Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan yang demokratis 1 adalah pemerintahan yang memberikan peranan yang luas terhadap peran dan aspirasi rakyat dalam menentukan kepentingan masyarakat dan negara. Ini berarti rakyat dapat menentukan legalitas kekuasaan dalam suatu pemerintahan dan rakyat pula yang menentukan apakah suatu pemerintahan itu legitimate, sehingga eksistensi pemerintahan dapat dikatakan hasil dari kedaulatan rakyat. Demokrasi perwakilan yang dianut selama ini berdasarkan UUD 1945 Undang-Undang Dasar yang selanjutnya di sebut UUD, yang didasarkan kepada kedaulatan rakyat. Jika rakyat yang berdaulat maka secara konstitusional pemerintah berhak mengatasnamakan sebagai pemimpin rakyat. Pemerintahan yang didukung oleh rakyat tersebut harus menjamin hak-hak rakyat, kebebasan, demokrasi ekonomi, dan politik. Pengawasan dan pelaksanaan terhadap lembaga-lembaga yang berwenang didasarkan kepada hukum. Namun sering kali hukum melindungi sistem yang dominan hubungan sosial dan kekuasaan menghadapi tantangan fisik, politik dan 1 Suatu bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan bersama, Lihat, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989. ideologi. Kekuasaan yang dominan mestilah melindungi hak-hak asasi warga negara. Jika pemerintahan yang legitimasinya kuat dan tidak mengayomi hak-hak ekonomi dan politik rakyat, maka akan mengurangi kepercayaan rakyat bahkan dapat menjadi pemerintahan yang tidak demokratis. Pemerintahan yang tidak demokratis membatasi ruang gerak rakyat dalam menyalurkan aspirasi politik. Hal ini merupakan konsekuensi demokrasi perwakilan yang kekuatannya berbasis rakyat. Seseorang yang mewakili rakyat harus bertanggung jawab dan dapat memberi pertanggung jawaban kepada para pemilih. Apresiasi suatu pemerintahan terhadap hak-hak sipil dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis harus sesuai dengan ketaatan terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, secara normatif-filosofis demokrasi itu disatu pihak diatur dan dilaksanakan berdasarkan konstitusi. Kemudian dilain pihak merupakan idealisasi dari supremasi rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh: a. Iklim yang ditentukan oleh suatu pemerintahan yang sedang berkuasa. Suatu pemerintahan akan memberi kesempatan pada tumbuhnya partai-partai politik. b. Kemauan politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Demokratis atau tidaknya suatu pemerintahan sangat tergantung pada selera atau kehendak siapa yang berkuasa. c. Perubahan arus bawah. Dorongan yang begitu kuat yang menuntut adanya perubahan dari otoritarianisme menjadi rezim yang demokratis dari aspirasi rakyat menjadi sumber inspirasi bagi lembaga-lembaga negara untuk mereposisi diri menjadi lebih demokratis. 2 Menjelang kemerdekaan, di Indonesia telah bermunculan partai-partai yang berasal dari kalangan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Dalam periode kebangkitan nasional terdapat Kelompok Nasionalis, Islam, dan Komunis, friksi- friksi ini kemudian dimanfaatkan oleh kolonial Belanda, untuk mengadu domba ketiga kelompok tersebut. Disamping itu Belanda menindas dengan kekerasan secara bersamaan dan atau secara satu persatu. 3 Hal yang sama terjadi juga pada zaman pendudukan Jepang, dimana rakyat pribumi mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas politik. Ketika Jepang berhasil mengalahkan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1942, kolonial dari negara Matahari Terbit Jepang melarang semua kegiatan partai politik Indonesia. Pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas partai-partai politik domestik seperti ini adalah watak kolonialis. Kebijakan politik Jepang ini secara berangsur mengalami pergeseran dengan memberi kesempatan kepada Partai Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia untuk melakukan aktifitas meskipun secara umum kegiatan partai 2 Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik , Jakarta: Universitas Indonesia 2004, h. 1-3. 3 H. Roeslan Abdul Gani, “Islam datang ke Nusantara Membawa Tamaddun Kemajuan Kecerdasan “ Dalam Prof. A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia Bandung: PT. Almaarif, 1989, h. 128. politik dilarang. Akan tetapi, satu bulan sesudah proklamasi kemerdekaan, kesempatan kemudian dibuka lebar-lebar untuk mendirikan partai politik. 4 Memasuki era kemerdekaan dibawah Presiden Soekarno, rakyat Indonesia mulai memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan keinginan politiknya. Kebebasan dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia. Setelah memasuki era kemerdekaan bangsa Indonesia mengkonsolidasikan dirinya dengan membangun format demokrasi. Dalam perjalanannya, Indonesia pernah memiliki Demokrasi Liberal 5 dan Demokrasi Terpimpin. 6 Dalam masa demokrasi liberal, partai-partai politik berkembang dengan bebas. Perkembangan partai-partai politik terus berkembang pada demokrasi terpimpin. Demokrasi politik pada setiap masa ditentukan oleh komposisi kekuatan politik. Begitu pula, komposisi kekuatan politik itu terpusat pada siapa yang paling berperan dalam pemerintahan. Dimasa Demokrasi Liberal atau Parlementer dan Demokrasi Terpimpin, presiden Soekarno berperan dalam menentukan format Demokrasi politik. Seperti lazimnya, dipandang dari sudut demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: 4 Miriam Budiarjo,“ Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1977, h. 171. 5 Pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan Pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani , Jakarta: ICCE UIN Syahid, 2003, h. 121. 6 Segala hal terpusat pada pemimpin yang dihasilkan dari Pemilihan Umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan, Lihat Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani , Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000, h. 133. a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa Demokrasi konstitusional yang menonjolkan peran parlemen disertai partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer. 7 b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang menunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat. c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa Demokrasi Pancasila 8 yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensial. Sistem demokrasi parlementer dalam praktek ketatanegaraan Indonesia ternyata menciptakan multi partai. Tetapi dilain pihak memperlemah persatuan memberi dominasi yang kuat terhadap partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Indikator lainnya, sistem ini tidak disukai karena pada masa Demokrasi Parlementer sering terjadi pertentangan antar partai politik yang menimbulkan instabilitas politik. Kuatnya dominasi partai-partai politik mengakibatkan persaingan antara partai menjadi tidak sehat. Ketika Partai Komunis Indonesia PKI masih berjaya telah mengambil suatu keputusan pada 7 Pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan, tetap diantara badan-badan yang diserahi kekuasaannya itu, terutama antara badan Legislatif dengan badan Eksekutif, ada hubungan timbal balik dan dapat saling mempengaruhi, Lihat Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2004, h. 37. 8 Demokrasi Pancasila seperti yang di maksud dalam UUD 1945, yang berarti menegakan kembali asas-asas negara hukum, di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, di mana hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan di jamin, dan di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara konstitusionil, Lihat Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., h. 74 konferensi nasional PKI Januari 1952. Disini D.N Aidit telah menggariskan strategi kanan, dengan membentuk kaum Borjuis, dengan menghancurkan Darul Islam dan gerakan massa. 9 Dalam konferensi ini PKI memandang Masyumi sebagai Komprador-Borjuis yang bekerja untuk kepentingan kapitalis besar. Musuh besar PKI adalah Masyumi sehingga mengidentikan Masyumi sebagai “anak imperialis” dan “ekstrimis Darul Islam yang teokratis” sekurang- kurangnya begitulah pandangan PKI tentang partai Islam Masyumi. Masa demokrasi parlementer terjadi pada rentang waktu pada tahun 1945- 1959. Pada masa ini politik hukum tentang demokrasi politik berkembang sesuai budaya politik di masa itu. Politik hukum tidak selalu di atur melalui perundang- undangan, karena agaknya fokus perhatian lebih banyak tercurah pada pencarian bentuk pemantapan stabilitas politik tanpa produk hukum yang dibuat secara serius. Hal ini dapat dipahami karena situasi diawal kemerdekaan belum berhasil memformulasikan berbagai hukum tertulis. Lebih-lebih diawal kemerdekaan, keputusan-keputusan kadang-kadang hanya dituangkan kedalam bentuk maklumat-maklumat. 10 Prinsip politik hukum mulai dituangkan di awal Orde Baru, yaitu: “melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen”. Konstitusi tidak sekedar produk nilai-nilai keadilan secara sempit, namun 9 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai, Jakarta: CV. Sri Murni, 1998, h. 58. 