Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

(1)

PENINGKATAN MUTU KAYU KARET (Hevea braziliensis MUELL Arg) DENGAN BAHAN PENGAWET ALAMI DARI BEBERAPA

JENIS KULIT KAYU

HASIL PENELITIAN

Oleh: Ditha Dwi Cahya

081203041/ Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis

MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu

Nama : Ditha Dwi Cahya NIM : 081203041 Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ridwanti Batubara, S. Hut, MP

Ketua Anggota

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D


(3)

ABSTRACK

DITHA DWI CAHYA. Make-Up Of Quality Of Wood Hevea Braziliensis MUELL Arg. with Natural Preservative from Some Type Bark. Supervised by RIDWANTI BATUBARA and EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Wood which is easy to be destroyed by factor of biologis represent wood owning durabel lower. Rubber wood have durabel lower so that less taken a fancy to upon which or building of contruksi. Durabel treatment to increase wood can be conducted by pickling. Research aim to to know chemical content bark of mahoni, and pine of eucalyptus and also test rubber wood which have been conserved with extractive bark to mushroom attack of Schizophyllum Fr commune.

Research conducted by using bark serbuk (mahoni, and pine of eucalyptus) which is extract with of methanol, then made by 4 concentration level 0%, 2%, 4% and 6%, is here in after tested by retention, dimension stability test and rubber wood resilience test to mushroom attack S. Fr commune. Result of research show third bark type have chemical content of saponin in number many, terpenoida in number a few/little and do not contain chemical of alkaloid. At chemical of flavonoid, bark of eucaliptus have content in number many pine bark and of mahoni. Bark of Eucaliptus at concentration 6% equal to 138,92 kg/m3 to increase assess its retention and also bark of eucalyptus with concentration 6% owning value of ASE ( Antiswelling Efficiency) highest ( 95,18%). Pine bark with concentration 6% effective to mushroom attack S. Fr commune.


(4)

ABSTRAK

DITHA DWI CAHYA. Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis

MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu. Dibawah bimbingan RIDWANTI BATUBARA dan EDY BATARA MULYA SIREGAR.

Kayu yang mudah dirusak oleh faktor biologis merupakan kayu yang memiliki keawetan rendah. Kayu karet memiliki keawetan rendah sehingga kurang disukai sebagai bahan bangunan atau kontruksi. Perlakuan untuk meningkatkan keawetan kayu dapat dilakukan dengan cara pengawetan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus serta menguji kayu karet yang telah diawetkan dengan zat ekstraktif kulit kayu terhadap serangan jamur Schizophyllum commune Fr.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan serbuk kulit kayu (mahoni, pinus dan eucalyptus) yang diekstrak dengan pelarut metanol, kemudian dibuat 4 taraf konsentrasi 0%, 2%, 4% dan 6%, selanjutnya diuji retensi, uji stabilitas dimensi dan uji ketahanan kayu karet terhadap serangan jamur S. commune Fr. Hasil penelitian menunjukkan Ketiga jenis kulit kayu memiliki kandungan kimia saponin dalam jumlah banyak, terpenoida dalam jumlah sedikit dan tidak mengandung zat kimia alkaloida. Pada zat kimia flavonoid, kulit kayu eucaliptus memiliki kandungan dalam jumlah banyak dibandingan kulit kayu pinus dan mahoni. Kulit kayu eucaliptus pada konsentrasi 6% sebesar 138,92 kg/m3 efektif digunakan untuk meningkatkan nilai keawetan kayu karena memiliki nilai retensi tertinggi serta kulit kayu eucalyptus dengan konsentrasi 6% memiliki nilai ASE (Antiswelling Efficiency) yang paling tinggi (95,18%). Kulit kayu pinus dengan konsentrasi 6% efektif terhadap serangan jamur S. commune Fr.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini, yang berjudul ”Peningkatan Mutu Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg) dengan Bahan Pengawet Alami dari Beberapa Jenis Kulit Kayu” dengan baik. Penelitian ini merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, M.P, dan Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya, M.S selaku komisi pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan teman-teman yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam penelitian-penelitian ilmiah.

Medan, Januari 2013


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT……… i

ABSTRAK……….. ii

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR GAMBAR……….. vi

DAFTAR TABEL……….. vii

DAFTAR LAMPIRAN……….. viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ………. 1

Tujuan Penelitian ………. 3

Manfaat Penelitian ………... 4

Hipotesis ………... 4

TINJAUAN PUSTAKA Kayu Karet………… ……… 5

Kayu Mahoni……….. 6

Kayu Pinus………. 8

Kayu Eucalyptus……… 10

Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami …..…. 11

Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawet Alami………….... 11

Stabilitas Dimensi Kayu ………..…………. 13


(7)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 17

Alat dan Bahan ………. 17

Prosedur Penelitian..……….. 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Fitokimia………. 29

Kandungan Zat Ekstraktif……… 32

Retensi Bahan Pengawet pada Kayu……… 34

Stabilitas Dimensi Kayu……….. 36

Pengujian pada Jamur Schizophyllum commune Fr. ………. 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 42

Saran………... 42

DAFTAR PUSTAKA………. 43


(8)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun... 7

2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni ………... 8

3. Batang Tanaman Pinus………. 9

4. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida………... 24

5. Skema Pengujian Saponin………. 25

6. Skema Pengujian Flavonoida……… 25

7. Skema Pengujian Alkaloida……….. 27

8. Grafik Rata-rata Nilai Retensi……….………. 35

9. Grafik Rata-rata Nilai ASE……….. 37

10. Grafik Nilai Rata-rata Penurunan Berat Contoh Uji ………… 38

Akibat Serangan Jamur S. commune 11. Contoh Uji yang Diserangan Jamur S. commune………. 39


(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi... 23

2. Skrining Fitokimia Alkaloida……… 29

3. Skrining Fitokimia Flavonoid………... 30

4. Skrining Fitokimia Terpenoida……… 31

5. Skirining Fitokimia Saponin……… 31

6. Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Jenis Kulit Kayu... 32

dengan Pelarut Metanol 7. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi……… 40


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Kulit Kayu... 46

2. Data Kadar Air Serbuk Ketiga Kulit Kayu………...… 46

3. Data Penambahan Berat Contoh Uji Kayu Karet... 46

4. Data Nilai Retensi Contoh Uji Kayu Karet …………... 49

5. Analisi Sidik Ragam Retensi Kayu……….. 51

6. Data ASE Contoh Uji Kayu Karet……….. 52

7. Analisi Sidik Ragam ASE Contoh Uji Kayu Karet…………. 53

8. Data Penurunan Berat ………. 54


(11)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kayu merupakan kebutuhan yang semakin lama semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya penduduk, kemajuan teknologi, perindustrian dan ilmu pengetahuan. Dalam bidang konstruksi, kayu memiliki arti yang penting dalam penggunaannya meskipun mendapat saingan dari bahan konstruksi lainnya seperti : semen, baja, dan sebagainya. Kayu digunakan juga sebagai bahan bangunan dan sebagai bahan baku industri disebabkan karena kayu memiliki kelebihan, yaitu: mudah diperoleh di seluruh dunia, mudah dibentuk dan dikerjakan, sebagai isolator panas yang baik, dan memiliki sifat dekoratif yang baik. Disamping memiliki kelebihan, kayu juga memiliki kekurangan yaitu mudah dirusak oleh organisme perusak kayu seperti fungi dan serangga dan juga oleh kondisi fisik dan kimia lingkungan. Kerusakan kayu yang disebabkan oleh faktor

biologis lebih tinggi dibandingkan faktor-faktor perusak lainnya (Nandika dan Tambunan, 1989).

