Pencabutan Delik Aduan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007PN.LP)

(1)

PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM No.

Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ASTRYA UMACY SARAGIH 060200279

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM No.

Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ASTRYA UMACY SARAGIH 060200279

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP : 196107021989031001 Abul Khair, SH, M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

M. Nuh, SH, M.Hum

NIP : 194808011980031003 NIP : 196209071988112001 Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan anugerah yang dilimpahkan-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

Skripsi ini berjudul “PENCABUTAN DELIK ADUAN DALAM KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM No. Reg. : 1276/Pid.B/2007PN.LP)”, dimana penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulis mengakui bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan, bahan-bahan referensi. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta para pembantu dan seluruh stafnya.

2. Bapak H. Abul Khair, SH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak M. Nuh, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan masukan-masukan terhadap penulisan skripsi ini.

4. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan masukan-masukan terhadap penulisan skripsi ini.

5. Bapak M. Hayat, SH selaku dosen wali yang selalu memberikan dukungan moril dalam setiap konsultasi akademis, guna memperoleh hasil yang maksimal.

6. Bapak Briptu Jaya Syahputra, SH, Anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Deli Serdang, yang telah memberikan penjelasan/keterangan dan data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Lilik Suparli, SH yang telah memberikan penjelasan/keterangan dan data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak M. S. Sinaga, Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, yang juga telah memberikan penjelasan/keterangan dan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

9. Teristimewa kepada orang tua ku Alisman Saragih, SH dan Masly Sinaga, terima kasih atas pengorbanan yang engkau lakukan dan kasih sayang yang selalu diberikan dalam membesarkan, mendidik, dan selalu memotivasi penulis agar menjadi manusia yang berguna bagi semua orang dan juga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Anstayn Namberon Saragih, adik ku, yang telah memberikan dukungan kepada penulis dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini


(5)

dan juga kepada seluruh keluarga besar yang memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman penulis Tivani Ruslan Hsb, Prista Fransisxa Singarimbun, Jenny Adelina Napitupulu, Yuni Manurung, Vera Patricia M. P, Rasmitha Juliana Sitepu, Vania Isura Sitepu, Desi Aprilia Siahaan yang selalu memberikan dukungan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, merupakan teman seperjuangan dalam perkuliahan untuk mencapai gelar sarjana.

12.Semua pihak yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat tidak hanya kepada penulis tetapi juga kepada para pembaca.

Medan, Juni 2010 Hormat Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Keaslian Penulisan ... 3

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Delik Aduan ... 4

2. Jenis-jenis Delik Aduan ... 13

3. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 19

4. Sistem Peradilan Pidana ... 22

F. Metode Penelitian ... 28

G. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II : HUBUNGAN KUHP DAN KUHAP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP Dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 32

B. Proses Penyidikan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 35


(7)

BAB III : PENCABUTAN DELIK ADUAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN AKIBATNYA DALAM PERADILAN PIDANA

A. Pihak yang Berhak Mengadukan dan Mencabut Delik Aduan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga ... 51

1. Pihak yang Berhak Mengadukan Delik aduan ... 51

2. Pihak yang Berhak Mencabut Delik Aduan ... 58

B. Bentuk / Format Pencabutan Delik Aduan ... 61

C. Akibat Pencabutan Delik Aduan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Peradilan Pidana ... 64

BAB IV : KRONOLOGIS KASUS DAN ANALISIS KASUS A. Kronologis Kasus ... 67

B. Analisa Kasus ... 79

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

ABSTRAKSI * Astrya Umacy Saragih

** M. Nuh, SH, M.Hum *** Nurmalawaty, SH, M.Hum

Pengaduan merupakan hak korban untuk diadakan penuntutan atau tidak karena menyangkut kepentingan korban yang diberikan jangka waktu pencabutan perkara dalam Pasal 75 KUHP, agar korban dapat mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dalam Pasal 51-53. Pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan ditingkat penyidik (kepolisian yaitu Polres Deli Serdang) dan ditingkat penuntutan (Kejari Lubuk Pakam), namun perkaranya tetap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap dan menghukum suami dari pengadu.

Permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana hubungan antara KUHP, KUHAP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan tersebut dan mengapa institusi penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan bahkan sampai menjatuhkan hukuman.

Penelitian skripsi ini dilakukan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian dilakukan dengan wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang, Kejari Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan dalam UUPKDRT. Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah pada tingkat penyidikan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), pada tingkat penuntut umum dikeluarkannya SKPPK (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara), pada tingkat pengadilan hakim memberikan keputusan bahwa perkara tersebut digugurkan. Dilanjutkannya perkara sehingga sampai ke pengadilan karena baik itu didalam KUHAP atau peraturan lainnya tidak adanya ketentuan yang tegas dan sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum.

* Mahasiswa ** Pembimbing I *** Pembimbing II


(9)

ABSTRAKSI * Astrya Umacy Saragih

** M. Nuh, SH, M.Hum *** Nurmalawaty, SH, M.Hum

Pengaduan merupakan hak korban untuk diadakan penuntutan atau tidak karena menyangkut kepentingan korban yang diberikan jangka waktu pencabutan perkara dalam Pasal 75 KUHP, agar korban dapat mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan. Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) dalam Pasal 51-53. Pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan ditingkat penyidik (kepolisian yaitu Polres Deli Serdang) dan ditingkat penuntutan (Kejari Lubuk Pakam), namun perkaranya tetap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap dan menghukum suami dari pengadu.

Permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana hubungan antara KUHP, KUHAP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan tersebut dan mengapa institusi penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan bahkan sampai menjatuhkan hukuman.

Penelitian skripsi ini dilakukan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian dilakukan dengan wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang, Kejari Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan dalam UUPKDRT. Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I. Akibat hukum yang ditimbulkan adalah pada tingkat penyidikan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), pada tingkat penuntut umum dikeluarkannya SKPPK (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara), pada tingkat pengadilan hakim memberikan keputusan bahwa perkara tersebut digugurkan. Dilanjutkannya perkara sehingga sampai ke pengadilan karena baik itu didalam KUHAP atau peraturan lainnya tidak adanya ketentuan yang tegas dan sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum.

* Mahasiswa ** Pembimbing I *** Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP). Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan.

Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur dalam Pasal 75 KUHP.

Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangankan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.

Delik aduan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang selanjutnya disebut UUPKDRT), dimana dalam Pasal 51 dan 52 secara tegas disebutkan bahwa : “Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) adalah Delik Aduan”. Akan tetapi menarik untuk dibahas


(11)

lebih lanjut, apabila pengadu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga setelah adanya perdamaian lalu mencabut pengaduan dengan tenggang waktu masih dalam batas Pasal 75 KUHP pada proses penyidikan ditingkat penyidik (kepolisian yaitu POLRES Deli Serdang), namun perkara tetap dilimpahkan oleh penyidik kepada penuntut umum.

Demikian juga pada saat perkara tersebut sampai pada tingkat penuntut umum, pengadu juga telah mengajukan kembali pencabutan pengaduan kepada penuntut umum (KEJARI Lubuk Pakam). Namun perkaranya juga dilimpahkan ke pengadilan.

Bahwa walaupun pengadu telah mencabut pengaduannya sebagaimana dimaksud diatas namun Pengadilan Negeri Lubuk Pakam tetap menghukum terdakwa (suami dari pengadu).

