leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik didominasi oleh elit kekuasaan, maka fungsi hukum akan berkembang secara lamban.
28
C. Konfigurasi Politik Pemerintahan Soeharto
Konfigurasi configuration ialah suatu pola yang unsur-unsur atau bagian-bagiannya, semua saling berkaitan. dalam menelaah suatu konfigurasi,
maka setiap unsur atau bagiannya diamati dan dianalisa dalam kaitannya satu dengan yang lain, dalam arti bukan sebagai unsur atau bagian yang tidak
berhubungan atau berdiri sendiri. Selanjutnya tinjauan dilakukan dengan memperhatikan keseluruhan susunan konfigurasi karena sesuatu itu memiliki sifat
menyeluruh atau kesatuan bentuk Geltat.
29
Istilah Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah yang akan atau telah dilaksanakan secara Nasional oleh pemerintah Indonesia meliputi: pertama,
Pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaruan terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua, Pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Batasan itu menggambarkan bahwa politik
28
Ibid., h. 13.
29
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005, h.12.
hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum akan d ibangun dan ditegakan.
30
Di tinjau dari sudut sejarah perkembangan sistem ketatanegaraan sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang, konfigurasi dapat dibagi dalam tiga
masa perkembangan. Pertama, Konfigurasi pada masa berlakunya sistem Demokrasi Liberal-Parlementer yang dimulai beberapa bulan setelah Proklamasi
Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tahun 1959 persisnya ketika Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Kedua, Konfigurasi politik
pada masa Demokrasi Terpimpin yang berlaku selama kurun waktu antara tahun 1959 hingga tahun 1966. Ketiga, Konfigurasi politik pada masa Demokrasi
Pancasila yang berlaku sejak tahun 1966 hingga sekarang dan merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem Presidensiil.
31
Menurut Mahfud MD, Konfigurasi politik adalah susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikhotomis dibagi atas dua konsep, yaitu konfigurasi
politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Secara konseptual dan indikator-indikator variabel bebas ini adalah;
a. Konfigurasi Politik Demokratis
adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif
menentukan kebijakan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar jumlah mayoritas wakil-wakil rakyat dan didasarkan atas kesamaan politik serta
30
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 9.
31
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 69.
diselenggarakan atas kebebasan politik. Di lihat dari hubungan pemerintah dengan wakil rakyat, dalam konfigurasi politik demokratis terdapat kebebasan
rakyat untuk menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.
b. Konfigurasi Politik Otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil inisiatif hampir semua kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit
kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan
dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentarsi kekuasaan.
32
Untuk mengidentifikasikan apakah konfigurasi politik itu Demokratis atau Otoriter, indikator yang dipakai dalam studi ini adalah berperannya tiga pilar demokrasi, yaitu partai politik dari badan perwakilan, pelaksanaan hukum,
dan peran eksekutif. Pada konfigurasi politik demokratis, partai politik dari lembaga perwakilan rakyat legislative aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional. Sedangkan pelaksanaan hukum, termasuk hukum agama,
dijunjung tinggi dan ditempatkan pada posisi yang semestinya. Sementara dominasi lembaga eksekutif pemerintahan tidak dominan dan tunduk pada kemauan rakyat dan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konfigurasi politik otoriter
memperkecil peranan wakil rakyat, tidak memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, di samping itu besarnya pemerintah.
33
Konfigurasi kekuasaan Orde Baru yang di pimpin oleh Soeharto dalam demokrasi politik menunjukan kekuasaan yang otoriter dan sentralistrik. Militer, Golongan Karya dan Organisasi Masyarakat lainnya seperti Kosgoro,
Soksi dan MKGR tidak ada yang terlepas dari pengaruh Soeharto. Organisasi kepemudaan seperti pemuda Pancasila dan KNPI Komite Nasional Pemuda Indonesia pun berada dibawah komando Soeharto. Semuanya menjadi ‘Golkaris’ dan
‘Soehartois’. Kekuatan politik dan ormas ini luar biasa hebatnya, sehingga Undang-Undang apapun yang akan dibuat jika dikehendaki oleh Soeharto akan berhasil menjadi Undang-Undang. Melalui anggota DPR yang mayoritas dikuasai oleh
kekuatan pro Soeharto sejak terbentuknya DPR dimasa orde baru produk Pemilihan Umum tahun 1971 sampai dengan produk Pemilihan Umum pada tahun 1997, tidak begitu sulit meloloskan “apa maunya “ Soeharto tentang hukum yang
berlaku yang mengatur masalah apapun yang dikehendaki untuk diatur. Format dan kultur kekuasaan Soeharto memberi pengaruh yang besar terhadap substansi dan materi perundang-undangan yang berlaku.
