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai
Sun Ong Ya, telah menjadi penyelamat sehingga dalam memperingati keselamatan tersebut perlu dilakukan prosesi Ritual dengan cara membakar
Replika Kapal Tongkang sebagai manifestasi keselamatan, kemakmuran dan kejayaan yang dibimbing oleh kepercayaan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun
Ong Ya. Konon tradisi prosesi Ritual Bakar Tongkang di mulai pada tahun 1920- an
Menjelang perayaan Ritual Bakar Tongkang dibentuk panitia untuk membuat replika Kapal Tongkang dan meletakkannya di kelentengIng Hok
Kiong. Replika kapal Tongkang dipersiapkan pembuatannya sebulan sebelumnya, dengan ukuran replika Tongkang sepanjang 9,2 Meter, lebar 2 Meter, dan tiang
tinggi 2,7 Meter dengan bobot 400 Kilogram. Sehari menjelang puncak kegiatan acara prosesi Ritual sudah dimulai pada pukul 00.00 tanggal 15 bulan kelima
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Imlek yang jatuh pada tanggal 03 july 2012. Kelenteng itu dikhususkan bagi penghormatan dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya. Pada tanggal 16
bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 04 july Juni 2012 dimulai Upacara Spiritualitas dengan mempersembahkan benda-benda yang memiliki makna
masing-masing seperti berbagai ragam buah-buahan melambangkan buah pencapaian spiritual yang membawa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi menuju
buah akhir yaitu penerangan sempurna sedangkan simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak lagi wangi dan pudar
warnanya mengingatkan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pada ketidak kekalan semua benda, termasuk kehidupan manusia. Adapun makna tersirat dari
simbol kembang bunga yang segar dan indah yang segera akan menjadi layu, tidak wangi dan pudar warnanya adalah untuk menghargai setiap momen
kehidupan kita dan tidak terikat pada setiap proses kehidupan manusia. Berbagai rupa kue, beras, air putih beserta berbagai makanan dan
minuman khusus untuk sembahyang disertai berbagai lilin besar dan tinggi bercahaya memilii makna bahwa pancaran sinar kebijaksanaan yang menghalangi
kegelapan dunia untuk mencapai penerangan sempurna, serta dupa Hio yang yang ragam wanginya dimeja altar sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai
Sun Ong Ya. Selama kurang lebih seminggu lamanya Kelenteng penuh dikunjungi umat
dengan nyala lilin dan dupa wangi dibakar yang keharumannya memenuhi udara menyebarkan efek kesucian dan melambangkan jasa kebijakan, mendorong aura
spiritual untuk melawan semua godaan setan dan membangkitkan hal-hal yang baik dan perbuatan yang tulus. Memberi persembahan merupakan salah satu cara
membentuk potensi aura positif dalam diri masyarakat Tionghoa Bagansispispi dan mengembangkan kebersihan batin dan pikiran manusia. Persembahan dalam
upacara sembahyang dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya sebagai wujud memberi doa dan sekaligus mengakumulasikan kebajikan dan didedikasikan
untuk kebaikan semua makhluk.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Semua umat yang hadir sembahyang memohon doa umur panjang, rezeki, keselamatan, kesejahteraan, menghilangkan halangan-halangan dalam jalan
kehidupan, pada saat itulah permintaan tersebut diucapkan. Pada tanggal 17 bulan lima kalender imlek seluruh rombongan suhu spiritual yang disebut Tan Ki yang
berasal dari berbagai kelenteng di kota Bagansiapiapi hadir silih berganti memberi penghormatan spiritual kepada dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya.
Setiap Tan Ki berpakaian khas tradisional yang mewakili dewa - dewi yang menjadi bagian spiritualitas Tan Ki suhu spiritual contohnya Tan Kie dari
kelenteng Dewi Kwan Im akan mengenakan pakaian putih - putih dengan memegang cawan dan kuas. Para Tang Ki bersujud berhadapan dewa - dewi
memberi ungkapan rasa hormat yang mendalam, kemudian mengelilingi meja altar sembahyang untuk membangkitkan kualitas aura spiritual.
Para Tan Ki yang berprosesi pada ritual di Kelenteng Ing Hok Kiong diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja altar persembahan.
Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan Ki yang membawa pedang membacokan senjata itu ketubuhnya. Tan Ki yang membawa bola duri secara
atraktif memukulkan bola duri ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah segar mengalir dari kepala dan badan tanpa membahayakan jiwa. Ada juga para Tan Ki
yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari pipi kiri ke pipi kanan. Sejumlah orang-orang yang membawa tandu yang telah terisi dengan
kekuatan spiritualitas pun bergerak dengan kekuatan dan kecepatan tinggi membuat sejumlah orang pembawa tandu terhujung-hujung, beragam adegan doa
dan upacara. Hadirnya Tan Ki dari berbagai kelenteng dengan mengenakan kostum pakaian, aneka macam simbol dan aksesoris budaya yang khas dalam
puncak upacara sembahyang di kelenteng Ing Hok Kiong memberi warna kehidmatan dan aura energi kedamaian, menyucikan dan menumbuhkan sifat-sifat
positif dalam pikiran. Dalam prosesi ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang
menjadi essensi kepercayaan seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah jatuhnya tiang layar utama Kapal Tongkang yang dibakar itu, menurut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi sebagai kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha rezeki serta mata
pencaharian bagi masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Dimana jika tiang layar utama Kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai
kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika
tiang layar utama Kapal Tongkang jatuh kearah darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil
darat. Menurut kepercayaan lokal masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi ritual
Bakar Tongkang mengandung mukjizat yang telah ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, pengalaman ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan
dengan arah jatuh tiang layar utama Kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual Bakar Tongkang. Fenomena super normal yang sangat
dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan - kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi. Namun kekuatan dan
kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.
4.3.1.2 Makna Peran Tan Ki Setiap Tan Ki yang berasal berbagai kelenteng-kelenteng dari masing-
masing tradisi dan aliran dengan kemampuan spiritual masing-masing membaca mantra yang menjadi media berkomunikasi dengan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa
Tai Sun Ong Ya serta Dewa-Dewi Kelenteng di Ing Hok Kiong mereka mengucapkan mantra berulang-ulang, memohon sesuatu kepada Dewa-Dewi di
Kelenteng Ing Hok Kiong. Boleh dikatakan mantra adalah dialog jiwa spiritual
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengandung pesan dan Roh yang khusus. Setiap umat yang berminat dan berkepentingan untuk mendapatkan berkah senantiasa melalui media kemampuan
spiritual Tan Ki untuk mendapatkan berkah dari Dewa-Dewi, pesan dan kekuatan Roh yang khusus datang masuk kejiwa spiritual Tan Ki yang secara spiritual
khusus memberkahi permintaan untuk penyembuhan dan pemberkatan keselamatan, keberuntungan, jodoh, menghilangkan bala atau musibah dan
lainnya. Setiap prosesi Upacara Sembahyang diiringi dengan tetabuhan yang dipukul terus menerus dengan irama nada yang bergelombang naik turun seperti
memberi kekuatan semangat dan aura spiritual para Tan Ki.
Tan Ki memiliki kemampuan spiritual dengan mantra menjadi media komunikasi menyampaikan pesan khusus yang diciptakan oleh orang yang
istimewa. Mantra digunakan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan akrab dengan berbagai Dewa-Dewi untuk memberi penyembuhan bagi yang sakit atau
memberi dukungan pemberkatan. Setiap Tan Ki menjadi praktisi pembaca mantra mengetahui kebutuhan Rohani, jiwa keinginan dan bantuan dibutuhkan oleh umat
yang mengajukan permohonan atas berbagai penyelesaian masalah dan pemberkatan kehidupan yang dihadapi.
Setiap Tan Ki dengan kemampuan spiritual mantra memiliki pesannya sendiri-sendiri, mempunyai pesan khusus yang diterima dari komunikasi dengan
Dewa-Dewi umntuk memenuhi permohonan umat yang bermaksud untuk memperoleh penyembuhan atau pemberkatan atau memberi perlindungan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
keselamatan hidup, atau meningkatkan kualitas spiritual bagi umat yang belajar meditasi.
