Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan ; Nomor : 01 / PID.SUS.K / 2011 / PN.MDN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas– Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP NIM : 110200042

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan ; Nomor : 01 / PID.SUS.K / 2011 / PN.MDN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas– Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP NIM : 110200042

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum.

NIP.196104081986011002 NIP. 197404012002121001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis Panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmad dan Hidayah-Nya serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak

Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana


(4)

6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H, M.S., Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II

yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, Medan

9. Bapak Affan Mukti, S.H, M.S., selaku dosen Penasehat Akademik atas

bimbingan dan motivasinya selama perkuliahan

10. Seluruh Dosen dan Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

11. Kepada Teman seperjuang saya dalam organisasi Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya para Presidium HMI FH Universitas Sumatera Utara Periode 2015-2016, Sdr. M. Fairuz Zain Hasibuan, Kayaruddin Hasibuan, Rahmad Sukri Hasibuan, Imam Fuad Harahap, Khaidir Ali Lubis, Rafikha Pazal, Nanda Yolandari, Suci citra kartika, Aditya Ananda, Hadyan Cholidin, dll yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Teman dan Junior saya dalam Organisasi Silaturrahim Kedaerahan

Persatuan Mahasiswa Islam Nias – Medan (PMIN-Medan), Fahmi Tanjung,

Najib Fahmi, Marfirraturrahma Zega, Vivi Ulvi Rahayu, Zainuddin Polem, Irfan Hamdani Telaumbanua, Zul Indrawansyah Caniago, Ariful Hakim


(5)

Waruwu, Fitriyanna Zega, dll. Yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya yang telah banyak memberikan bantuan dan kerjasamanya.

13. Kepada teman karib saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang tergabung dalam Grup Rempong, Kayaruddin Hasibuan (Tulang), Fitri Arifah (Ipeh), Agung Rahmatullah, Novi Siregar (Utet), Keumala Mutia, Rendra Hanafi, M. Ikhwan Adabi, Nanda Yustiansyah, Dery Nasution dan Perwirasanto Zebua yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. serta banyak memberikan warna pelangi dalam kehidupan penulis selama menjalani perkuliahan.

14. Buat Citra Ardila Laoli yang telah banyak membantu pembuatan skripsi ini.

15. Rekan-rekan seperjuangan Stambuk 2011 (dari Reguler sampai PRM) dan

seluruh rekan-rekan lainnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan senang bisa mengenal kalian semua dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu lagi.

Yang Teristimewa Terima kasih kepada kedua Orang tua saya, Ayahanda Panusunan Harahap dan Ibunda Hj. Ainil Wardah Polem yang setiap waktu dan sepanjang masa memberikan motivasi, semangat, doa, rasa cinta dan kasih sayang pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta pengorbananya, semoga anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang tua.

Kepada Abang saya Ahmad Indra Sakti Harahap S.T.,yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan nasehat untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksesan dan membanggakan kedua orang tua kita.


(6)

Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak, namun Penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya. Oleh sebab itu diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2015

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

1. Pengertian Tindak Pidana ... 14

2. Pengertian Korupsi ... 17

3. Pengertian Pejabat Negara ... 22

F. Metode Penelitian ... 26

G. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo. UNDANG – UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. ... 29

A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak Pidana Korupsi ... 29

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 40

C. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 45


(8)

BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM

PUTUSAN NOMOR : 01/PID.SUS.K/2011/PN.MDN ... 56

A. Posisi Kasus ... 56

1. Kronologis ... 56

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 58

3. Fakta Hukum... 61

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 97

5. Pertimbangan Hakim ...100

6. Putusan Pengadilan Negeri Medan ...129

7. Putusan Tingkat Banding ...130

8. Putusan Tingkat Kasasi ...132

B. Analisis Kasus ...134

BAB IV PENUTUP ...149

A. Kesimpulan...149

B. Saran ...151


(9)

ABSTRAK

MADIASA ABLISAR

MAHMUD MULYADI

RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP

Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN.Korupsi merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta politik.Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Pejabat Negara.

Alasan inilah yang melatar belakangi Penulis untuk mengangkat Permasalahan Tindak Pidana Korupsi, Khususnya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan Oleh Pejabat Negara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini antara lain : pertama, Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? Kedua, Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn) ? Jenis penelitan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku di Indonesia saat ini telah mengalami perluasan makna, dimana yang menjadi subjek dalam tindak pidana korupsi itu bukan saja orang perseorangan, tetapi korporasi juga termasuk sebagai subjek dalam tindak pidana korupsi.Berdasarkan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias,Terdakwa Binahati Benedictus Baeha adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana bantuan tersebut, dan ternyata pengelolaan dana bantuan tersebut tidak melalui prosedur yang benar, sebagaimana ketentuan yang berlaku, tindakan Terdakwa demikian jelas tidak dapat dibenarkan menurut hukum.

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN. Korupsi telah mengakibatkan krisis berkepanjangan pada semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dikarenakan prakteknya yang sistematis dan menggurita yang terjadi di hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Korupsi merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta politik.

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran

terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.1

Menurut Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mermperkaya diri sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

1


(11)

negara atau perekonomian negara. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapaan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang

lain.2 Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu, dahulu korupsi hanya seputar mengenai kerugian negara dan suap menyuap, namun saat ini sudah berkembang menjadi penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.

Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin.Menurut data dari 175 negara di dunia pada 2014 yang dirilis oleh Transparency Internasional, Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara

bebas korupsi (dari 175 negara).3Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya yang

berkembang dikalangan masyarakat kelas atas sampai bawah. Korupsi dapat dilihat dengan mata telanjang diberbagai institusi, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dilakukan oleh sebagian besar para penguasa dan pejabat tinggi

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989

3

http://www.tahupedia.com/content/show/587/10-Negara-Terkorup-Di-Dunia. Diakses tanggal 2 mei 215.


(12)

negara. Hal ini menunjukkan bahwa nilai luhur atau moral suatu individu mengalami penurunan, tidak adanya kesadaran seorang individu tentang etika dan aturan hukum yang berlaku membuat perilaku korupsi semakin meningkat, ditambah lagi dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Banyak para ahli yang merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktur bahasa dan cara penyampainnya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama, diantaranya Kartini Kartono menyatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum, dan Huntington menjelaskan korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini

ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.4 Jadi dapat disimpulkan

korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuata-kekuatan formal yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam menjalankan amanah

4


(13)

rakyat tersebut sudah seharusnya penguasa/pejabat negara memegang teguh prinsip kejujuran serta profesionalisme. Namun sayangnya fenomena yang terjadi dikalangan pejabat negara baik lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif justru sebaliknya.

Korupsi bukan hanya terjadi pada pemerintahan Orde Baru, tetapi di era reformasi ini malah semakin besar intensitasnya, sementara hukum masih tertinggal menghadapi kelihaian pembuat (pelaku) korupsi. Salah satu penyebabnya karena kaidah atau norma hukum yang berlaku tidak ditafsirkan secara yuridis tetapi berdasarkan kepentingan politis para pembuat korupsi. Pelbagai pemberitaan media massa sebenarnya telah mengingatkan tentang prediksi para pengamat hukum bahwa apabila hukum tidak diterapkan secara konsisten, apalagi terdakwa korupsi diputus bebas atau dihukum ringan oleh hakim dengan pertimbangan hukum yang tidak rasional, maka di tahun-tahun

mendatang korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar

crime), seperti dinyatakan oleh Sutherland akan semakin bertambah dan semakin

sulit menghentikannya. Prediksi pengamat hukum dapat dipahami, karena para koruptor umumnya dari golongan cerdik-pandai, berkuasa dan memiliki kewenangan, serta rata-rata memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang kuat. Teknik dan modus operandinya juga diperkirakan akan semakin maju seiring dengan perkembangan teknologi, serta gerakannya jauh lebih sistematis dan lebih

cepat dari antisipasi penegak hukum.5

5

Marwan Mas, Pemberanta san Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hal. 2.


(14)

Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara. Kualitas tindak pidana korupsi juga semakin sistematis dengan lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi selama 2010-2012 yang menurun kembali meningkat signifikan pada 2013-2014. Pada tahun 2010, jumlah kasus yang diselidiki KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mencapai 448 kasus. Pada tahun 2011 berjumlah 436 kasus dan tahun 2012 berjumlah 402 kasus, dan pada tahun 2013 meningkat signifikan menjadi 560 kasus. Pada tahun 2014 , tercatat sebanyak 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data.

Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan swasta, anggota DPR/DPRD, kepada dinas, dan kepala daerah. Apabila dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada semester I-2013 jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang, namun pada semester

I-2014 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang.6

Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik. Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik dan ekonomi sudah dalam stadium kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh

6

http://intisari-online.com/mobile/read/kasus-korupsi-di-indonesia-meningkat-di-2013-2014. Diakses tanggal 3 mei 2015.


(15)

negara Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik, atau oleh konglomerat

yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang

kekuasaan.Dengan demikian praktik kejahatan luar biasa berupa kejahatan

kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.7

Romli Atmasasmita, Guru Besar Emiritus Universitas Padjajaran menyatakan: “Jika dulu korupsi terjadi dalam hubungan kerja antara pihak swasta dan lembaga pemerintah, maka saat ini korupsi sudah merambah ke lembaga

legislatif, yudikatif, dan eksekutif”. Sinyalemen Romli Atmasasmita ini

menunjukkan, bahwa korupsi di Indonesia saat ini bukan hanya jadi persoalan hukum semata-mata, melainkan juga sudah merambah masuk pada persoalan politik, sosial, dan ekonomi. Dapat dilihat pada sejumlah kebocoran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) setiap tahun yang diduga dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga wajar apabila korupsi sudah begitu membahayakan

kelangsungan pembangunan nasional. 8

Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi yang dicita-citakan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pemerintahan yang berkuasa pasca reformasi dapat dikatakan tidak serius dan gagal dalam hal pecegahan dan pemberantasan korupsi, padahal dari segi peraturan perundang-undangan yang merupakan landasan hukumnya

7

Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 3.

8


(16)

pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat.

Hal ini diawali dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonseia Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), selanjutnya dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, dan pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi disempurnakan kembali dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyempurnaan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan yang terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah akan tetapi milyaran rupiah bahkan sampai triliunan rupiah. Kasus korupsi di


(17)

Indonesia merupakan tugas penting yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara negara baik di tingkat pusat maupun provinsi, serta kabupaten/kota yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit diperbaiki.

Gejala korupsi itu muncul kata Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya, sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau

perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat.9

Seperti halnya tindak pidana korupsi yang merambat ke daerah Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias tersebut disebabkan penyalahgunaan dana bantuan darurat kemanusiaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau yang ditetapkan, sehingga bertentangan dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Nasional penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Nomor : 25 tahun 2002, tanggal 11 Desember 2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bantuan Darurat Kemanusiaan untuk Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Dimana dalam pengadaan barang untuk mendukung kegiatan program pemberdayaan masyarakat akibat bencana alam dan gelombang tsunami Nias bertentangan atau tidak sesuai pelaksanannya dengan

9

Soerjono Soekanto, Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1980, hal. 281.


(18)

Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 131. 12-233 tanggal 2 mei tahun 2006 tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati Nias Provinsi Sumatera Utara, sebagai Bupati Kabupaten Nias mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam merumuskan kebijakan daerah mengenai tugas-tugas pemerintahan daerah, melakukan koordinasi kepada para pimpinan SKPD

dan kepada pimpinan instansi vertikal, menyampaikan laporan

pertanggungjawaban tahunan dan lima tahunan kepada lembaga legislatif dan menyampaikan laporan pemerintahan setiap satu tahun sekali kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Sumatera Utara,

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 9 Januari 2001 jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 12 Oktober 2001,

bahwa Bupati Nias secara ex officio juga menjabat sebagai Ketua Satuan

Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias yang bertugas melaksanakan kegiatan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang terjadi di daerahnya dengan memperhatikan kebijakan dan arahan teknis yang diberikan BAKORNAS PBP, yaitu antara lain melakukan evakuasi, mencari solusi dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait mengenai penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi.


(19)

Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Bupati Nias dan Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. sebagai Bupati / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) memiliki kewenangan untuk mengelola dana bantuan pemberdayaann masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten Nias dari Bakornas sesuai dengan ketentuan sebagaimana mestinya, tetapi ternyata pelaksanaan pengelolaan dana bantuan tersebut dengan cara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan tujuan dari maksud diberikannya kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan sebagai sebagai Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias.

Kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias berawal dari adanya bantuan dana pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami Kabupaten Nias yang disetujui oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (BAKORNAS PBP) sebesar Rp. 9.480.000.000 ,-(sembilan miliar empat ratus delapan puluh juta rupiah), atas permohonan Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias sebelumnya pada tanggal 12 Januari 2007mengajukan permintaan dana untuk pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami Propinsi NAD dan Nias sebesar Rp. 12. 280.000.000 ,- (dua belas miliar dua ratus delapan puluh juta rupiah) kepada


(20)

Pelaksana harian Bakornas PBP dengan Surat Nomor : 900 / 0301 / Keu dan Surat Penyempurnaan Proposal kegiatan Nomor : 900 / 0332 / Keu tanggal 17 Januari 2007.

Dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana bantuan dari Bakornas PBP yang bersumber dari sumbangan masyarakat dan diadministrasikan melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006 terdapat berbagai macam pelanggaran antara lain adanya pemindahan dana bantuan pemberdayaan masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten Nias dari rekening Bencana Alam dan Tsunami Kabupaten Nias ke dalam rekening pribadi salah satu oknum pegawai negeri sipil Kabupaten Nias, pembelian barang-barang secara langsung ke toko / penyedia barang tanpa melalui proses pelelangan, membagikan / menyerahkan dana kepada beberapa orang yang tidak berhak menerimanya serta membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang dibuat melebihi batas waktu yang telah ditentukan, dimana semuanya merupakan tugas dan tanggungjawab dari Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias atas jabatan atau kedudukannya.

Akibat perbuatan Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Dana Penanggulangan Bencana Alam Nias Tahun 2007 yang dibuat oleh Tim dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tertanggal 11 Maret


(21)

2011 telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3.764.798.238 ,- (tiga miliar tujuh ratus enam puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu dua ratus tiga puluh delapan rupiah).

Bedasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba mengangkat

kasus ini ke dalam sebuah bentuk skripsi dengan judul tentang “Pertimbangan

Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini yaitu :


(22)

1. Untuk Mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan

Putusan Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn).

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain :

a. Secara Teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi bahan

informasi, referensi serta konstribusi pemikiran dan menambah wawasan dalam hukum pidana pada umumnya dan tentang pidana korupsi pada khususnya di kalangan mahasiswa sendiri atau lingkungan para akademis.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat nantinya

bagi para penegak hukum dalam upaya pencegahan dan penmberantasan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Pejabat Negara, sehingga terciptanya efek jera dan tercapainya cita-cita para reformis dalam mewujudkan negara hukum yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Pengadilan

Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)” adalah

kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Bupati Nias Periode 2006-2011, penulis sendiri tertarik untuk