Di Indonesia tercatat kurang lebih 4.000 jenis kayu. Dari 4.000 jenis kayu yang ada, hanya sebagian kecil saja yang memiliki tingkat keawetan tinggi (15-20%). Sisanya yang 80-85% termasuk jenis kayu yang kurang awet atau kurang menguntungkan bagi pemakainya. Oleh karena kayu yang keawetannya tinggi semakin berkurang dan mahal harganya, maka kecenderungan masyarakat adalah menggunakan kayu-kayu yang keawetannya rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan umur pakai kayu dengan pengawetan kayu. Namun sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan pada saat ini merupakan bahan kimia


(12)

sintetis. Ditinjau dari aspek ekologis, penggunaan bahan kimia sintetis mempunyai dampak yang kurang menguntungkan terutama disebabkan bahan kimia tersebut tidak dapat terurai. Upaya untuk mengurangi dampak negatif tersebut dilakukan dengan pencarian bahan pengawet alternatif dari alam melalui berbagai penelitian. Pemanfaatan komponen kimia berupa zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu merupakan salah satu alternatif sumber bahan pengawet kayu alami. Kandungan zat ekstraktif pada setiap jenis kayu berbeda satu sama lainnya, baik kadarnya maupun daya racunnya. Hal ini menjadikan setiap jenis kayu memiliki kelas keawetan yang berbeda-beda (Duljapar, 2001).

Kayu tahan terhadap serangan berbagai faktor perusak terutama perusak biologis (hama dan penyakit) karena memiliki zat ekstraktif yang bersifat racun pada faktor perusak tersebut. Sifat racun zat ekstraktif ini memiliki potensi sebagai bahan pengawet alami. Berbagai penelitian menunjukkan sifat bioaktifnya terhadap rayap dan jamur diantaranya: ekstraktif kulit kayu jati bersifat racun pada rayap (Sari dan Syafii, 2000) dan jamur (Rosamah, 1990), ekstraktif kulit kayu medang bersifat racun pada jamur (Batubara, 2007).

Kayu yang mudah dirusak oleh faktor biologis merupakan kayu yang memiliki keawetan rendah, salah satu kayu yang memiliki keawetan rendah tersebut adalah kayu karet sehingga kurang disukai sebagai bahan bangunan atau kontruksi. Perlakuan untuk meningkatkan keawetan kayu dapat dilakukan dengan cara pengawetan. Pengawetan kayu bertujuan untuk meningkatkan keawetan kayu, sehingga mutu kayu meningkat dan umur pakai kayu lama. Perlakuan pengawetan yang mudah dikerjakan yaitu metode perendaman air dingin yang menggunakan bahan pengawet alami seperti zat ekstraktif. Zat ekstraktif


(13)

merupakan salah satu faktor penyebab keawetan alami kayu yang memiliki sifat racun terhadap organisme perusak kayu. Zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu bersifat fungisida atau insektisida seperti zat fenol, terpene, saponin, flavonoid dan tanin. Selain itu terdapat juga zat yang merugikan kayu seperti zat tepung atau zat gula (Tim Elsppat, 2007).

Zat ekstraktif lebih banyak pada bagian kulit pohon, zat ekstraktif kulit kayu dapat menghambat perkembangan jamur dan terhadap rayap, diantaranya zat ekstraktif kulit kayu durian (Durio zibethinus) berpengaruh terhadap rayap tanah (Nofarianty, 1998), sifat anti rayap zat ekstraktif beberapa jenis kayu daun lebar tropis (Syafii, 2000) dan zat ekstraktif kulit kayu medang hitam (Cinnamomun porrectum Roxb) berpengaruh terhadap jamur S. commune (Batubara, 2006). Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus akan dicobakan sebagai bahan pengawet alami kayu karet yang memiliki kelas awet V sebagai upaya untuk meningkatkankan keawetannya terhadap serangan jamur S. commune Fr.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kandungan kimia kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus berdasarkan uji fitokimia.

2. Mengujian kayu karet yang telah diawetkan dengan zat ekstraktif kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus terhadap serangan jamur S. commune


(14)

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan suatu alternatif dalam penggunaan zat ekstraktif dari beberapa jenis kulit kayu sebagai bahan pengawet alami.

Hipotesis

Terdapat pengaruh ekstrak jenis kulit kayu dan konsentrasi yang berbeda terhadap uji retensi, stabilitas dimensi dan keawetan kayu terhadap serangan jamur S. commune Fr.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)

Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis

MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks

juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae) (Sianturi, 1992).

Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Spesies : Hevea braziliensis

Tanaman karet ini merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet


(16)

terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).

Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)

Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:

Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni

Swietenia mahagoni Jacq termasuk kedalam famili Meliaceae yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis tetapi sudah lama di budidayakan di


(17)

Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggir-pinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar (Sutarni, 1995).

Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Tanaman mahoni buahnya terlihat muncul di ujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi kira-kira 10-30 m, percabangannya banyak. Daunnya majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya kira-kira 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan kena sinar matahari


(18)

langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).

Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar. Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV (Sutarni, 1995).

Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman mahoni.

Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987) Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).

Kayu Pinus (Pinus merkusii)

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman pinus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :


(19)

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Gymnospermae Ordo : Coriferae Famili : Pinaceae Spesies : Pinus merkusii

Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).


(20)

Kayu Eucaliptus

Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Afandi, 2007).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi

Kelas

Ordo

Famili

Genus : Eucalyptus

Jenis ini dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter umumnya berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnyatidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur


(21)

memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).

Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami

Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu. Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).

Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami

Derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur ukur kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988).


(22)

Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan.Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.

Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).

Derajat pengawetan kayu ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Keberhasilan pengawetan tersebut perlu diuji lagi apakah dengan diawetkan ketahanannya akan makin tahan terhadap faktor perusak. Jika dibandingkan hasil uji yang diawetkan dengan tanpa diawetkan hasilnya menunjukkan kayu yang diawetkan lebih tahan terhadap faktor perusak maka masa pakai kayu akan lebih lama sehingga kayu tersebut meningkat kelas keawetannya, otomatis mutu kayunya juga meningkat (Nicholas, 1988).


(23)

Stabilitas Dimensi Kayu

Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahan-perubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan-perubahan dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk mengurangi perubahan dimensi adalah:

1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas komersial.

4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan dengan berhasil.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah kekerasan serta ketahanan ausnya.

Dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab polimer dinding sel mengandung gugus hidroksil dan mengandung gugus oksigen lainnya yang bersifat menarik air melalui ikatan hidrogen. Air ini mengembangkan dinding sel dan kayu memuai sampai dinding sel jenuh dengan air. Air yang terdapat setelah


(24)

titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).

Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi. Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna. Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).

Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Ahcmadi, 1990).

Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries

Jamur pelapuk kayu S. commune Fr. termasuk dalam kelas Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).


(25)

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:

Regnum : Myceteae

Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes

Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979 ) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke dalam. Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi, dimana antarafasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih pendek.


(26)

Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam

Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam

Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri. Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).


(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)

Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis

MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks

juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae) (Sianturi, 1992).

Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Spesies : Hevea braziliensis

Tanaman karet ini merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet


(28)

terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).

Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)

Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:

Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni daun sempit) (Khaeruddin, 1999).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledone Ordo : Rotales Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni

Swietenia mahagoni Jacq termasuk kedalam famili Meliaceae yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis tetapi sudah lama di budidayakan di


(29)

Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggir-pinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar (Sutarni, 1995).

Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun

Tanaman mahoni buahnya terlihat muncul di ujung-ujung ranting berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi kira-kira 10-30 m, percabangannya banyak. Daunnya majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya kira-kira 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan kena sinar matahari


(30)

langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).

Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar. Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV (Sutarni, 1995).

Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman mahoni.

Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987) Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).

Kayu Pinus (Pinus merkusii)

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman pinus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :


(31)

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Gymnospermae Ordo : Coriferae Famili : Pinaceae Spesies : Pinus merkusii

Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk (Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).


(32)

Kayu Eucaliptus

Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Afandi, 2007).

Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam sistematika sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi

Kelas

Ordo

Famili

Genus : Eucalyptus

Jenis ini dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter umumnya berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnyatidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur


(33)

memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).

Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami

Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu. Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan. Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).

Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami

Derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur ukur kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988).


(34)

Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan.Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.

Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).

Derajat pengawetan kayu ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Keberhasilan pengawetan tersebut perlu diuji lagi apakah dengan diawetkan ketahanannya akan makin tahan terhadap faktor perusak. Jika dibandingkan hasil uji yang diawetkan dengan tanpa diawetkan hasilnya menunjukkan kayu yang diawetkan lebih tahan terhadap faktor perusak maka masa pakai kayu akan lebih lama sehingga kayu tersebut meningkat kelas keawetannya, otomatis mutu kayunya juga meningkat (Nicholas, 1988).


(35)

Stabilitas Dimensi Kayu

Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahan-perubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan-perubahan dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk mengurangi perubahan dimensi adalah:

1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas komersial.

4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan dengan berhasil.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah kekerasan serta ketahanan ausnya.

Dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab polimer dinding sel mengandung gugus hidroksil dan mengandung gugus oksigen lainnya yang bersifat menarik air melalui ikatan hidrogen. Air ini mengembangkan dinding sel dan kayu memuai sampai dinding sel jenuh dengan air. Air yang terdapat setelah


(36)

titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).

Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi. Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna. Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).

Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Ahcmadi, 1990).

Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries

Jamur pelapuk kayu S. commune Fr. termasuk dalam kelas Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).


(37)

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S. commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:

Regnum : Myceteae

Divisi : Amastigomycota Sub-Divisi : Basidiomycotina Kelas : Basidiomycetes

Sub-Kelas : Holobasidiomycetidae I Seri : Hymenomycetes I Ordo : Aphyllophorales Famili : Schizophyllaceae Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune

Menurut Alexopoulus dan Mims (1979 ) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke dalam. Sementara itu menurut Buller (1909) dalam Herliyana (1994), S. commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi, dimana antarafasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi yang lebih pendek.


(38)

Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam

Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.

S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam

Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri. Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).


(39)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Laboratorium Budidaya Hutan Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Kimia Bahan Alam, Fakultas FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai April 2012 - November 2012.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, saringan ukuran 40-60 mesh, oven, aluminium foil, kantong plastik, kertas label, kertas saring,

kalipper, gelas erlenmeyer, autoclave, spatula, timbangan, kamera digital, kalkulator, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah kayu karet (H. braziliensis) ukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72 contoh uji, serbuk kulit kayu mahoni, pinus dan eucalyptus dan jamur S. commune, dan pelarut metanol.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan Baku dan Contoh Uji

Pengambilan kulit kayu mahoni, pinus dan eucalyptus yang segar kemudian bahan dikeringkan. Setelah kering bahan dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan atau blender untuk mendapatkan serbuk kulit kayu tersebut, kemudian bahan serbuk disaring dengan ukuran 40-60 mesh,


(40)

dikeringkan sampai kering udara dan di masukkan ke dalam kantung plastik yang berukuran besar. Selanjutnya diukur kadar airnya.

Ekstraksi Kulit Kayu

Serbuk kulit kayu tersebut yang telah kering diambil sebanyak 500 gram, masing- masing diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode perendaman pada suhu ruangan selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut 1:3 dalam stoples, campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula, hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan tersebut di masukkan ke dalam botol, residunya direndam kembali selama 2 hari. Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil masing-masing ekstraksi tersebut kemudian dievaporasi sampai volumenya 100 mililiter. Dari ekstraksi diambil 10 mililiter, kemudian dievaporasi sampai kering setelah itu baru dioven untuk mengetahui kadar ekstraknya.

Kadar ekstrak =

ekstraksi sebelum

serbuk ing

Bobot

ekstrak ing

Bobot

ker

ker

x 100 %

Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan

Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi dan diperoleh padatan ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan oven pada suhu 35oC adalah pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif. Masing-masing hasil ekstrak metanol dibuat 4 taraf konsentrasi larutan ekstraktif, yaitu : 0, 2, 4, dan 6%. Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume untuk perendaman yang dibutuhkan.


(41)

Pembuatan Contoh Uji Dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan a. Pembuatan Contoh Uji

Kayu karet yang segar tebang dibuat balok dengan panjang kurang lebih 1 m, lalu diambil kayu bagian gubalnya untuk dibuat sebagai contoh uji. Contoh uji yang bebas cacat berukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72 contoh uji yang dibuat dengan menggunakan gergaji mesin.

b. Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan

Contoh uji dikering udarakan selama 1 bulan. Kemudian contoh uji dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1000C selama 48 jam kemudian ditimbang (W0) dan volumenya diukur dengan kalipper.

Perendaman (Pengawetan) Contoh Uji Pada Zat Ekstraktif

Perendaman contoh uji kayu karet dilakukan pada larutan ekstraksi metanol selama 3 hari. Contoh uji kayu karet yang direndam adalah 72 buah yang terdiri dari 36 contoh uji untuk pengujian stabilitas dimensi dan 36 buah contoh uji untuk pengujian jamur. 36 contoh uji yang diperoleh dari 3 jenis kulit kayu, 1 jenis pelarut, 4 taraf konsentrasi dan 3 kali ulangan dengan ukuran 20 mm (p) x 20 mm (l) x 10 mm (t) yang sebelumnya dikering udarakan dan telah dioven serta telah diukur volumenya, agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka contoh uji diberi pemberat.

