Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1)

DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

THE JURIDICIAL REVIEW TOWARDS THE EFFORTS TO

FINANCIAL RETURNS THE STATE UPON CORRUPTION

RELATED TO THE LAW NO 20 YEAR 2001

ABOUT CORRUPTION ERADICATION

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh :

NAMA : ARIE MAULANA IBRAHIM NIM : 3.16.08.016

Dibawah Bimbingan : HETTY HASSANAH, S.H., M.H

4127.33.00.005

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

vi ABSTRAK

ARIE MAULANA IBRAHIM

Berbagai negara menganggap korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan suatu negara, salah satunya Indonesia. Pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat banyak sekali dan sangat sulit sekali diberantas. Proses pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi sangat mempengaruhi proses pembangunan suatu negara, Indonesia juga belum memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi. Permasalahan yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan pengaturan hukum atas pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan hal tersebut maka pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi harus mendapatkan perhatian hukum yang kuat. Permasalahannya adalah bagaimanakah pelaksanaan pengaturan hukum dan/atau upaya pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penelitian ini, dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu memberikan gambaran mengenai fakta-fakta yang ada, baik berupa data sekunder bahan hukum primer seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin, pendapat hukum para ahli, dan hasil karya dari kalangan hukum serta bahan hukum tersier berupa data yang didapat dari artikel dan internet yang berkaitan dengan penelitian. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan analisis terhadap data yang diperoleh disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum secara sepenuhnya mampu mengatasi pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi. Munculnya berbagai kendala seperti tidak ada aturan Undang-Undang yang khusus mengatur tentang pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi, adanya penimbunan kekayaan hasil korupsi di luar batas territorial Indonesia. Pada proses pengembalian keuangan negara atas tindak pidana korupsi sangat tidak mudah, karena perlu dilakukan adanya pendekatan restrorative yaitu tindakan negara dalam mengambil keuangan negara akibat tindak pidana korupsi melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti–bukti yang lebih kuat, bahwa aset tersebut diduga berasal dari pelaku tindak pidana korupsi atau digunakan untuk pelaku tindak pidana korupsi, dan apabila uang hasil korupsi tersebut berada di luar negeri maka perlu adanya kerjasama internasional dalam bantuan timbale balik masalah hukum.


(3)

vii ABSTRACT ARIE MAULANA IBRAHIM

Many countries consider that corruption is very detrimental to the country’s financial and retard development in a country, for example Indonesia. There are a lot of corruption actors in Indonesia and it is hard to be eradicated. Process of state financial return upon corruption influence the process of state development in a country, Indonesia does not have the law yet to rule the state financial return upon corruption. The appeared problem related to the law implementation on state financial return upon corruption. Related to this case, the state financial return should get stronger law attention. The problem is how to implement the law and the efforts of state financial return upon corruption reviewed from the law No 20 year 2001 about the law amendment no 31 year 1999 about corruption eradication.

This study is conducted in analytic descriptive, namely that gives the description about the facts either secondary data of primary law material such as the law no 31 year 1999 about corruption eradication, the law no 20 year 2001 about the law amendment of the law no 31 year 1999 about corruption eradication, secondary of secondary law material in form of doctrine, experts legal opinion or the result from law and tertiary law material in form of data from article and internet related to this study. This study applies juridical normative approach, data is obtained from analyze of qualitative jurisdiction.

According to data analysis, it can be concluded that the law no 31 year 1999 about corruption eradication, the law no 20 year 2001 about the law amendment of the law no 31 year 1999 about corruption eradication has not totally able to overcome the state financial return upon corruption. There are several obstacles such as there is no a clear the law to rule the state financial return upon corruption, the hoarding wealth from corruption beyond the Indonesian territory. In the process of state financial return upon corruption is not easy, because the need of restorative approach namely the state action to take the financial as a result of corruption through court decision in civil case based on stronger evidence, that those assets are assumed from corruption or used for the actor of corruption, and if the financial from corruption is in abroad, it should be an international cooperation in legal feedback.


(4)

i

Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsiini yang berjudul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAYA PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung.

Menyelesaikan skripsi ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Penulis, walaupun Penulis menyadari dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaaan, baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan materi. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan maupun kemampuan yang Penulis miliki. Oleh karena itu Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yth. Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing bagi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini pada Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia.

Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(5)

ii

2. Yth. Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Prof. Dr. Moh. Tadjuddin, M.A, selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H, selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Hetty Hassanah, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Fakultas Hukum dan Dosen Wali Angkatan 2008 Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Febilita Wulan Sari, S.H., selaku, Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Budi Fitriadi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Rika Rosilawati, A.Md, selaku Sekretariat Jurusan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

11. Karyawan di Lingkungan Fakultas Hukum, Universitas Komputer Indonesia;

Terima kasih untuk Ibu dan Ayah tercinta, tersayang, yang selalu mendoakan, mendukung, memberikan semangat dan motivasi baik secara


(6)

iii

keluargaku yang telah memberikan semangat dan doanya kepada Penulis.

Terima kasih untuk Evie Arisandy yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat. Teman-teman Fakultas Hukum Angkatan 2008 yang telah membantu memberikan doanya, teman-teman kosan yang juga telah memberikan doanya untuk Penulis, semoga mendapat berkat yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis berharap agar penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dikarenakan penulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu Penulis memohon saran dan kritik bagi penulisan ini untuk perbaikan di waktu yang akan datang.

Juli, 2012


(7)

iv LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………iv

Abstrak………....vi

Abstract………..vii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Identifikasi Masalah ………. 12

C. Maksud dan Tujuan ………..12

D. Kegunaan Penelitian ………... 13

E. Kerangka Pemikiran ……….…13

F. Metode Penelitian ……….... 24

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN TINDAK PIDANA KORUPSI ………....30

A. Tinjauan Teori Tentang Keuangan Negara………..…….30

B. Aspek Hukum Tentang Tindak Pidana Korupsi………33

C. Teori Pemidanaan Dihubungkan Dengan Pengembalian Aset………42


(8)

v

A. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi Terhadap Tindak

Pidana Korupsi………48

B. Hambatan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ………56

BAB IV ANALISIS MENGENAI PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA ATAU RECOVERY ASSET ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI...65

A. Analisis Hukum Tentang Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi………65

B. Upaya Pengembalian Keuangan Negara Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ………75

BAB V SIMPULAN DAN SARAN………80

A. Simpulan………80

B. Saran ………81

DAFTAR PUSTAKA………...84 LAMPIRAN


(9)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar

atas hukum (rechtstaat), bukan berdasar atas kekuasaan belaka

(machstaat), dan merupakan pemerintahan yang berdasarkan sistem

konstitusi dan bukan absolutism, sebagaimana yang dituang dalam Pasal 1

ayat (3) Bab I Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang

menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Indonesia sebagai Negara hukum menjadikan hukum sebagai

peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berfungsi untuk

melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga tercapainya satu tujuan

yaitu ketertiban, keamanan dan keadilan. Indonesia adalah Negara yang

mempunyai penduduk banyak dan beraneka ragam budaya, dengan adanya

suku yang beraneka ragam maka akan banyak akibat atau permasalahan

hukum yang timbul. Salah satu dari sekian banyak permasalahan yang ada

tentunya yang sudah sangat mengkhawatirkan adalah terjadinya tindak

pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi di Indonesia seperti sudah mendarah daging,

karena tidak pernah habis bahkan tambah subur, semakin ditindak semakin

luas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik


(10)

korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan

menghambat pembangunan Negara, oleh karena itu masalah korupsi adalah

hal yang harus mendapat perhatian serius dalam penanganannya.

Pengertian keuangan negara berdasarkan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang

menyatakan bahwa :

“semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,

serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang

dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut”

Isi dari Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

Tentang Keuangan Negara tersebut, meliputi kekayaan negara yang

dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Sedangkan definisi keuangan

negara menurut penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagai berikut, Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan negara

dalam bentuk apapun, yang dipisahkan, atau yang tidak dipisahkan

termasuk, didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul.

Korupsi bukanlah suatu bentuk kejahatan yang hanya berkembang di

Indonesia. Korupsi merupakan perbuatan anti sosial yang dikenal di

berbagai belahan dunia. Perkembangan tindak pidana korupsi, makin

meningkat baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, oleh karena itu


(11)

merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan

kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes).

Selama ini Indonesia dalam menangani kasus korupsi lebih

cenderung mengutamakan dan fokus pada penghukuman terhadap pelaku

pidana korupsi dari pada pengembalian aset negara. Pemberantasan

korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu pencegahan,

pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).Aset

hasil korupsi merupakan hak negara yang harus dikembalikan kepada

negara dan negara lah yang berhak untuk mengelola aset atau kekayaan

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen

asset recovery) melalui tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak

mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses

yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun

melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana

korupsinya.

Para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia sering sekali

menyembunyikan uang dan/atau harta korupsi mereka ke negara maju

seperti Singapura, Swiss, Australia, Amerika. Kenyataan itu memperlihatkan

bahwa mustahil terjadinya pengembalian aset curian tipikor dengan baik

apabila negara-negara maju tidak berperan aktif dan sungguh-sungguh

membantu pengembalian aset tersebut.

Sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi sekarang,

pemberantasan korupsi sudah berulangkali diupayakan. Saat reformasi


(12)

kondisi kehidupan bangsa, khususnya terhadap penyelesaian kasus-kasus

korupsi. Kenyataannya itu semua hanya angan-angan rakyat, karena hingga

saat ini tindakan pemerintah dan penegak hukum dalam melakukan

pemberantasan korupsi belum terlihat hasilnya secara memuaskan. Pelaku

tindak pidana korupsi perlu diberi hukuman yang berat, karena korupsi

merupakan penyimpangan prilaku (deviant behavior).

Pada tindak pidana korupsi, perbuatan dan tindakan atau aksinyalah

yang dihukum. Bukan akibat suatu perbuatan, dalam hal ini kerugian

keuangan negara. Sehingga dalam skema doktrin ilmu hukum, tindak pidana

korupsi tergolong sebagai tindak pidana (delik) formil, karena didalam Pasal

2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan

bahwa : Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum “frasa” merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara menunjukan bahwa tindak

pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang

dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat (kerugian negara atau

perekonomian negara).

Rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil juga ditegaskan

di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah menjadi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Maksud dari pengertian delik formil adalah delik yang dianggap

telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam


(13)

mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus

telah terjadi.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah menjadi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara atau

perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Hal ini sudah diperkuat

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 003/PUU-IV/2006.

Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam jenis tindak pidana (delik)

formil, dan tindak pidana korupsi sama seperti delik pencurian (Pasal 362

KUHP) dan makar (Pasal 104 KUHP). Unsur-unsur yang terdapat pada

tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang meliputi :

1. Unsur perbuatan melawan hukum

2. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi

3. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian


(14)

Masalah korupsi bersifat sistemik, karena melekat pada semua

sistem sosial, feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Korupsi

mempengaruhi semua kelas masyarakat, semua organisasi negara,

kerajaan atau republik, semua keadaan, perang atau damai, semua

kelompok usia, muda dan tua, semua jenis kelamin, pria dan wanita, segala

waktu, zaman kuno, zaman pertengahan, dan modern1. Pada umumnya

tindak pidana korupsi dilakukan dengan modus operasi yang rapi, tertutup

dan sangat kompleks sehingga sulit diungkap oleh penegak hukum.

Salah satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya

kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak

semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence

effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah

dikorupsi. Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau

tindakan yang tidak bermoral, tidak etis, dan/atau melanggar hukum untuk

kepentingan pribadi dan/atau golongan yang merugikan keuangan negara,

maka untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, disamping

mengoptimalkan hukum pidana, juga harus menggunakan sarana hukum

perdata.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya

memberikan peluang hukum pidana melalui penyitaan harta benda milik

pelaku oleh penyidik dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut agar

1

Piotr Stzompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change) diterjemahkan oleh Alinandan,Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 23


(15)

hakim melakukan perampasan, tetapi juga memberikan peluang melalui

instrumen hukum perdata.

Program asset recovery saat ini terabaikan. Hal itu lebih disebabkan

karena terdapat masalah legal formal, yang mana Undang-Undang Tipikor

membatasi pengembalian kerugian negara hanya sebatas jumlah uang yang

dikorupsi. Dan perampasan asetnya hanya bisa dilakukan melalui prosedur

pidana. Menurut Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW),

modus menyembunyikan hasil korupsi, biasanya melalui keluarga atau

kroninya. RUU Perampasan Aset yang telah dibahas sejak 2008, hingga

saat ini tak jelas kapan akan diberlakukan. Padahal, RUU tersebut

memberikan ruang bagi aparat penegak hukum atau negara untuk

melakukan langkah perdata untuk dapat menyita, merampas, dan

mengambilalih kepemilikan aset yang dicurigai berasal dari tindak

kejahatan2.

Secara teknis-yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi

jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain,

hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum

acara perdata biasa yang, antara lain, menganut asas pembuktian formal.

Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara

negara yang harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim

untuk mendamaikan para pihak, dan sebagainya. Selain itu, seperti

umumnya penanganan kasus perdata, membutuhkan waktu yang sangat

2

JAKARTA (Suara Karya), Artikel, “ICW: Pengembalian Aset Terkendala”,

http://ti.or.id/index.php/news/2011/10/27/icw-pengembalian-aset-terkendala, Diakses Pada tanggal, 10 April 2012, Pukul 18.30 WIB.


(16)

panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

Hambatan-hambatan tersebut harus segera diatasi untuk mengoptimalkan

pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata

khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata

konvensional.

Proses perdata digunakan dalam melakukan pengembalian kerugian

negara dengan menggunakan instrumen civil forfeiture atau hukum acara

perdata khusus yang dianut oleh negara Amerika dan New Zealand untuk

mengembalikan kerugian keuangan negara, sekilas mirip dengan gugatan

perdata yang ada dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Upaya perdata dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi menggunakan aturan perdata biasa dimana proses

persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil

biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti

pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku

tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang

berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda3.

Gugatan Perdata yang ada dalam Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi memberikan beban pembuktian adanya unsur

kerugian negara kepada Jaksa Pengacara Negara. Sebaliknya civil forfeiture

mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang

merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai

hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara

3

Gagasan Hukum, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/27/prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsibagian-x/, Diakses Pada tanggal, 15 Maret 2012, Pukul 20.00 WIB.


(17)

cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai

hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya telah ada Undang-Undang

yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Negara Indonesia sering

sekali dirugikan oleh ulah para tindak pidana korupsi yang menghambat

perekonomian negara, dan merugikan rakyat.

Nama yang akhir-akhir ini mencuat karena namanya disebut oleh

mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji memiliki uang sebesar Rp 25

miliar dalam rekening pribadinya. Hal tersebut sangat mencuri perhatian

karena Gayus Tambunan hanyalah seorang PNS golongan IIIA yang

mempunyai gaji berkisar antara 1,6-1,9 juta rupiah saja. Lelaki yang memiliki

nama lengkap Gayus Halomoan Tambunan ini bekerja di kantor pusat pajak

dengan menjabat bagian Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak.

Posisi yang sangat strategis, sehingga ia dituduh bermain sebagai makelar

kasus (markus). Kasus pun berlanjut karena diduga banyak pejabat tinggi

Polri yang terlibat dalam kasus Gayus. Setelah dilakukan pemeriksaan, dari


(18)

sebesar Rp 24,6 miliar pun hilang entah kemana dan tidak ada pembahasan

lanjut mengenai uang sebesar itu4.

Pada kasus ini, Gayus dijerat 3 pasal sekaligus, yakni Korupsi,

Pengelapan Uang dan Pencucian Uang. Tetapi pada persidangan ia hanya

didakwa kasus Penggelapan Uang saja. Jaksa menilai hanya satu pasal

yang bisa dibuktikan yaitu penggelapan uang. Tuntutan yang diberikan

adalah 1 tahun penjara dengan hukuman percobaan 1 tahun, karena jaksa

tak mampu membuktikan, hakim PN Tangerang memvonis Gayus dengan

hukuman bebas pada 12 Maret 2010. Tetapi, tak lama kemudian, Gayus pun

malah dibebaskan. Modus operandi kejahatan adalah menggunakan

pasal-pasal dakwaan yang dirumuskan sesuai dengan kepentingan JPU yang bisa

membebaskan terdakwanya. Jaksa seolah-olah menghilangkan pasal 4 UU

No 31 tahun 1999 tentang Tipikor. Pasal itu menjelaskan dengan

mengembalikan uang bukan berarti bisa menghilangkan proses hukumnya5.

Seperti yang kita lihat dalam modus yang di jalankan gayus tersebut

di atas, unsur-unsur pidana korupsi telah terpenuhi, yaitu6:

1. Melawan hukum.

Memberikan informasi,menunjukkan celah-celah, atau membantu

memenangkan wajib pajak dalam persidangan tentu saja melanggar

4

Tindak Pidana Korupsi, Artikel, “Permasalahan Dalam Penanganan Korupsi Gayus”, http://www.tindakpidanakorupsi.org, Diakses Pada tanggal, 3 April 2012, Pukul 15.00 WIB.

5

Ibid.,hlm 2

6


(19)

setidaknya Pasal 34 KUP dan kode etik pegawai negeri khususnya

pegawai DirJen pajak.

2. Memperkaya diri sendiri.

3. Merugikan Negara.

Dalam menjalankan aksinya, Gayus telah nyata-nyata merugikan

Negara berupa :

a. Pajak yang di terima lebih kecil dari SKP yang di tetapkan.

b. Negara membayar kembali jika vonisnya menyebutkan pajak

yang telah di bayar berlebih. Dari keduanya jelas Negara

sangat di rugikan.

4. Menyalahgunakan kewenangan.

Gayus menggunakan wewenang, kedudukan, jabatan dan posisinya

sebagai kendaraan untuk melancarkan aksi kejahatannya.

Para penegak hukum harus bertindak cepat dalam membongkar

kasus korupsi, agar kerugian keuangan negara dapat kembali lagi kepada

negara. Oleh karena itu para penegak hukum harus terus tegakkan hukum

walaupun langit runtuh (viat justitia ruat coelum) dengan seadil-adilnya, dan

perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak

mengadakan pembedaan perlakuan di depan hukum (equality before the

law). Penegak hukum juga harus selalu menjunjung tinggi adanya asas

legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) yang


(20)

Hal ini membuktikan bahwa peraturan yang telah ada tersebut belum

cukup memadai dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, halnya dalam

pengembalian kerugian keuangan negara. Undang-undang tersebut dinilai

masih terlalu umum dan kurang aplikatif sehingga saat ini belum bisa

menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan masalah.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk

skripsi dengan mengambil judul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAYA

PENGEMBALIAN KEUANGAN NEGARA ATAS TINDAK PIDANA KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang di angkat oleh penulis dalam hal ini adalah:

1. Bagaimana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam mengatur

mengenai tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimana Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur

tentang upaya dalam pengembalian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dan tujuan dari penulisan tersebut, yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun


(21)

2. Untuk mengetahui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam

mengatur tatacara dan/atau proses pengembalian keuangan negara

akibat tindak pidana korupsi.

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, yaitu antara lain:

1. Kegunaan Teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum pada umumnya

khususnya hukum pidana serta proses hukum dalam mengembalikan

keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah

dan masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil

tindakan hukum yang tepat dalam hal pengembalian serta upaya

pencegahan terjadinya korupsi atas tindak pidana korupsi.

E. Kerangka Pemikiran

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang

menyebutkan bahwa:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,


(22)

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah

tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga

kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Hal tersebut

merupakan landasan perlindungan hukum atas rakyatnya, karena kata

“melindungi” merupakan asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa

Indonesia untuk mencapai keadilan.

Pembukaan alinea keempat, menjelaskan tentang Pancasila yang

terdiri dari lima sila. Pancasila secara substansial merupakan konsep yang

luhur dan murni; luhur, karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang

diwariskan turun menurun dan abstrak. Murni karena kedalamaan substansi

yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis, ekonomi, ketahanan,

sosial dan budaya yang memiliki corak partikular7. Pada alinea keempat

bukan hanya menjelaskan tentang Pancasila tetapi juga terdapat kata-kata

mewujudkan, kata-kata mewujudkan tersebut memakai teori Hans Kelsen

yaitu teori murni tentang hukum. Hans Kelsen adalah tokoh Mazhab

Formalistis yang terkenal dengan Teori Murni tentang Hukum (Pure Theory

of Law)8.

Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila yang

bertujuan untuk menciptakan ketertiban umum dan masyarakat adil dan

makmur secara spiritual dan materil. Menurut John Stuart Mill, keadilan

bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan

7

H. R. Otje S. Soemadiningrat dan Anthon Freddy Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 158.

8

H. R. Otje S. Soemadiningrat, Filsafat Hukum – Perkembangan dan Dinamika Masalah, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 66.


(23)

yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang

mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak

terhadap kerusakan, penderitaan,… Hakikat keadilan, dengan demikian

mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat

manusia9.

Salah satu ciri Negara hukum adalah adanya konstitusi atau

Undang-Undang Dasar. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satupun negara di dunia

yang tidak mempunyai konstitusi. Negara dan konstitusi bagaikan dua sisi

mata uang, merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain10. Undang-undang dasar 1945 merupakan konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Pemikiran tentang Negara hukum pertama kali dikemukakan oleh

Plato dalam tulisannya tentang nomoi Istilah negara hukum tidak terdapat

dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, namun hanya terdapat

dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, yang

menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang

berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka

(machtstaat)11. Istilah negara hukum baru ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ketiga yang secara tegas

menyebutkan, bahwa :

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”.

9

Ibid., hlm 44

10 Dahlan Thaib, Teori Hukum dan Konstitusi, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 1999, hlm. 33.

11

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 35.


(24)

Hal ini menjelaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas

hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machtstaat) dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum

dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Salah satu

konsekuensi dari Negara hukum adalah bahwa tindakan dan kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau yang disebut dengan asas

legalitas12.

Istilah negara hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtstaat,

sedangkan dalam terminologi Inggris disebut rule of law. Istilah rule of law

dalam perkembangan hukum di Indonesia disebut dengan negara hukum

yang diartikan sebagai negara atau pemerintah berdasarkan atas hukum.

Menurut Von Munch bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum

ialah adanya13:

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Keterkaitan semua organ negara pada undang-undang dasar dan

keterkaitan peradilan pada undang-undang dan hukum;

4. Aturan dasar tentang proporsionalitas (verhaltnismassingkeit);

5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan

(penetapan-penetapan) kekuasaan umum;

6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

12Ibid., hlm. 35. 13

Von Munch, dalam Teori Negara Hukum, http://wahy.multiply.com, Diakses Pada Tanggal 28 Maret 2012, Pukul 20.00 WIB.


(25)

7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Peraturan perundang-undangan merupakan hukum yang in abstracto

atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan

tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general)14. Pasal 1

angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa :

“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan

mengikat secara umum”

Setiap Negara memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh

pemerintah Indonesia salah sdatunya adalah memberikan perlindungan bagi

seluruh warga Negara Indonesia. Hal ini terlihat dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan, bahwa :

“… kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum…”

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea keempat tersebut

menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harus berusaha semaksimal

mungkin untuk memajukan kesejahteraan umum.Hal ini sejalan dengan

prinsip welfare state (negara kesejahteraan) yang dianut oleh pemerintah

Indonesia.

14

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 133.


(26)

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan

kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan

pembangunan nasional. Visi pembangunan nasional Indonesia tahun

2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur.

Pembangunan nasional memiliki 8 (delapan) misi, yaitu :

1. Mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral,

beretika, berbudi dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.

4. Mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu.

5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.

6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.

7. Mewujudkan Indonesia menjadi Negara kepulauan yang mandiri,

maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.

8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia

internasional.

Strategi untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dijabarkan secara

bertahap dalam rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional

(RPJMN). Saat ini, Indonesia sudah memasuki RPJMN Tahapan ke-2

(2010-2014). Visi Indonesia 2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera,

demokrasi dan berkeadilan. Perwujudan visi Indonesia 2014 dijabarkan

dalam misi pembangunan 2010-2014 sebagai berikut :


(27)

2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi.

3. Memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang.

Sistem yang demokratis harus disertai dengan tegaknya rule of law,

oleh karena itu agenda penegakan hukum masih merupakan agenda yang

penting dalam periode 2010-2014.Wujud dari penegakan hukum adalah

munculnya kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, karena

Indonesia merupakan negara hukum.

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam

masyarakat. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum.

Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental)

bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai

tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi

segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Tujuan hukum lainnya

selain ketertiban adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan

ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. Salah satu hal yang

diperlukan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat adalah kepastian

dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat, oleh karena itu terdapat

lembaga hukum seperti perkawinan, hak milik dan kontrak/perjanjian yang

harus ditepati oleh para pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian

hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak

mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan

Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat15. Manusia bersifat

dinamis, demikian juga masyarakat, oleh karena itu menurut pendapat

15

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 3.


(28)

Roscoe Pound, hukum harus dapat membantu proses perubahan

masyarakat, law as a tool of social engineering16.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi memberikan pengertian tindak pidana korupsi

sebagai berikut:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atas perekonomian negara”.

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau

kecurangan demi keuntungan pribadi dan golongannya, yang pada akhirnya

dapat merusak kehidupan masyarakat luas. Perbuatan korupsi adalah

perbuatan yang sangat merugikan negara, korupsi juga termasuk ke dalam

tindak pidana, oleh kerena itu pelaku korupsi harus dipidana. Setiap orang

yang melakukan korupsi dikenai sanksi hukuman pidana yaitu berupa

kurungan penjara, denda, maupun pencabutan hak-hak yang dimiliki

tersangka kasus korupsi.

Pidana adalah hukuman yang berupa siksaan yang merupakan

keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum pidana. Sifat dari hukum

pidana tersebut adalah memaksa dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu

perlu untuk menjaga tertibnya, diurutnya peraturan-peraturan hukum atau

16

Roscoe Pound, Dikutip dari Skripsi Evie Arisandy Tahun 2011 tentang “Tinjauan Hukum Mengenai Alih Fungsi Bangunan Bersejarah Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Juncto Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang”, hlm 15


(29)

untuk memaksa si perusak memperbaiki keadaan yang dirusakkannya atau

mengganti kerugian yang disebabkan.

Diberlakukannya Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk menanggulangi dan

memberantas korupsi. Tindak pidana korupsi sangat merugikan sekali, oleh

karena itu penegak hukum harus bisa memberantasnya. Dalam

pemberantasannya penegak hukum harus menyita semua aset dari para

pelaku tindak pidana korupsi.

Masalah penyitaan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 49

KUHAP. Pengertian penyitaan diatur dalam pasal 1 butir 16 KUHAP yang

diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau

menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan. Barang yang

disita masuk ke dalam barang bukti.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah :

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi

2. Perbuatan melawan hukum


(30)

4. Menyalah gunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang

ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Pada hakikatnya, pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak

pidana korupsi sangat penting eksistensinya. Dalam perkara korupsi

sebagaimana UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur

mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik melalui

jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur

kepidanaan (criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery)pelaku

tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam

ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.”

Pasal 32 Ayat (2) Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :

“Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak

menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan

negara.”

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor


(31)

“Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”

Pasal 38C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa :

“Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38C ayat (2) maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”

Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 38

ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan

dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah

melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut

umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”

Pasal 38 ayat (6) Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo


(32)

“Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.”

Pasal 38B ayat (2) Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.”

dengan proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan

sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa

Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan

perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan,

penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Justifikasi pengembalian aset hasil tipikor sebagai bentuk

pemidanaan dalam penelitian ini menggunakan gabungan teori keadilan

retributive, teori keadilan resroratif dan utilitarianisme. Penelitian ini tidak

hanya menggunakan satu teori tapi mengacu pada teori gabungan. Dalam

teori gabungan pada penelitian ini terdapat teori keadilan, kata keadilan

terdapat dalam Mazhab Unpad oleh Prof. Mochtar yaitu aliran positivisme

(Teori Austin).

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis, yaitu memberikan


(33)

berupa data sekunder bahan hukum primer seperti, Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, data sekunder bahan sekunder berupa pendapat para

ahli, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum serta bahan

hukum tersier berupa data yang didapat dari majalah dan internet yang

berkaitan dengan penelitian.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah secara yuridis normatif,

yaitu suatu metode dalam hal ini hukum dikonsepsikan sebagai norma,

kaidah, asas atau dogma-dogma (yang seharusnya)17. Penafsiran

hukum yang dilakukan yaitu dengan melakukan penafsiran gramatikal

yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat

yang digunakan pembuat undang-undang dalam peraturan

perundang-undangan tertentu. Penulis juga melakukan penafsiran sosiologis yaitu

penafsiran yang dilakukan dalam menghadapi kenyataan bahwa

kehendak pembuat undang-undang ternyata tidak sesuai lagi dengan

tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada peraturan undang-undang

itu dewasa ini.

17 H. R. Otje S. Soemadiningrat, Penyusunan Penulisan Hukum Pada

Fakultas Hukum UNIKOM, Makalah pada acara Up Grading Fakultas Hukum UNIKOM, Bandung, 12 Februari 2010, hlm. 2.


(34)

3. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Langkah ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer

berupa bahan hukum yang mengikat yaitu peraturan

perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, bahan hukum sekunder yang meliputi referensi hukum

dan non hukum berupa hasil penelitian, karya tulis dan

bahan-bahan hukum tersier berupa berbagai artikel dari mass media,

ensiklopedia, kamus dan lain-lain.

b. Data Lapangan

Data lapangan dimaksud untuk mendukung data

kepustakaan.Penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan

wawancara dengan berbagai pihak yang berkompeten berkaitan

dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan cara studi

dokumen, yaitu :

a. Studi Dokumen

Pengumpulan data melalui studi dokumen digunakan untuk


(35)

dari penelitian normatif/kepustakaan yang berdasarkan data

sekunder.

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari.

a) Norma/kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 Alinea keempat.

b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer dan memberikan penjelasan mengenai hukum

primer, misalnya :

a) Buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan pelaksanaan

hukum atas tatacara pengembalian keuangan negara atas

tindak pidana korupsi dihubungkan dengan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

b) Hasil penelitian yang berkaitan dengan upaya hukum atas

tatacara pengembalian keuangan negara atas tindak

pidana korupsi dihubungkan dengan Undang-undang


(36)

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

3) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya :

a) Kamus hukum.

b) Ensiklopedia.

c) Majalah, surat kabar, jurnal, website

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis yuridis

kualitatif, yaitu metode penelitian yang bertitik tolak dari norma-norma,

asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma

hukum positif yang kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, untuk

mencapai kepastian hukum, dan memperhatikan hirarki peraturan

perundang-undangan serta menggali hukum yang tidak tertulis.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian untuk memperoleh data dalam penulisan ini adalah :

a. Perpustakaan:

1) Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipatiukur No. 112

Bandung;

2) Universitas Padjajaran, Jalan Dipatiukur Bandung;

b. Situs Internet:


(37)

2) http://gagasanhukum.wordpress.com

3) http://www.tindakpidanakorupsi.org


(38)

84

Buku-Buku

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan

Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Dahlan Thaib, Teori Hukum dan Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1999

Darman Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Adiya Bakti,

Bandung, 2002.

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor,

2004

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2004.

Evie Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

H. R. Otje S. Soemadiningrat dan Anthon Freddy Susanto, Teori Hukum

Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2010.

___________________________, Filsafat Hukum – Perkembangan dan

Dinamika Masalah, Refika Aditama, Bandung, 2010.

___________________________, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas

Hukum UNIKOM, Makalah pada acara Up Grading Fakultas Hukum

UNIKOM, Bandung, 2010

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan

Pencegahan¸Cetakan ke-2, Djambatan ,Jakarta 2004.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,

Bandung, 2002

Piotr Stzompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change)


(39)

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Simons dalam Purwaning M. Yanur, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT.

Alumni, Bandung, 2007.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1986.

Taufiqurrahman Ruki, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem

Peradilan Indonesia, Majalah Hukum Nasional No. 2, BPHN, Dep. Hukum dan HAM RI Tahun 2005.

Tim Redaksi KBBI Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Jakarta, 2010.

W. Tangun Susilo dan IB Surya Dharma Jaya, Koordinasi Penegakan Hukum

dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, BPHN, Bali, 2006.

PeraturanPerundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(40)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang RI Nomor. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

Situs-Situs http://ti.or.id;

http://gagasanhukum.wordpress.com; http://www.tindakpidanakorupsi.org; http://wahy.multiply.com;

http://ariperdana.blogspot.com;

http://penulispadangpanjang.blogspot.com; http://www.wikipedia.com;

www.kpk.go.id;

http://pemberantasankorupsi.wordpress.com; http://www.interpol.go.id;

http://id.shvoong.com;

www. Komisi Hukum.go id

Sumber lain

Roscoe Pound, Dikutip dari Skripsi Evie Arisandy Tahun 2011 tentang “Tinjauan

Hukum Mengenai Alih Fungsi Bangunan Bersejarah Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Juncto Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang”, hlm 15.

Dikutip dari Handout Hukum Penologi tentang Teori Pemidanaan, Tanggal 27


(41)

Nama : Arie Maulana Ibrahim

Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 7 Desember 1990

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jalan Rawamangun no.33 Rt/rw 011/01Jakarta Pusat Email : ariemaulana07@gmail.com,reggae.rasta@yahoo.com

Twitter : @ariebaim

HP : (022) 93945190

Pendidikan Formal :

1. SD ( Sekolah Dasar ) Negeri 09 Pagi Jakarta Pusat Lulus Tahun 2002

2. SLTP ( Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ) Negeri 2 Jakarta Pusat Lulus Tahun 2005.

3. SMA ( Sekolah Menengah Atas ) Negeri 27 Jakarta Pusat Lulus Tahun 2008. 4. UNIKOM (Universitas Komputer Indonesia) Bandung, Program Ilmu Hukum,

Jurusan Hukum Pidana Tahun Masuk 2008, Tahun Lulus 2012.

Organisasi :

1. Ketua anggota Pramuka SD Negeri 09 Pagi Jakarta Pusat. 2. Anggota Pencak Silat SMP Negeri 2 Jakarta Pusat.


(42)

5. Anggota Sepak Bola SMA Negeri 27 Jakarta Pusat.

6. HIMA (Himpunan Kemahasiswaan) Fakultas Hukum UNIKOM Divisi Kepala Minat dan Bakat 2008 – 2009

Pengalaman Kerja :

1. Kerja Praktek di Kantor Hukum Galih Pamungkas, di PT. Mentari Lintas Gemilang sebagai Legal & HRD, Jakarta Tahun 2011.


(1)

29

2) http://gagasanhukum.wordpress.com 3) http://www.tindakpidanakorupsi.org 4) http://wahy.multiply.com


(2)

84

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008.

Dahlan Thaib, Teori Hukum dan Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

Darman Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Adiya Bakti, Bandung, 2002.

Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004

Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2004. Evie Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. H. R. Otje S. Soemadiningrat dan Anthon Freddy Susanto, Teori Hukum

Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2010.

___________________________, Filsafat Hukum – Perkembangan dan Dinamika Masalah, Refika Aditama, Bandung, 2010.

___________________________, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas Hukum UNIKOM, Makalah pada acara Up Grading Fakultas Hukum UNIKOM, Bandung, 2010

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan¸Cetakan ke-2, Djambatan ,Jakarta 2004.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002

Piotr Stzompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change) diterjemahkan oleh Alinandan,Prenada Media, Jakarta, 2004.


(3)

85

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Simons dalam Purwaning M. Yanur, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2007.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1986.

Taufiqurrahman Ruki, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Indonesia, Majalah Hukum Nasional No. 2, BPHN, Dep. Hukum dan HAM RI Tahun 2005.

Tim Redaksi KBBI Edisi Ketiga, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Jakarta, 2010.

W. Tangun Susilo dan IB Surya Dharma Jaya, Koordinasi Penegakan Hukum dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, BPHN, Bali, 2006.

PeraturanPerundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(4)

86

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang RI Nomor. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

Situs-Situs http://ti.or.id;

http://gagasanhukum.wordpress.com; http://www.tindakpidanakorupsi.org; http://wahy.multiply.com;

http://ariperdana.blogspot.com;

http://penulispadangpanjang.blogspot.com; http://www.wikipedia.com;

www.kpk.go.id;

http://pemberantasankorupsi.wordpress.com; http://www.interpol.go.id;

http://id.shvoong.com;

www. Komisi Hukum.go id

Sumber lain

Roscoe Pound, Dikutip dari Skripsi Evie Arisandy Tahun 2011 tentang “Tinjauan Hukum Mengenai Alih Fungsi Bangunan Bersejarah Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Juncto Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang”, hlm 15.

Dikutip dari Handout Hukum Penologi tentang Teori Pemidanaan, Tanggal 27 April 2012, hlm 13-15.


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Arie Maulana Ibrahim

Tempat, Tgl Lahir : Jakarta, 7 Desember 1990

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jalan Rawamangun no.33 Rt/rw 011/01Jakarta Pusat Email : ariemaulana07@gmail.com,reggae.rasta@yahoo.com

Twitter : @ariebaim

HP : (022) 93945190

Pendidikan Formal :

1. SD ( Sekolah Dasar ) Negeri 09 Pagi Jakarta Pusat Lulus Tahun 2002

2. SLTP ( Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ) Negeri 2 Jakarta Pusat Lulus Tahun 2005.

3. SMA ( Sekolah Menengah Atas ) Negeri 27 Jakarta Pusat Lulus Tahun 2008. 4. UNIKOM (Universitas Komputer Indonesia) Bandung, Program Ilmu Hukum,

Jurusan Hukum Pidana Tahun Masuk 2008, Tahun Lulus 2012.

Organisasi :

1. Ketua anggota Pramuka SD Negeri 09 Pagi Jakarta Pusat. 2. Anggota Pencak Silat SMP Negeri 2 Jakarta Pusat.


(6)

3. Anggota Volli SMP Negeri 2 Jakarta Pusat. 4. Anggota Osis SMP Negeri 2 Jakarta Pusat.

5. Anggota Sepak Bola SMA Negeri 27 Jakarta Pusat.

6. HIMA (Himpunan Kemahasiswaan) Fakultas Hukum UNIKOM Divisi Kepala Minat dan Bakat 2008 – 2009

Pengalaman Kerja :

1. Kerja Praktek di Kantor Hukum Galih Pamungkas, di PT. Mentari Lintas Gemilang sebagai Legal & HRD, Jakarta Tahun 2011.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

1 77 152

Peranan Kejaksaan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Kota Binjai

2 69 103

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 3 18

GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 4 15

PENEGAKAN...HUKUM....PIDANA…TERHADAP ..TINDAK.. .PIDANA GRATIFIKASI. MENURUT. UNDANG.UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG .UNDANG .NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 5 21

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 15

Putusan Bebas Terhadap UDdalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi - Ubaya Repository

0 0 9