Tan Ki inilah yang menjadi Ikon Upacara prosesi Ritual Bakar Tongkang, setelah melakukan persembahan dan dialog selesai, para Tan Ki segera
melanjutkan aktivitas dengan atraksi-atraksi kemudian keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, para Tan Ki sudah dalam kondisi jiwa raga seperti keadaan tidak
sadarkan diri pandangan dan tatapan matanya seperti kosong dan kepala terus bergerak mengikuti iringan suara gemuruh tabuhan. Suara gemuruh tabuhan
merupakan manifestasi penguatan spiritual dalam bentuk yang menyentuh, membangkitkan kekuatan spiritual para Tan Ki. Mendengarkan bunyi gemuruh
tabuhan adalah salah satu cara yang indah untuk membangkitkan energi kedamaiaan, energi kesadaran dan energi-energi lain yang menjaga dan melawan
energi negatif.
4.3.2. Pada tanggal 04 Juli 2012 GO Ge Cap Lak yaitu pada tanggal 16 bulan
kelima Imlek. Kira-kira berdasarkan kebiasaan beberapa kali Ritual Bakar Tongkang akan bergerak kurang lebih pada pukul 16.00 Replika Kapal Tongkang
di arak keluar dari Kelenteng Ing Hok Kiong, Replika Kapal Tongkang seberat kurang lebih 400 Kilogram itu digotong oleh puluhan orang utusan dari seluruh
kelenteng-kelenteng yang mewakili masing-masing Kelenteng seluruh Kota Bagansiapiapi. Perayaan arak-arakan diselenggarakan tepat pada bulan kelima
tanggal 16 penanggalan Imlek. Jarak arak-arakan dari Kelenteng Ing Hok Kiong Tradisi Dan Kepercayaan Serta Mukjizat Ritual Bakar Tongkang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sampai ketempat upacara Ritual Bakar Tongkang mencapai kurang lebih 2 Kilometer melintasi jalan-jalan di tengah Kota Bagansiapiapi.
Memerlukan waktu kurang lebih satu jam arak-arakan Replika Kapal Tongkang sampai ke lapangan kompleks lokasi pembakaran yang pada sisi pintu
masuk sebelah kanan terdapat sebuah Kelenteng yang dikhususkan bagi penghormatan Dewa Thong Chi Ya, disisi kiri lokasi terdapat sebuah bangunan
megah tempat para tamu dan undangan berkumpul. Selanjutnya replika kapal Tongkang digiring ke sudut kanan dan ditempatkan dibawah tumpukan kertas
sembahyang disusul dengan pemasangan tiang layar utama kapal Tongkang. Dalam prosesi Ritual Bakar Tongkang tercatat satu momen penting yang menjadi
essensi kepercayaan Seabad lamanya yaitu menyaksikan kemana arah jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu, semula dipercaya sebagai
kekuatan mukjizat yang memberi petunjuk keselamatan dan peruntungan usaha rezeki serta mata pencaharian bagi etnis Tinghoa di kota Bagansiapiapi.
Maksudnya jika tiang layar utama kapal Tongkang yang dibakar itu jatuh kearah laut maka dipercaya sebagai kekuatan mukjizat yang memberi arah petunjuk
peruntungan usaha dalam mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil laut. Dan sebaliknya jika tiang layar utama kapal Tongkang jatuh kearah
darat maka kekuatan mukjizat peruntungan usaha dan mata pencaharian akan lebih banyak datangnya dari hasil darat.
Selama beribu tahun, agama-agama didunia telah dihubungkan dengan mukjizat, yang dipandang sebagai contoh pertalian hukum-hukum alam dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hubungannya dengan kekuasaan Tuhan. Misalnya Krisna dipercaya telah melakukan banyak hal, mulai dari menyedot suatu kebakaran hutan sampai
mengangkat sebuah bukit. Sang Buddha menghentikan seekor gajah yang sedang murka dan membuatnya ketakutan. Ular musa memakan ular-ular Imam-Imam
Mesir. Kristus menyediakan cukup ikan dan roti untuk memberi makan orang banyak yang sedang berkumpul. Namun, kemampuan membuat mukjizat ini
secara langsung maupun tidak langsung selalu dalam hubungannya dengan kekuasaan Tuhan, merupakan usaha setiap agama untuk mendemonstrasi
kekuasaan dan kedaulatan Tuhan yang diidealkannya.