Pengujian Retensi

Setelah direndam, kemudian dioven pada suhu 1000C selama 48 jam selanjutnya contoh uji ditimbang dan dihitung penambahan beratnya. Perhitungan


(42)

penambahan berat berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978) dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :

Penambahan berat (%) = 100% 0

0 1

X W

W

W

Keterangan :

W0 = berat kering tanur contoh uji sebelum pengawetan (gram) W1 = berat kering tanur contoh uji sesudah pengawetan (gram)

Selain penambahan berat dihitung juga besarnya nilai Retensi berdasarkan Duljapar (2001) dengan menggunakan rumus :

X K V

W W

R= 1− 0

Keterangan :

W1 = berat kering tanur sesudah diawetkan (kilogram) W0 = berat kering tanur sebelum diawetkan (kilogram) R = retensi bahan pengawet (kg/m3)

K = konsentrasi larutan (% w1/w0) V = volume kayu yang diawetkan (m3)

Pengujian Efektifitas Zat Ekstraktif Terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet

Pengujian terhadap stabilitas dimensi kayu karet dengan menggunakan contoh uji yang berukuran 20 mm (p) x 20 mm (l) x 10 mm (t) sebanyak 36 buah. Contoh uji yang sebelumnya telah direndam dengan ekstrasi metanol, kemudian setelah jenuh air contoh uji diangkat dan diukur dimensinya (DB), selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu 600C selama 48 jam dan diukur dimensinya (DK). Contoh uji setelah direndam dan dikering oven diukur dengan kalipper, dihitung koefisien pengembangan volumen (S) berdasarkan metode perendaman


(43)

S (%) = {(V2/V1) - 1} x 100

Keterangan:

V2 = dimensi contoh uji setelah perendaman V1 = dimensi contoh uji kering oven

Nilai ASE (Antiswelling efficiency) dapat dihitung dari perbedaan antara nilai pengembangan contoh uji (S) dengan perlakuan pengawetan dan tanpa perlakuan pengawetan berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)

dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :

ASE (%) = {1 – (S2/S1)} x 100

Keterangan :

S2 = swelling dalam keadaan basah S1 = swelling dalam keadaan kering oven

Pengujian Pada Jamur

a. Penyediaan biakan jamur (isolasi jamur)

Media biakan jamur yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar), degan bahan: 250 gr kentang, 20 gram gula (dextrosa), 21 gram tepung agar-agar, dan 1000 ml air suling.

Cara pembuatan: kentang dikupas, diiris kecil-kecil, dimasak dalam 500 ml air suling selama 20 menit (sampai mendidih). Sarinya disaring dengan kasa. Tepung agar dilarutkan dalam air suling dan dicampur dengan gula sebanyak 20 gram, kemudian dimasukkan ke dalam sari kentang dan ditambahkan air suling sampai volumenya 1000 ml dalam gelas erlenmeyer berkapasitas 2000 ml. Sterilisasi media dilakukan dengan memasukkan media tersebut ke dalam autoclave selama 20 menit dengan tekanan 15 psi pada suhu 120oC.


(44)

b. Pembiakan jamur

Jamur yang digunakan dalam penelitian ini adalah S. commune. Jamur tersebut diperoleh dari isolasi dari kayu dan dimurnikan untuk mendapatkan biakan murni (isolat) yang siap dipakai untuk pengujian. Isolat tersebut menjadi bahan yang akan diinokulasi pada media PDA baru (perlakuan) yang telah disiapkan.

c. Pengujian

a) Contoh uji yang steril dan diketahui beratnya dimasukkan ke dalam gelas yang sudah berisi biakan fungi penguji. Sebelumnya diperiksa dahulu kalau biakan fungi terkontaminasi atau tidak. Biakan fungi yang terkontaminasi harus diganti dan tidak digunakan untuk pengujian.

b) Pengamatan dilakukan setelah 4 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi.

c) Penilaian kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari “utuh” sampai “hancur sama sekali”. Klasifikasi kerusakan dapat dibuat menurut keperluan.

d) Contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam. Persentase kehilangan berat dihitung atas dasar selisih berat contoh uji sebelum dan sesudah diserang fungi.


(45)

Pengamatan dilakukan setelah 4 minggu terhadap daya hidup dan intensitas serangan. Pengujian kayu terhadap fungi pelapuk didapat dengan menghitung:

a) Penurunan berat dengan menggunakan rumus :

% 100

1 2 1

X W

W W

P= −

Keterangan :

P = penurunan berat (%);

W1 = berat contoh uji sebelum diumpankan (g); W2 = berat contoh uji sesudah diumpankan (g).

b) Penentuan ketahanan kayu didasarkan atas beberapa kelas seperti Tabel 1

Tabel 1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%) I Sangat Tahan <1

II Tahan 1 – 5

III Agak Tahan 5-10

IV Tidak Tahan 10-30 V Sangat Tidak Tahan >30 % Sumber : SNI 01-7207-2006

Pengujian Fitokimia

Adapun prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan adalah :

a. Pengujian Steroida-Terpenoida

Timbang serbuk sebanyak 2-3 gram, masukkan kedalam beaker glass dan diekstraksi dengan 10 ml etanol dan dipanaskan selama 15 menit di atas penangas, lalu saring. Ekstrak akan dipakai pada percobaan berikut :

• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes pereaksi Liebermann-Burchard (20 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat), akan memberikan larutan warna hijau kebiru-biruan.


(46)

• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes pereaksi Salkowsky (H2SO4 pekat), akan memberikan larutan warna merah pekat.

• Ekstrak sebanyak 1 ml ditambah dengan 3 tetes CeSO4 1% dalam H2SO4

10%, akan memberikan larutan warna cokelat.

Apabila salah satu pereaksi tersebut bereaksi (+) terhadap ekstrak sampel berarti pada sampel terdapat senyawa steroida-terpenoida. Skema pengujian steroida-terpenoida dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema Pengujian Steroida-Terpenoida

b. Pengujian Saponin

Sebanyak 0,5 gr serbuk dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian tambahkan air panas 10 ml kemudian didinginkan. Kocok dengan kencang selama 10 detik bila terdapat senyawa saponin akan terbentuk buih stabil kurang lebih 10

Serbuk sampel (2-3gr) Ekstraksi Etanol (10 ml)

Pemanasan (15 menit)

Ekstrak

Salkowsky (3 tetes) Pereaksi Liebermann-Burchard

(3 tetes)

Penyaringan

CeSO4 1% dalam H2SO4 10% (3 tetes) Ekstrak (1 ml) Ekstrak (1 ml) Ekstrak (1 ml)

Larutan cokelat Larutan

merah pekat Larutan hijau


(47)

menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Skema pengujian saponin dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Skema Pengujian Saponin

c. Pengujian Flavonoida

Sebanyak 2-4 gram serbuk diekstraksi dengan 20 ml metanol, kemudian disaring. Ekstrak tumbuhan yang diperoleh dari masing-masing tumbuhan obat diuji dengan 3 tetes pereaksi-pereaksi flavonoida yaitu FeCl3 1%, NaOH 10%,

Mg-HCl, dan H2SO4 (p). Skema pengujian flavonoid dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Skema Pengujian Flavonoida

Serbuk sampel (0,5 gr) Tabung reaksi Air panas (10 ml)

Pendinginan

Pengocokan 10 detik

Buih 10 menit; 1-10cm HCl 2N

(1 tetes)

Larutan ekstrak (1 ml)

FeCl3 1% (3 tetes)

Pengujian

NaOH 10% (3 tetes)

Mg-HCl (3 tetes)

H2SO4 (p) (3tetes)

Warna merah kekuningan

Warna ungu kemerahan

Warna jingga sampai merah

Warna merah intensif


(48)

d. Pengujian Alkaloida

Serbuk ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml aquadest, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :

• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorf, akan terbentuk warna merah atau jingga.

• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna cokelat sampai hitam.

• Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Wagner, akan terbentuk endapan berwarna cokelat.

Alkaloida (+) jika terjadi endapan/kekeruhan paling sedikit 2 reaksi dari 4 percobaan di atas. Skema pengujian alkaloida dapat dilihat pada Gambar 7.


(49)

Gambar 7. Skema Pengujian Alkaloida

Analisa Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) factorial, dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor A adalah 3 jenis kulit kayu (kulit kayu mahoni, pinus dan eucalyptus) dan faktor B adalah 4 taraf konsentrasi bahan pengawet (0%, 2%, 4% dan 6%). Contoh uji dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Sehingga jumlah kayu yang digunakan yakni 36 kayu. Model statistik yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

Serbuk sampel (0,5 gr) Asam klorida 2N

(1 ml) Aquadest (9 ml)

Dipanaskan 2 menit

Pendinginan

Penyaringan

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Mayer (2 tetes)

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Dragendorf (2 tetes) Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Bouchardat (2 tetes)

Filtrat

Endapan cokelat sampai hitam Pengendapan Pengendapan Pengendapan

Filtrat (3 tetes)

Pereaksi Wagner (2 tetes) Pengendapan Endapan cokelat Endapan warna merah/jingga Endapan warna putih/kuning


(50)

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk

Yijk = nilai pengamatan jenis kulit kayu ke-i, dengan konsentrasi ke-j, dan pada ulangan ke-k

µ = nilairata-rata yang sesungguhnya

αi = pengaruh akibat jenis kulit kayu ke-i

βj = pengaruh akibat konsentrasi larutan ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara jenis kulit kayu ke-i dengan konsentrasi larutan ke-j

Σijk = pengaruh acak (galad) percobaan jenis kulit kayu ke-i dan konsentrasi larutan ke-j serta pada ulangan ke-k

Mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap kayu karet dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≥ F tabel maka Ho diterima dan jika F hitung ≤ F tabel maka Ho ditolak. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengaruh diantara faktor perlakuan (taraf konsentrasi ekstrak dan pelarut ekstrak) maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji beda


(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Fitokimia

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan zat kimia yang terdapat pada suatu bagian tumbuhan, seperti buah, daun dan kulit kayu. Pengujian fitokimia dilakukan pada ketiga jenis kulit kayu yaitu mahoni, pinus dan eucaliptus. Berikut merupakan hasil pengujian fitokimia pada ketiga jenis kayu tersebut dan data selengkapnya disajikan pada Tabel 2, 3, 4 dan 5.

Tabel 2. Skrining Fitokimia Alkaloida

No. Sampel Pereaksi

Mayer Wagner Bouchardart Dragendorff 1 Mahoni (-) (-) (-) (-) 2 Pinus (-) (-) (-) (-) 3 Eucaliptus (-) (-) (-) (-)

Keterangan: - = tidak ada, + = sedikit, ++ = sedang, +++ = banyak Wagner : KI + Aquadest + Iodium

Mayer : HgCl2 + Aquadest + KI Bouchardart : KI + Aquadest + Iodium

Dragendorf : BiNO3 + HNO3 + KI + Aquadest

Berdasarkan hasil uji fitokimia alkaloida (Tabel 2) pada ketiga jenis kulit kayu ditemukan reaksi negatif terhadap semua pereaksi (tidak mengandung zat kimia) yang ditandai dengan tidak terjadinya endapan/kekeruhan pada reaksi yang dilakukan, hal ini dikarenakan ketiga jenis kulit kayu tidak memiliki atom nitrogen. Sesuai pernyataan Lenny (2006) bahwa, semua alkaloida mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik.

Alkaloida adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari


(52)

tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan elektron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen.

Tabel 3. Skrining Fitokimia Flavonoid

No. Sampel Pereaksi

FeCl 1% NaOH 10% Mg-HCl H2SO4

1 Mahoni (++) (+) (-) (-) 2 Pinus (++) (+) (-) (-) 3 Eucaliptus (+++) (++) (-) (-)

Keterangan: - = tidak ada, + = sedikit, ++ = sedang, +++ = banyak

Berdasarkan hasil uji fitokimia flavonoida (Tabel 3) ditemukan reaksi positif (mengandung zat kimia) terhadap pereaksi FeCl 1% dan pereaksi NaOH 10%, sedangkan pada pereaksi Mg-HCl dan H2SO4 bereaksi negatif. Pada kulit

kayu eucaliptus ditemukan reaksi positif lebih banyak dibandingn pada kulit kayu mahoni dan pinus. Flavonoid ada jika terjadi pada 2 pereaksi atau lebih.

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavanoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, butanol, aseton dan air. Adanya gula yang terikat pada flavanoid menyebabkan flavanoid lebih mudah larut dalam air, sehingga penggunaan air sebagai pelarut merupakan pelarut yang baik flavanoid (Markham, 1988 dalam Rachmawati, 2006). Pada tumbuhan flavanoid berfungsi untuk pengaturan fotosintesis, kerja anti mikroba dan virus serta anti serangga (Robinson, 1995 dalam Rachmawati, 2006).


(53)

Tabel 4. Skrining Fitokimia Terpenoida

No. Sampel

Pereaksi

Salkowsky

Lieberman-Bouchard

CeSO4 1% dalam

H2SO4 10%

1 Mahoni (+) (-) (-)

2 Pinus (+) (-) (+)

3 Eucaliptus (+) (-) (-)

Keterangan: - = tidak ada, + = sedikit, ++ = sedang, +++ = banyak Salkowsky : H2SO4 (p)

Lieberman-Bouchard : H2SO4 (p) + CH3COOH an-hidrat

Hasil pengujian fitokimia terpenoida (Tabel 4), ketiga jenis kulit kayu bereaksi negatif (tidak mengandung zat kimia) pada pereaksi Lieberman-Bouchard dan CeSO4 1% dalam H2SO4 10%, namun bereaksi positif (sedikit

mengandung zat kimia) pada pereaksi Salkowsky yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah pekat. Terpenoida dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia. Terpenoida memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena terpenoida banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH dan dapat mengikat logam berat. Selain itu terpenoida juga bersifat anti rayap dan jamur (Carter et, al., 1978 dalam Risnasari, 2002).

