Jaminan Presiden, bahwa Muhammadiyah dapat menjaga keasliannya sebagai gerakan sosial Islam, dan bahwa Pancsaila sebagai asas tunggal tidak
dimaksudkan untuk mengurangi dan membatasi aktivitas-aktivitasnya, mempercepat Muhammadiyah menerimanya secara resmi pada Muktamar di
Surakarta. Jadi, isu ideologis di sekitar Pancasila dan Islam diselesaikan oleh Muhammadiyah dengan cara tertentu, sehingga tidak mengubah keasliannya
sebagai gerakan sosial keagamaan.
3. Respon Organisasi Kepemudaan
MUI Majelis Ulama Indonesia, didirikan pada tanggal 26 Juli 1975, memainkan peran penghubung antara umat Islam dengan Pemerinta. Seperti yang
ditujukan oleh namanya, lembaga ini berfungsi melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa-fatwa kepada umat Islam atau pemerintah berkaitandengan
masalah-masalah social yang status hukumnya tidak dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis.
Pada mulanya, MUI menghadapi dilema dalam merespon Pancasila sebagai asas tunggal, karena memandang agama dan bangsa sama-sama penting.
Pada Tahun 1982, bersama organisasi-organisasi lain MUI mengadakan pertemuan kerja sama antar umat beragama untuk membahas masalah ini. Pada
pertemuan tersebut, MUI, MAWI, DGI, PHDP Parisadha Hindu Dharma Pusat
dan Walubi Perwalian Umat Budha Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa “lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi keagamaan, masing-masing
mengikuti landasan yang sesuai dengan agamanya, menyerukan pada pengikut mereka untuk loyal pada agama mereka dan pada saat yang sama menjadi seorang
Pancasilais yang baik. Pernyataan ini berupaya untuk menegaskan kembali agama sebagai asas masing-masing organisasi mereka, sementara pada saat yang sama
menyatakan tanggung jawab mereka terhadap ideologi nasional Pancasila. Sebagaimana dikatakan Yunan Nasution, salah seorang ketua MUI, bahwa:
“....Mereka menyerukan pada pemerintah: marilah kita memanfaatkan masing-masing asas dalam konstitusi kita sebagaimana mestinya karena kita
dilahirkan di bumi Indonesia, yakni masing-masing agama kita. Ini merupakan jalan hidup di sini dan petunjuk hidup setelahnya. Asas kita tidak semuanya
mengancam Pancasila. Sebaliknya, sementara kita membangun komunitas Islam dengan basis agama kita, kita juga memajukan itu untuk meneguhkan Lima
prinsip dari Pancasila, dalam tatanan yang Pancasilais. Jadi, dalam pembangunan bangsa Indonesia, sebagaimana kita lakukan sekarang, basis agama kita bias
menjadi mitra Pancasila”.
51
Setahun kemudian, pada pertemuan Badan Kerja Sama Agama bulan November 1983, MUI, Walubi, PHDP, MAWI, dan DGI masih mempertahankan
posisi mereka berkaitan dengan Pancasila sebagai asas tunggal. Mereka menegaskan bahwa “asosiasi dan ormas keagamaan tetap menggunakan agama
51
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Op.Cit.
, h. 251
mereka masing-masing, sebagai asas organisasi. Kemudian mereka semua menerima Pancasila sebagai asas tunggal setelah UU secara resmi diumumkan
pemerintah. Sejauh menyangkut Majeli Ulama Indonesia, Pancasila sebagai asas tunggal di terima MUI secara resmi pada kongres di Jakarta pada bulan Juli 1985.
MUI secara jelas mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam pasal 2 rumusan ADART-nya, sedangkan karakteristiknya sebagai organisasi Islam
dicantumkan pada pasal 1. HMI Himpunan Mahasiswa Islam, juga merespon Pancasila sebagai
asas tunggal. Didirikan oleh Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, HMI di kenal sebagai organisasi independent yang tidak berafiliasi
dengan prganisasi politik atau kelompok sosial mana pun. Namun, dari perspektif keagamaannya yang mungkin digambarkan sebagai modernisme Islam,
HMI mempunyai kedekatan dengan Muhammadiyah pada saat sekarang, dan dengan Masyumi pada masa lalu.
Dalam merespon Pancasila sebagai asas tunggal seluruh ormas, HMI mengadakan satu seri pembahasan pada kongres ke-51 di Medan, Sumatera
Utara, pada akhir Mei 1983. melalui Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Ghaffur dia sendiri adalah mantan ketua HMI cabang Jakarta, pemerintah
menekan HMI untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal, meskipun UU tentang ormas baru dipersiapkan dan dalam proses diajukan pemerintah kepada
DPR. Menurut Ghaffur, penerimaan Pancasila menjadi asas tunggal oleh HMI
tidak akan menghilangkan identitas khas gerakan HMI, karena karakter ini dengan jelas dapat dimasukan dalam program-programnya.
