Praja Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran

% dari seluruh tanah kerja

% dari penduduk Kabupaten Pertanian rakyat diluar kota:

1. Wonogiri

2. Kota Mangkunegaran

Pada perkebunan gula:

1. Kota Mangkunegaran

- Pada Perkebunan-

perkebunan lain bukan milik Bumiputera:

1. Kota Mangkunegaran

Sumber: T.H. Metz, 1939. Mangkoe-Nagaran: Analyse Van Een Javaanasch Vorstendom. 1987. Mangkunegaran: Reksa Poestaka, Halaman.15

17 Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima Daerah 1989/1990-1993/1994 Kabupaten Daerah Tingkat II Wonogiri, hal. 3-13.

18 Ibid. halaman. 17

commit to user

rumah, tetapi tidak begitu pentingnya dibandingkan dengan pertanian. Selain pabrik-pabrik yang berkaitan dengan pertanian besar. 19

Pada jaman penjajahan Jepang, kabupaten Wonogiri masih termasuk wilayah Mangkunegaran, masyarakat Wonogiri semakin merosot karena kekurangan bahan pangan yaitu gaplek, masyarakat Wonogiri dipaksa dengan menyetorkan bahan makan oleh pemerintah Jepang. Penyakit busung lapar dan angka kematian meningkat begitu pesat terutama di daerah Slogohimo, Purwantoro, dan Jatipurwo. Masyarakat tidak sanggup lagi membeli bahan makanan yang harganya semakin melonjak.

Pada masa awal Orde Baru ditandai dengan rencana proyek pembangunan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri yang dimulai pada tahun 1972 yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan the Japanese Overseas Technical Cooperation Agency (OCTA) yang telah merumuskan pada tahun 1974 sebagai rancangan induk proyek pengebangan wilayah Sungai Bengawan Solo. Dengan adanya Proyek Pembangunan Waduk Gajah Mungkur ini mengorbankan masyarakan di 6 kecamatan harus bertransmigrasi (Bedhol Deso) ke luar Jawa seperti, ke Sumatera sebanyak 12.500 kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan adanya penurunan jumlah penduduk khususnya masyarakat Nguntoronadi, Wuryantoro, dan Baturetno yang sebagian besar wilayahnya terendam genangan

Air Waduk Gajah Mungkur. 20

19 Th. M. Metz, Op. Cit. halaman. 38 20 Koran Mardika „DHARMA KANDA’. Minggu Ka III Pebruari 1978.

commit to user

Pada hakekatnya ekonomi politik pemerintah kolonial masih melaksanakan prinsip eksploitasi, namun tidak lagi berdasarkan system tradisional atau feodal, tetapi selaras dengan prinsip liberal. Prinsip liberal pada dasarnya memberi kekuasaan kepada golongan swasta untuk melakukan kegiatan kewiraswastaan. Oleh karena struktur agraris di Jawa masih terikat pada struktur tradisional, maka diciptakanlah seperangkat aturan yang memungkinkan pihak swasta bisa berusaha secara bebas dan maksimal.

Jawa sejak lama menjadi sumber komoditas tanaman ekspor yang mampu menembus pasaran dunia. Sumber pendapatan Praja Mangkunegaran sejak semula memang dari tanah apanage. Namun perkembangan selanjutnya mengalami perubahan. Pertanian dan perkebunan nampaknya mulai dipilih untuk dikembangkan dengan melihat kondisi geografis serta iklim di Praja Mangkunegaran. Setelah terjadi reorganisasi agrarian, tanah-tanah apanage yang selama ini menjadi andalan pendapatan praja hanya dapat memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok saja, seperti beras dan palawija. Setelah tanah apanage dan tanah lunguh dihapuskan. Praja Mangkunegaran mengharapkan lebih dari tanah Praja Mangkunegaran mampu

menopang pendapatan Praja. 21

Di daerah Wonogiri sesuai dengan kondisi geografi yang berupa pegunungan yang cocok untuk perkebunan kopi dan tebu. Perkebunan kopi dan tebu yang berada di daerah Wonogiri dikelola oleh Praja Mangkunegaran. Kondisi perkebunan tersebut membawa kemajuan dibidang ekonomi baik bagi Praja

