Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

(1)

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANAKORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN

SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

OLEH

ANGGI P. HARAHAP 127005059 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TESIS

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI

BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ANGGI P. HARAHAP 127005059 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PROGRAM KONPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK INFRASTRUKTUR PEDESAAN (STUDI PUTUSAN MA No. 2093 K / PID. SUS / 2011)

NAMA : Anggi P. Harahap

NIM : 127005059

PROGRAM STUDI : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum)

(Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S)

Anggota Anggota

(Dr. Marlina, SH., M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 29 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum Anggota : 1. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S

2. Dr. Marlina, S.H., M.Hum 3. Dr. Hasyim Purba, S.H., M.Hum 4. Dr. M. Eka Putra, S.H., M.Hum


(5)

ABSTRAKSI

Tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari.Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yakni perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?;2. Bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?; Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriftif analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil dari penelitian ini pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi merupakan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Tindak pidana yang dilakukan harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapat unsur melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf dan unsur kesalahan harus dapat terpenuhi dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan adanya asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi pada kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun dimana terhadap perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa mampu bertanggungjawab serta tidak terdapat adanya alasan pemaaf yang dapat meniadakan kesalahan maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi berupa penjatuhan hukuman terhadap pelaku sebagaimana yang tertuang dalam putusan kasasi pada mahkamah agung.


(6)

ABSTRACT

Corruption can take place anywhere, in state institutions, in private institutions, and also in daily life. Combating corruption requires treatment and prevention in an integrated manner with the proper functioning of the legal system of the law and legal institutions in the criminal justice system. The problems discussed in the research were as follows:1. How does the criminal liability against corruption according to law number 31 of 1999 Jo. law number 20 of 2001 on the Eradication of Corruption ?; 2. How is a crime and criminal responsibility for corruption of Simelungun District Court Decision number 709 / PID.B / 2009 / PN. SIM, Medan High Court Decision No. 50 / PID / 2011 / PT-MDN, and the Supreme Court Decision number 2093 K / Pid.Sus / 2011? Types of research conducted in this research is normative juridical and the nature of this research is descriptive analysis. The data collection techniques used in this research is through library research.

Based on the results of this research criminal liability against corruption is the liability of the offenses committed by the offender. Criminal act committed must meet the elements that have been determined by constitution. Someone will be held accountable for these actions when there is an element in the action against the law and there is no excuse and fault elements must be met in terms of combating corruption. This is due to the principle of liability in criminal law that is not tobe punishment if no fault.

Criminal act and criminal liability for acts of corruption in the PKPS BBM-IP activities in Simalungun where to defendant has been proven legally and convincingly, the defendant is able to be responsible and there is no excuse any fault that may negate or justification which can eliminate the unlawful nature of the act, the criminal liability for acts of corruption in the form of sentencing of offenders as set forth in the Supreme Court decision on the appeal.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)”.Tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dengan ketulusan hati kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A (K),selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utarayang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, selaku Ketua Program Studi Magister


(8)

4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan sampai akhirnya Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S, selaku Anggota Komisi Pembimbing I

tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini. 6. Ibu Dr. Marlina, SH., M.Humselaku Anggota Komisi Pembimbing II tesis

yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Hasyim Purba, SH., M.Hum dan Bapak Dr. M. Eka Putra, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

8. Para Guru Besar dan Para Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.

9. Seluruh staff sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan informasinya yang diberikan kepada Penulis dalam proses penyelesaian perkuliahan sampai kepada penyelesaian tesis ini.


(9)

10.Terimakasih penulis ucapkan kepada orangtua, Ayah tercinta Rahmad Derita Harahap dan Ibu tercinta Mainar sertaAbangda Hasian Harahap dan Adinda Hariana Fitri Harahap yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

11.Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Huku m Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana.

Medan, Januari 2015 Penulis

127005059 Anggi P. Harahap


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anggi P. Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Jambi/19 November 1988 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. Bougenvile II No. 26 Telanaipura Jambi

Pendidikan :

SD Neg. 91/IV Kota Jambi Tahun 2000 SMPN 7 Kota Jambi Tahun 2003 SMAN 1 Kota Jambi Tahun 2006

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2011

Strata Dua (S2) Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAKSI ... I ABSTRACT ... II KATA PENGANTAR ... III DAFTAR ISI ... VII BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Kerangka Konsep ... 20

G. Metode Penelitian ... 23

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23

2. Sumber Bahan Hukum ... 24

3. Teknik Pengumpulan Data... 25


(12)

BAB.II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1999 JO.UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana ...27

1. Pengertian Tindak Pidana ... 27

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana ... 33

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana ... 36

C. Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 47

1. Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi …………... 47

2. Pertanggungjawaban Pidana Korupsi BerdasarkanUnsur Memperkaya Diri Sendiri ... 59

3. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi YangMerugikan Keuangan Negara ... 68

BAB.III TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAKPIDANA KORUPSI DARI PUTUSAN PENGADILANNEGERI SIMALUNGUN NO. 709/ PID. B/2009/ PN. SIM, PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NO. 50/PID/2011/PT-MDN DAN PUTUSAN MA NO. 2093 K/PID.SUS/2011 A. Kasus Posisi Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim ... 80

1. Kronologi Perkara ... 80

2. Dakwaan ... 83


(13)

4. Tuntutan ...103

5. Putusan Hakim PN Simalungun ... 104

B. Putusan Tingkat Banding Pada Pengadilan Tinggi Medan danPutusan Tingkat Kasasi Pada Mahkamah Agung ... 105

1. Putusan PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn………..105

2. Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011 ...109

C. Analisis Kasus ... 122

BAB.IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 136

B. Saran ... 137


(14)

ABSTRAKSI

Tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari.Pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yakni perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.Bagaimanakah Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?;2. Bagaimana tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?; Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriftif analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil dari penelitian ini pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi merupakan pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Tindak pidana yang dilakukan harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapat unsur melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf dan unsur kesalahan harus dapat terpenuhi dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan adanya asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi pada kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun dimana terhadap perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa mampu bertanggungjawab serta tidak terdapat adanya alasan pemaaf yang dapat meniadakan kesalahan maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi berupa penjatuhan hukuman terhadap pelaku sebagaimana yang tertuang dalam putusan kasasi pada mahkamah agung.


(15)

ABSTRACT

Corruption can take place anywhere, in state institutions, in private institutions, and also in daily life. Combating corruption requires treatment and prevention in an integrated manner with the proper functioning of the legal system of the law and legal institutions in the criminal justice system. The problems discussed in the research were as follows:1. How does the criminal liability against corruption according to law number 31 of 1999 Jo. law number 20 of 2001 on the Eradication of Corruption ?; 2. How is a crime and criminal responsibility for corruption of Simelungun District Court Decision number 709 / PID.B / 2009 / PN. SIM, Medan High Court Decision No. 50 / PID / 2011 / PT-MDN, and the Supreme Court Decision number 2093 K / Pid.Sus / 2011? Types of research conducted in this research is normative juridical and the nature of this research is descriptive analysis. The data collection techniques used in this research is through library research.

Based on the results of this research criminal liability against corruption is the liability of the offenses committed by the offender. Criminal act committed must meet the elements that have been determined by constitution. Someone will be held accountable for these actions when there is an element in the action against the law and there is no excuse and fault elements must be met in terms of combating corruption. This is due to the principle of liability in criminal law that is not tobe punishment if no fault.

Criminal act and criminal liability for acts of corruption in the PKPS BBM-IP activities in Simalungun where to defendant has been proven legally and convincingly, the defendant is able to be responsible and there is no excuse any fault that may negate or justification which can eliminate the unlawful nature of the act, the criminal liability for acts of corruption in the form of sentencing of offenders as set forth in the Supreme Court decision on the appeal.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan masyarakat dan negara. Perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana yang perlu didekati secara khusus dan diancam dengan pidana yang cukup berat.1

Korupsi secara etimologisberasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris :coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Secara harafiahkorupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian.2

Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku

1

Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1.

2

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.4.


(17)

tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain.3Korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup, tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi.Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan.4

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan dan demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.5

Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.Korupsi juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti

3

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010,hal.1.

4

Ibid.

5


(18)

oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.Setelah perang dunia kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang berkembang.6

Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orangbanyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.Korupsi semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terusmeningkat dari tahun ke tahun.Korpusi semakin terpola dan tersistematis sertaterorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintasbatas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.7

Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lainnya. Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan

6

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010, hal.5.

7

Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1.


(19)

pidana. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.8

Tindak pidana korupsi disamping dapat merusak mental dan moral bangsa, juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara dan akibat paling buruk yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok di bawah pemerintahan rezim Kuo Min Tang setelah perang dunia II. Jatuhnya pemerintahan Republik Tiongkok banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan.9

Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluh lantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional.Korupsi dalam pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial.Pola pemberantasannya harus dilaksanakan secara konprehensif dan bersama-sama oleh lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat dan individu anggota masyarakat.10

8

Elwi Danil, Op.Cit., hal. 70. 9

Ibid., hal. 71. 10

Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006), Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hal. 12.


(20)

Korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain :11

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

2. Korupsi dapat terjadi karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

3. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan penggelapan keuangan.12

4. Penyebab korupsi ialah modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat.

5. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik.Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan pada masalah korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat perkembangannya seiring dengan semakin maju

11

Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 12. 12


(21)

pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong untuk melakukan korupsi yang menimbulkan ketidaksejahteraan.13

Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masih membiarkan adanya praktek-praktek pemerintahan di mana kekuasaan dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat. Perlu penjabaran lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek-praktek pemerintahan yang terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat luas dengan berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan yang maha esa.14

Praktik tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yang ada misalnya perangkat perundang-undangan dan kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system).15

13

Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 24. 14

Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009, hal. 74.

15

Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Korupsi , Puerwakarto, 1999, hal. 29. (bahwa dalam rangka pemberantasan dan penanggulangan korupsi kebijakan yang harus diambil bukanlah kebijakan yang pragmentaris, parsial dan represif saja, tetapi harus diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya korupsi diperlukan pendekatan/strategi yang integral).


(22)

Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dilahirkannya UUPTPK yang membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini mengklasifikasi perbuatan yang dapat dikatakan tindak pidana korupsi.16 Klasifikasi tindak pidana korupsi diartikan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada semua sektor terkait keuangan negara maupun perekonomian negara termasuk didalamnyatindak pidana korupsi pada program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan, sehingga berpeluang besar untuk dijadikan lahan korupsi di Indonesia.17

Kasus tindak pidana korupsi di bidang konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dapat dideskripsikan dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan (fault liability, liability based on fault principle) sampai dengan pemidanaan terhadap pelaku yakni tindak pidana korupsi pada pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dengan modus operandi menyediakan bahan dan peralatan yang dibutuhkan Legiman dalam pembangunan perkerasan jalan Desa dan membuat bon-bon fakur pemakaian bahan material. Adapun deskripsi terjadinya tindak pidana korupsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

16

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988, hal. 22-23.

17


(23)

Sesuai kesepakatan dalam dokumen kontrak (perjanjian kerjasama operasioanal) No.84/PKPS BBM-IP/2005 tanggal 14 September 2005 antara saksi Legiman sebagai ketua organisasi masyarakat setempat Nagori Sidotani (selaku pihak ke-II) yang melakukan kerjasama operasional dengan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita direktur CV Bona Lestari pengusaha pengadaan bahan/peralatan (selaku pihak ke-III). Bonar selaku direktur CV Bona Lestrari melakukan penyediaan bahan dan peralatan yang dibutuhkan oleh saksi Legiman di alokasi pekerjaan seperti : pipa air minum, mesin pompa, batu pecah, batu padas, batu bata, semen, pasir, besi beton, aspal, seng, kayu, mesin gilas, dumptruk, graider, excavator, traktor, buldozer, dan material beserta peralatan lain yang dibutuhkan.

Bersamaan dengan menyerahkan segala dokumen pendukung/bukti pengadaan atau penyediaan bahan/peralatan dari pihak ke-II serta pembayaran harga bahan/peralatan didasarkan kepada berita acara pemeriksaan atau bukti serah terima bahan/peralatan dan pembayarannya bersumber dari Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani dengan jangka waktu pelaksanaan pengadaan bahan/peralatan sejak tanggal 12 September 2005 sampai dengan 12 Desember 2005.

Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) No. 84/PKPS BBM-IP/2005 tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita meminta buku tabungan Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani kepada saksi Legiman sebagai jaminan. Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita mendahulukan penyediaan bahan- bahan, material yang diperlukan serta membayarkan upah pekerja dalam pelaksanaan kegiatan Pembangunan.


(24)

Pembangunan di Nagori Sidotani dengan dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Infrastruktur Pedesaan (PKPS BBM-IP) T.A 2005 dengan cara melibatkan warga masyakarat Nagori Sidotani dengan dikoordinir oleh para Gamot/Kepala Dusun masing-masing Huta di Nagori Sidotani (swakelola).Setelah penandatanganan surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) tersebut terdakwa Bonarlangsung mengantarkan bahan material dimasing-masing huta sesuai dengan peta lokasi kegiatan pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani dengan membuat tanda terima penyerahan bahan material dari CV Bona Lestari dengan para Gamot masing-masing huta.

Bonar selaku direktur CV Bona Lestari mengeluarkan beberapa faktur-faktur dan tanda terima barang tanpa diketahui oleh saksi Legiman dan tercatat dalam buku catatan harian tentang jumlah bahan material yang telah diterima dilokasi kegiatan dalam pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani tersebut. Bonar membuat bon-bon faktur pemakaian bahan material berupa batu padas, pasir dan semen seolah-olah bon-bon faktur tersebut telah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan hal ini bertentangan dengan surat perjanjian rincian-rincian bon-bon faktur tersebut.

Berdasarkan perbuatan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita memperkaya diri sendiri dengan cara mengeluarkan bon-bon faktur yang tidak sesuai dengan keadaan yang terpasang dilapangan mengakibatkan terjadi kerugian Negara sebesar Rp. 106.458.556,46 (seratus enam juta empat ratus lima puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen). Kerugian tersebut sesuai


(25)

dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang dituangkan dalam surat No. R-3280/PW02/5/2007, tanggal 30 Oktober 2007 tentang laporan hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2005.

Kerugian tersebut terjadi karena di dalam kegiatan pembangunan di Nagori Sidotani tersebut ditemukan adanya kekurangan fisik lapangan yang tidak dikerjakan sebesar Rp. 7.148.566,46 (tujuh juta seratus empat puluh delapan ribu lima ratus enam puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen) dan adanya kelebihan pemakaian bahan sebesar Rp. 99.310.000,00 (sembilan puluh sembilan juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah).

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN.SIM terdakwa Bonar terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan subsidair yakni korupsi secara bersama sebagaimana diancam dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan terhadap putusan Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Simalungun tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDNdan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan menyangkut dakwaan primair dinyatakan oleh Majelis Hakim tidak terbukti sebagaimana diancam dengan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UUPTPK Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Alasan


(26)

pertimbangan Majelis Hakim yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau oranga lain atau suatu korporasi tidak terpenuhi, walaupun menurut jaksa penuntut umum unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi sehingga seharusnya dakwaan primair yang terbukti bukan dakwaan subsidair.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011).

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimanatindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID. B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?


(27)

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Untuk mengkaji dan menganalisis tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID. B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca dan orang lain. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan literatur dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.


(28)

Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat pada umumnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang berlaku dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Beberapa penelitian yang mengkaji tentang Pertanggungjawaban Tindak Pidana, diantaranya yaitu :

1. Yushfi Munif Nasution, 2008, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan.

2. Nurhafifah, 2006, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Oleh Pengurus Yayasan Terhadap Penyalahgunaan Dana Kekayaan Yayasan.

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannya juga dapat dipertanggungjawabkan karena dilakukan dengan kejujuran, rasional, dan objektif.


(29)

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoretis.18Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang berguna untuk mencari pemecahan suatu masalah. Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa huku m yang terjadi. Teori huku m dalam sebuah penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.19

1. Teori pertanggungjawaban pidana

Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-baarheid, criminal responsibility, criminal liability.Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukannya.20

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.21

18

M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80. 19

Mukti Fajar Nur Dewanta dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 16.

20

S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal. 245.

21

Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal. 79.


(30)

atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filososf besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa I … use simple word “liability” for the situation where by one may exact legally and other is legally subjected to the exaction. Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.22

Adanya tindak pidana pada dasarnya adalah asas legalitas “nullum delectum sine previa lege poenali” sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah kepada orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhkan, tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu sipelaku juga mempunyai kesalahan.23

Hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan

22

Ibid.

23


(31)

hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.24

Tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut adalah subjek hukum yang dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu. Tindak pidana dalam hal ini dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut.25

Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi perusahaan tersebut secara bersama-sama. Berbagai perumusan tindak pidana dalam KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa) yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas culpabilitas.26

24

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 171. 25

Ibid.

26

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hal 111.


(32)

2. Teori sistem pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.27

Pembuktian dalam hukum pidana merupakan suatu sistem yang berada dalam kelompok hukum pidana formal (hukum acara). Sistem hukum pembuktian ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat-alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu penyelesaian dengan perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 28 Sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan peraturan perundang-undangan (negatief wettelijk overtuiging). Sistem pembuktian ini berlandaskan hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan hakim dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang. 29

27

Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Sofmedia, Medan, 2014, hal. 154.

28

Ibid., hal. 155. 29

Lihat Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 184 KUHAP: Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut :1. Keterangan saksi, 2.Keterangan ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa.


(33)

Keyakinan hakim ini harus didasari dengan minimum 2 alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.30

Hukum pembuktian korupsi khususnya mengenai pembebanan pembuktian ada perbedaan dengan ketentuan pada KUHAP, yakni dalam hal-hal tertentu dan tindak pidana tertentu terdapat penyimpangan, beban pembuktian tidak mutlak pada jaksa penuntut umum tetapi ada pada terdakwa atau kedua belah pihak yakni jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan (sistem pembuktian semi terbalik). Jaksa membuktikan terdakwa bersalah, artinya secara positif sedangkan terdakwa atau penasihat hukum membuktikan tidak bersalah, atau secara negatif.Membuktikan tindak pidana korupsi selain menggunakan sistem semi terbalik, sistem pembebanan Hukum pembuktian perkara pidana dalam KUHAP, pihak yang wajib membuktikan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan berada pada pihak jaksa penuntut umum. Pihak terdakwa pasif, dalam arti untuk menolak dakwaan dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya. Membuktikan tentang kesahalan terdakwa bagi jaksa sifatnya imperatif, namun pembuktian tersebut bukanlah bersifat final.

30


(34)

biasa pada jaksa penuntut umum juga tetap berlaku.Maksud sistem biasa adalah pembebanan pembuktian pada jaksa penuntut umum, seperti pada KUHAP.31

Hukum pembuktian tindak pidana korupsi ternyata sistem pembuktiannya menentukan tidak melulu pada jaksa penuntut umum, tetapi dalam hal didakwa selain tindak pidana korupsi juga harta benda terdakwa, maka beban pembuktian juga pada terdakwa, artinya pada kedua pihak.Pembuktian ini disebut sebagai sistem semi terbalik atau disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik. Pembebanan pembuktian pada sistem semi terbalik atau pembuktian berimbang terbalik, adalah pembuktian in casu membuktikan kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya, beban pembuktiannya berada pada terdakwa atau penasihat hukum dan sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan, maka keadaan tidak berhasil membuktikan itu akan digunakan oleh jaksa penuntut umum untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.32

2. Kerangka Konseptual

Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan

31

Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hal. 9.

32


(35)

analisis.33Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.34

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational definition).Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 35

a. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan tersebut disertai sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.

Berdasarkan landasan konsepsional tersebut maka agar terdapat persamaan persepsi mengenai defenisi atau pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan beberapa defenisi operasional sebagai berikut :

36

b. Pertanggungjawaban Pidanaadalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

33

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 307. 34

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001 hal. 79.

35

Lexy J. Moelong, Metode penelitian Kuantitatif ,Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal. 101.

36


(36)

hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.37

c. Tindak Pidana Korupsiadalah perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.38

d. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.39

e. Kerugian negara/daerahadalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.40

f. Konpensasimerupakan segala sesuatu yang diterima dapat berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada seseorang yang umumnya

merupakan obyek yang dikecualikan dari

37

Ibid.

38

Martiman Prodjohamidjojo, “Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik Korupsi”, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.14.

39

Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

40

Pasal 1 angka


(37)

merupakan hal ya

dasar

menyangkut fakto41

g. Infrastrukturmerupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem. Infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Infrastruktur sendiri dalam sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus menjadi penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di

masyarakat.42

h. Pedesaandidefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.43

41

T. Hani Handoko,Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, BPFE-Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 1987, hal. 7.

Meskipun pendekatan peraturan umumnya menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam undang-undang tersebut merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam

43


(38)

lingkungan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sendiri, dikenal istilah perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur pemerintahannya menggunakan desa.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan. Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.44

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktik dari hasil penelitian di lapangan, bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.45

44

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,UMM Press, Malang, 2007, hal. 57.

45


(39)

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif menitik beratkan pada studi kepustakaan yang berdasarkan pada bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.46

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim, Putusan PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn, Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011, dan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi.

47

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

, yaitu terdiri dari buku-buku teks yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi, hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dokumen pribadi, dan pendapat lain dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian yang ditelaah.

46

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 141. 47


(40)

seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan internet yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumen yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan (library research) yang berupa bahan hukum sekunder. Studi kepustakaan digunakan untuk menggumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, dokumen resmi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaandata ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. 48 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.49

Data yang diperoleh selanjutnyaakan dianalisis secara deduktif. Prosedur deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

48

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta2008, hal. 263.

49


(41)

dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus50

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO.31 TAHUN 1999 JO.

, sehingga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab.

BAB II

50


(42)

UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “delict”. Istilah peristiwa pidana dikenal pula beberapa terjemahan, antara lain perbuatan pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum.51Tindak pidana atau delik ialah perbuatan yang melanggar undang-undang, dan oleh karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.52

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan tindak pidana dengan istilah “Strafbaar Feit”. Perkataan “feit” dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harafia perkataan “strafbaar feit”. Pembentuk Undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya “strafbaar feit”, maka timbullah doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang “strafbaar feit” tersebut.53

51

C. S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 36. 52

Ibid., hal. 30. 53

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (III), PT.Citra Adtya Bakti, Bandung, 1997, hal.181.


(43)

Beberapa sarjana memberikan perumusan mengenai pengertian tindak pidana, diantaranya54 yaitu D.Simon menyatakan bahwa peristiwa pidana adalah “Een Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person” yang mempunyai arti yaitu perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.Peristiwa pidana merupakan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan dalam arti luas meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Simon mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban pidana, mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab.55

Van Hamel menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, patut atau bernilai untuk dipidana, dan dapat dicela karena kesalahan.56

Pompe memberikan dua definisi yaitu bersifat teoretis dan yang bersifat perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm (kaidah, tata hukum) yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberikan pidana untuk Vos, menyatakan peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (Een strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit).

54

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 37. 55

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 224. 56


(44)

dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut hukum positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian, tidak berbuat, berbuat pasif) biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa.

Van Bemmelem menyatakan toerekenbaarheid van het feit of toerekeningsvatbaarheid van de dader yaitu bahwa syarat untuk pemidanaan pembuat delik ialah peristiwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Van Bemmelem juga menambahkan bahwa dari asas-asas hukum yang diterima umum disyaratkan pembuat harus mempunyai Schuld (kesalahan) dan peristiwa itu menyebabkan pembuat dapat disesali serta dilakukan atau diwujudkan dengan melawan hukum.

Hazewinkel-Suringa istilah Strafbaar feit terpilih untuk setiap langka yang dilarang disertai ancaman pidana, terdiri atas berbuat maupun pengabaian. Ia menolak istilah strafwaardig feit, dengan alasan bahwa tiap-tiap peristiwa yang bernilai untuk dipidana belum tentu dapat dipidana. Definisi strafbaar feit karena batasan demikian dapat memperkecil atau memperluas uraian delik yang tercantum di dalam pasal-pasal KUHPidana.

Moeljatno mengatakan bahwa pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang


(45)

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.57 Bahwa pokok pikiran dalam perbuatan pidana diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan pada sifatnya orang yang melakukannya.58

Moeljatno berpendapat yang dikutip oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :59

a. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

57

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 11.

58

Ibid., hal. 14 59

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada.2002, Jakarta, hal. 73


(46)

Komariah Emong Supardjadja berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan pidana dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana.60

Pembedaan ini menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana.61

Indrianto Seno Adji mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat

60

Chairul Huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media, Jakarta, 2006, hal 28. 61


(47)

suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.62

Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungu masyarakat dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Konsep KUHP, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Konsep ini juga mengemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.63

Aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan, seperti yang dikatakan “The rules which all of you us what we can and cannot do”. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.64

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana

62

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 99. 63

Ibid, hal.98. 64


(48)

Unsur-unsur tindak pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perbuatan yang dipisahkan dengan pertanggung jawaban pidana.65Tindak pidana atau perbuatan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pada umumnya dijabarkan dalam beberapa unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri sendiri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya66. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.67

Ketika dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak pidana meliputi beberapa hal68

a. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum;

:

b. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil;

c. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Unsur ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada

65

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 100. 66

P.A.F. Lamintang, Op. Cit., hal. 193. 67

Ibid. 68


(49)

dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

Tindak pidana ialah tindak yang mengandung 5 unsur, diantaranya69 a. Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);

:

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke omschrijving);

c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

Sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum. Perbuatan tersebut sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri.70

Secara teoretis, perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan (rechtdelicten) merupakan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan-perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini

69

C. S. T. Kansil Op.Cit., hal. 36. Lihat juga Moeljatno, Op.Cit., hal. 69. 70


(50)

disebut mala in se artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. Pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita.71

Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commission act) dan delik omisi (ommisison act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan pencurian. Delik omisi adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan.72

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana

Perbuatan pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, sedangkan delik culpaadalah delik yang memuat unsur kealpaan. Perbuatan pidana dibedakan lagi menjadi delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, sedangkan delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pembunuhan.

71

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 102. 72


(51)

Berbicara mengenai perbuatan apa yang dilarang dan siapa pelaku yang bertanggung jawab merupakan persoalan yang terus menerus dibicarakan dikalangan para ahli hukum. Tindak pidana atau strafbaarfeit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan yang dapat dipidana dan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaardheid/criminal responsibility merujuk kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya haruslah memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan undang-undang. Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan tersebut apabila dalam tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf.73

Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuan yang dapat dipidana. Berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.74

73

Mahmud Mulyadi, dan Ferri A. Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 34.

74

Ibid., hal. 35.

Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana.


(52)

Penentuan pertanggungjawaban pidana bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana bukan hanya berarti rightfully sentences melainkan rightfully accused. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana dan menghubungkan antara keadaan pembuat dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan.75

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk dalam pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Seseorang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Hal ini disebabkan asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea). Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit.76

75

Ibid., hal. 36. 76


(53)

Konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Doktrin ini dilandaskan kepada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin tersebut dalam bahasa Inggris dirumuskan dengan “an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy”. Berdasarkan asas tersebut, ada dua unsur syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang yaitu perbuatan lahiriah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat (mens rea).77

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya tersebut. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.78

Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan adanya kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu79

Bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :

a. Kemampuan bertanggungjawab;

80

77

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 155-156. 78

Ibid.

79

Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hal. 91.


(54)

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal);

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan/kehendak).

Ada dua faktor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. 81

Sengaja atau dolus dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibandingkan dengan culpa, karena ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila

Seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti. Orang tersebut hanya dapat dkenakan tindakan tetapi tidak dapat dikenakan pidana.

b. Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa);

80

Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 171. 81


(55)

dilakukan dengan sengaja dibandingkan dengan apabila dilakukan dengan kealpaan.82 Sedangkan, culpa diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang berhati-hati sehingga secara tidak disengaja sesuatu terjadi.83

Kesengajaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu84 1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);

:

Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Pelaku tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pelaku tidak mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi. Contohnya apabila seseorang menembak orang lain dengan senjata yang ditujukan kearah jantung atau kepala, maka dapat disimpulkan bahwa pelaku berbuat dengan sengaja (sebagai maksud) menghilangkan nyawa orang tersebut.

2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid);

Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian diberikan contoh yang sangat terkenal, yaitu kasus Thomas van Bremerhaven. Thomas van Bremerhaven berlayar ke Sou-thamton dan meminta asuransi yang sangat tinggi di sana. Thomas memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam dilaut lepas. Motifnya ialah menerima uang asuransi. Kesengajaannya ialah menenggelamkan kapal itu.

82

S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 164. 83

C. S. T. Kansil, Op.Cit., hal. 53. 84


(56)

Sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakni bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud. Penenggelaman kapal itu sebagai maksud tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang. Kematian penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas.

3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn).

Sengaja dengan kemungkinan sekali atau sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat atau dolus eventualis terjadi, jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Sengaja dengan kemungkinan terjadi atau sengaja bersyarat sangat tipis bedanya dengan kesalahan yang disadari (bewusteschuld).

c. Tidak ada alasan pemaaf;

Alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf dalam hukum pidana antara lain daya paksa (overmacht),85

85

Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP), Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”.


(57)

ekses),86 dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik.87

Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Bahwa yang dipertanggungjawabkan orang tersebut ialah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pada hakikatnya, hal ini merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.88

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu89

86

Ibid., Pasal 49 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum. (2) Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga tidak boleh dihukum.

87

Ibid., Pasal 51 yang berbunyi: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. (2) Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah itu. Mahrus Ali, Op.Cit., hal. 181.

88

Andi Hamzah, Loc.Cit.

:

89


(58)

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang

kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab

Undang-undang HukumPidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat.90

90

Ruslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1982, hal. 10.


(1)

daerah masing-masing dapat lebih transparan dan lebih demokratis serta menghimbau kepada masyarakat untuk bersinergi dengan KPK, agar tidak ada celah/kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku

Alatas, Syed Hussein., Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, 1983.

Ali,Mahrus.,Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Andrisman,Tri.,Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009.

Arief, Barda Nawawi dan Muladi.,Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992.

Arief, Barda Nawawi., Pokok-pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-undang Pemberantasan Korupsi , Puerwakarto, 1999.


(2)

---., Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008.

Atmasasmita,Romli.,Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989.

---., Reformasi Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Editor Aman Sembiring Meliala, Agus Takariawan, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Chazawi, Adam.,Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2002.

---.,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2008. Danil,Elwi.,Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Djaja, Ermansjah.,Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006), Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Effendy, Marwan.,Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Farid, Zainal Abidin., Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Hamzah,Andi.,Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1991.

---., Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

---.,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Handoko, T. Hani.,Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, BPFE-Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 1987.


(3)

Huda, Chairul.,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2006.

Ibrahim, Johny.,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007.

Kaligis, O.C dan Associates, Kumpulan Kasus Menarik Jilid 4, O.C Kaligis dan Associates, Jakarta, 2009.

Kansil, C. S. T., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

Kholis, Efi Laila., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010.

Klitgaard, Robert.,Membasmi Korupsi, Terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta, 1998.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (III), PT.Citra Adtya Bakti, Bandung, 1997.

Lamintang, P. A.F. dan Theo Lamintang., Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika , Jakarta, 2009. Lubis, M. Solly.,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010.

Moelong, Lexy J., Metode penelitian Kuantitatif ,Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Moeljatno.,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

---.,Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muladi., Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988.

Mulyadi,Lilik.,Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung, 2007.

Mulyadi,Mahmud, dan Ferri A. Surbakti., Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.


(4)

Nur Dewanta, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja., Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,

Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010.

Prodjohamidjojo, Martiman.,Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Rahardjo,Satjipto.,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Rajagukguk, Erman.,Badan Hukum, Keuangan Negara, dan Korupsi, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2009.

Remmelink,Jan.,Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Ridwan.,Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009.

Saleh, Ruslan.,Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia.Jakarta, 1982.

Santoso,Ibnu., “Memburu Tikus-tikus Otonom”, Gava Media, Yogyakarta, 2011. Setiyono.,Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Sianturi,S.R., Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996.

Simanjuntak,Osman.,Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Asas-Asas Umum, Jakarta, 1997.

Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi., Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2008.

Soekanto, Soerjono.,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soepardi, Eddy Milyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah


(5)

ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009.

Sunggono, Bambang.,Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.

Surachmin dan Suhandi Cahaya., Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Suyatno.,Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

Tisnawan,Hilman., “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3 Nomor 3, Desember 2005.

Utomo,Setyo., Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Sofmedia, Medan, 2014.

Wiyono,R.,Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

---.,No.7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption(Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi 2003).

---.,No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.


(6)

---.,No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. C. Internet, Putusan

Http://ardiundova.wordpress.com /2008/02/29/keuangan-negara-dalam-tindak-pidana-korupsi.html, di Akses Tanggal 5 Mei 2014.

Dominggus Silaban, “Pemahaman Unsur Memperkaya dan atau Menguntungkan

pada Tindak Pidana Korupsi”,

Blogspot.com/2009/11/pola-pemidanaan-tindak-pidana-korupsi.html, di Akses Tanggal 5 Mei 2014.

Repository.unand.ac.id/1745/1/SATRIA_abdi_03211042,diakses tanggal : 08-07-2014.

Wordpress.com/2009/11/06/Tindak-Pidana-Korupsi-di Indonesia-Tinjauan-UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang-Pemberantasan-Tindak-Pidana-Korupsi/diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.

Http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/ diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.

Putusan Pengadilan Negeri No. 709/ PID.B/2009/ PN. SIM Putusan Pengadilan Tinggi No. 50/PID/2011/PT-Mdn Putusan Mahkamah Agung No. 2093 K/Pid. Sus/2011


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan Oleh CV Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Kota Binjai (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tipikor Nomor 05/Pid.Sus K/2011/PN Medan)

7 61 152

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 1 26

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 13