HMI melihat bahwa UU keormasan akan memberi kekuasaan penuh pada pemerintah, sehingga pemerintah dapat membatasi bahkan melakukan intervensi
kedalam kehidupan dan aktivitas ormas. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat ormas menjadi apatis terhadap masalah-masalah nasional. Jika kondisi
ini terus berlangsung, HMI menyatakan kehidupan politik Indonesia di masa yang akan dating akan menjadi tidak demokratis.
Alasan HMI menerima Pancasila sebagai asas tunggal adalah, bahwa Islam dan dan Pancasila tidak bertentangan, selama Pancasila diletakan pada
konteks historis yang benar. HMI juga percaya bahwa nilai-nilai Pancasila akan semakin kaya, kuat dan dinamis jika didasarkan pada norma-norma dan nilai-nilai
Islam. Ini berarti bahwa Pancasila akan menjadi berarti dan terpelihara dalam bingkai Islam.
Sedangkan PII Partai Islam Indonesia, yang didirikan pada tanggal 4 Mei 1947 di Yogyakarta, menempuh jalan yang berbeda dalam merespon
Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagaimana HMI, PII adalah organisasi independen yang tidak berafiliasi dengan partai politik atau ormas apapun.
Namun PII mempunyai hubungan yang dekat dengan HMI dan dengan organisasi Muslim modernis yang lain karena cara pandang keagamaannya, dan mengikuti
Islam Modernis. sebagai organisasi bagi pelajar sekolah tingkat atas, PII tetap mempertahankan Islam sebagai asas tunggalnya dan dengan gigih menolak untuk
menggantikannya dengan Pancasila. Karena sikapnya ini, Menteri Dalam Negeri melalui keputusannya No. 120 dan 121 tanggal 10 Desember 1987 melarang PII
dengan lasan PII tidak mengikuti prinsip-prinsip fundamental UU keormasan. Sejauh mengenai ormas Islam, larangan pemerintah ini hanya di kenakan kepada
PII. Jadi yang menyusul NU untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal
adalah Muhammadiyah, HMI, MUI, dan semua organisasi massa Islam lainnya kecuali PII, seperti Persis dan Syarikat Islam, PMII Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia dan lain-lain. Sikap ini diambil oleh semua organisasi massa Islam karena pemerintah tetap memperbolehkan mereka untuk mempertahankan
keaslian pergerakan dan aktivitas mereka dan tetap membolehkan untuk melaksanakan aktivitas sosio-keagamaan mereka menurut aspirasi dan cita-cita
agama mereka, sebagaimana sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan mengurangi dan menghilangkan keragaman masyarakat
Indonesia, tetapi justru akan memberi peluang bagi aspirasi-aspirasi sosial keagamaan untuk lebih berkembang; suatu keadaan yang diharapkan oleh ormas-
ormas Islam dan ormas lain di seluruh Indonesia.
52
52
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Op.Cit.
, h. 258.
BAB IV POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG
DEMOKRASI POLITIK
A. Arah dan Format Politik Hukum Pemerintahan Soeharto
Pemerintahan Soeharto disebut juga sebagai Pemerintahan Orde Baru. Era Orde Baru muncul dan dikenal luas sejak Soeharto menjadi penguasa baru setelah
Pemerintahan Soekarno lengser dari kekuasaannya. Munculnya era Orde Baru setelah kekuasaan Soekarno Bung Karno tidak berkuasa lagi, telah melalui
proses yang panjang. Puncak proses yang panjang itu terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September G.30.S PKI Tahun 1965. Peristiwa ini merupakan
perbuatan inskonstitusional karena akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Kudeta yang didalangi oleh PKI ini gagal. Kegagalan ini berakibat kepada
naiknya Soeharto menjadi penguasa baru menggantikan Bung Karno. Sejak munculnya Soeharto ini kepanggung kekuasaan mulailah dikenal
istilah Orde Baru. Tekad yang pertama kali didengungkan Orde Baru adalah melaksanakan UUD1945 secra murni dan konsekwen. Penyegaran di era Orde
Baru ini mengintrodusir demokrasi Pancasila. Demokrasi yang didasarkan pada kekuatan musyawarah. Perwujudan musyawarah itu di implementasikan melalui
lembaga Legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Lembaga legislatif inilah yang dijadikan alat
legitimasi kekuasaan Soeharto sepanjang masa Orde Baru dengan didukung