Dengan penafsiran peristiwa-peristiwa sebagai mukjizat tersebut, sama halnya Ritual Bakar Tongkang juga dipercaya mengandung mukjizat yang telah
ditafsirkan sebagai petunjuk arah mukjizat keberuntungan usaha dan mata pencaharian oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, pengalaman
Ritual Bakar Tongkang yang di pandang memiliki suatu kekuatan mukjizat keberuntungan yang selalu berelasi hubungan dengan arah jatuh tiang layar utama
kapal Tongkang menjadi salah satu hal unik dan menarik dari ritual ini.
Fenomena super normal yang sangat dipercayai ada kebenarannya dengan kekuatan-kekuatan Ilahiah yang bersemayam pada masyarakat etnis Tionghoa di
kota bagansiapiapi. Namun kekuatan dan kepercayaan tersebut sulit dijelaskan secara rasional kebenarannya tetapi telah menjadi akumulasi kepercayaan yang
dianut masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang dipercaya memberi mukjizat arah sektor kegiatan usaha
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
perdagangan yang memberi keberuntungan Hokki untuk menjalankan kegiatan usaha mereka lakukan pada tahun depan berikutnya. Kepercayaan jatuhnya arah
tiang layar utama kapal Tongkang tidak berhubungan dengan klaim-klaim agama, juga tidak dapat menyesatkan kekuasaan Tuhan. Satu-satunya yang mereka
lakukan adalah membenarkan dan menegaskan kepercayaan yang telah berjalan seabad lamanya Ritual Bakar Tongkang sudah menjadi tradisi dan kepercayaan.
Mukjizat dari jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah dipercayai masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi, dan kepercayaan ini terbangun
dari pengalaman Ritual Bakar Tongkang seabad lamanya telah memberi rasa aman dalam kehidupan ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di kota
Bagansiapiapi.
Kepercayaan ini menyimbolkan keberadaan kepercayaan lokal mereka dalam kelompok masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi tersebut telah
dikomunikasikan dan dipraktekan terus menerus melalui akumulasi kepercayaan Ritual Bakar Tongkang tersebut. Dalam konteks asosiasi Ritual harus dilihat
dalam konteks kepercayaan lokal sudah turut mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkrit di alam raya yang sudah tentu berbeda dengan
kepercayaan berdasarkan tatanan Religi atau Agama, karenanya kepercayaan lokal tersebut mungkin tampak sukar diterima dari segi pandangan Religi atau Agama
atau Rasionalitas, karena fondasi moral kepercayaan lokal telah diterima pemikirannya dalam kehidupan alam semesta, sekaligus sanggup mentransendensi
pada bukti empiris keberhasilan material dan sosial ekonomi masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi seabad lamanya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Detik-detik Bakar Tongkang pun cenderung kearah Ritual dengan dikelilingi para Tan Ki Suhu Spiritual memperagakan dan mengerahkan seluruh
kekuatan spiritual serta kebolehannya di pertontonkan dengan berlari-lari disertai gerakan silat spiritual memutari replika Kapal Tongkang yang mulai disulut api
yang pelan-pelan berkobar dahsyat, dan seluruh tamu dengan hikmat memberi penghormatan sembahyang baik dengan memegang Hio Dupa maupun tanpa
Hio berdoa sesuai dengan kepercayaan agama masing-masing.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa essensi Ritual puncak Bakar Tongkang adalah melihat kearah mana tiang layar utama akan terjatuh, yang
dipercaya masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi sangat menentukan kiblat rezeki mereka selama setahun kedepan. Mukjizat keberuntungan dari arah
jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang telah menjadi pengalaman spiritualitas yang dialami dan dikomunikasikan berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lokal
yang sudah diterima. Ketika menafsirkan kejadian arah jatuhnya tiang layar utama kapal Tongkang tersebut sebagai mukjizat arah rejeki, dan jelas tafsiran
spiritualitas yang menjadi kepercayaan lokal telah terjadi dan tidak dapat disangkal selama seabad lamanya, telah menyingkap hubungan mendalam antara
kepercayaan spiritual manusia dengan keyakinan pengalaman immaterial Ritual Bakar Tongkang tersebut berelasi dengan essensi kekuatan kepercayaan itu sendiri
bersifat Ilahiah, Supra Human dan Supra Natural.
