PendudukDemografi GAMBARAN UMUM DESA JANJI MAULI
Adapun susunan masyarakat yang terdapat di desa Janji Mauli, adalah sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di Angkola-Sipirok. Kedudukan adat pada
masyarakat sangat tinggi. Istilah „adat‟ dalam bahasa Indonesia memiliki arti
„kebiasaan‟, dan dalam kehidupan masyarakat adat merangkum semua lapangan kehidupan, agama dan peradilan, hubungan-hubungan kekeluargaan, kehidupan dan
kematian.
28
Pada masyarakat Janji Mauli peran para majelis gereja dalam menata tatanan kehidupan sengat besar, hal ini tampak pada saat pengambilan keputusan
dalam musyawarah desa. Sistem pemerintahan di Janji Mauli sudah sangat tertata dengan rapi, seorang Kepala Kampung merangkap juga sebagai Raja Adat. Keadaan
masyarakat Janji Mauli dapat ditinjau berdasarkan sistem kekerabatannya Dalihan Na Tolu, melalui aspek inilah masyarakat menentukan posisi dan perannya dalam
melakukan interaksi dan aktivitas kehidupan sehari-hari, baik dalam adat, maupun acara-acara lainnya.
Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Janji Mauli tidak terlepas dari adat Angkola-Sipirok. Masyarakat Angkola-Sipirok menganut garis keturunan
patrilineal garis keturunan dari pihak ayah. Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu, maka masyarakat Angkola membentuk kelompok-kelompok
kekerabatan besar yang disebut dengan marga, yakni sebagai gabungan dari orang- orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek yang sama. Oleh karena itu, di
dalam masyarakat Angkola-Sipirok terdapat sejumlah marga yang masing-massing
28
Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta: Gunung Mulia, 1998, hal. 20.
mempunyai namanya sendiri-sendiri, seperti marga Siregar, Ritonga, Harahap, Pane, dan lain-lain.
Hubungan kekerabatan yang timbul akibat terjadinya perkawinan, maka melahirkan dua macam status kekerabatan yang masing-masing disebut mora dan
anak boru. Orang-orang yang berada dalam pihak yang memberi anak gadis dalam perkawinan berstatus sebagai mora, dan orang-orang yang berada dalam pihak
penerima anak gadis dalam perkawinan berstatus anak boru. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Angkola, setiap orang dapat memperoleh status
kekerabatan sebagai mora, kahanggi, dan anak boru. Masing-masing kekerabatan tersebut memberikan kepada seseorang hak dan kewajiban tertentu yang satu sama
lain berbeda-beda. Hak dan Kewajiban seseorang dalam statusnya sebagai mora berlainan dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh status kekerabaatan itu
dapat dilihat pada waktu seseorang ikut dalam pelaksanaan upacara adat atau pada waktu orang-orang yang berlainan status kekerabatannya sedang berinteraksi.
Dalam ungkapan Batak Angkola-Sipirok disebutkan “Somba marmora elek
maranak bor u, manat markahanggi’.
29
Ungkapan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa seseorang yang berstatus sebagai mora berhak untuk dihormati oleh
kerabatnya yang berstatus anak boru, dan sebagai orang yang berstatus kahanggi, ia wajib bersikap cermat terhadap kerabatnya yang punya status sama, dan ia juga
29
Artinya adalah Hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi.
mempunyai hak untuk memperoleh perlakuan yang cermat dari kerabatnya yang mempunyai status sebagai kahanggi.
Sejalan dengan sistem kekerabatannya, masyarakat Angkola mengenal kekerabatan yang disebut dengan tutur. Sistem istilah itu menentukan dan mengatur
panggilan yang harus digunakan oleh seseorang terhadap para kerabatnya sesuai dengan status kekerabatannya masing-masing. Dua orang laki-laki yang masing-
masing mempunyai status kekerabatan kahanggi, misalnya menggunakan panggilan angkang abang dan anggi adik. Dalam hal ini yang usianya lebih tua
menggunakan panggilan anggi terhadap yang berusia lebih muda. Sebaliknya, yang berusia lebih muda menggunakan panggilan angkang terhadap yang berusia lebih tua.
3.2
Kehidupan Sosial
Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta desa merupakan kesatuan paling kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati
huta. Keberadaan suatu huta tidak terlepas dari adanya faktor garis keturunan atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan antar
huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap huta
mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut dengan Raja Pamusuk. Sejumlah huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah
geneologis membentuk sebuah kawasan adat yang disebut dengan luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk
yang terdapat dalam luhat, khususnya dari pihak turunan “sipungka huta” yang membuka huta di dalam luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain
sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan
ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja Panusunan Bulung maupun Raja Pamusuk
mengacu kepada sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan “Dalihan Na Tolu”.
Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Janji Mauli, tidak terlepas dari falsafahpandangan hidup Angkola, yaitu Dalihan Na Tolu. Falsafah ini tidak hanya
berlaku pada saat diberlangsungkannya sebuah pesta adat, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari untuk membina kerukunan, baik sesama masyarakat, maupun
masyarakat yang berada di luar desa Janji Mauli yang pada umumnya beragama
Islam.
Untuk membentuk karakter dan perilaku kepribadian yang baik pada anak- anak, sejak masih kecil para orang tua mengajarkan Poda Na Lima nasihat yang
lima dalam kehidupan sehari-hari.
30
Nasehat tersebut merupakan upaya pembentukan karakter dan kepribadian yang kemudian ditunjukkan dalam pola
30
Wawancara dengan Maratua Pohan, di desa Janji Mauli, 15 Februari 2015.