Tabel 5. Skirining Fitokimia Saponin

No. Sampel Pereaksi

Aquadest HCl 2N

1 Mahoni (+++) (+++)

2 Pinus (+++) (+++)

3 Eucaliptus (+++) (+++)

Keterangan: - = tidak ada, + = sedikit, ++ = sedang, +++ = banyak

Berdasarkan hasil uji fitokimia saponin (Tabel 5) bereaksi positif terhadap semua pereaksi (mengandung zat kimia) yang ditandai dengan adanya buih stabil kurang lebih 10 menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Hal ini dikarenakan ketiga kulit kayu memiliki rasa


(54)

pahit seperti karakteristik saponin yang menyebabkan rasa pahit. Saponin merupakan salah satu senyawa yang terkandung didalam tumbuhan-tumbuhan. Saponin memiliki rasa pahit yang menusuk yang menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah.

Kandungan Zat Ekstraktif

Kandungan zat ekstraktif ketiga jenis kulit kayu dengan pelarut metanol yang diteliti memiliki hasil yang berbeda-beda. Kandungan zat ekstraktif tertinggi diperoleh dari jenis kulit kayu eucaliptus dan yang terendah diperoleh dari jenis kulit kayu mahoni. Secara lengkap kandungan zat ekstraktif ketiga jenis kulit kayu tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 data selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 6. Kandungan Zat Ekstraktif Ketiga Jenis Kulit Kayu dengan Pelarut Metanol

Jenis Kulit Kayu Berat padatan ekstrak (gr) Kandungan zat ekstraktif (%)

Mahoni 12.07 2.41

Pinus 13.47 2.69

Eucaliptus 15.23 3.05

Kandungan zat ekstraktif bervariasi tergantung jenis kulit kayu yang diteliti. Berdasarkan kandungan zat ekstraktif (Tabel 6) dapat dikatakan bahwa kandungan zat ekstraktif dari ketiga jenis kulit dengan pelarut metanol tersebut sedang. Menurut Rowe dan Conner dalam Syafii (2000) pada umumnya kandungan zat ekstraktif jenis-jenis kayu tropis berkisar antara 0,9% -6,2% ekstrak air panas dan 1% - 13,8% ekstrak etanol benzena. Tinggi rendahnya kadar zat ekstraktif yang didapatkan disebabkan oleh proses ekstraksi yang dilakukan, yaitu metode rendaman sebanyak tiga kali. Banyaknya kegiatan perendaman yang


(55)

dilakukan tidak melihat apakah seluruh zat ekstraktif dari serbuk ketiga kulit kayu telah larut. Kemungkinan masih tertinggalnya zat ekstraktif pada residu yang telah disaring, sehingga didapatkan kadar zat ekstraktif yang rendah.

Syafi’i (2000) mengatakan banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu tergantung berbagai macam faktor, yaitu jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran serbuk dan kadar air serbuk. Faktor yang paling berpengaruh adalah jenis kayu. Setiap kayu memiliki kadar zat ekstraktif yang berbeda-beda.

Kandungan zat ekstraktif kayu merupakan penyebab utama keawetan alami kayu. Semakin beracun zat ekstraktif suatu jenis kayu maka keawetan alami kayu tersebut akan semakin baik. Hasil zat ekstraktif yang diperoleh dalam penelitian ini relatif sedang. Hal ini karena ketiga jenis kulit kayu memiliki kelas kelas awet yang rendah, yaitu kelas III – II. (Duljapar, 2001), dan ternyata kandungan ekstraktifnya juga rendah. Banyaknya ekstraktif yang dihasilkan bukan satu-satunya tolak ukur keefektifan ekstrak tersebut, tetapi yang paling utama yaitu zat toksik yang terlarut.

Pelarut yang digunakan adalah metanol, sehingga komponen zat ekstraktif yang akan terlarut adalah asam lemak, asam resin, lilin, tanin dan zat warna. Ekstraksi pelarut dapat dikerjakan dengan berbagai pelarut organik seperti ater, aseton, benzena, etanol, diklorometana atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin lilin, tanin dan zat warna adalah bahan penting yang dapat diekstrak dengan pelarut organik (Achmadi, 1990). Tetapi dalam penelitian ini, kandungan ketiga jenis kulit kayu diduga memiliki tanin dengan kadar yang rendah dilihat dari hasil kadar ekstrak yang diperoleh. Menurut Guenther (1987)


(56)

dalam Batubara (2005) menyatakan bahwa banyaknya zat ekstraktif yang dapat larut tidak terlepas dari faktor pemilihan pelarutnya. Pelarut yang ideal digunakan untuk proses ekstraksi harus memenuhi syarat yaitu dapat melarutkan zat ekstraktif, pelarut harus bersifat inert (tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi).

Menurut Sari dan Sutjipto (2004), menyatakan bahwa ekstrak dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu, kulit, daun bunga buah atau biji, berpotensi mencegah pertumbuhan jamur ataupun menolak kehadiran serangga perusak. Dalam hal ini penelitian menggunakan ekstrak yang berasal dari bagian kulit kayu.

Uji Keawetan Kayu

Keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan factor perusak kayu dari golongan biologis. Keawetan alami kayu ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organism perusak (Batubara, 2006). Pengujian terhadap keawetan kayu yang dilakukan meliputi uji retensi, uji stabilitas dimensi dan uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu yakni

S. commune Fr.

Retensi Kayu

Retensi menunjukkan seberapa banyak bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Hasil pengukuran disajikan pada Gambar 8 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.


(57)

Gambar 8. Grafik rata-rata nilai retensi

Berdasarkan Gambar 8, diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet, maka semakin besar pula nilai retensinya. Nilai retensi pada kayu karet berkisar antara 23,91 – 138,92 kg/m3. Nilai tertinggi retensi pada kayu karet yang direndam dengan ekstrak kulit kayu eucaliptus pada konsentrasi 6% yaitu 138,92 kg/m3, sedangan nilai terendah pada ekstrak kulit kayu pinus pada konsentrasi 2% yaitu 23,91 kg/m3. Hasil ini berhubungan dengan hasil yang didapat pada nilai penambahan berat, bahwa semakin tinggi nilai penambahan beratnya, makan semakin besar pula retensi yang terjadi.

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian ketiga ekstrak kulit kayu pada berbagai taraf konsentrasi (0%, 2%, 4% dan 6%) berpengaruh nyata terhadap nilai retensi yang terjadi pada kayu karet, dan interaksi antara jenis kulit kayu dan taraf konsentrasi juga berpengaruh nyata. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 5.

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap ketiga jenis kulit kayu, diperoleh bahwa ketiga jenis kulit kayu berbeda nyata. Diantara ketiga kulit kayu tersebut, kulit kayu eucaliptus direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut karena memiliki nilai retensi yang lebih tinggi.


(58)

Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh bahwa konsentrasi 2%, 4% dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.

Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu. Suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.

Stabilitas Dimensi Kayu

Stabilitas dimensi diperoleh dengan mengevaluasi nilai ASE dengan menghitung perbedaan sweeling sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil pengujian ASE yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukan pada Gambar 9 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 6.