Mencermati putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg.: 1276/Pid.B/2007/PN.LP, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pencabutan delik aduan (pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya) setelah didahului dengan perdamaian tidak menjadi pertimbangan institusi penegak hukum yang mengakibatkan terdakwa dihukum dengan hukuman pidana penjara 3 (tiga) bulan dan manetapkan hukuman tersebut tidak perlu dijalani sebelum adanya perintah hakim karena terdakwa bersalah telah melakukan suatu kesalahan dalam suatu syarat yang telah ditentukan dalam waktu 6 (enam) bulan.

Persoalan diatas menjadi sangat bertentangan sekali dengan hukum dan merupakan suatu tantangan untuk menguji antara teori dan praktek, serta apakah teori tersebut sejalan dengan prakteknya.


(12)

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana hubungan antara KUHP dan KUHAP dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pencabutan pengaduan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga?

3. Mengapa institusi penegak hukum melanjutkan proses penyidikan, penuntutan bahkan sampai menjatuhkan hukuman dalam sidang antara suami istri dalam putusan pengadilan No. Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP, padahal telah terjadi perdamaian dan diikuti dengan pencabutan pengaduan oleh pengadu?

C. Keaslian Penulisan

Penulisan tentang permasalahan dalam hal pencabutan delik aduan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan pidana dianggap asli karena sepengetahuan penulis, judul yang penulis angkat pada skripsi ini belum pernah diteliti oleh penulis lain.

Bila dikemudian hari ternyata ada judul dan permasalahan yang sama sebelum Skripsi ini dibuat saya bertanggung jawab sepenuhnya.

D. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan :

a) Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara KUHP dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(13)

b) Untuk mengetahui bagaimana pencabutan atau mencabut suatu delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan apa akibatnya apabila suatu delik aduan tersebut dicabut

c) Untuk mengetahui apakah hal-hal tersebut yang telah ditentukan didalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah sesuai dengan prakteknya.

Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a) Menambah ilmu pengetahuan tentang delik aduan pada umumnya dan khususnya dalam delik aduan kekerasan dalam rumah tangga

b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi peristiwa delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari

c) Untuk mencegah terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga didalam kehidupan masyarakat.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Delik Aduan

Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli tentang itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik?


(14)

Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjana menyampaikan pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.

Moeljatno berpendapat bahwa untuk perkataan Strafbaarfeit, peristilahan yang paling tepat adalah perbuatan pidana. Pemakaian istilah perbuatan dirasakan sepadan oleh karena dari sana dapat diambil suatu penafsiran, yakni adalah kelakuan dan akibat yang dilarang oleh suatu hukum. Alasan lain adalah bahwa dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit. Pertama, adanya kejadian yang tertentu, dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu1

1. bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku, . Tegasnya menurut Moeljatno, untuk dapat dikatakan adanya suatu perbuatan pidana, maka yang paling penting harus berunsurkan adanya kelakuan dan akibat, adanya kejadian tertentu yang menyertai perbuatan dan adanya si pembuat.

Dengan berpedoman pada pendapat Simons dan Van Hamel, Moeljatno akhirnya menegaskan :

2. bahwa pengertian strafbaarfeit itu dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi2

Bahwa feit diartikan tidak hanya perbuatan atau kelakuan saja tetapi termasuk juga didalamnya adalah akibat. Perbuatan pidana hanya menunjuk

.

1

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal 54.

2


(15)

kepada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana3

Pendapat lain sejalan dengan pengertian istilah strafbaarfeit ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang yang menyamakan artinya dengan peristiwa pidana sebagai berikut : “secara harafiah perkataan strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan”

. Pendapat diatas terdapat kelemahan pemakaian istilah perbuatan pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit yang diketengahkan. Pemakaian istilah ini, dinilai kurang tepat karena telah menghilangkan salah satu unsur dari strafbaarfeit itu sendiri, yakni adanya pertangungjawaban pidana dari si pembuat atau pelaku. Dengan pemisahan ini maka terlepaslah salah satu eleman dari strafbaarfeit dan bila demikian halnya, padanan kata ini dikesampingkan.

4

Dengan pemakaian kata peristiwa pidana, maka hal itu tegas menunjukkan adanya unsur kelakuan dan atau tindakan, berbuat atau lalai berbuat

.

5

Peristiwa pidana juga mencakup unsur pertanggungjawaban pidana, seperti yang dikemukakan oleh Utrecht, yaitu : apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu harus ada suatu kelakuan yang . Tidak hanya perbuatan yang dapat terlihat secara langsung, tetapi juga perbuatan yang tidak secara langsung (seperti : menyuruh, menggerakkan dan membantu) adalah juga dapat dimasukkan sebagai suatu kelakuan.

3

Ibid., hal 56-57.

4

P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 181.

5


(16)

bertentangan dengan hukum (unsur obyektif) dan seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu (unsur subjektif)6

Peristilahan strafbaarfeit juga dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samidjo, yaitu delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan

.

Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkehandeling). Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu, untuk hukum pidana, memuat unsur melawan hukum. Di antara pelanggaran hukum itu ada beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh KUHP dikualifikasi peristiwa pidana (strafbaar feit).

Peristilahan peristiwa pidana sebagai padanan kata strafbaarfeit adalah cukup tepat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dari pemahaman istilah peristiwa pidana itu, yang dapat dirumuskan adalah terhadap peristiwa pidana yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat, tetapi juga menyangkut mereka yang tidak berbuat. Pemahaman itu juga sejalan dengan unsur pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana.

7

Dari perumusan delik ini, tampaklah bahwa suatu delik itu menurut Samidjo harus berunsurkan : adanya perbuatan manusia, parbuatan itu bertentangan ataupun melanggar hukum, adanya unsur kesengajaan dan atau

.

6

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989, hal 390.

7


(17)

kelalaian serta pada akhirnya orang yang berbuat itu dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan gambaran ini, apa yang dituju oleh suatu delik adalah menghendaki adanya perbuatan atau kelakuan yang dilakukan oleh manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, secara tidak langsung, perumusan ini telah mengesampingkan penerjemahan istilah strafbaarfeit oleh Lamintang dengan mengutip pendapat Van der Hoeven berikut ini : “Van der Hoeven tidak setuju apabila perkataan strafbaarfeit itu harus diterjemahkan dengan perkataan perbuatan yang dapat dihukum, oleh karena yang dapat dihukum itu hanyalah manusia dan bukan perbuatan”8

Delik aduan (klacht delict) pada hakekatnya juga mengandung elemen-elemen yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Delik aduan punya cirri khusus dan kekhususan itu terletak pada “penuntutannya”. Lazimnya, setiap delik timbul, menghendaki adanya penuntutan dari penuntut umum, tanpa ada permintaan yang

.

Dari beberapa pendapat pakar dan istilah strafbaarfeit itu, umumnya masing-masing pengertian itu mengandung elemen yang jelas tentang suatu kelakuan atau perbuatan yang pada prinsipnya adalah suatu strafbaarfeit dan dengan sendirinya dapat dihukum. Karenanya, terhadap setiap kelakuan atau perbuatan itu dapat dikenai sanksi pidana (atas pelakunya); hanya pelaku yang melakukan (termasuk juga mereka yang menyuruh, menggerakkan dan membantu), kelakuan atau perbuatan tertentu (terkualifisir) yang pada akhirnya dapat dihukum

8


(18)

tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Dalam delik aduan, pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan adalah syarat utama untuk dilakukannya hak menuntut oleh Penuntut Umum.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), secara tegas tidak ada memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari pakar-pakar dibidang ilmu pengetahuan hukum pidana, seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Menurut Samidjo, delik aduan (Klacht Delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan mengadukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.

