Syiqaq Menurut Hukum Positif

Menurut pendapat pertama yang menyangkut hakam adalah pihak suami dan pihak isteri, karena ayat 35 diatas diajukan kepada mereka. Menurut pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah, karena ayat diatas diajukan kepada seluruh muslimin. Dal شm hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan. 48 Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba‟in. artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah baru. 49

2. Syiqaq Menurut Hukum Positif

Dalam hukum positif Indonesia keberadaan syiqaq ini diakui dalam perundang-undangan. Dimana hal ini juga menjadi rumusan undang –undang untuk alasan perceraian antara suami isteri. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 48 Ibid, h. 190 49 H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 242 pertengkaran dan tidak ada akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 50 Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam Kompilasi Hukum Islam. 51 Karena terdapat sebab itulah kemudian hukum Positif juga mengatur tentang hakam untuk mengatasi masalah syiqaq yang terjadi antara suami isteri. Jika hakam yang dimaksudkan dalam al-Quran terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat 2 boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surat al- Nisa‟ ayat 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya. Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat 2 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. 52 Menurut Noel J. Coulson dan Morteza Mutahhari 1985: 243, hakam dipilih dari keluarga suami 50 Lihat Pasal 41 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 51 Lihat Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 76 ayat 2 dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. 53 53 Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian, artikel diakses pada 20 Juni 2011 dari http:pojokhukum.blogspot.com200803mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA

JAKARTA TIMUR A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta Betawi di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a. Komandan Distrik sebagai Ketua. b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota. 1 Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”. 2 1 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur Diambil Pada Tanggal 3 Januari 2011, h. 1 2 Ibid, h. 1 41