(59)

Gambar 9. Grafik rata-rata nilai ASE

Berdasarkan Gambar 9, diperoleh bahwa setiap kenaikan konsentrasi nilai ASE setiap jenis kulit kayu meningkat. Nilai tertinggi adalah nilai yang memiliki anti pengembangan volume yang paling baik. Nilai ASE tertinggi dengan ekstrak kulit eucaliptus dengan konsentrasi 6% yaitu 95,18%. Angka-angka tertinggi menunjukan bahwa semakin tinggi nilai anti pengembang volume maka, semakin kecil nilai pengembangan volumennya. Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan (Achmadi, 1990).

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa jenis kulit kayu tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ASE, begitu pula dengan interaksinya dengan konsentrasi. Tetapi konsentrasi bahan pengawet berpengaruh nyata terhadap nilai


(60)

ASE. Hasil uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap konsentrasi bahan pengawet, diperoleh bahwa ketiga konsentrasi tidak berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.

Penelitian ini menunjukan bahwa contoh uji yang telah direndam dengan zat ekstraktif kulit kayu mahoni, pinus dan eucaliptus tidak mengalami pengembangan volume, hal ini disebabkan karena penggunaan zat ekstraktif ketiga kulit kayu dapat menstabilkan atau tidak membuat stabilitas dimensi contoh uji kayu karet berubah. Pengembangan volume terjadi karena perubahan bentuk akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (dibawah kadar air titik jenuh serat).

Pengujian pada Jamur Schizophyllum commune Fr.

Penurunan berat contoh uji dapat disebabkan oleh serangan jamur. Jamur yang menyerah kayu karet adalah jamur S. commune, yang sengaja ditumbuhan untuk melihat kerusakan atau penurunan berat contoh uji. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 10 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 8.


(61)

Berdasarkan Gambar 10, diperolehan nilai serangan jamur S. commune

terhadap kayu karet berkisar antara 1.27% - 15.93%. Contoh uji yang tidak direndam dengan bahan pengawet mengalami penurunan berat yang sangat tinggi dibandingan dengan contoh uji yang direndam dengan ketiga ekstrak kulit kayu dengan taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%). Nilai penurunan berat pada contoh uji terendah yang direndam ekstrak kulit kayu mahoni dengan taraf konsentrasi 4% yaitu 1.27%, sedangkan nilai tertinggi penurunan berat contoh uji pada taraf konsentrasi 0% (kontrol) untuk masing-masing kulit kayu.

Gambar 11. Contoh uji yang serangan jamur S. commune

Berdasarkan hasil analisi sidik ragam yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis kulit kayu dan konsentrasi bahan pengawet serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap penurunan berat contoh uji. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap ketiga jenis kulit kayu, diperoleh bahwa ketiga kulit kayu berbeda nyata. Diantara ketiga kulit kayu tersebut, kulit kayu pinus direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut karena memiliki nilai penurunan berat contoh uji paling rendah dibandingkan dengan kulit kayu eucaliptus dan mahoni.


(62)

Uji lanjut yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%) juga berbeda nyata. Diantara ketiga konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.

Hal ini dikarenakan jamur S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa, sehingga berat contoh uji menurun. Berdasarkan nilai rata-rata penurunan berat, kelas ketahanan kayu terhadap fungi menurut SNI 01-72072-2006, dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 8. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi

Jenis Kulit Kayu

Konsentrasi (%)

Penurunan Berat (%)

Kelas Ketahanan Kayu

Mahoni 0 15.93 Tidak Tahan

2 7.82 Agak Tahan

4 1.27 Tahan

6 0.68 Sangat Tahan

Pinus 0 8.27 Agak Tahan

2 4.08 Tahan

4 2.08 Tahan

6 0 Sangat Tahan

Eucaliptus 0 10.49 Agak Tahan

2 6.6 Agak Tahan

4 3.11 Tahan

6 0 Sangat Tahan

Ketiga jenis kulit kayu pada taraf konsentrasi (2%, 4% dan 6%) yang disajikan pada Tabel 7 memiliki kelas ketahanan agak tahan sampai dengan sangat tahan terhadap jamur S. commune. Sedangkan untuk kontrol, menunjukan kelas ketahanan tidak tahan terhadap serangan jamur S. commune. Jamur S. commune


(63)

dapat menyebabkan kehilangan berat sampai 70 % (Martawijaya 1965 dalam


(64)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ketiga jenis kulit kayu memiliki kandungan kimia saponin, terpenoida dan tidak mengandung zat kimia alkaloida. Pada zat kimia flavonoid, kulit kayu eucaliptus memiliki kandungan dalam jumlah banyak dibandingan kulit kayu pinus dan mahoni.

2. Faktor jenis kulit kayu dan konsentrasi serta interaksinya memberikan pengaruh nyata terhadap nilai retensi. Kulit kayu eucalyptus dengan konsetrasi 6% efektif digunakan untuk meningkatkan keawetan kayu. Faktor konsentrasi memberikan pengaruh nyata, sedangkan jenis kulit kayu dan interaksinya tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap nilai ASE. Perlakuan dengan konsentrasi 6% memiliki nilai ASE tertinggi. Faktor jenis kulit kayu dan konsentrasi serta interaksinya memberikan pengaruh nyata keawetan kayu terhadap jamur S. commune Fr. Kulit kayu pinus dengan konsentrasi 6% efektif digunakan karena memiliki nilai penurunan berat contoh uji paling rendah.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat keawetan kayu terhadap jamur pelapuk pada jenis kayu rakyat. Hal ini dikarenakan sekarang ini kayu rakyat lebih banyak digunakan pada komponen kayu bangunan.


(1)

2% 1 2.55 2.45 3.89 5.13 5.24

2 2 1.9 4.22 4.74

3 2.25 2.1 5.12 5.86

4% 1 2.2 2.1 4.22 9.47 8.87

2 2.2 2.1 4.29 9.32 3 2.4 2.3 5.13 7.80

6% 1 2.8 2.7 5.03 11.92 11.91

2 2.85 2.75 4.87 12.32 3 2.7 2.6 5.21 11.51

b.

Jamur

Jenis Kulit Kayu

Konsentrasi Ulangan Berat Akhir (g)

Berat Awal (g)

Volume Akhir (cm3)

Retensi Rata-rata (%)

Mahoni 0% 1 2.8 2.7 4.38 0 0

2 2.65 2.55 4.2 0

3 2.7 2.65 4.54 0

2% 1 2.65 2.6 4.36 2.292 2.33

2 2.7 2.65 4.78 2.093 3 2.35 2.3 3.86 2.592

4% 1 2.55 2.5 4.3 4.647 4.68

2 2.3 2.25 4.12 4.857

3 2.7 2.65 4.4 4.54

6% 1 2.25 2.2 3.9 7.695 7.33

2 2.2 2.15 4.05 7.416 3 2.45 2.4 4.36 6.876

Pinus 0% 1 2.45 2.35 3.94 0 0

2 2.7 2.6 4.75 0

3 2.7 2.6 4.4 0

2% 1 2.3 2.25 3.89 2.569 2.4

2 2.75 2.7 4.63 2.158 3 2.35 2.3 4.03 2.482

4% 1 2.65 2.55 4.23 9.46 9.77


(2)