Menurut hasil wawancara penulis dengan masyarakat etnis Tionghoa di kota Bagansiapiapi kesakralan Ritual Bakar Tongkang ini tercatat selama seabad
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam sejarah telah terbukti memberi manfaat bekah rezeki sesuai dengan petunjuk jatuh tiang utama layar kapal Tongkang tersebut. Terdapat nilai dan
keyakinan berbaur dengan dimensi-dimensi spiritual dan kultural. Penyaklaran Ritual Bakar Tongkang yang berjalan seabad lamanya telah menjadikan suatu
idiom asal-usul yang telah mendapat sebuah pengakuan terhadap kondisi kesejarahan masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi. Sejarah pada saat
yang sama adalah suatu kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan sesuatu proses yang sedang berlangsung. Bahkan sakralisasi itu sendiri adalah suatu
kenyataan yang telah terjadi dan juga merupakan suatu proses yang sedang berlangsung. Dunia Ritual Bakar Tongkang tersebut merupakan sebuah dunia
yang telah terbentuk dan dipercaya sejak masa lalu sampai saat ini masih tetap dipercaya dan diyakini oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota bagansiapiapi dan
akan berkembang terus sampai kemasa depan. Sejarah Ritual Bakar Tongkang adalah sebuah warisan budaya lokal dan sejarah bersama masyarakat
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
4.3.2. Perayaan Kehidupan Go Ge Cap Lak dengan upacara ritual Bakar Tongkang bagi Masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi selalu menjadi momentum sosiologis perayaan puncak kebajikan dan amal, pelaksanaan kebajikan dengan memberi sumbangan dana
atau benda yang diserahkan pada panitia atau pengurus kelenteng Ing Hok Kiong untuk lancarnya prosesi ritual Bakar Tongkang. Buah perayaan Go Ge Cap Lak
secara kultural bagi masyarat Tionghoa Bagansiapiapi di seluruh Nusantara dan Mancanegara menjadi ajang pulang kampung mengunjungi keluarga, saudara,
teman, kerabat lainnya dan sekaligus reuni yang mengharu birukan perasaan bahagia semua lapisan masyarakat Bagansiapiapi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Go Ge Cap Lak bagaikan sebuah Momentum Hari Raya lokal yang mengundang naluri alami yang paling dalam untuk pulang kampung bagaikan
burung-burung urban yang dari segala pelosok dunia menuju sarang sosial dan kulturalnya, tampak menakjubkan bukan saja karena Ritual Bakar Tongkang yang
sakral tetapi juga makna eksistensial kemanusiaannya di dalam silahturahmi kehangatan sanak saudara, kerabat, dan handai tolan. Bagi masyarakat Tionghoa
Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai tempat, kelelahan rutinitas kehidupan sepanjang tahun terobati dan serasa ringan jiwa raga mengunjungi
sanak saudara, kerabat dan handai tolan dikampung halaman Bagansiapiapi, setiap orang menemukan qase atau danau pencerahan sekaligus kehangatan rasa
persaudaraan dan kekerabatan. Itulah salah satu hal yang indah mengenai Go Ge Cap Lak, setiap orang terdorong untuk kembali pulang kampung.
Berdasarkan hasil wawancara penulis degan beberapa masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi yang telah merantau ke berbagai daerah memaknai Go
Ge Cap Lak sebagai manifestasi untuk merayakan peran sosial yang dimilikinya berikut narasi kesuksesan dibuktikan. Selain ikatan emosional para perantau
warga Bagansiapiapi dengan kota asalnya Bagansiapiapi, tradisi pulang kampung juga tidak kalah bernilainya sebagai momentum terbaik untuk kembalinya para
perantau ke Bagansiapiapi guna memperkuat tali silahturahmi dengan sanak saudara, kerabat dan handai tolan.
Nilai - nilai luhur dan kearifan sosialnya Go Ge Cap Lak mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan serta kepedulian terus menyala menjadi tradisi
pulang kampung untuk memuliakan sanak saudara, kerabat dan handai tolan. Go Ge Cap Lak menjadi festival perayaan tradisi dan kepercayaan lokal yang
memberi semangat spiritualitas untuk kehidupan bersama yang bersetia kawan, peduli kepada sesame.Go Ge Cap Lak dapat dikatakan merangkul leluhur spiritual
kita baik berdasarkan pertalian darah maupun juga memiliki leluhur berdasarkan hubungan tradisi dan kepercayaan lokal. Praktik pulang kampung dan praktik
bersentuhan dengan leluhur tersebut adalah essensi dari makna yang ingin dilakukan setiap orang pada perayaan Go Ge Cap Lak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.4 . Perubahan Makna Tradisi Perayaan Bakar Tongkang Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Bagansiapiapi.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi Go Ge Cap Lak dengan ritual Bakar
Tongkang berkembang dan bergerak dari sakralitas kemudian cenderung bersifat profan, tidak lagi berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan local masyarakat
Tionghoa Bagansiapiapi, sebagian generasi muda tidak lagi memahami Go Ge Cap Lak sebagai bagian dari upacara ritual Bakar Tongkang dan penghormatan
terhadap dewa Kie Ong Ya dan dewa Tai Sun Ong Ya yang sakral. Generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi hanya melihat dari sisi sebuah Ikon wisata
Kabupaten Rokan Hilir-Provinsi Riau. Kesakralan Bakar Tongkang pada Go Ge Cap Lak bagi generasi tua adalah manifestasi bentuk kegeniusan nenek moyang
yang menjadi bagian identitas mereka. Meski terjadi pergeseran nilai-nilai sakral telah cenderung terdesak yang profane. Perubahan ini adalah bagian perjalanan
tradisi dan kepercayaan Go Ge Cap Lak itu sendiri. Dalam tradisi dan kepercayaan GO Ge Cap Lak ini terjadi perubahan
sakralitas dan profanitas yang saling menyatu, antara sakralitas nilai-nilai tradisi kepercayaan dan budaya dengan nilai semata hiburan profan yang saling mengisi.
Melalui wadah budaya nilai-nilai sakralitas diekspresikan dan dilambangkan dalam perayaan prosesi Ritual Bakar Tongkang tersebut mengalami proses
tantangan realitas yang mengiring sakralitas menjadi bagian profanitas dari Ikon hiburan pariwisata Rohil. Dan juga generasi muda memaknai ritual Bakar
Tongkang hanya sebagai tradisi yang dilakukan turun temurun dan telah menjadi suatu kewajiban tuk mengikuti ritual Bakar Tongkang tanpa memahami arti
sebenarnya dari ritual Bakar Tongkang itu dsendiri. Dengan konsekwensi semakin menurunnya pemahaman generasi muda masyarakat Tionghoa terhadap Go Ge
Cap Lak karena mereka memandang sebagai bagian tradisi kepercayaan leluhur nenek moyang mereka.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menurut hasil wawancara penulis dengan generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi adapun beberapa faktor yang mempengarui perubahan
sakralitas makna ritual Bakar Tongkang itu sendiri, dikarenakan perkembangan teknologi, dikarenakan generasi muda sekarang lebih tertarik disuguhkan dengan
segala sesuatu hal yang bersifat duniawi dan kegemerlapan dibandingkan hal – hal yang bersifat sejarah. Sebagian besar generasi sekarang perantauan yang
mengikuti ritual Bakar tongkang cenderung lebih melihat sisi hiburan yang diadakan pada ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Generasi sekarang lebih
menikmati penyuguhan artis – artis ternama yang langsung di datangkan dari Taiwan dibandingkan datang ke kelenteng Ing Hok King untuk bersembayang.
Adapun faktor lain perubahan makna dibalik tradisi ritual Bakar Tongkang yang penulis peroleh dari hasil wawancara penulis dengan beberapa
masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, dikarenakan meskipun ritual Bakar Tongkang merupakan suatu wujud apresiasi untuk mengenang perjuangan para
leluhur didalam pelayarannya,namun tradsisi Bakar Tongkang tidak terlepas dari nilai spiritual. Dikarenakan pelaksanaan Bakar Tongkang dilakukan berdasarkan
salah satu ajaran aliran kepercayaan yaitu aliran kepercayaan Konghucu, sedangkan pada generasi sekarang masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi kini telah
banyak menganut agama kepercayaan yang diakui secara universal yang menyebabkan generasi muda tidak melakukan ritual yang ada tetapi lebih melihat
sisi pariwisata dari ritual Bakar Tongkang itu sendiri. Bagi generasi muda masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi pengaruh agama juga memberikan factor
yang cukup besar terhadap perubahan makna ritual Bakar Tongkang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan