PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA SENDIRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR.

(1)

i

SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH

ORANG TUA SENDIRI DI WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

I MADE ADYANA PUTRA NIM : 1016051127

FALKULTAS HUKUM PROGRAM EKSTENI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

ii

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

KORBAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH

ORANG TUA SENDIRI DI WILAYAH HUKUM

PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Program Ektensi Universitas Udayana

I MADE ADYANA PUTRA NIM. 1016051127

FAKULTAS HUKUM PROGRAM EKTENSI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASR

2015


(3)

iii


(4)

iv


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang HyangWidhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnyalah skripsi ini yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA SENDIRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Penyusunan skripsi ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai rangkaian kegiatan akademis yang lain, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Program Ektensi Universitas Udanyana.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak I Wayan Suardana, SH., MH selaku pembimbing I dan Bapak A. A. Ngurah Wirasila, SH. ,MH selaku pembimbing II yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udanyana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udanyana.


(6)

vi

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udanyana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udanyana.

5. Bapak A. A Gede Oka Parwata, SH., M. Si selaku Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak A. A Ketut Sukranatha, SH., MH selaku Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibuk I Gusti Agung Ayu Dike Widhyaastuti, SH selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udanyan yang telah banyak memberikan limu pengetahuan kepada saya selama saya menjadi mahasiswa, tidak akan bisa saya balas

9. Bapak/ ibu Hakim di Pengadilan Negeri Denpasar yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan, mengarahkan dan menjawab seluruh pertanyaan dan memberikan tambahan pengetahuan.

10.Semua Staf pegawai di Pengadilan Negeri Denpasar yang telah membantu dan memberikan data dan informasi yang di butuhkan untuk kelancaran sekeripsi ini.

11.Kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta atas jerih payah, kasih sayang dan doa sertunya dalam memotifasi dan mendorong saya tanpa henti-hentinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

12.Kakaku Ni Wayan Yustita Radini, SE yang sudah ngasik saran dan ide-ide, masukan-masukan selama kuliah dan penyusunan sekeripsi terselesai


(7)

vii

13.Serta temen-temen seperjuangan yang saya cintai dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan moril sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan kritik, petunjuk, serta saran para pembaca untuk menuju arah penyempurnaan sekripsi ini sehingga dapat berguna bagi kita semua.

Denpasar, 24 Nopember 2015


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSETUJUAN/PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN SURAT PERNYARATAAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4Orisinalitas Penelitian ... 6

1.5Tujuan Penulisan ... 7

1.5.1 Tujuan Umum ... 7

1.5.2 Tujuan Khusus ... 8

1.6ManfaatPenulisan ... 8

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.6.2 Manfaat Praktis ... 8

1.7Landasan Teoritis ... 9


(9)

ix

1.8.1 Jenis Penelitian ... 14

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 15

1.8.3 Sifat Peneliti ... 15

1.8.4 Sumber Data ... 15

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data ... 16

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 17

BAB II PENGERTIAN ANAK DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN 2.1Pengertian Anak ... 18

2.2Hak-Hak Anak ... 24

2.3Pengertian Kekerasan ... 28

2.4Pengertian Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 33

2.5Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 37

BAB III TANGGUNGJAWAB PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG MELAKUKAN KEKERASAN TERHADAP ANAKNYA 3.1Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang Tua Yang Melakukan Kekerasan Terhadap Anaknya ... 41

3.2Bentuk- Bentuk Kekerasan Terhadap Anaknya ... 47

BAB IV KASUS DAN ANALISA 4.1Kasus Posisi ... 50


(10)

x BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan ... 60 5.2Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA


(11)

xi


(12)

xii ABSTRAK

Mengenai kekerasan terhadap anak yang sering terjadi dilingkungan keluarga berdampak bagi tumbuh kembang sang anak di masa yang akan datang. Anak adalah generasi penerus bangsa sehingga seharusnya Orang tualah yang mendidik anak tersebut bukan sebalinknya melakukan tidakan kekerasan terhadap Anaknya di tinjau dari Undang-undang No. 23 Tahun 2002. Sebagai mana sudah di rubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak dilihat dari UUD 1945 Pasal 28b Ayat (2) Yang menyebutkan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dilihat dari Dalam Pasal 80 yang berbunyi : Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhdap Anak dari Pasal 76C. Pada ayat (1) setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 76C, dipidana dengn pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan. Pada ayat (2) Apabila anak tersebut luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) ttahun. Pada ayat (3) apabila sampai menyebabkan kematian, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun Pada ayat (4) pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya sendiri.

Kata Kunci : Kekerasan terhadap anak ditinjau dari UU No. 23 Tahun 2002 sebagai mana sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.


(13)

ABSTRACT

Regarding violence against children which often occur in the environment affect the family for the child's growth in the future. Children are the future generation so that people should educate parents who are not sebalinknya commit an act of violence against. Her son in the review of Law No. 23, 2002. As it has been in fox with Act 35 Year 2014 on the Protection of children seen from the 1945 Article 28b Paragraph (2) states that "Every child has the right to live, grow and develop and has the right to protection from violence and discrimination ". Judging from Article 80, which reads: Everyone is prohibited to place, let, do, told to do, or was involved in the violence terhdap Son of Article 76C. In paragraph (1) any person who violates the provisions as contemplated in Article 76C, shall be punished with less imprisonment of 3 (three) years and 6 (six) months. In paragraph (2) If the child is seriously injured, the offender shall be punished by imprisonment of five (5) ttahun. In paragraph (3 ) if to cause death, the offender shall be punished with imprisonment of 15 (fifteen) years In subsection (4) criminal plus one third of the provisions referred to in paragraph (1), paragraph (2) and (3) if the carry out the persecution of his own people.

Keywords : Violence against children in terms of Act 23 of 2002 as amended by the Act where already 35 2014 on the Protection of the child.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam suatu kehidupan manusia terus tumbuh dan berkembang,semenjak manusia itu lahir dan masih dalam kandungan manusia telah dapat mendapatkan perlindungan dari janin olah hukum. Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi manusia. Oleh karena itulah, munculnya hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat. Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat. Oleh sebab itu setiap orang mempunyai hak untuk hidup sebagaimana teleh tertuang dalam Undang-undang 1945 Pasal 28 A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Manusia sejak lahir kemudian tumbuh menjadi dewasa yang pada akhirnya akan menjadi tua dan mati tidak lepas dari norma-norma yang mengikat, yang bertujuan melahirkan masyarakat yang tenteram, aman dan sejahtera.

Terkait hal di atas manusia tidak lepas dari peranan orang tua atau keluarga. Karena disanalah manusia mengenal aturan –aturan yang mana bolah dilakukan dan yang mana tidak boleh dilakukan. Tugas dari peranan orang tua untuk mendidik seorang anak menjadi berguna dilingkungan keluarga dan masyarakat serta berguna bagi bangsa ini. Dimana sering kali perkembangan jaman yang semakin pesat dan modern serta sifat individual semakin menonjol yang menyebabkan seseorag di Indonesia angka-angka kekerasan terhadap anak tidak pernah menunjukkan angka menurun, kecenderungannya selalu meningkat, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Angka pastinya sulit diperoleh karena banyak kekerasan yang


(15)

tidak dilaporkan, terutama apabila kekerasan tersebut terjadi di rumah tangga. Banyak masyarakat menganggap, kekerasan di rumah tangga adalah urusan domestik, sehingga tidak selayaknya orang luar, aparat hukum sekali pun ikut campur tangan.

Kekerasan yang terjadi dalam suatu masyarakat, sesungguhnya berangkat dari satu ideologi tertentu yang mengesahkan penindasan di satu pihak baik perseorangan maupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan yang ada di dalam masyarakat. Anak sebagai penerus bangsa ini, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang, namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini. Pasal 28b Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan

dan diskriminas”

Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami kekerasan akan mendapat gangguan psikologis seperti anak merasa takut dan cemas, menjadi kurang percaya diri, rendah diri maupun merasa tidak berarti dalam lingkungannya sehingga tidak termotivasi untuk mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya.

Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan fisik, mental maupun pelecehan seksual. Di dalam UU 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak kuhususnya adalah perlindungan yang berikan kepada anak dalam situasi darurat sekaligus. Sebagai mana telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar


(16)

ole gurunya sendiri. Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya. Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/ pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian.

Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak

Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga


(17)

yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. Bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol.

Oleh karena itu dengan bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut maka penulis kemudian mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul :

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA SENDIRI DI WILAYAH HUKUM PENGEDILAN NEGERI DENPASAR”

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak kandungnya sendiri?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orngtua kandungnya sendiri?


(18)

Untuk menghindari isi serta uraian agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup adalah permasalahan pertama yang akan dibahas mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap anak sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tua sendiri.

Kemudian pada permasalahan kedua akan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai korban kekerasan orang tuanya kandungnya sendiri.

1.4Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil karya asli dari penulis,merupakan suatu buah pemikiran penulis yang dikembangkan sendiri oleh penulis. Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian adapun dalam penelitian dalam rangka menumbuhkan semangat arti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa di wajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang telah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini,peneliti akan menampilkan skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri :

Tabel 1. 1. Daftar Penelitian Sejenis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga (Di Tinjau Hukum Terhadap UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Edwin Ristanto, Fakultas Syaria dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2010

1. Bagaimanakah

kekerasan terhadap anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak.


(19)

hukum terhadap kekerasan pada anak dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak tersebut.

2. Perlindungan Hukum Atas Anak Korban Kekerasan (Analisis Pasal 80 UU No 23 Tahun 2002

Muhammad Wahyudi Arifin. Jinsah Siyasah Fakultas Syariah Universitas Negeri

Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Tahun 2009

1. Bagaimana aspek-aspek perlindungan hukum atas anak korban kekerasan dalam pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang pwelindungan anak

2. Bagaimana tinjauan hukum dan Undang-undang perlindungan anak tentang kekerasan anak.

1.5Tujuan Penulisan

Untuk setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu, karena dengan adanya tujuan tersebut akan memberikan arah yang jelas untuk mencapai tujuan tersebut, baik tujuan secara umum maupun khusus. Adapun tujuan tersebut adalah:

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan ini yaitu berupaya untuk dapat melakukan pengembangan ilmu hukum yang ada sejalan, dengan untuk memahami dan lebih memahami tanggung jawab orang tua apabila melekukan kekerasan terhadap anaknya sendiri. Dengan ini, ilmu tidak akan pernah final dalam panggilannya atas kebenaran di bidang objeknya


(20)

masing-masing. Melalui penulisan ini turut diupayakan untuk melakukan pengembangan pada ilmu hukum Tindak Pidana Khusus yaitu mengenai tanggungjawab pidana terhadap anak sebagai korban kekerasan kususnya dalam bidang hukum pidana.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untukmengetahui pertanggung jawaban pidana terhadap orang tua yang melakukan kekerasan anak kandungnya sendiri

2. Untuk mengetahui upaya hukum tindak pidana dalam melindungi anak sebagai korban kekerasan orangg tuanya sendiri.

1.6Manfaat Penelitian

Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun tujuannya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu :

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya hukum tindak pidana khusus dalam hal anak sebagai korban kekerasan orang tuanya.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Untuk dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan karya-karya tulis lainnya, baik itu pembuatan makalah maupun penulisan hukum dan memberikan pengamalan belajar serta melakukan penulisan bagi mahasiswa mengetahui jalannya hukum dimasyarakat.

2. Agar masyarakat mengetahui bagaimana pengaturan mengenai anak sabagai korban kekerasan dalam ketentuan Hukum Pidana di Indonesia, sebagai kebijakan atau


(21)

upayadalam menanggulangi dan menyikapi perbuatan atau tindak pidana anak sebagai korban kekerasan. Dengan hasil ini maka diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan dandapat dilaksanakan lebih optimal. 1

1.7Landasan Teori

Teori diperlukan untuk menekan dan menjelaska secara spesifik atau peroses tertentu yang terjadi harus diuji dengan mengharapkan yang dapat pada fakta-fakta yang menunjukan ketidak benaran. Landasan teoristis merupakan untuk mengindetifikasi teori hukum-umum/teori kuhusus, konsep-konsep hukum asas-asas hukum, aturan hukum dan norma-norma hukum dan lain-lain yang akan di pakai landasan untuk membah penelitian. Teori mengenai sistem hukum yang digunakan dalam menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap yakni dengan menelaah substansi hukum yang mengatur baik dalam instrumen hukum internasional maupun instrumen hukum nasional, struktur hukum yang dapat pula dikaji dari profesionalisme dan kepemimpinan mereka serta budaya hukum masyarakat terhadap kejahatan ini. Mengacu kepada hak-hak para korban sebagai akibat yang di perbuat maka dasar dari perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan (kekerasan), ini dapat dilihat darai beberapa teori di antaranya sebagai berikut :

1. Teori absolte atau teori pembalasan (vergeldingstheori)

Yang mengatakan, bahwa pidana adalah suatu pembalasan berdasarkan atas keyakinan zaman kuno, bahwa sipa membunuh, hasus dibunuh. Dasar keyakinan ini

adalah “talio” atau “kisas” orang yang membunuh itu hrus menebus dosanya dengan jiwanya sendiri, ini berati bahwa kejahatan itu sendirilah yang memuat unsusr menurut

1


(22)

dan membenarkan dijatuhkannya pidana. Penganut teori ini misalnya pujanggan Jerman Immanuel Kant.

2. Teori relatip atau tujuan (doeltheorie), yang menyatakan penjatuhan pidana itu dibenarkan melihat pada tujuannya, di antaranya ialah:

a) Teori mempertakutkan (afschrikkingstheorie), mengatakan, bahwa menjatuhi pidana itu bermaksud untuk menakuti orang supaya jangan berbuat jahat, penganutnya misalnya pujangga Aselm von Feuerbach. Sifat pidana harus bersifat mencega (prenvensi) sifat prevensi dibagi atas : 1. Prevensi umum yang bertujuan supaya orang-orang pada umumnya jangan berbuat kejahatan,dan 2. Prevensi khusus yang bertujuan mencegah supaya pembuat kejahatan kuhususnya jangan mengulangi lagi. b) Teori memperbaiki (vebeteringstheorie), yang mengatakan bahwa pidana harus

bertujuan memperbaiki orang telah berbuat jahat, dianut antaranya oleh pujangga Plato.

3. Selain dari itu ada lagi pujangga-pujangga yang mengatakan,bahwa dasar dari penjatuhan pidana itu dalah pembalasan,akan tetapi maksud-maksud lainnya (pencegahan, mempertakutkan, memperbaiki dan lain-lain) tidak boleh di abaikan. Merka ini menganut yang biasa dinamakan teori gabungan, yaitu gabungan antara teori absolute dan teori relatip tersebut di atas.

4. Teori penegakan hukum

Untuk menganalisis mengenai penegakan hukum terhadap orang tua yang melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya maka digunakan teori penegakan hukum. Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan


(23)

kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan namun juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.2

Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:

1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup. 3

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.4 Efektivitas perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan, 2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.

3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam masyarakatnya.

4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentinganinstan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar

2

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I).

3

Ibid hal 9 4


(24)

Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.5

Untuk mengenai suatu perbuatan pidana adalah asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Namun di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin. Tampa ada kesalahan di dalam suatu perbuatan maka tidak dapat seseorang di pertanggung jawabkan secara pidana. Jadi dengan itu dalam pertangungjawaban pidan akan kita lihat unsur- unsurnya :

1. Tidak adanya alasan pemaaf dalam arti suatu perbuatan itu tidak di pengaruhi suatu tekanan dari luar yang di anggap mempengaruhi fungsi batin seseorang.

2. Adanya hubungan antara ke adan batin dengan perbuatan atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan itu.

3. Pada darasnya penting sesorang untuk dapat di katakana memiliki kemampuan bertanggung jawab. Sebaliknya kalau jiwanya tidak normal, bagi merka tidak dapat di mintai pertanggungjawaban dan mestinya dapat dirawat atau dididik dengan cara yang tepat dan wajar.

UU RI Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak. 6 Pengertian Anak. Mengenai defenisi anak sampai sekarang belum ada persamaan persepsi mengenai batasan umur anak atau di bawah umur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Batasan umur anak dalam beberapa ketentuan perundang-undangan. Pengertian Kekerasan terhadap Anak kekerasan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagai mana telah di ubah menjadi UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU Perlindungan Anak), anak adalah seseorang yang belum berusia 18

5

Ibid hal. 11 6


(25)

tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentinganya. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap Anak, berisi penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, bentuk kekerasan pada anak dan dampak kekerasan terhadap anak.

1.8Metode Penelitian 1.8.1Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dapat di gunakan dalam hal mengkaji problematika adalah penelitian metode empiris, suatu metode penulisan hukum yang berdasarkan pada teori-teori hukum, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang (tertulis dan tidak tertulis) dan di dalam skripsi ini saya menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu UU No 23 Tahun 2002 sebagai mana sudah di ubah menjadi UU 35 Tahun 2014. Tentang Perlindungan anak dan UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban, UUD 45 dan KUHP7 berlaku dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan skripsi ini. Penelitian ini yang diteliti adalah pertanggung jawaban tindak pidana terhadap anak sebagai korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri.

1.8.2Jenis Pendekatan

Jenis pendekatanyang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini adalah

1. Pendekatan Statue Approach (pendekatan perundang-undangan), pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua

7

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 79


(26)

undang-undang dan yang bersangkut paut dengan Kekerasan terhadap anak yaitu UU No 23 Tahun 2002 sebagai mana sudah di ubah menjadi UU 35 Tahun 2014. Tentang perlindungan anak, UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban dan KUHP.

2. Pendekatan Fact Approach (pendekatan fakta), pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah fakta-fakta yang sudah ada sebelumnya di masyarakat tentang kekerasan terhadap anak.

3. Pendekatan Analitical & Conceptual Approach (pendekatan analisis konsep hukum),pendekatan analisis konsep hukum adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah teori-teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan prostitusi Kekerasan terhadap anak dan dalam penelitian ini saya menggunakan teori penegakan hukum.

1.8.3Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini menggambarkan tentang pertangung jawaban pidana terhadap anak sebagai korban kekerasan orang tua kandungnya sendiri.

1.8.4Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini data yang dipergunakan adalah bersumber pada:

a. Data Primer

Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukan dengan cara penelitian di Pengadilan


(27)

Negeri Denpasar. Adapun sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh narasumber wawan cara tersebut.

b. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti : Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 sebagai mana telah diubah menjadi UU 35 Tahun 2014. tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

1.8.5Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data di atas maka tehnik pengumpulan data yang di gunakan adalah sebagai berikut:

1. Dalam data primer digunakan tehnik wawancara atau interview,yaitu suatu metode untuk memperoleh data baik dari informasi maupun responden agar mendapat jawaban yang relevan dengan masalah yang diteliti.

2. Dalam data sekunder yang dilakukan adalah studi dokumen dan pemilihan secara selektif pendapat-pendapat dari para ahli hukum dari bahan hukum yang relevan, yang dimana merupakan tehnik awal dalam melakukan sebuah penelitian.

1.8.6Pengolahan Dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil dari pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisa. Teknik pengolahan data dilakukan secara kwalitatif, dimana dalam pengolahannya tidak menggunakan angka-angka, tabel ataupun grafik. Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan maka dipergunakan teknik analisis kwalitatif yaitu data yang dikumpulkan baik yang bersumber dari data primer maupun data sekunder adalah


(28)

merupakan data naturaistik yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka. Dari keseluruhan data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya. Setelah dilakukan alalisis secara kwalitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan dari permasalahan yang dikemukakan.8 Lengkap aspek-aspek hukum permasalahan yang diteliti dan selanjutnya di analisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.

8

Wirjono Prodjodikoro,2008,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama,Bandung, hal. 70


(29)

BAB II

PEGERTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUMTERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN

1.1Pengertian Anak

Berbicaran tentang anak dan perlindungan tidak akanpernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang di persiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang ke adilan masa depan suatu negara, tidak kecuali di Indonesia. Perlindungan anak di Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpastisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, di tentukan bahwa: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak dimaksudkan mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.


(30)

dan kemanusian merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi dan penyelesaian permasalahan perlindungan terhadap anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Disini yang manjadi objek dan subjek pelayan dan kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak-hak dan kewajiban ; motivasi sesorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak mendapatkan perlindungan mental, fisik, dan sosial dari orang tua, anggota masyarakat dan Negara.1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa,merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, kegiatan perlindungan hukum merupakan suatu tindakan hukum yang berkaitan dengan hukum oleh karena itu di perlukan adanya jaminan hukum bagi kegiatan tentang perlindungan anak.2 Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah terjadinya penyelewengan yang membawa akibat negatip anak. Untuk itu kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlidungan hak-hak anak. Aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan tersebut.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa

1

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Rajawali Peres, Jakarta,h. 2.

2


(31)

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh secara optimal, baik fisik ataupun mental maupun sosial, maupun perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk menunjukan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulai sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi Negara ini. Melalui UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah menjadi UU No. 35 Tahun 2014 tersebut, jaminan hak anak dilindungi,bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat difinisi anak sebagaimana diungkapkan di atas, kita dapat bernafas lega karena dipahami secara komprehensif. Namun, untuk


(32)

mendapatkan berbagai macam batasan usia anak misalnya :

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU No. 1Tahun 1974, maka batasan untuk tersebut anak adalah belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. Udang-undang No. 3 Tahun tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 1 sub 5 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

5. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 tahun.

6. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiolal memberlakukan Wajib belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

Berbagai macam definisi tersebut, menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada peraktiknya di lapangan akan bayak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut. Sementara itu,


(33)

Child), maka definisi “Anak berati setiap manusia di bawah umur 18 tahun,kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan di

capai lebih awal”. Untuk itu, UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah menjadi UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlidungan Anak memberikan definisi anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU Perlindungan Anak yang dalam hukum dikatagorikan sebagai lek specialist, semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak. Hal tersebut, karena memang sudah seharusnya peraturan perundang-undangan yang ada memiliki satu definisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undang. Untuk itu, UU Perlindungan Anak memang menjadi penentuan kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.3

Pengertian Anak menurut hukum secara umum dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seseorang perempuan dengan seorang laki-laki. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Anak adalah asset bangsa. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, Apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan buruk pula kehidupan bangsa yang akan datang. Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang panjang dalam rentang kehidupan. Bagi kehidupan anak, masa kanak-kanak seringkali dianggap

3Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, h. 41.


(34)

yaitu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa.4

Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dari sisi pandang kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakan anak kedalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: Unsur internal pada diri anak. Subjek Hukum: sebagai manusia anak juga digolongkan sebagai yang terkait dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Ketentuan hukum atau persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the low) dapat memberikan legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat. Hak-hak yang diberikan Negara atau pemerintah yang timbul dari UUD dan peraturan perundang-undangan. Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agam, ekonomi, sosiologis dan hukum.


(35)

Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula padabaik buruknya kondisi anak pada sat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat menjadi pengembang peradapan bangsa ini. Berkaitan dengan perlakuan terhadap anak tersebut, maka penting bagai kita mengetahui hak-hak anak.

Anak tetaplah anak, dengan segala ketidak mandiriaan yang ada mereka sangat membutuhkan perlinsungan dan kasih sayang dari orang dewasa di sekitarnya. Anak mempuyai berbagai hak yang harus diimplementasaikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka. Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2). 5 Sebagaimana telah di sebutkan di atas, juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah menjadi UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Konvensi hak-hak Anak, hak-hak anak secara umum dan dapat dikelompokan dalam 4 (empat) katagori hak-hak anak antara lain6:

A. Hak untuk kelangsungan hidup (The Righ To Survival) yaitu hak untuk melestaraikan dan mempertahankan hidup (The Righ of live) dan hak untuk memperoleh setandar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Hak ini antara lain :

5Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

6Mohammad Joni dan Zulchaina Z Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti,op. cit. h. 35.


(36)

sesuai dengan kepentingan terbaiknya.

3. Kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (absuse).

4. Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh, pendidikan, dan latihan khusus.

5. Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan tanggung jawab utama orang tua, kewajiban Negara untuk memenuhinya. 6. Hak anak atas pendidikan dan kewajiban Negara untuk menjamin agar

pendidikan dasar disejiakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib.

7. Hak anak atas perlindungan dari peyalahgunaan obat-obatan bius dan narkotika.

8. Hak anak atas perlindungan eksplotasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornogrfi.

9. Kewajiban Negara untuk upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak. 7

B. Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tidak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas dua katagori, antara lain:

1. Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapat nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat.

2. Larangan eksploistasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban Negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah pelaku oleh orangtua atau orang tua lain, Perlindungan anak yatim, kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan untuk perkrmbangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup,dan penahanan semena-mene. 8

C. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar untuk kehidupan layak bagi

7Ibid. h. 36

8


(37)

standart of living). Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang ini yaitu : 1. Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information)

2. Hak memperoleh pendidikan (the rights to education) 3. Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation)

4. Hak berpastisipasai dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities)

5. Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to thought and religion)

6. Hak untuk pengembangan keperibadian (the rights to personality development).

7. Hak untuk memproleh ideentitas(the rights to identity)

8. Hak memproleh kesehatan dan fisik (the rights to health and physical development)

9. Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard) 10.Hak untuk/atas keluarga (the rights to family)9

D. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak nak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yanag mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all matters affecting the child). Hak untuk berpastisipasi juga merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagai anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatan di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbanagan peran, antara lain: 1. Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas

pendapatnya.

2. Hak anak untuk mendapatkan dam mengetahui informasi serta untuk berekspresi.

3. Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung. 4. Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung

dari informasi yang tidak sehat. 10

Dalam hukum positif Indonessia, perlindungan hukum perhadap hak-hak anak dapat di temui di berbagai peraturan perundang-undangan seperti yang

9

Ibid. h. 38 10


(38)

35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam Pasal 4 – Pasal 18. Secara rincian dapat dilihat pada yang berikut ini:

1. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dan berpasti sepasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai indentitas diri dan setatus kewarganegaraan.

3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya,dalam bimbingan orang tua.

4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,di besarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

5. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang tua lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. 7. Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran

dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakat.

8. Khususnya bagai anak menyadang cacat, juga berhak mendapatkan pendidikan luar biasa sedangkan anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberi informasi sesusi dengan kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sendiri dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

10.Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktuluang bergaul dengan anak yang sebab, bermain, berekereasi, dan berekereasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

11.Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperolah rehabilitas, bantuan sosial, dan pemelihara taraf kesejahteraan sosial.

12.Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,atau pihak lain mana puan yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dariperlakuan diskriminsi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksul; penelantaran ; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya.

13.Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri ke cuali ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan


(39)

14.Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan polotik pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan.

15.Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sesuai penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukum yang tidak manusiawi.

16.Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

17.Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya di lakukan sebagai upaya terakhir.

18.Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak; mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatanny dipisahkan dari orang dewasa; memproleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

2.3Pengertian Kekerasan

Kekerasan merupakan tindakan agresif dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaandan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain,hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan. Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, sungguh sangat mengganggu ketentraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya


(40)

rugi oleh karena kekerasan tersebut. Kita akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat baik dilihat dari kacamata nasional maupun internasional.

Tindakan kekerasan terhadap anak tidaklah asing lagai untuk kita dengar, banyak kita lihat dalam media masa maupu televisi tindakan kekerasan ini sangat meningkat kuhususnya kekerasan taerhadap anak-anak, dimana anak sebagai mahluk yang masih lemah, sebagai generasi penerus bangsa hendaknnya mendapatkan perlindung hukum secara kuhusus. Dilihat dari kamus besar bahasa

Indonesia “kekerasan diartikan dengan yang bersifat, keras perbuatan seseorang yang menyebabkan atau matinya orang lain sehingga meyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau paksaan.11 Menurut penjelasan ini, kekerasan merupakan wujud perilaku yang tidak menyenangkan terhadap orang lain atau anak, atau perbuatan lebih bersifat fisik yang mengakibatkan orang lain luka-luka, cacat, atau penderitaan berkepanjanggan pada orang lain. Yaitu salah satu unsur yang perlu di perhatikan adalah perbuatan paksa atau ketidak relaan adanya persetujuan pihak lain yang di lukai12 (istilah) kekerasan memiliki ciri-ciri tertentu antara lain:

1. Dikehendaki atau diniati oleh pelaku. 2. Dapat berupa fisik maupun non fisik

3. Ada akibat atau kemungkinan akibat yang merugikan para korban atau yang tidak di kehendaki oleh korban.

4. Dapat dilakukan dengan cara aktif maupun pasif (Tidak berbuat)13

11

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa, h. 425. 12

Abdul Wahid, Muhammad Irfan, 2010, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan seksual, Refika Aditama, ha. 30

13

Tapi Omas Ihromi etal, 2000,Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, h. 267


(41)

dengan tujuan tertentu sengingga dapat merugikan korban psikis maupun fisik. Sedangkan dalam KUHP Pasal 89, yang berbunyi : “Yang dimaksud dengan kekerasan, yaitu membuat orang lain pinsan atau tidak berdaya lagi. Di lihat dari perngertian tersebut kekerasan di atas dimaksudkan dengan membuat orang lain menjadi pinsan atau tidak berdaya. pinsan berati hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya. Sedangkan tidak berdaya berate tidak mempunyai kekuatan atau tidak mempunyai kekuatan sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, meskipun dia tidak berdaya tetapi orang tersebut masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya tersebut.14

Masalah kekerasan terhadap anak-anak, sebgai berikut yaitu: Sebagai pelaku pisik, mental atau seksual. Kekerasan ini umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan anak yang mana itu diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesejahteraan anak. 15

Contoh jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak tersebut seperti penyerangan atau pemukulan secara fisik berkali-kali sampik terjadi luka-luka atau bentakan yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa dan mental seorang anak. Dalam UU No. 23 tahun 2002 sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pengertian tentang kekerasan tidak disebutkan dengan jelas, hanya dikemukaan secara contohnya saja. Mengenai perlakuan

14

R Sugandi, 1980, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya,h. 107. 15

Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi, 2002, Krisis dan Child Abuse,Kajian Sosiologis Tentang Kasus Pelanggaran Hak Anak dan Anak-anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus(Cildren in Need Special Protection), Airlangga University Press,Surabaya,h. 115.


(42)

yang menyetakan” perlakuan kekerasan dan penganiayaan misalnya perbuatan melukai atau mencederai anak yang tidak semata-mata fisik tetapi juga mentaldan sosial. DidalamBAbIII Pasal5 dan pengertiannya dijelaskan pada Pasal 6,7 dan 8 yang menyebutkan bahwa : setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap orang dalam lingkungan rumah tangga, dengan cara :

a. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat terhadap seseorang

b. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkn rasa sakit,jatuh sakit,atau luka berat

c. Kekerasan seksual yang meliputi :

- Pemaksa hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan kormesial dan atau tujuan tertentu

Jadi bahwa pengertian dari tindakan kekerasan terhadap anak tersebut dan dapat dilihat dari kekerasan tidak haya menyebaban terjadinya luka-luka maupun fisik saja tetapi dapat terjadinya luka secara psikologis yang sangat sulit dan akan terlihat ketika sudah terjadi tekenan terhadap anak tersebut sehingga berdampak pada kehidupan si anak tersebut. Sangatlah penting kita mengetahui pengertian tentang seorang anak. Pengertian anak sangat beragam sehingga terdapat kreteria


(43)

mengatur secara tersendiri mengenai keteria tentang anak.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yanag kemudian diadopsi dalam UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindunga Anak, ada empat macam perinsip-prinsip umum tentang perlindungan anak yang menjadi dasar setiap Negara dalam meyeleng garakan perlindungan anak, antara lain ;

1. Prinsip Nondiskeriminasi

Artinya semua hak ysng diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun, Prinsip ini ada

dalam Pasal 2 KHA ayat (1), yang berbuyi : “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditepatkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berbeda di wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit,jenis kelamin, bahasa,agama, panadagan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kehilangan atau status lainnya baik dari sianak sendiri atau dari orang tua wilanyah yang sah. Ayat (2): “Negara-Negara pihak akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang di kemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarganya.16

2. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interests of The Child)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) KHA : “Dalam semua

tindakan yang menyangkut anak dilakukan lembaga-leambaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus mejadi

pertimbangan utama ”.

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggaran perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkutan masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut ukuran orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

3. Prinsip Hak Hidup,Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (The Right to life, Suvival and Development)

16

M. Nasir Djamil, Anak bukanlah Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak(UU-SPPA), Jakarta Timur, 2013,h. 29


(44)

kehidupan. Ayat (2):” Negara-negara pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak.

Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa Negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari Negara atau per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berate Negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan kebutuhan dasar. Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan dengan hak-hak anak.

4. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of the child)

Prinsip ini ada dalam Pasal 12 ayat (1) KHA : “Negara-negara pihak akan menjamin anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.

Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kpribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya pribadi yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi obsessi, dan apirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa. Dapat ditarik suatu simpulan pengertian bahwa perspetif Perlindungan anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak sebagai yang pertama dan utama. Impelementasi cara pandang demikian adalah ketika kita selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang utama.17

2.4Pengertian Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Yang dimaksud perlindugan terhadap anak, iyalah tempat berlindung atau melindungi jika dikaitkan dengan hukum, maka perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah kepada warga negaranya dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, perannya didalam penyelenggaraannya berjalan proses hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau Negara dengan kata lain suatu perbuatan dalam rangka perlindungan bagi setiap orang yang dimama peraturan undang-undang yang berlaku diwilayahnya. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6

17


(45)

Perlindungan adalah :

Segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dalam hal ini, Undang-undang bahwa suatu perlindungan telah di berikan kepada setiap orang baik anak-anak maupun orang dewasa. Yang menjadi saksi atau korban dalam tidak pidana.

Setiap perlindungan hukum yang di berikan kepada warganegara tanpa terkecuali sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku. sehingga dalam peroses pemberian perlindungan hukum, Negara atau pemerintah tidak membeda-bedakan antara warganegara yang satu dengan warganegara lainnya. Jadi setiap perlindungan yang di berikan kepada pemerintah atau Negara kepada warganegaranya adalah Anak sebagai generasi muda meneruskan cita-cita bangsa dimasa datang dan sebagai sumber harapan bagai generasi terdahulu, untuk dapat kesempatan seluas-luasnya. Perlindungan hukum terhadap anak usaha atau kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan yang menyadarai bertul pentingnya anak bagi bangsa dan negar dikemudian hari18.

Dilihat dari Perlidungan hukum terhadap anak adalah segala usaha yang dilakunan untuk mencapai agar setiap anak mendapatkan hak dan kewajibannya di hadapan hukum demi pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan adanya keadilan dalam suatu masyarakat dengan suatu perlindungan hukum terhadap anak diusahakan dalam berbagai kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setiap perlindungan

18

Maidin Gulton, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Pengadilan Anak Di Indonesia,Cet I, PT Refika Aditama, Bandung, ha. 33


(46)

maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum terhadap anak sangat bermanfaat bagi anak dan orang tuanyan, maka dalam kerjasama perlindungan hukum terhadap anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidak keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Abdul Hakim Garuda Nusantara

Mengatakan “Masalah perlindungan hukum bagai anak-anak merupakan suatu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatkan lebih luas, yaitu : sosial, budaya dan ekonomi.19

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 sudah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlinduungan anak menyebutkan

perlindungan hukum terhadap anak adalah “Segala kegiatan untuk menjamin serta melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,kembang dan berpastisipasi secara optimal sesuai dengn hak-hak dan martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan tersebut dipertegas dengan pendapat Arief Gosita:

Perlindungn anak merupakan upaya-upaya yang mendukung terlaksananya hak dan kewajiban seorang anak yang memproleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif berarti mendapatkan perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan usaha-usaha perlindungan anak dapat merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan orang tua yang sewenang-wenang.20

Perlindungan sangat diperlukan anak sebagai suatu peroses anak yang menjadi korban kejahatan atau pun yang melakukan tindak pidana. Pada dasarnya

19

Ibid,h. 34 20


(47)

kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara tidak langsung telah terganggu jiwa, fisik maupun mentalnya akibat sebagai sasaran kejahatan tersebut.

Mengenai perlindungan anak sebagai korban kekerasan orang tua kandungnya sen diri ada tiga perlindungan yaitu :

a) Petugas sosial (peksah) adalah bidang keahlian yang memiliki kewenagan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi, agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan b) P2TP2A adalah pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi

perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Bandung yang meliputi Pelayanan Informasi, Konsultasi Psikologis dan Hukum, serta Pendampingan sebagai salah satu bentuk wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, hokum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan terhadap perempuan dan anak.

a) Peran P2TP2A :

1. Sebagai pusat pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan 2. Sebagai pusat data dan informasi tentang kekerasan terhadap

perempuan dan anak

3. Sebagai pusat koordinasi lintas sector terkait pemberian layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan


(48)

saling relevan untuk terlaksananya dan di lindunginya hak-hak anak dalam proses peradilan anak. Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman.

2.5Pengertian Pertanggunganjawaban Pidana

Masalah pertanggungjawaban, khususnya pertanggungjawaban pidana, maka sangat penting kita mengetahui tentang adanya suatu kesalahan atau tidak pada si pelaku. Seseorang tidak dapat dikatakan salah atau tidak, menurut hukum tergantung dari tiga faktor atau yang disebut juga sebagai unsur-unsur dari keslahan, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab si pelaku

b. hubungan bathin si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan, yang berupa (kesengajaan) dan (kelalaian)

c. tidak adanya alasan pemaaf

Jika salah satu dari ketiga faktor diatas atau unsur tersebut tidak ada, pelaku tidak dapat dipidana, karena tidak ada kesalahan. Kesalahan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum seharunya dapat dihindari dan dicela.21 Tiada pidana tanpa adanya suatu kesalahan dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa ada kesalahan subyektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Kesalahan merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, juga merupakan hal yang sangat penting dan rumit didalam mempelajari hukum pidana.

21

D. Schaffameister, N. Keijzer, E. Ph. Sutorius, Hukum Pidana, Liberty, Yokgyakarta, 2004, h. 82


(49)

tidaknya dan macam kesalahan yang akan menuntun pada umumnya dapat untuk tidaknya pelaku dipidana. Dalam pengertian maupun kesalahan hal ini erat

kaitannya dengan asas yang berbunyi” tiada pidana tanpa kesalahan”. Menurut pendapat dari Van Hamel yang mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psycologis, berhubungan dengan keadaan jiwa si pembuat dan perwujudan dari unsur-unsur delik sehingga perbuatannya dapat dibilang suatu kesalahan adalah suatu pertanggungjawaban dalam hukum. Sedangkan menurut Mr. R. Sitorus mengatakan bahwa kesalahan adalah dasar yang mensahkan pidana. Maka untuk dapat dipidana kejahatan harus ada kesengajaan atau sekurang-kurangnya kealpaan mutlak yang disyaratan. Jadi kesengajaan atau kealpaan merupakan suatu keseharusan untuk menyimpulkan adanya kesalahan.

Dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita simpulkan dan dapat dikemukakan unsur-unsur dari kesalahan yaitu:

a. Unsur pertama dari kesalahan adalah kemampuan bertanggugjawab. Menurut hukum pidana barat seseorang yang dapat dipertanngungjawabkan melakukan perbuatan salah adalah orang yang berfikiran waras, sehingga terdapat orang gila yang melakukan perbuatan salah tidak dapat dihukum.22 Kemampuan bertanggungjawab dimiliki oleh orrang yang jiwanya normal dan sehat, didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwanya, bukan keadaan dan kemampuan berfikir. Karenanya yang mampu bertanggungjawab adalah orang dapat dipertanggung jawb secara hukum pidana atas perbutannya. Namun

22


(50)

bertagungjawab pidana.

Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sedangkan menurut D. Simons bahwa mengenai ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggungjawab pada umumnya adalah cirri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, yang mempunyai pandangan normal, yang dapat diterima secara moral pandangan-pandangan yang dihadapi yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula.23

Pendapat para sarjana umumnya bahwa yang tidak umum bertanggung jawab adalah mereka yang :

1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya 2. Jiwanya dalam keadaan tidak sadar 3. Jiwanya terganggu oleh penyakit

Keadaan-keadaan seperti ini adalah yang menyebabkan tidak adanya atau dihapuskan kesalahan dari pelaku, yang merupakan kesimpulan dari Pasal 44 KUHP.

b. Unsur kedua dari kesalahan terdiri dari kesengajaan atau kelalaian.

Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau diharuskan oleh Undang-undang. Dalam kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan kelalaian. Meutur penjelasan yang dimasudkan dengan kesengajaan adalah menghendaki terjadinya suatu

23

D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (titiel asli: Leerbokek van Het Nederlandse Strafrecht), Diterjemahkan oleh P. A. F Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, 1992, h. 203


(51)

kesengajaan yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud yang artinya maksud untuk menimbulkan akibat tertentu.

b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan yang berati akibat yang (secara primer) tindak dikehendaki pasti terjadi.

c. Kesengajaan dengan menghindari kemungkinan yang artinya akibat yang (secara primer) tidak dikehendaki hanpir pasti terjadi (sadar kemungkinaan besar) atau dipandang sebagai kemungkinan yang tidak dapat diabaikan (sadar kemungkinan) tetapi dapat diterima.24

Sedangkan dalam kelalaian atau kealpaan dalam sudut kesadaran dikenal dalam bentuk-bentuk yaitu :

a. Kelalaian yang tidak disadari dalam artinya orang yang tidak berfikir mekipun dia seharusnya berfikir.

b. Kelalaian yang disadari yang diartikan akibat yang tidak dikehendaki dianggap semberono tidak akan terjadi.

Perbedaan antara kelalaian atau kealpaan yang disadari dan tidak disadari adalah penting sebagai sarana bantu untuk menentukan sifat perbuatannya yang dikualifikasikan sebagai alpa. Perbedaan ini penting untuk merumuskan perbuatan dalam dakwaan

c. Unsur ketiga yaitu alasan pemaaf

Alasan pemaaf artinya alasan untuk menghapus kesalahan. Menyangkut pribadi pembuat dalam artian orang ini tidak dapat dicela. (menurut hukum), dengan dengan kata lain diatidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung jawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.

24


(52)

(1)

anak korban atau sebagai pelaku tindak pidana adalah orang baik secara individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara tidak langsung telah terganggu jiwa, fisik maupun mentalnya akibat sebagai sasaran kejahatan tersebut.

