kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang menolaknya.
1. Respon Nahdlatul Ulama
Didirikan oleh sekelompok Ulama di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 31 Januari 1926, NU di kenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar
dikalangan tradisionalis Muslim. Nahdlatul Ulama mendapat dukungan terutama dari umat Islam pedesaan di Jawa dan membawahi ribuan pesantren yang
tersebnar di seluruh wilayah negara. Ketika Masyumi didirikan pada bulan November 1945 di Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam, NU
bergabung didalamnya. Namun karena konflik antara pemimpin NU dan Masyumi, NU mendeklarasikan sebagai partai politik tersendiri dalam
Muktamarnya tahun 1952 di Palembang, Sumatera Selatan. Pada awal perkembangan Orde Baru, Nu menunjukan sikap “radikal”
terhadap penguasa. Nakamura benar ketika menyatakan bahwa pada tahun 1970- an, NU muncul sebagai organisasi yang paling gigih dan berani mengkritik
pemerintahan orde baru. Meskipun demikian, NU memperlihatkan sikap kooperatif
. Dalam menanggapi gagasan pemerintah agar Pancasila menjadi asas tunggal bagi seluruh ormas. Ini mungkin karena NU ingin mengubah sikap
konfrontasinya terhadap pemerintah, dan berusaha membangun hubungan yang lebih baik dengan pemerintah. Meskipun undang-undang tentang ormas belum
diumumkan pemerintah, NU telah menyatak persetujuannya untuk menerima
Pancasila sebagai asas tunggalnya. Kemudian persetujuan ini disahkan oleh keputusan Muktamar NU ke-27 pada tanggal 8-12 Desember 1984 di Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Keputusan penting lain yang dihasilkan adalah pernyataan kembali ke Khittah 26, kembali sebagai
organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan dengan semua partai politik.
Sejalan dengan keputusan ini, NU memformulasikan kembali ADART- nya Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga menjadi pasal 2 “NU
berdasarkan Pancasila”. Sesuai dengan karakternya sebagai organisasi massa Islam, dalam pasal 3 ADART-nya disebutkan, bahwa NU “mengikuti doktrin
Islam menurut Faham Sunni Ahl Sunnah Wal jama’ah dan mengikuti salah satu Mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali”. Dengan penegasan
posisinya yang demikian ini, NU tidak meninggalkan keasliannya sebagai gerakan sosial Islam, sementara dengan jelas mengakui Pancasila sebagai asas
tunggalnya. Cara dimana NU mendefinisikan dirinya dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai asas tunggal menjadi “model” yang ditiru oleh organisasi-
organisasi massa Islam lainnya. Keputusan yang di ambil pada Muktamar 1984 ini lebih mudah
ditetapkan, karena setahun sebelumnya telah dirumuskan dalam program kerja pertemuan Nasional di tempat yang sama. Dalam pertemuan ini, sejumlah NU
terkemuka, termasuk K.H. Ahmad Siddiq, membahas pentingnya NU ke Khittah
26 dan juga mengeluarkan pernyataan mengenai hubungan antara Pancasila dan Islam. Isi pernyataan tersebut adalah:
1. Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama,
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia,
menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhud menurut pengertian keimanan Islam.
3. Bagi NU, Islam yang mengajarkan akidah dan syariat, meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 4.
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU berkewajiban mengamankan
pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
48
Deklarasi ini digunakan NU sebagai landasan keagamaan untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya pada Muktamar tahun 1984 sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Bahkan seorang ulama NU menyatakan, bahwa masalah Pancasila telah selesai sejak lama, ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 disetujui
untuk digunakan sebagai asas dan ideologi nasional negara.
48
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama ; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 229-232.
2. Respon Muhammadiyah