21 Nugroho Kusumo Mawardi. 2010. Wabah Penyakit dan Pelayanan Kesehatan

Penduduk Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII (1916 -1944). Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hal. 31

commit to user

buruh maupun yang menyewakan tanah untuk perkebunan. Ekonomi pedesaan di wilayah perkebunan Mangkunegaran ini terkait erat dengan ekonomi perkebunan kopi dan tebu. Pembangunan infrastruktur di perkebunan, seperti sarana transportasi (jalan raya dan rel kereta api), mempengaruhi dinamika ekonomi pedesaan. Sebaliknya, industri perkebunan juga terkait dengan ekonomi pedesaan, terutama yang terkait dengan pemenuhan tenaga kerja, tanah, jasa dan kebutuhan bahan pangan. Sektor-sektor ekonomi pedesaan yang hidup di wilayah Mangkunegaran meliputi sektor pertanian pangan, perdagangan dan tranportasi, serta keuangan dan perbankan.

Jaringan transportasi dan perdagangan di wilayah perkotaan dan pedesaan berupa kereta api untuk keperluan mengangkut hasil gula dan kopi ternyata membuka isolasi desa-desa di sekitar perkebunan. Demikian pula perkembangan jalan raya Surakarta-Semarang, Surakarta-Yogyakarta, Surakarta-Sragen, Surakarta-Tawangmangu, serta Surakarta-Wonogiri membuka peluang kerja di sektor jasa transportasi, mulai dari gerobak, pedati, andong dan bus. Sejak dilakukannya perluasan perkebunan pada awal abad XIX, karesidenan Surakarta sudah mengkoordinasikan seluruh kegiatannya yang meliputi daerah Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri. Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi. Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak tahun 1864 dan jalan trem yang

commit to user

transportasi yang efektif dengan kota-kota pada akhir abad XIX. 22 Kondisi ekonomi di daerah Wonogiri selama kependudukan Jepang, di daerah Wonogiri terjadi eksploitasi ekonomi terutama masalah pangan, banyak terjadi sistem tanam paksa dan pengumpulan hasil bumi berupa padi dan gaplek. Kondisi yang terjadi di Wonogiri pada tahun 1944 telah menjungkirbalikkan perkiraan. Selama kurun waktu tahun 1944, di daerah Wonogiri jarang diguyur hujan sehingga mengalami kekeringan yang parah. Kondisi yang demikian ini menyebabkan produksi gaplek turun hingga 50 persen. Produksi gaplek yang kurang untuk mememuhi kebutuhan penduduk, tetap diwajibkan untuk disetorkan kepada pemerintahan Jepang. Gaplek yang dikumpulkan secara paksa sebanyak

kurang lebih 800 rb kilo. 23 Selama pemerintahan Jepang di Wonogiri, keberadaan

jumlah penduduk semakin menurun, hal ini disebabkan masalah kesehatan penduduk yang memburuk akibat kkekurangan bahan makanan sehingga banyak penduduk meninggal karena kekurangan makanan.

Keberadaan ekonomi masyaraat Wonogiri semakin mengalami perubahan selama kependudukan Jepang keluar dari daerah Wonogiri, kondisi ekonomi masyarakat dengan semakin berkembangnya sarana-sarana perkotaan, yang berupa pasar-pasar daerah, membawa mobiliitas masyarak Wonogiri semakin

22 Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830- 1920 . Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Halaman. 24

23 Jumlah gaplek yang dilaorkan dengan jumlah perinciannya mengalami perbedaan.

Jumlah gaplek yang dilaoprkan sebesar 849.255, sedangkan jumlah gaplek dalam perincian sebesar 829,816.Lihat Margono Djojohadikoesoemo dalam bandel pengoempoelan gaplek dan katjang, 1944-1945. Arsip Reksopustoko Pura Mangkunegaran. No. 1366.

commit to user

transportasi sebagai angkutan yang cepat untuk menjual hasil-hasil bumi ke pasar- pasar daerah. Pada tahun 1960-1970 perekonomian di Wonogiri yang sebagian besar masyarakat khusunya Baturetno yang menggunakan jasa transportasi kereta api menjadikan pertumbuhan dibidang ekonomi semakin meningkat dengan penjualan-penjualan hasil bumi dan adanya pajak bagi pihak PPN yang mengakut batu gamming dari daerah Selomarto.