Kultur demokrasi Soeharto sebagai seorang jawa pedalaman pada hakekatnya lembut dan halus, tetapi tidak menyukai kritik terutama kritik yang tajam. Sebagai contoh ketika kelompok petisi 50 menyampaikan kritiknya terhadap
Soeharto berakibat pada kematian perdata dan hak-hak politik mereka diratakan sebagai kuburan kematian perdata itu. Politik hukum Soeharto melahirkan kebijaksanaan perundang-undangan yang sangat menentukan kehidupan demokrasi
dalam masyarakat.
32
Mahfud MD, Politik Hukum, h. 25.
33
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,Op,Cit.,h. 17.
Di awal Orde Baru keinginan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen mulai diperlihatkan. Keinginan itu misalnya ditandai dengan TAP
MPR No. XXXVIIIMPR1968 tentang pencabutan ketetapan ketetapan MPRS yang terdiri dari: Nomor IIMPRS1960, Nomor IVMPRS1963, Nomor
VMPRS 1965, Nomor VIMPRS1965, Nomor VIIMPRS1965.
Ketetapan ketetapan MPRS ini dicabut dengan mempertimbangkan: 1. Bahwa kekacauan disemua bidang kehidupan masyarakat dan negara yang
memuncak pada terjadinya gerakan pengkhianatan G 30 SPKI adalah antara lain disebabkan adanya penyelewengan UUD 1945.
2. Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut diatas terbukti telah dipergunakan untuk persiapan dan pelaksanaan gerakan pengkhianatan G
30 SPKI tersebut. 3. Bahwa penyelewengan terhadap UUD 1945 tersebut telah terbukti dapat
dilakukan terutama disebabkan karena didalam GBHN dan haluan pembangunan serta pedoman-pedoman pelaksanaannya sebagaimana
tersebut dalam ketetapan-ketetapan MPRS Nomor IMPRS1960, Nomor IIMPRS1960, Nomor IVMPRS1963, Nomor VMPRS1965, Nomor
VIMPRS1965, Nomor VIIMPRS1965, terdapat hal-hal dan unsur- unsur yang tidak sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
4. Bahwa dalam rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat sebagaimana yang diamanatkan dan terkandung didalam pertimbangan-pertimbangan
dan ketetapan-ketetapan MPRS hasil sidang Umum MPRS ke-IV tahun 1966 dan sidang istimewa tahun 1977, maka MPRS sebagai pemegang
kedaulatan rakyat, yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, wajib menghentikan penyelewengan terhadap UUD 1945, sesuai dengan
tuntutan hati nurani rakyat. 5. Bahwa untuk pemurnian dan pelaksanaan UUD 1945 dan menjamin tidak
terjadinya lagi penyelewengan-penyelewengan, maka perlu segera pencabutan ketetapan-ketetapan MPRS Nomor IIMPRS1960, Nomor
IVMPRS1963, Nomor VMPRS1965, Nomor VIMPRS1965, dan Nomor VIIMPRS1965.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut, dicabutlah ketetapan-ketetapan MPRS yang dipandang oleh kekuasaan orde baru sebagai tidak sesuai dengan
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Hal ini merupakan kebijakan politik yang diharapkan dapat memformulasikan ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menggagas format baru pemerintahan Soeharto. Melalui ketetapan MPRS Nomor IXMPRS1966 tentang
surat perintah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pemimpin Besar revolusi Mandataris MPRS Republik Indonesia, telah
ditetapkan mempercayakan kepada Letnan Jendral T.N.I Soeharto Menteri
Panglima Angkatan Darat, pemegang ketetapan tersebut, untuk memikul tanggungjawab wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuh
kebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat,
berdasarkan UUD 1945
34
.
34
Ramly Hutabarat, Ringkasan Disertasi, Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik, Op.Cit.,
32.
BAB III
PRODUK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1985
A. Sekilas tentang Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985