10 Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 127. sebelumnya telah berproses secara politik. Dimasa awal Orde Baru ini ada upaya untuk menertibkan urutan-urutan perundang-undangan di Indonesia. Langkah kearah itu dilakukan melalui TAP MPRS No.XXMPRS1966 yang menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada tingkat yang lebih tinggi dalam jajaran hukum formal. Dengan urutan-urutan ini, satu sama lain tidak saling tumpang tindih. Peraturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan yang lebih tinggi. Komitmen orde baru melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen sesuai dengan penertiban hirarkhi perundang-undangan ini. Pemerintahan Orde Baru menjadikan perundang-undangan yang tertib sebagai landasan untuk membangun bangsa dan negara. Dalam perjalanan Pemerintahan Soeharto, demokrasi politik dan ekonomi yang dicanangkan itu tidak sesuai lagi dengan UUD 1945. Politik hukum berangsur-angsur menjadi bagian dari politik kekuasaan belaka. Kepentingan kekuasaan terutama dibidang politik dan ekonomi sangat mempengaruhi corak pembentukan hukum yang sering kali mengenyampingkan prinsip-prinsip dan sistem hukum yang semestinya harus dijunjung tinggi. 11 Hal seperti ini sering terjadi dalam konfigurasi kekuasaan Orde Baru. Dalam konfigurasi politik, produk hukum dibuat sebagai justifikasi untuk bertindak diatas ketidakadilan politik dan ekonomi. Ketidakadilan politik mulai terlihat sejak Pemilihan Umum Tahun 1971. Tahun 1966 sampai dengan tahun 1970 pemerintahan Orde Baru 11 Bagir Manan, “Reorientasi Politik Hukum Nasional” dalam 70 tahun Ismail Sunny, Bergelut dengan Ilmu Berkiprah dalam Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2000, h. 42. relatif melaksanakan pemerintahan dengan baik, konstitusional yang sesuai dengan cita-cita Orde Baru awal. Sebenarnya pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1968 pemerintahan Soeharto masih dalam jalur konstitusional, karena pada tahun 1969 telah dimulai rekayasa politik ketika dalam UU Pemilu tahun 1969 jumlah pengangkatan anggota legislatif sangat signifikan bagi kekuasaan Soeharto. Oleh karena itu pemerintahan Orde Baru ini kemudian hari memicu antipati rakyat yang berakhir dengan kejatuhan Soeharto dari kekuasaannya. Pada tahun 1971 diadakan Pemilu Pemilihan Umum pertama di masa Orde Baru, dimana Golongan Karya Golkar menjadi pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar lainnya yaitu: Nahdlatul Ulama NU, Parmusi, dan Partai Nasional Indonesia PNI. Partai-partai lain harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision making process untuk sementara akan tetap terbatas. 12 Terbatasnya peranan partai politik mengakibatkan mereka semakin terpuruk dalam setiap kali pemilu tidak terlepas dari politik hukum penguasa tentang fusi partai politik. Politik hukum tentang fusi partai politik tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 pada tanggal 27 Agustus 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya. Dengan tiga partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Demokrasi Indonesia PDI, dan Golongan Karya Golkar, telah menutup kesempatan bagi pembentukan partai politik yang lain. 12 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 172 Berbagai hal mengenai produk hukum tentang demokrasi politik yang diciptakan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto memerlukan kajian yang cermat. Rakyat telah lama tidak puas dengan cara-cara Soeharto mengatur demokrasi politik dan ekonomi. Bukti ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru ditandai dengan aksi rakyat yang mendorong jatuhnya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. Kajian politik hukum mengenai demokrasi politik dalam hal ini berkisar pada Pemerintahan Soeharto. Dalam konteks kajian ini ruang lingkup hanya dibatasi pada kekuasaan Soeharto. Signifikansi pembahasan ini perlu di utarakan melihat pentingnya Politik Hukum masa Pemerintahan Soeharto untuk di kaji lebih lanjut. Oleh sebab itu mengambil judul skripsi “POLITIK HUKUM PEMERINTAHAN SOEHARTO TENTANG DEMOKRASI POLITIK STUDI TERHADAP UNDANG- UNDANG NO. 8 TAHUN 1985”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Fokus kajian ini adalah bagaimana format politik hukum pemerintahan Soeharto tentang demokrasi politik di Indonesia. Dan untuk mempermudah pembahasan, research question pertanyaan penelitian ini, maka studi ini dibatasi pada hal-hal di bawah ini: 1. Bagaimanakah bentuk konfigurasi politik pemerintahan Soeharto? 2. Apa produk hukum pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik? 3. Bagaimana arah dan respon masyarakat tentang UU No. 8 tentang Organisasi Kemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaannya