1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut
Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan negara sampai kepada perseorangan dengan tersedianya
pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau untuk dapat hidup aktif, sehat, dan produktif tanpa adanya
pertentangan dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat. Secara umum pilar ketahanan pangan dalam suatu wilayah terdiri dari 3 tiga
pilar utama, meliputi: 1 ketersediaan pangan, 2 distribusi pangan, dan 3 konsumsi pangan. Ketersediaan pangan secara makro tingkat wilayah dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya produksi dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan secara mikro tingkat rumah tangga lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga
memproduksi pangan, daya beli, dan pemberian. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi. Terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang
sering dihadapi di dalam suatu negara tidak hanya mencakup ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga mencakup masalah belum
terpenuhinya kecukupan gizi Baliwati, 2004. Pada tahun 1973, Berg mengembangkan konsep peran gizi dalam
pembangunan nasional. Sebagian besar 90 pertumbuhan dan perkembangan otak
Universitas Sumatera Utara
berlangsung pada masa janin sampai lahir. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan. Keadaan gizi ibu hamil dipengaruhi
oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi, pernah tidaknya menderita penyakit infeksi, dan keadaan sosial ekonomi Arisman, 2004 dalam Simarmata, 2008.
Ibu hamil memerlukan tambahan zat gizi untuk pertumbuhan janin, placenta, dan organjaringan lainnya. Setiap ibu hamil memerlukan tambahan energi rata-rata
200 kkal per hari. Kurang energi dan protein pada masa kehamilan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan
pada perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Banyak penelitian telah menunjukkan kaitan BBLR tidak hanya sebatas status gizi kurang semata, namun
juga berhubungan dengan meningkatnya risiko terkena penyakit non-infeksi atau degeneratif Khumaidi, 1994.
Balita yang mengalami KEP kurang energi protein mempunyai IQ lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami KEP. Anak yang
mengalami anemia memiliki IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan dengan yang tidak anemia. Anak yang mengalami gangguan akibat kekurangan iodium GAKI
memiliki IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan dengan yang tidak GAKI. Hal inilah yang berujung kepada “the lost generation”, yaitu suatu generasi dengan jutaan anak
kekurangan gizi sehingga tingkat kecerdasan IQ suatu bangsa akan menurun Baliwati, 2004.
Terpenuhinya kecukupan energi dan protein keluarga sangat bergantung pada konsumsi pangan keluarga tersebut. Konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan
berimbang merupakan standar untuk dapat memenuhi kecukupan gizi suatu bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai studi menunjukkan bahwa selain dapat memenuhi kecukupan gizi, konsumsi pangan beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan dari
pangan, konsumsi
serat, dan
menurunkan berbagai
risiko penyakit.
Penganekaragaman pangan berarti mengonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai jenis pangan, baik pangan pokok, lauk-pauk, sayuran, maupun buah-buahan.
Penganekaragaman pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan yang dominan pada salah satu jenis
pangan saja Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004. Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat
disebut dengan kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam
jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan yang terdapat di dalam masyarakat saat ini merupakan cara atau kebiasaan makan masyarakat setempat yang terjadi dan
berulang-ulang dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Pola konsumsi pangan setiap daerah berbeda-beda, bergantung pada karateristik masing-masing daerah. Pola
konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan yang dikonsumsi masyarakat tersebut Suhardjo, 1986.
Menurut BKP 2013, penilaian pola konsumsi pangan terdiri dari dua aspek penilaian. Yang pertama, aspek kuantitas konsumsi yang dinilai dari angka
kecukupan gizi dengan parameter tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Yang kedua, aspek kualitas konsumsi yang lebih ditekankan pada
penganekaragaman pangan. Keanekaragaman pangan dinilai dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
pendekatan Pola Pangan Harapan PPH. Semakin tinggi skor PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang.
Pola Pangan Harapan PPH adalah susunan beragam pangan yang dianjurkan yang didasarkan atas sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik dalam hal
ketersediaan maupun konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa Depkes RI. Menurut FAO-
RAPA, PPH adalah komposisi kelompok pangan yang apabila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dimana skor PPH tersebut
mencerminkan situasi pangan di suatu wilayah, yang dapat memberi gambaran mengenai kualitas pangan yang tersedia maupun yang dikonsumsi. Melalui
pendekatan Pola Pangan Harapan PPH, mutu atau kualitas pangan dapat dinilai berdasarkan skor pangan yang terdapat dari sembilan 9 jenis bahan makanan BKP,
2013. Skor PPH untuk provinsi Sumatera Utara dari tahun 2002 sampai tahun 2010
cenderung tidak stabil. Pada tahun 2002 skor PPH sebesar 72,8 dan mengalami kenaikan menjadi 76,9 pada tahun 2005. Kemudian pada tahun 2008 skor PPH
mengalami kenaikan menjadi 79,4 dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 74,5. Pada tahun 2010 skor PPH provinsi Sumatera Utara sebesar 78,8. Ini
berarti skor PPH untuk provinsi Sumatera Utara masih jauh dari target yakni sebesar 95 pada tahun 2015. Namun, dari perhitungan BKP Sumut, skor PPH untuk provinsi
Sumatera Utara mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebesar 84,2 dengan realisasi program “Manggadong” atau konsumsi ubi sebelum makan nasi BKP Sumut, 2013.
Universitas Sumatera Utara
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau keluarga saat ini masih menghadapi tantangan, hal ini dapat dilihat dari masalah konsumsi pangan yang
kurang beragam dan ditambah pula dengan perilaku anggota keluarga yang buruk yang berdampak pada kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam keluarga. Salah
satu diantaranya ialah kebiasaan merokok yang pada umumnya dijumpai pada kepala keluarga.
Merokok merupakan kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat yang akan berdampak pada status kesehatan keluarga perokok tersebut. Karena bahaya yang
ditimbulkan oleh asap rokok bukan pada si perokok saja namun juga pada anggota keluarganya yang terpapar asap rokok tersebut, khususnya bagi mereka yang
termasuk ke dalam kelompok rawan seperti balita. Padahal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa pemerintah, lembaga-lembaga
negara, masyarakat, dan orang tua mempunyai kewajiban untuk melindungi anak agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang, terlindungi serta aktif berpartisipasi Sitepu,
2012. Di Indonesia usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku merokok sebenarnya
telah dilakukan, namun demikian hasilnya belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah orang yang berstatus perokok di Indonesia. Penelitian
menyebutkan bahwa sebanyak 59,07 penduduk laki-laki usia 10 tahun ke atas di 14 provinsi di Indonesia berstatus perokok, sedangkan wanita sebanyak 4,83. Profil
kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara 2008 menunjukkan sekitar 86,1 perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama
dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif
Universitas Sumatera Utara
yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2008, proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2 dan merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi
perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari
kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab
tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota
kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko kekurangan pangan Balitbangkes Kemenkes RI, 2008.
Sudaryati 2013, melakukan penelitian untuk melihat ketahanan keluarga sehat pada rumah tangga perokok di Kecamatan Berastagi. Salah satunya yaitu faktor
pangan yang dilihat dari ketersediaan pangan, tingkat konsumsi energi, dan tingkat konsumsi protein. Berdasarkan ketahanan keluarga sehat dari 120 rumah tangga
perokok yang diteliti terdapat 75 62,5 rumah tangga yang baik dan 45 37,55 rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang diteliti menunjukkan
bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga 40,8, dan 71 keluarga 59,2 berada dalam kategori faktor pangan
kurang. Ketersediaan pangan pada keluarga perokok yang diteliti menunjukkan bahwa
tidak dijumpai keluarga dengan kategori rawan kelaparan tingkat sedang dan berat,
Universitas Sumatera Utara
tetapi hanya dijumpai keluarga yang rawan kelaparan tingkat ringan sebanyak 41 34,2 keluarga dan 79 65,8 mempunyai ketersediaan pangan yang terjamin.
Sedangkan untuk tingkat konsumsi energi dan protein keluarga sebagian besar defisit yaitu kurang dari 75 dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Keluarga yang
defisit konsumsi energi dijumpai pada 42 35 keluarga, sedangkan keluarga yang defisit konsumsi protein dijumpai pada 48 40 keluarga. Konsumsi yang kurang
dalam keluarga ini disebabkan oleh ketersediaan pangan yang kurang dan daya beli yang rendah.
Penelitian Saliem dan Ariningsih 2008 dalam Sudaryati 2013 menunjukkan bahwa pengeluaran rokok pada rumah tangga rawan pangan lebih
tinggi dibandingkan dengan rumah tangga tahan pangan. Pengeluaran masyarakat untuk rokok yang cukup besar sebenarnya mempunyai opportunity cost yang dapat
digunakan untuk membeli kebutuhan yang lebih esensial seperti makanan bergizi untuk keluarganya. Kebiasaan merokok akan memengaruhi kuantitas maupun kualitas
pangan yang dikonsumsi oleh keluarga perokok tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring 2002, menunjukkan bahwa pola
konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Karo belum berimbang yang kemudian menyebabkan skor mutu dan keanekaragaman pangan yang masih rendah yang
ditunjukkan oleh skor PPH 63,21 masih jauh dari skor PPH ideal yakni 100. Kecamatan Berastagi merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten
Karo dan termasuk salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak. Sebagian besar penduduknya merupakan Suku Karo dan perilaku merokok sudah
menjadi kebiasaan penduduk setempat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pola konsumsi pangan keluarga dilihat dari jenis pangan, jumlah pangan, dan frekuensi
makan beserta skor Pola Pangan Harapan keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.
1.2 Perumusan Masalah