3 2.4 2.3 4.35 9.186

6% 1 2.75 2.6 4.43 20.32 19.9

2 2.7 2.55 4.35 20.71 3 2.3 2.15 4.84 18.61

Eucaliptus 0% 1 2.7 2.6 4.51 0 0

2 2.75 2.7 4.67 0

3 2.65 2.6 4.28 0

2% 1 2.55 2.45 4.34 4.607 4.25

2 2.95 2.85 4.92 4.063

3 2.8 2.7 4.88 4.094

4% 1 2.6 2.45 4.31 13.92 13.3

2 2.75 2.6 4.54 13.21 3 2.65 2.5 4.75 12.63

6% 1 2.6 2.5 4.28 14.02 15.9

2 2.9 2.75 4.92 18.31

3 2.6 2.5 3.93 15.28

Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Retensi Kayu

Sumber Keragaman

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F-Hitung

F-Tabel

Jenis Kulit Kayu

2

81,07

40,53

112,59

*

3,44

Konsentrasi

3

597,78

199,26

553,5*

3,05

Interaksi

6

43,21

7,20

20*

2,55

Galad

24

8,66

0,36

Total

35

730,72

Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95% tn

= Tidak berpengaruh nyata

Hasil Uji Lanjut Duncan

Jenis Kulit Kayu

Rata-rata

Notasi

Mahoni

1,19

A

Pinus

2,67

B

Eucaliptus

2,79

B

Konsentrasi

Rata-rata

Notasi

0 %

0

A

2 %

1

B

4%

1,91

C

6%

2,73

D


(3)

Lampiran 6. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet

Jenis Kulit Kayu

Konsentrasi Ulangan SBasah (S2)

%

SKering (S1)

%

ASE %

Rata-Rata

Mahoni 0% 1 2.27 8.71 73.95

64.96

2 2.32 13.70 83.06

3 1.72 2.77 37.89

2% 1 1.31 8.79 85.09

80.41

2 1.54 5.46 71.74

3 2.20 14.10 84.41

4% 1 1.03 2.99 65.52

84.16

2 0.31 2.70 88.55

3 0.05 2.96 98.42

6% 1 0.05 8.71 99.46

93.42

2 0.09 2.19 95.77

3 0.32 2.12 85.03

Pinus 0% 1 0.84 1.17 28.44

40.64

2 0.85 2.54 66.69

3 1.10 1.51 26.79

2% 1 0.12 5.64 97.90

60.13

2 0.29 0.29 0.77

3 0.31 1.67 81.72

4% 1 0.18 5.29 96.64

87.53

2 0.02 2.24 98.96

3 0.29 0.89 67.00

6% 1 0.05 1.11 95.75

89.24

2 0.05 0.19 75.03

3 0.07 2.31 96.95

Eucalyptus 0% 1 0.86 1.06 19.01

27.0

2 0.85 1.90 55.18

3 0.26 0.28 7.09

2% 1 0.19 0.21 8.47

61.34

2 0.33 6.18 94.69


(4)

4% 1 0.29 6.91 95.80

76.98

2 0.07 2.01 96.54

3 0.37 0.60 38.60

6% 1 0.44 17.22 97.43

95.18

2 0.05 1.15 95.97

3 0.24 3.09 92.15

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam ASE

Sumber Keragaman

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F-Hitung

F-Tabel

Jenis Kulit Kayu

2

1559,90

779,95

1,09

tn

3,44

Konsentrasi

3

12028,54

4009,51

5,63*

3,05

Interaksi

6

1656,63

276,10

0,39

tn

2,55

Galad

24

17078,69

711,61

Total

35

32323,76

Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%

tn

= Tidak berpengaruh nyata

Hasil Uji Lanjut Duncan

Konsentrasi

Rata-rata

Notasi

0 %

11,06

A

2 %

16,82

AB

4%

20,72

BC

6%

23,15

BC

Keterangan : Hasil rata-rata yang diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf 95%


(5)

Lampiran 8. Nilai Penurunan Berat Contoh Uji Kayu Karet Terhadap

Jamur Schizophyllum commune Fr.

Jenis Kulit Kayu

Konsentrasi Ulangan Berat Akhir (g)

Berat Setelah Uji Jamur

(g)

Penurunan Berat

(%)

Rata-rata

Mahoni 0% 1 2.8 2.3 17.86 15.93

2 2.65 2.2 16.98

3 2.7 2.35 12.96

2% 1 2.65 2.45 7.547 7.822

2 2.7 2.5 7.407

3 2.35 2.15 8.511

4% 1 2.55 2.5 1.961 1.271

2 2.3 2.3 0

3 2.7 2.65 1.852

6% 1 2.25 2.25 0 0.68

2 2.2 2.2 0

3 2.45 2.4 2.041

Pinus 0% 1 2.45 2.25 8.163 8.277

2 2.7 2.45 9.259

3 2.7 2.5 7.407

2% 1 2.3 2.2 4.348 4.08

2 2.75 2.65 3.636

3 2.35 2.25 4.255

4% 1 2.65 2.6 1.887 2.081

2 2.2 2.15 2.273

3 2.4 2.35 2.083

6% 1 2.75 2.75 0 0

2 2.7 2.7 0

3 2.3 2.3 0

Eucalyptus 0% 1 2.7 2.35 12.96 10.5

2 2.75 2.5 9.091

3 2.65 2.4 9.434

2% 1 2.55 2.4 5.882 6.602


(6)

3 2.8 2.6 7.143

4% 1 2.6 2.55 1.923 3.111

2 2.75 2.65 3.636

3 2.65 2.55 3.774

6% 1 2.6 2.6 0 0

2 2.9 2.9 0

3 2.6 2.6 0

Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Penurunan Berat

Sumber Keragaman

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah

F-Hitung

F-Tabel

Jenis Kulit Kayu

2

47,69

23,84

16,79*

3,44

Konsentrasi

3

678,36

226,12

159,24*

3,05

Interaksi

6

73,42

12,24

8,62*

2,55

Galad

24

33,99

1,42

Total

35

833,46

Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%

tn

= Tidak berpengaruh nyata

Hasil Uji Lanjut Duncan

Jenis Kulit Kayu

Rata-rata

Notasi

Pinus

1,20

A

Eucalyptus

1,68

B

Mahoni

2,14

C

Konsentrasi

Rata-rata

Notasi

6 %

0,056

A

4 %

0,54

B

2 %

1,54

C

0 %

2,89

D

Keterangan : Hasil rata-rata yang diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada taraf 95%


Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Stump Karet (Hevea Brassiliensis Muell Arg.) Terhadap Pemberian Growtone Pada Berbagai Komposisi Media Tanam

7 52 92

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Induksi Tunas Mikro TanamanKaret (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Medium WPM dengan Pemberian Benzil Amino Purin (BAP) Dan Naftalen Asam Asetat (NAA)

0 44 74

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Uji Potensi Fungi Pelapuk Putih Pada Kayu Karet Lapuk (Hevea brasilliensis Muell. Arg) Sebagai Pendegradasi Lignin

6 108 45

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet(Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Lama Penyimpanan Pada Kertas Koran

4 42 115

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Peningkatan Keawetan Kayu Karet (Hevea brasiliesis Muell Arg) Melalui Aplikasi Larutan Khitosan.

0 9 58