Mengenai perlindungan anak sebagai korban kekerasan orang tua kandungnya sen diri ada tiga perlindungan yaitu :

a) Petugas sosial (peksah) adalah bidang keahlian yang memiliki kewenagan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi, agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan b) P2TP2A adalah pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi

perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Bandung yang meliputi Pelayanan Informasi, Konsultasi Psikologis dan Hukum, serta Pendampingan sebagai salah satu bentuk wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, hokum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan terhadap perempuan dan anak.

a) Peran P2TP2A :

1. Sebagai pusat pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan 2. Sebagai pusat data dan informasi tentang kekerasan terhadap

perempuan dan anak

3. Sebagai pusat koordinasi lintas sector terkait pemberian layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan


(2)

b) Pembimbing kemasyarakatan (bapas) adalah merupakan satu sistem yang saling relevan untuk terlaksananya dan di lindunginya hak-hak anak dalam proses peradilan anak. Nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebelumnya adalah Balai Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman.

2.5Pengertian Pertanggunganjawaban Pidana

Masalah pertanggungjawaban, khususnya pertanggungjawaban pidana, maka sangat penting kita mengetahui tentang adanya suatu kesalahan atau tidak pada si pelaku. Seseorang tidak dapat dikatakan salah atau tidak, menurut hukum tergantung dari tiga faktor atau yang disebut juga sebagai unsur-unsur dari keslahan, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab si pelaku

b. hubungan bathin si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan, yang berupa (kesengajaan) dan (kelalaian)

c. tidak adanya alasan pemaaf

Jika salah satu dari ketiga faktor diatas atau unsur tersebut tidak ada, pelaku tidak dapat dipidana, karena tidak ada kesalahan. Kesalahan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum seharunya dapat dihindari dan dicela.21 Tiada pidana tanpa adanya suatu kesalahan dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa ada kesalahan subyektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Kesalahan merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, juga merupakan hal yang sangat penting dan rumit didalam mempelajari hukum pidana.

21

D. Schaffameister, N. Keijzer, E. Ph. Sutorius, Hukum Pidana, Liberty, Yokgyakarta, 2004, h. 82


(3)

Pengertian kesalahan sangat penting, karena dalam penentuan ada atau tidaknya dan macam kesalahan yang akan menuntun pada umumnya dapat untuk tidaknya pelaku dipidana. Dalam pengertian maupun kesalahan hal ini erat kaitannya dengan asas yang berbunyi” tiada pidana tanpa kesalahan”. Menurut pendapat dari Van Hamel yang mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psycologis, berhubungan dengan keadaan jiwa si pembuat dan perwujudan dari unsur-unsur delik sehingga perbuatannya dapat dibilang suatu kesalahan adalah suatu pertanggungjawaban dalam hukum. Sedangkan menurut Mr. R. Sitorus mengatakan bahwa kesalahan adalah dasar yang mensahkan pidana. Maka untuk dapat dipidana kejahatan harus ada kesengajaan atau sekurang-kurangnya kealpaan mutlak yang disyaratan. Jadi kesengajaan atau kealpaan merupakan suatu keseharusan untuk menyimpulkan adanya kesalahan.

Dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat kita simpulkan dan dapat dikemukakan unsur-unsur dari kesalahan yaitu:

a. Unsur pertama dari kesalahan adalah kemampuan bertanggugjawab. Menurut hukum pidana barat seseorang yang dapat dipertanngungjawabkan melakukan perbuatan salah adalah orang yang berfikiran waras, sehingga terdapat orang gila yang melakukan perbuatan salah tidak dapat dihukum.22 Kemampuan bertanggungjawab dimiliki oleh orrang yang jiwanya normal dan sehat, didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwanya, bukan keadaan dan kemampuan berfikir. Karenanya yang mampu bertanggungjawab adalah orang dapat dipertanggung jawb secara hukum pidana atas perbutannya. Namun

22


(4)

didalam KUHP tidak adanya rumusan tegas mengenai kemampuan bertagungjawab pidana.

Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggungjawab. Sedangkan menurut D. Simons bahwa mengenai ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggungjawab pada umumnya adalah cirri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, yang mempunyai pandangan normal, yang dapat diterima secara moral pandangan-pandangan yang dihadapi yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula.23

Pendapat para sarjana umumnya bahwa yang tidak umum bertanggung jawab adalah mereka yang :

1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya 2. Jiwanya dalam keadaan tidak sadar 3. Jiwanya terganggu oleh penyakit

Keadaan-keadaan seperti ini adalah yang menyebabkan tidak adanya atau dihapuskan kesalahan dari pelaku, yang merupakan kesimpulan dari Pasal 44 KUHP.

b. Unsur kedua dari kesalahan terdiri dari kesengajaan atau kelalaian.

Kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau diharuskan oleh Undang-undang. Dalam kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan kelalaian. Meutur penjelasan yang dimasudkan dengan kesengajaan adalah menghendaki terjadinya suatu

23

D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (titiel asli: Leerbokek van Het Nederlandse Strafrecht), Diterjemahkan oleh P. A. F Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, 1992, h. 203


(5)

tindakan beserta akibatnya. Untuk itu didalam kesengajaan bentuk-bentuk kesengajaan yaitu :

a. Kesengajaan sebagai maksud yang artinya maksud untuk menimbulkan akibat tertentu.

b. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan yang berati akibat yang (secara primer) tindak dikehendaki pasti terjadi.

c. Kesengajaan dengan menghindari kemungkinan yang artinya akibat yang (secara primer) tidak dikehendaki hanpir pasti terjadi (sadar kemungkinaan besar) atau dipandang sebagai kemungkinan yang tidak dapat diabaikan (sadar kemungkinan) tetapi dapat diterima.24

Sedangkan dalam kelalaian atau kealpaan dalam sudut kesadaran dikenal dalam bentuk-bentuk yaitu :

a. Kelalaian yang tidak disadari dalam artinya orang yang tidak berfikir mekipun dia seharusnya berfikir.

b. Kelalaian yang disadari yang diartikan akibat yang tidak dikehendaki dianggap semberono tidak akan terjadi.

Perbedaan antara kelalaian atau kealpaan yang disadari dan tidak disadari adalah penting sebagai sarana bantu untuk menentukan sifat perbuatannya yang dikualifikasikan sebagai alpa. Perbedaan ini penting untuk merumuskan perbuatan dalam dakwaan

c. Unsur ketiga yaitu alasan pemaaf

Alasan pemaaf artinya alasan untuk menghapus kesalahan. Menyangkut pribadi pembuat dalam artian orang ini tidak dapat dicela. (menurut hukum), dengan dengan kata lain diatidak bersalah atau tidak dapat dipertanggung jawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat sehingga tidak mungkin ada pemidanaan.

24


(6)