2. Menurut R. Soesilo dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan9

3. Menurut P. A. F Lamintang, tindak pidana tidak hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut

Klacht Delicten

.

10

Menurut pendapat para sarjana diatas, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan, maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik, delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku.

.

9

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993, hal 87.

10


(19)

Dari beberapa pendapat diatas walaupun dirasa sudah menggambarkan secara jelas bagaimana karakter serta sifat hakekat dari delik aduan itu, namun demikian masih dirasakan sedikit kekurangan. Kekurangan itu adalah dalam hal “penuntutan”. Tegasnya para pakar tidak memperhitungkan adanya kemungkinan penggunaan asas opportunitas dalam defenisi yang mereka kemukakan. Jadi walaupun hak pengaduan untuk penuntutan perkara ada pada si korban. Pada akhirnya, untuk dituntut atau tidak adalah semata-mata digantungkan kepada Penuntut Umum. Untuk itu, akan lebih sempurna apabila defenisi tentang delik aduan itu diberi tambahan dalam penggunaan asas opportunitas karena dalam hal penuntutan perkara penggunaan asas ini selalu dipertimbangkan pemberlakuannya.

Delik aduan (Klacht Delicten) ini adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut.

Alasan persyaratan adanya pengaduan tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Satochid adalah : “adalah karena pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya”11

Dengan latar belakang alasan yang demikian, maka tujuan pembentuk undang-undang adalah memberikan keleluasaan kepada pihak korban atau pihak yang dirugikan untuk berpikir dan bertindak, apakah dengan mengadukan

.

11

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 165.


(20)

perkaranya akan lebih melindungi kepentingannya. Apakah itu menguntungkan ataukah dengan mengadukan perkaranya justru akan merugikan kepentingan pihaknya (contoh : tercemarnya nama baik keluarga, terbukanya rahasia pribadi atau kerugian lainnya). Pada akhirnya inisiatif untuk mengadukan dan menuntut perkara sepenuhnya (dengan tidak mengindahkan asas opportunitas) berada pada si korban atau pihak yang dirugikan.

Bila keberadaan asas opportunitas tidak diindahkan, maka keleluasaan untuk mengadu atau tidak mengadu yang ada pada si korban atau pihak yang dirugikan, dan tepatlah praduga sebagai yang dikemukakan diatas. Tetapi nyatanya, hal seperti ini ada kalanya tidak sepenuhnya berlaku. Dalam hal dan keadaan tertentu, penghargaan dan kesempatan (keleluasaan) yang diberikan itu tidak mempunyai arti apapun bilamana persoalannya diadakan pengusutan untuk kemudian dideponer oleh Penuntut Umum dengan hak opportunitasnya. Maka pada keadaan ini prinsip umum yang biasa berlaku dalam suatu delik yakni hak untuk melakukan penuntutan diletakkan pada Penuntut Umum kembali diberlakukan.

Perkataan delik aduan terdiri atas dua kata, yakni “delik” dan “aduan”. Kata delik sebenarnya berasal dari bahasa Belanda, yaitu “delict” atau juga disebut dengan istilah “strafbaarfeit” yang dalam bahasa Indonesia dikatakan tindak pidana atau peristiwa pidana.

Menurut Moeljatno, bahwa delik adalah suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut12

12

Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal 10.

. Ia juga mengemukakan bahwa menurut wujud atau sifatnya perbuatan-perbuatan pidana ini juga merugikan masyarakat, dalam arti


(21)

bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya pergaulan yang dianggap baik dan adil.

Pompe mengemukakan 2 (dua) gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang peristiwa pidana dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu ”wettelijke defenitie” (defenisi menurut undang-undang) tentang peristiwa pidana itu13

1) Suatu kelakuan manusia .

Dalam gambaran teoritis, suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Dalam gambaran menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.

Selanjutnya VOS mengemukakan bahwa delik itu adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman. Jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.

Menurut VOS unsur-unsur delik itu adalah :

2) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang umum dan diancam dengan hukuman14

Soesilo Yuwono, memberikan rumusan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan agar orang yang telah melakukan tindak pidana aduan diambil tindakan menurut hukum

.

15

13

E. Utrecht, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal 252.

14

Ibid,.


(22)

Satochid Kartanegara, memberikan rumusan delik aduan sebagai berikut, delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan (klacht)16

2. Jenis-Jenis Delik Aduan

.

Gerson W. Bawengan membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu :

a) Delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten) b) Delik aduan relatif (relative klachtdelicten)

Ad. a) Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute Klachtdelicten)

Delik aduan absolut atau mutlak adalah beberapa kejahatan-kejahatan tertentu yang untuk penuntutanya pada umumnya dibutuhkan pengaduan. Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar).

Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan untuk menuntut peristiwanya, sehingga pengaduan berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Jika pengaduan itu sudah diterima, maka pegawai Kejaksaan berhak akan menuntut segala orang yang turut campur dalam kejahatan itu. Pengaduan

15

Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982, hal 50.

16

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun, hal 154.


(23)

tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut mengenai perbuatan, bukan pembuat atau orang lain yang turut campur didalamnya. Karena itu pengadu tidak berhak membatasi hak menuntut, yakni supaya yang satu dituntut dan yang lain tidak. Larangan ini dinyatakan dengan perkataan : “Pengaduan tentang kejahatan-kejahatan aduan absolut tak dapat dibelah”. Contoh : A, istrinya B, mengaku pada suaminya, bahwa ia pernah terlena terhadap godaan C, sehingga ia berzina dengan C. Karena istrinya sangat menyesal tentang peristiwa itu, maka B mengampuni akan tetapi ia mengirim suatu permohonan kepada jaksa supaya C dituntut lantaran perkara itu. Secara formil permohonan ini harus ditolak karena menurut Pasal 284 ayat (2) “perzinahan” adalah kejahatan aduan absolut, jadi A hanya boleh mengadu tentang peristiwa itu, tidak kepada seorang khusus yang turut campur didalamnya. Kepada B harus diberitahukan, bahwa permohonannya baru dianggap sebagai pengaduan yang sah, jika ia menyatakan kehendaknya akan menyerahkan kepada jaksa keputusan apakah istrinya dituntut.

Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu :

1. Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284 tentang “zina” (overspel), Pasal 287 tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 293 tentang “perbuatan cabul” (ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan pengaduan.

2. Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 tentang “menista” (menghina), Pasal 311 tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 tentang “penghinaan sederhana” ( oenvoudige belediging), Pasal 316 (penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang melakukan tugas secara sah, untuk menuntutnya berdasarkan Pasal 319, tidak


(24)

diperlukan pengaduan), Pasal 319 (disini ditentukan syaratnya bahwa kejahatan penghinaan dapat dituntut setelah oleh pihak penderita dilakukan pengaduan kecuali dalam hal Pasal 316, hal ini merupakan penyimpangan dari ketentuan delik aduan itu sendiri).

3. Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen), yang diatur dalam Pasal 322 dan Pasal 323, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari kedua pasal itu.

4. Kejahatan mengancam (afdreiging), yang diatur dalam Pasal 369 bahwa dalam ayat (2) ditentukan bahwa diperlukan pengaduan untuk mengadakan penuntutan.

Selain kejahatan-kejahatan aduan absolut yang diatur didalam KUHP, diluar KUHP terdapat juga pengaturan mengenai kejahatan aduan tersebut, seperti: kekerasan dalam rumah tangga yang diatur didalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). Pasal 51-53 menentukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang termasuk kedalam delik aduan. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut, yaitu :

1. Tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 51 jo Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT. Menurut Pasal 6 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.


(25)

2. Tindak pidana kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Hal tersebut diatur didalam Pasal 52 jo Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT. Menurut Pasal 7 UUPKDRT, yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis, berat pada seseorang.

3. Tindak pidana kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.

Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) telah mengakui adanya unsur privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Ad. b) Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten)

Delik aduan relatif adalah beberapa jenis kejahatan tertentu yang guna penuntutannya pada umumnya tidak dibutuhkan pengaduan, tetapi dalam hal ini hanya ditentukan bahwa pengaduan itu merupakan syarat, apabila diantara si pembuat dan si pengadu terdapat hubungan tertentu. Hubungan tertentu antara si pembuat dan si pengadu ialah hubungan keluarga-keluarga sedarah dalam garis lurus (bapak, nenek, anak, cucu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (saudara) dan keluarga-keluarga perkawinan dalam garis lurus (mertua, menantu) atau dalam derajat kedua dari garis menyimpang (ipar). Contoh-contoh delik aduan relatif yang diatur secara tersendiri dalam KUHP, yaitu :


(26)

1. Pasal 362 tentang kejahatan pencurian (diefstal),

2. Pasal 367 tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan keluarga”,

3. Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. OLeh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu,

4. Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan,

5. Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan.

Hubungan kekeluargaan harus dinyatakan pada waktu mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat dipecah-pecah (splitsbaar).

Dari pasal-pasal yang tercantum mengenai delik aduan itu, penggunaan istilah “hanya dapat dilakukan penuntutan kalau ada pengaduan”. Maka kalimat itu menimbulkan pemikiran atau pendapat bahwa dengan demikian pengusutan dapat dilakukan oleh pihak petugas hukum demi untuk kepentingan preventif.

Walaupun pendapat demikian itu adalah benar, namun untuk kepentingan tertib hukum, adalah lebih beritikad baik bilamana pengusutan itu diajukan secara lisan dari pihak yang dirugikan bahwa ia akan mengajukan pengaduan.


(27)

Menurut Modderman, ada alasan khusus dijadikannya kejahatan-kejahatan aduan relatif bilamana dilakukan dalam kalangan keluarga17

1. Alasan susila, yaitu untuk mencegah pemerintah menghadapkan orang-orang satu terhadap yang lain yang masih ada hubungan yang sangat erat dan dalam sidang pengadilan,

, yaitu :

2. Alasan materiil (stoffelijk), yaitu pada kenyataannya di dalam suatu keluarga antara pasangan suami istri dan istri ada semacam condominium.

Baik delik aduan absolut maupun delik aduan relatif yang sering disebut aduan saja, dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan pihak yang dirugikan dari pada kepentingan penuntutan. Dengan kata lain pembuat undang-undang memberikan penghargaan kepada pihak yang dirugikan dan kesempatan untuk mengadakan pilihan, apakah ia bermaksud untuk mengajukan pengaduan atau mendiamkan persoalan, misalnya demi untuk nama baik keluarga ataupun mungkin untuk menyimpan sebagai rahasia yang tidak perlu diketahui orang banyak.

Menurut Utrecht alasan satu-satunya pembentuk undang-undang untuk menetapkan suatu delik aduan adalah pertimbangan bahwa dalam beberapa hal tertentu pentingnya bagi yang dirugikan supaya perkaranya tidak dituntut adalah lebih besar dari pada pentingnya bagi negara supaya perkara itu dituntut18. Konsekuensi yuridis dari penentuan tersebut adalah aparat penegak hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun mereka mengetahui bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak pidana tersebut melakukan pengaduan.

17

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 205.

18


(28)

3. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Membicarakan masalah kekerasan dalam rumah tangga berarti mengingatkan kita pada gambaran dan fenomena istri yang teraniaya atau terlantar karena tindakan suami yang sewenang-wenang. Pada prinsipnya kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan suatu fenomena pelanggaran hak asasi manusia, sehingga masalah ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi, khususnya terhadap perempuan.

Sebelum menguraikan pengertian kekerasan dalam rumah tangga, terlebih dahulu dijelaskan beberapa definisi tentang kekerasan. Kata “kekerasan” bukanlah sesuatu yang asing maupun hal baru. Sejarah peradaban manusia sendiri tidak pernah lepas dari kekerasan, seperti yang dilihat dan dirasakan baik dimasa lalu maupun masa sekarang.

Kata “kekerasan” merupakan terjemahan dari bahasa latin yaitu violentia, yang berarti kekerasan; keganasan; kehebatan; kesengitan; kebengisan; kedahsyatan; kegarangan; aniaya; perkosaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti “kekerasan” adalah :

1. Perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, 2. Paksaan19

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, kekerasan ialah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sedangkan Kamus Webster mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai atau menganiaya, perlakuan atau prosedur yang kasar serta keras. Dilukai oleh atau terluka dikarenakan

.

19

W. J. S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, edisi 3 Jakarta. 2002.


(29)

penyimpangan, pelanggaran atau perkataan tidak senonoh atau kejam. Sesuatu yang kuat, bergejolak atau hebat dan cenderung menghancurkan atau memaksa. Perasaan atau ekspresi yang berapi-api, juga termasuk hal-hal yang ditimbulkan dari aksi atau perasaan tersebut suatu bentrokan atau kerusuhan.

Menurut KUHP dalam Pasal 89 disebutkan bahwa “yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah)”. Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan melakukan kekerasan menurut pasal ini ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya memberi minum racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikit pun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Perlu dicatat disini bahwa mengancam orang dengan akan membuat itu pingsan atau tidak berdaya itu tidak boleh disamakan dengan mengancam dengan kekerasan, sebab dalam pasal ini hanya mengatakan tentang melakukan kekerasan, bukan membicarakan tentang kekerasan atau ancaman kekerasan.

Untuk lebih jelasnya, pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai berikut :


(30)

a. Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

b. Menurut Pendapat Para Sarjana

Menurut Nettler, bahwa kejahatan kekerasan (violent crime) adalah suatu peristiwa seseorang dengan sengaja melukai fisik atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, baik dalam bentuk penganiayaan, perampokan, perkosaan, pembunuhan maupun intimidasi lainnya.

Salah seorang pakar kriminologi Soerdjono Soekanto mendefinisikan kejahatan kekerasan (violence) yaitu : “istilah yang dipergunakan bagi terjadinya cedera mental atau fisik, yang merupakan bagian dari proses kekerasan yang kadang-kadang diperbolehkan, sehingga jarang disebut sebagai kekerasan“. Masyarakat biasanya membuat kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras dan tidak semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu masyarakat, semakin besar kekhawatiran yang ada bila itu terjadi20

Lain halnya defenisi kejahatan kekerasan yang dikemukakan oleh Harkristuti Harkrisnowa, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap

.

20

Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso, Kamus Kriminologi, Bhalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 104.


(31)

kekerasan yang diarahkan kepada perempuan hanya karena mereka perempuan21

Dari semua pendapat para sarjana tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat suatu penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, . Sedangkan menurut Rumusan Konferensi Perempuan Sedunia TV di Beijing 1995, istilah kekerasan terhadap perempuan (violence against women) diartikan sebagai kekerasan yang dilakukan berdasarkan gender (gender-based violence).

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pakar diatas, menunjukkan bahwa kejahatan kekerasan dalam rumah tangga berhubungan dengan ibu rumah tangga atau isteri sebagai korban, yang harus mengikuti kehendak dan kemauan suami secara sepihak.

Dalam Literatur Barat pada umumnya istilah kekerasan dalam rumah tangga dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family

violence, wife abuse, marital violence, namun pada intinya menyamakan bahwa

tindak kekerasan selalu dialami oleh perempuan sebagai korban, seperti tindakan pemukulan, menampar, menyiksa, memnganiaya, ataupun pelemparan benda-benda kepada korban.

Istilah kekerasan dalam rumah tangga ini pada bentuk kekerasan yang berhubungan antara suami dan istri yang salah satu diantaranya bisa menjadi pelaku atau korban (istri, anak maupun pasangan).

21

Harkristuti Harkrisnowa, Wajah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Makalah pada Semiloka Nasional Mengenai Kemitraan Pemerintah dan LSM dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan, diselenggarakan Menperta, beberapa LSM dan Organisasi Internasional di Jakata, 26-27 Januari 1999.


(32)

penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga atau personal.

4. Sistem Peradilan Pidana

Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan, apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana didalam undang-undang dan bagaimana hakim menerapkannya22

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi stuktural (structural

syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan

dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial, maka keserempakan ini mengandung makna baik vertical maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana

.

23

Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan dari masyarakat (delik aduan), maupun pada saat-saat adanya perbuatan yang menyimpang dari kacamata hukum pidana Indonesia yang mana atas perbuatan tersebut pemerintah melalui Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk menuntutnya melalui proses peradilan pidana.

.

22

Pertus Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1995, hal 54.

23


(33)

Sistem peradilan pidana harus dilihat sebagai “the network of courts and

tribunals which deal with criminal law and its enforcement” (suatu jaringan

proses peradilan dan persidangan yang saling mendukung dalam hukum pidana dan penegakannya)24

Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain dalam ketergantungan

.

25

1. Politik tentang pembentukan hukum; .

Sebagai suatu jaringan (network) peradilan, sistem peradilan pidana menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaannya.

Peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana, adalah sangat penting. Perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada pengambilan kebijakan dan memberikan kerangka hukum untuk memformulasikan kebijakan dan penjatuhan pidana. Hal ini merupakan bagian dari politik hukum, yang pada hakekatnya berfungsi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu :

2. Politik tentang penegakan hukum; 3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan

Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai kedudukan strategis terhadap sistem peradilan pidana, dimana perundang-undangan tersebut telah memberikan defenisi tentang perbuatan-perbuatan apa yang dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, serta memberikan batasan tentang pidana yang dapat

24

Ibid, hal 15.

25


(34)

diterapkan untuk setiap kejahatan. Dengan kata lain, perundang-undangan pidana menciptakan “legislated environment” (lingkungan perundang-undangan) yang mengatur segala prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi didalam sistem peradilan pidana.

Ada beberapa sub sistem yang tergantung didalam sistem peradilan pidana, yang masing-masing sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang tersendiri pula. Namun demikian, pada dasarnya tujuan akhir pada masing-masing sub sistem tersebut adalah sama yaitu “penanggulangan Kejahatan”. Untuk mencapai tujuan yang sama inilah mangharuskan sub-sub sistem ini untuk saling koordinasi dan bekerja sama didalam proses kerjanya. Suatu sub sistem harus memperhitungkan sub sistem yang lainnya didalam proses peradilan.

Sistem peradilan pidana mengandung gerak sistematis dari masing-masing sub sistem yang mendukungnya, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana. Keterpaduan garis sistematis sub-sub sistem peradilan pidana dalam proses penegakkan hukum, tentunya sangat diharapkan dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya, salah satu indicator keterpaduan sistem peradilan pidana ini adalah “sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum guna mencapai tujuan penanggulangan kejahatan didalam masyarakat. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, diharapkan akan mampu menanggulangi kejahatan. Apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut kedalam salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana, maka belum tentu ia akan menjalani semua sub sistem. Hal ini wajar adanya, sebab dianutnya asas praduga tak bersalah atau asas presumption of innocence sebagaimana yang terkandung dalam KUHAP. Asas


(35)

praduga tak bersalah ini membuka peluang bagi anggota masyarakat yang diduga melakukan kesalahan tersebut untuk keluar dari sub sistem yang tergabung dalam sistem peradilan pidana.

Adapun peluang untuk keluar dari sub sistem tersebut, dapat saja terjadi seperti pada skema berikut ini :

Skema Aliran Sistem Peradilan Pidana26

Bila seseorang tersangka yang ditangkap polisi, belum tentu ia bersalah dan apabila belum cukup bukti untuk mengajukan ke pihak kejaksaan, maka ia akan keluar dari sub sistem (polisi). Apabila cukup bukti untuk dilanjutkan sebagai terdakwa, maka akan dibawa ke sub sistem selanjutnya (Jaksa), bila disini cukup bukti untuk cukup dituntut dimuka pengadilan, maka ia akan keluar dari sub sistem (Kejaksaan). Apabila cukup bukti sebagai terdakwa maka ia akan dibawa ke sub sistem (pengadilan), namun apabila dalam persidangan tidak dapat dibuktikan kesalahannya, kemungkinan ia juga akan keluar dan dibebaskan, dan

26

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1994, hal 99.

Masyarakat

Kepolisian

Kejaksaan

Lembaga Pemasyarakatan


(36)

apabila ia terbukti bersalah maka ia akan dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan dan disub sistem inilah ia akan dibina sampai akhirnya keluar atau bebas dan kembali ke masyarakatannya.

Selanjutnya apabila keluaran (output) dari Lembaga Pemasyarakatan ini banyak yang kembali masuk ke dalam sub sistem, bahkan sampai ke Lembaga Pemasyarakatan kembali, maka ada sesuatu yang kurang efektif didalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. Apabila banyak residivis maka sistem peradilan pidana tersebut mungkin belum efektif.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) tahapan atau hal yang berkaitan dengan terlaksananya sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu “input”, kemudian “proses” kemudian “output”.

Dari ketiga hal ini, yang paling nampak bagi kita adalah “proses”. Berbicara perihal “proses” bagi ita berarti berbicara acara hukum pidana, dan ini dimulai dari aktifitas kepolisian, kejaksaan, proses pengadilan, sampai pada masuknya narapidana ke Lembaga Pemasyarakatan. Namun, mengenai bagaimana pembinaan, para narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan kita tidak mengetahui dengan persis, sehungga timbul kesan bahwa keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, hanya sampai pada saat narapidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan saja, dengan tanpa adanya relevansi terhadap poses pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.

Berhasil tidaknya sistem peradilan pidana dapat dilihat dari output apabila output itu banyak yang kembali (jadi residivis), maka mungkin ada sesuatu yang kurang didalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana. Yang perlu menjadi catatan adalah jangan ada “tanggapan” bahwa sesuatu yang kurang didalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut, menjadikan Lembaga


(37)

Pemasyarakatan sebagai “kambing hitam”. Sebab, sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana punya perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koordinatif dan integrative (terkoordinasi dan terpadu, agar dapat mencapai efisiensi yang maksmal delam mencapai tujuannya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan. Sehubungan dengan itu, dalam penerapannya ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan sinkronisasi hukum dengan cara meneliti aturan, norma-norma hukum27

2. Lokasi Penelitian

. Norma-norma hukum itu yang berkaitan dengan pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan akibat hukumnya bagi peradilan pidana.

Penelitian dilakukan di Kepolisian Resot (Polres) Deli Serdang khususnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

3. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut :

27

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 118-132


(38)

a. Data Primer

Data Primer yaitu data-data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, seperti wawancara, questioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara partisipatif maupun non partisipatif. Data-data dalam skripsi ini diperoleh melalui teknik wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang di Lubuk Pakam, Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari sumber kedua antara lain mencakup dokumen-dokemen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.Data sekunder dibagi atas beberapa bahan hukum, yaitu : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

seperti data dalam penulisan skripsi ini diantaranya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan topik permasalahan yang dibahas.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-ndang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar. bahan-bahan yang dipakai dalam skripsi ini adalah mengenai masalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga seperti makalah, seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah.


(39)

c. Bahan Huku m Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini yaitu dilakukan dengan jalan Penelitian Kepustakaan (Library

Research) yang merupakan cara untuk memperoleh data-data teoritis yang

relevan melalui literature seperti undang-undang, buku, majalah ilmiah, laporan-laporan penelitian dan koran-koran (media massa) yang berhubungan dengan masalah yang dibahas28

G. Sistematika Penulisan

dan Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu cara untuk memperoleh data langsung ke objek penelitian. Dalam hal ini berupa hasil wawancara dengan pihak Polres Deli Serdang, Kejari Lubuk Pakam, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dan berkas perkara diperoleh di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

Sitematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam lima (5) bagian yang tersusun dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan, dan di setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran mengenai skripsi ini nantinya, maka penulis akan memberikan gambaran secara garis besar sebagai berikut:

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang sisnya antara lain memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

28


(40)

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang terdiri dari pengertian delik aduan, jenis-jenis delik aduan, pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sistem peradilan, metode penulisan, sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab ini diuraikan mengenai hubungan antara KUHP dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bagian-bagian yang diuraikan, yaitu : ketentuan umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, proses penyidikan kasus kekerasan dalam rumah tangga, pembuktian delik kekerasan dalam rumah tangga.

Bab III : Dalam bab ini diuraikan mengenai pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan pidana. Bagian-bagian yang diuraikan, yaitu : pihak-pihak yang berhak mengadukan dan mencabut dalik aduan kekerasan dalam rumah tangga dimana hal tersebut terbagi atas pihak yang berhak mengadukan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dan pihak yang berhak mencabut delik aduan kekerasan dalam rumah tangga, bentuk / format pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga, akibat pencabutan delik aduan kekerasan dalam rumah tangga dalam peradilan pidana.

Bab IV : Dalam bab ini diulas mengenai kasus dan analisa kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007?PN.LP

Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran.


(41)

BAB II

HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada penggunaan ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Meskipun pada waktu itu belum ada kebijakan formulasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga, tidaklah berarti perbuatan kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum.

Sebelum UUPKDRT diundangkan, aturan-aturan hukum yang dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk memidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah KUHP. Adapun pasal-pasal mengenai tindak pidana dalam KUHP yang dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah pasal-pasal yang menentukan adanya syarat khusus untuk dapat terjadinya tindak pidana, seperti adanya hubungan ayah-anak atau ibu-anak, maupun pasal-pasal yang tidak menentukan adanya syarat-syarat khusus tersebut, misalnya pembunuhan dan penganiayaan.

Beberapa perbuatan yang termasuk dalam lingkup kekerasan dalam rumah tangga sudah dirumuskan sebagai perbuatan pidana dalam KUHP, misalnya Pasal 304 sampai dengan Pasal 309, isi dari pasal-pasal tersebut merumuskan tindak


(42)

pidana terhadap anak. Pasal 356 ayat (1) yang mengatur tentang tindak pidana terhadap perempuan sebagai istri yang hanya terbatas pada kekerasan fisik. Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual, pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan. Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP, maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang. Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum, sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam KUHP. Namun pada prakteknya hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakukan-perlakuan kekerasan.

Oleh karena itu dalam rangka untuk menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, maka pada tahun 1984 negara mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 yang mengesahkan konvensi mengenai Penghapusan


(43)

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The

Elimination of All Form of Discrimination Against Women). Upaya normatif dari

negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap perempuan (termasuk kekerasan terhadap istri), tersebut berlanjut dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang secara lebih tegas dan luas merumuskan kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu tindak pidana dan dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami istri, tetapi juga pihak lain.

UUPKDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tetapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam UUPKDRT, maka akan menggunakan KUHAP). Selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan atau dipakai dalam UUPKDRT.

Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I, yaitu bahwa ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang-undang-undang (wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.

Dengan adanya ketentuan dalam pasal ini, berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam bab yang ke IX dari Buku I KUHP (Pasal 86 s/d Pasal 102 hanya berlaku untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP ini saja, sedangkan sebaliknya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Bab I, II, III, IV, V, VI, VII, dan VIII (Pasal 1 s/d Pasal 85) selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, berlaku pula untuk menerangkan hal-hal-hal-hal yang


(44)

tersebut dalam Undang-Undang dan peraturan hukum lainnya, kecuali bila Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Ordonansi itu menentukan peraturan-peraturan lain.

Dengan demikian maka misalnya ketentuan-ketentuan mengenai apa yang dimaksud dengan “malam” (Pasal 98), “anak kunci palsu” (Pasal 100), dan “hewan” (Pasal 101), semua termuat dalam bab IX, itu hanya berlaku untuk menerangkan kata-kata yang tersebut dalam KUHP saja, sedangkan untuk undang-undang yang lain tidak. Sebaliknya ketentuan-ketentuan misalnya mengenai lingkungan berlakunya ketentuan pidana dalam undang-undang (Pasal 1 s/d Pasal 9), pengecualian, pengurangan dan penambahan hukuman (Pasal 44 s/d Pasal 52), percobaan (Pasal 53 s/d Pasal 54) dan gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman (Pasal 76 s/d Pasal 85) yang masing-masing tersebut dalam Bab I, III, IV dan VIII itu selain untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam KUHP, pun berlaku pula untuk menerangkan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut didalam undang-undang lainnya, misalnya : Undang-Undang Lalu-lintas Jalan, Undang Materai, Undang Senjata Api, Undang-Undang Penyakit Anjing Gila, Undang-Undang-Undang-Undang Obat Bius dan sebagainya. Namun demikian ada kecualinya ialah dalam hal apabila dalam Undang-Undang Lalu-lintas Jalan dan sebagainya itu menentukan paraturan lain.

Dalam UUPKDRT ditentukannya beberapa pasal yang termasuk ke dalam delik aduan, maka ketentuan dalam Bab VII tentang Memasukkan dan Mencabut Pengaduan Dalam Perkara Kejahatan, yang Hanya Boleh Dituntut Atas Pengaduan, berlaku untuk UUPKDRT.

Dalam UUPKDRT tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tenggang waktu seseorang diperbolehkan untuk mengadu dan tenggang waktu seseorang


(45)

diperbolehkan untuk mencabut pengaduannya. Sehingga mengenai tengang waktu tersebut berlakulah Pasal 74 KUHP tentang tenggang waktu diperbolehkannya untuk mengadu dan Pasal 75 KUHP tentang tenggang waktu mencabut pengaduan.

Selain itu tidak adanya dalam UUPKDRT ketentuan yang mengatur mengenai orang-orang yang turut serta melakukan tindakan kekerasan. Sehingga jika adanya seseorang yang membantu atau turut serta melakukan tindakan kekerasan tersebut, maka ketentuan yang dipakai untuk menghukum atau memberikan sanksi terhadap perbuatan tersebut. Misalnya jika orang tua yaitu suami bersama dengan istrinya melakukan tindakan kekerasan terhadap anaknya, maka untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada suami atau istri tersebut, dipakailah ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP.

B. Proses Penyidikan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada pemeriksaan tingkat penyidikan dijumpai beberapa kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu : penyelidikan, penyidikan, upaya paksa dan pembuatan berita acara. Adapun alasan aparat penegak hukum untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut adalah karena telah terjadi suatu tindak pidana (perbuatan pidana).

Berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka pihak penyidik (kepolisian) dapat melakukan segera tindakan yaitu berupa tindakan penyelidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan,


(46)

pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum29

1. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

.

Dalam hal apabila terjadi suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana maka tindakan segera yang dilakukan oleh penyidik yaitu disaat atau tidak beberapa lama kemudian, dalam hal ini tidak dibuat jangka waktunya untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa itu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang berhubungan dengan peristiwa itu, sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.

Pasal 102 KUHAP merumuskan :

2. Dalam hal terangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b. 3. Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2),

penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik sedaerah hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 102 KUHAP diatas, maka menjadi keharusan bagi penyidik untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan sebagai kewajiban baik keadaan tertangkap tangan maupun dalam keadaan tidak tertangkap tangan.

Keharusan bagi penyidik (kepolisian) untuk segera melakukan tindakan penyelidikan tidak saja hanya diatur didalam KUHAP tetapi dalam UUPKDRT

29

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, PT Sarana Bakti Semesta, Jakarta, 2008, hal 101.


(47)

juga mengatur mengenai hal tersebut. Dalam Pasal 19 UUPKDRT disebutkan bahwa :

“Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga”.

Pasal 19 UUPKDRT mempertegas kembali apa yang telah diatur didalam Pasal 102 KUHAP, bahwa pihak kepolisian (baik itu penyelidik maupun penyidik) yang mengetahui atau menerima laporan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga segera melakukan penyelidikan guna untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan penyidikan dan membuat terangnya tindakan kekerasan dalam rumah tangga tersebut dan dapat menemukan dan menentukan pelakunya.

Jadi setiap peristiwa yang diketahui atau dilaporkan atau yang diadukan kepada kepolisian, belum pasti merupakan suatu tindak pidana. Apabila hal demikian terjadi maka diperlukan suatu proses penyelidikan dimana pejabat polisi tersebut harus berlaku sebagai penyelidik yang wajib dengan segera melakukan tindakan yang diperlukan yaitu tindakan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan.

Penyelidik yang telah melaksanakan wewenangnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP membuat berita acaranya dan melaporkannya kepada penyidik di daerah hukumnya. Penyelidik yang menjalankan tugasnya wajib menunjukkan tanda pengenalnya serta mereka di


(48)

dalam menjalankan tugas tersebut, dikoordinasi dan diawasi serta diberikan petunjuk oleh penyidik polri.

Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan.

Menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Tindakan penyidikan tersebut biasanya dilakukan penyidik setelah melalui hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh penyelidik, diyakini bahwa memang benar terjadi suatu peristiwa pidana. Pengetahuan akan, sedang dan telah terjadinya suatu peristiwa pidana di suatu tempat dan pada suatu waktu, biasanya diketahui penyidik melalui cara-cara, diantara lain : penyidik mengetahui sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana, adanya laporan atau pengaduan (Pasal 106 KUHAP).

Kepolisian (baik itu penyelidik maupun penyidik) yang mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, maka pihak kepolisian tersebut wajib segera memberikan perlindungan sementara kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam tersebut terhitung sejak kepolisian mengetahui atau menerima laporan tersebut. Perlindungan sementara itu otomatis diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban setelah adanya pengaduan dari korban tersebut dan perlindungan sementara tetap diberikan kepada korban selama


(49)

proses pemeriksaan berjalan dan dengan melihat kondisi fisik si korban apakah mungkin untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap si korban30

Untuk memperoleh surat perintah perlindungan, permohonannya dapat diajukan oleh : korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani. Permohonan yang diajukan oleh orang-orang selain korban itu sendiri, maka pengajuan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari si korban itu sendiri dan dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan dari si korban. Keadaan tertentu tersebut misalnya pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Permohonan tersebut diajukan ke pengadilan baik itu dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Pengadilan yang telah menerima permohonan perintah perlindungan tersebut, dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan tersebut wajib

.

Menurut Pasal 1 butir (3) UUPKDRT, perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara tersebut diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban kekerasan tersebut diterima atau ditangani. Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Kepolisian (penyelidik atau penyidik) wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara yang diberikan oleh pihak kepolisian. Perintah perlindungan tersebut diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.

30

Briptu Jaya Syahputra (Anggota Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Deli Serdang), wawancara tanggal 10 Mei 2010.


(50)

mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain.

Setelah penyidik mengetahui akan adanya suatu peristiwa pidana, maka undang-undang kemudian mewajibkan penyidik untuk segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 106 KUHAP yang berbunyi :

“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan”.

Untuk melaksanakan kewajibannya itu, maka penyidik diberikan wewenang oleh undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Menurut pasal tersebut wewenang penyidik, yaitu :

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana,

2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian,

3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka,

4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,

6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang,

7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, 8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara,

9. Mengadakan penghentian penyidikan,


(51)

Wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian rupa luasnya. Bersumber atas wewenang yang diberikan undang-undang tersebut, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal itu masih berpijak pada landasan hukum. Wewenang pengurangan kebebasan dan hak asasi itu, harus dihubungkan dengan landasan prinsip hukum yang menjamin terpeliharanya harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hukum pada pihak lain. Bermacam bentuk tindakan dan wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik dalam rangka pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang, mulai dari bentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang. Penangkapan tersebut harus berdasarkan alasan yang sesuai dengan undang-undang. Dalam Pasal 17 KUHAP, telah ditentukan bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan yang cukup mengacu pada Pasal 183 KUHAP mengenai “batas minimum pembuktian”. Itu berarti bahwa bukti permulaan yang cukup terdiri dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah dengan satu alat bukti lainnya.

Adapun cara pelaksanaan penangkapan diatur dalam Pasal 18 KUHAP, yang menentukan : pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas kepolisian negara RI, petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas penangkapan, petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan.

Dalam hal jika surat tugas tersebut tidak ada, maka tersangka dapat menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan


(52)

syarat formal dan agar tidak terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati.

Berbeda halnya dengan delik kekerasan dalam rumah tangga, dalam Pasal 35 UUPKDRT menentukan bahwa :

“Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas”.

Penangkapan tersebut dapat dilakukan oleh pihak kepolisian apabila adanya bukti permulaan yang cukup yang membuktikan bahwa pelaku atau tersangka telah melanggar perintah perlindungan. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Hal tersebut dapat diketahui setelah dilakukannya pemeriksaan terhadap saksi korban dan telah mengetahui hasil visum (keterangan saksi korban ditambah dengan hasil visum terhadap luka) dan apabila memang telah terbukti maka dapat dilakukannya upaya paksa yaitu berupa penahanan terhadap tersangka.

Penangkapan yang dapat dilanjutkan dengan penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tanpa adanya surat perintah tetapi setelah penyidik menangkap yang dapat dilanjutkan dengan menahan pelaku atau tersangka, maka penyidik wajib memberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Penahanan yang dikarenakan melanggar perintah perlindungan tidak dapat dimintakan penangguhan penahanan.


(1)

apabila suatu delik aduan yang telah dicabut pengaduannya pada tanggal 19 Juni 2007, maka perkara Suwanto harus sudah di SP3 atau dihentikan penuntutannya. Pencabutan pengaduan tersebut dapat diajukan apabila masih dalam tenggang waktu tiga bulan seperti yang disebutkan dalam Pasal 75 KUHP. Tenggang waktu tiga bulan dihitung sejak dimulainya penyidikan atau telah dikeluarkannya surat perintah penyidikan oleh pihak kepolisian. Melihat jangka waktu tersebut, maka surat pencabutan pengaduan yang diajukan oleh korban Misni tanggal 19 Juni 2007 masih dalam tenggang waktu tiga bulan.

Walaupun korban Misni telah mengajukan surat pencabutan pengaduan atas perkara tersebut tetapi Jaksa yang menangani perkara tetap melanjutkan perkara itu sehingga majelis hakim memutuskan perkara tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya aturan yang tegas dan jelas mengatur mengenai tindakan jaksa penuntut umum yang tetap melanjutkan perkara sampai ke tingkat pengadilan. KUHAP juga tidak mengatur mengenai tindakan jaksa penuntut umum tersebut sehingga jaksa penuntut umum dapat melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum dan tidak adanya saksi atas tindakan tersebut.

Hakim tidak mempertimbangkan surat pencabutan pengaduan yang diajukan oleh korban Misni, hakim hanya mempertimbangkan surat perdamaian dalam pertimbangan hukumnya. Sesuai dengan ketentuan yang ada didalam KUHAP bahwa hakim bersifat aktif untuk menemukan alat-alat bukti dalam perkara pidana. Dalam hal ini seharusnya hakim harus sudah mempelajari dan mempertimbangkan surat pencabutan pengaduan di kepolisian tanggal 8 Juni 2007 dan surat pencabutan pengaduan di tingkat penuntutan tanggal 19 Juni 2007 yang masuk dalam berkas perkara.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian pada bab-bab terdahulu mengenai pencabutan delik aduan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dan akibatnya dalam peradilan pidana (studi kasus putusan pengadilan negeri lubuk pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007/PN.LP), akhirnya dapat disimpulkan, yaitu :

1. UUPKDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tetapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal-hal tertentu yang tidak diatur dalam UUPKDRT, maka akan menggunakan KUHAP). Selain digunakannya KUHAP, ketentuan yang ada di dalam KUHP juga digunakan atau dipakai dalam UUPKDRT. Hal tersebut diatur didalam Pasal 103 KUHP mengenai pasal terakhir dari buku I. Dalam UUPKDRT ditentukannya beberapa pasal yang termasuk ke dalam delik aduan, maka ketentuan dalam Bab VII tentang Memasukkan dan Mencabut Pengaduan Dalam Perkara Kejahatan, yang Hanya Boleh Dituntut Atas Pengaduan, berlaku untuk UUPKDRT. Pada tahap penyidikan didalam KUHAP penahanan tersangka dapat dilakukan bila telah sesuai dengan Pasal 21 KUHAP tetapi didalam UUPKDRT penahanan yang dilakukan bukan saja berdasarkan Pasal 21 KUHAP tetapi apabila tersangka tersebut telah melanggar perintah penetapan perlindungan dari pengadilan, maka ia dapat ditahan oleh pihak kepolisian. Dalam Pasal 55 UUPKDRT, kemudahan dalam pembuktian yang hanya membutuhkan keterangan seorang saksi korban saja dianggap cukup sepanjang didukung dengan satu alat bukti


(3)

yang sah lainnya. Ketentuan ini jelas membelakangi ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang bersesuaian dengan asas “satu saksi bukan saksi”.

2. Terhadap pencabutan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UUPKDRT (delik aduan absolut), maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah pada tingkat penyidikan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), pada tingkat penuntut umum dikeluarkannya SKPPK (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara), pada tingkat pengadilan, hakim memberikan keputusan bahwa perkara tersebut digugurkan. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan tersebut menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukannya penuntutan. Pencabutan delik aduan berakibat bagi peradilan pidana, yaitu hilangnya hak penuntutan sebagai akibat dari dicabutnya pengaduan. Dengan adanya pencabutan pengaduan tersebut, maka hakim tidak melanjutkan proses pemeriksaan atau penuntutan dipersidangan dan adanya penetapan dari hakim bahwa perkara tersebut telah dicabut agar bila perkara tersebut suatu saat akan diajukan kembali, maka perkara tersebut menjadi gugur karena dalam Pasal 76 KUHP mengatur megenai “Nebis In Idem” yaitu bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan, yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang tidak boleh diubah lagi

3. Pada tingkat penyidikan tersangka dikenai Pasal 44 ayat (1) UUPKDRT, pasal tersebut bukan merupakan delik aduan sehingga surat pencabutan pengaduan dan surat perdamaian tidak dapat menghentikan penyidikan atas perkara tersebut sehingga perkara tersebut tetap dilanjutkan penyidikannya dan pihak kepolisian melimpahkan berkas perkara ke penuntut umum. Tetapi pada tingkat penuntut umum tersangka dikenai Pasal 44 ayat (4) UUPKDRT. Hal


(4)

tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan hasil pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka. Dilanjutkannya perkara sehingga sampai ke pengadilan karena bail itu didalam KUHAP atau peraturan lainnya tidak adanya ketentuan yang tegas dan sanksi yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau aturan hukum.

B. Saran

1. Digalakkan sosialisasi UUPKDRT kepada masyarakat sehingga baik itu suami istri maupun kerabat dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat luas mengetahui bahwa kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga baik itu kekerasan antara suami istri maupun kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah dilarang oleh undang-undang.

2. Agar kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak banyak terjadi didalam masyarakat dan sistem hukum di Indonesia dapat menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, serta memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat penegak hukum bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap mertabat kemanusiaan.

3. Agar aparat penegak hukum harus dapat melihat suatu berkas perkara dengan teliti agar terdapat kepastian hukum dan kepastian keadilan, kekurangtelitian penegak hukum dapat menyebabkan terpecahnya kekeluargaan dengan perceraian suami istri (putusnya perkawinan).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi ; Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin ; Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

E. Utrecht ; Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000. --- ; Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000.

--- ; Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke 11, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1989.

G. Widiartana ; Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Perspektif Perbandingan Hukum), Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2009.

Harkristuti Harkrisnowa ; Wajah Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Makalah pada Semiloka Nasional Mengenai Kemitraan Pemerintah dan LSM dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan, diselenggarakan Menperta, beberapa LSM dan Organisasi Internasional di Jakata, 26-27 Januari 1999.

M. Yahya Harahap ; Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, PT Sarana Bakti Semesta, Jakarta, 2008. Mardjono Reksodiputro ; Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta,

1994.

Moeljatno ; Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.


(6)

P. A. F Lamintang ; Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Pertus Irwan dan Pandapotan Simorangkir ; Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, 1995.

R. Soesilo ; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1993. Samidjo ; Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985.

Satochid Kartanegara ; Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun.

--- ; Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, Tanpa Tahun.

Soerjono Soekanto dan Pudji Santoso ; Kamus Kriminologi, Bhalia Indonesia, Jakarta, 1985.

Soesilo Yuwono ; Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, Sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982.

Van Apeldoorn, ; Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Wantjik Saleh ; Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.

W. J. S Poerwadarminta ; Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, edisi 3 Jakarta. 2002.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.