(23)

mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Negara serta menganalisa Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat Negara yang melakukan penyalahgunaan kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn). Berdasarkan penelusuran penulis, judul dan permasalahan ini belum pernah ditulis dan diangkat menjadi karya ilmiah oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan Karya Ilmiah ini diperoleh berdsarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum

untuk istilah “strafbaar feit” dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak

ada terjemahan resmi strafbaar feit. Dalam bahasa Belanda strafbaar feit terdapat

dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa

Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat

dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari

kenyataan yang dapat dihukum.10

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar

feitdi dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum

10


(24)

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang

itu merupakan tindak pidana atau tidak.11

Pendapat beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana :12

a. Menurut Simons, ialah tindakan melanggar hukum pidana yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

b. Menurut Pompe, adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata

tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

c. Menurut Van Hamel, ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap

hak-hak orang lain.

d. Menurut E. Utrecht, ialah istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut

delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau

suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).

11

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hal. 77.

12

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html?m=1. Diakses tanggal 8 mei 2015.


(25)

e. Menurut Moeljatno, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.

f. Kanter dan Sianturi, mendefenisikan sebagai suatu tindakan pada tempat,

waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang / diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan hukum , serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana, untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah prbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan Pendapat Bambang

Poernomo, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti

yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan

dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13

13

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, hal. 91


(26)

2.Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak.

Korupsi dalam Bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam Bahasa

Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruptiondan dalam

Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti

harfiah corruptmenunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak

jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.14

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan

jabatannya.15

Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi dalam

7 (tujuh) jenis yang berlainan. Masing-masing adalah :16

a. Korupsi transaktif (transactive corruption), yaitu adanya kesepakatan

timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan

14

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, cetakan Keempat, 1996, hal. 115.

15

Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 9.

16


(27)

kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan itu oleh kedua-duanya.

b. Korupsi yang memeras (extortive corruption),adalah jenis korupsi dengan

keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

c. Korupsi investif (investive corruption),adalah pemberian barang atau jasa

tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

d. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang

tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang membrikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.

e. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah perilaku korban korupsi

dengan pemerasan, sebagai bentuk mempertahankan diri.

f. Korupsi otogenik (autogenic corruption), yaitu korupsi yang tidak

melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang.

g. Korupsi dukungan (supportive corruption),adalah korupsi yang tidak

secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain.


(28)

Berbeda dengan Alatas, menurut Benveniste mendefenisikan korupsi ke

dalam 4 (empat) jenis, antara lain :17

a. Discretionary corruption,yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya sah, namun bukan praktek-praktek yang dapat diterima oleh anggota organisasi;

b. Illegal corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu;

c. Mercenary corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk

memperoleh kepentingan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan;

d. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi ilegal maupun diskresif yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Secara sosiolgis, ada tiga jenis korupsi, yaitu sebagai berikut :18

a. Korupsi karena kebutuhan ; Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada

umunmya korupsi yang mereka lakukan karena kebutuhan, mulai dari mencuri peralatan kantor, memeras pelanggan, menerima suap sampai dengan mengkorupsi waktu kerja.

b. Korupsi untuk memperkaya diri ; Biasanya dilakukan oleh golongan

pejabat eselon, didorong oleh sikap serakah, melakukan mark upterhadap

pengadaan barang kantor dan melakukan pelbagai pungli. Penyebabnya

17

Marwan Effendy, Ibid, hal. 15-16.

18


(29)

karena gengsi, haus pujian dan kehormatan, serta tidak memiliki sense of crisis.

c. Korupsi karena ada peluang ; Pejabat atau sebagian anggota masyarakat

ketika mereka diberi peluang akan memanfaatkan keadaan tersebut, karena penyelenggara negara, khususnya pelayanan publik yang terlalu birokratis, manajemen yang amburadul dan pejabat atau petugas yang tidak bermoral. Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan dalam pasal pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu, untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan pasal-pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat

tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.19 Dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah :

“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara”.

Menurut Mugiharjo, bahwa korupsi yang terjadi di negara-negara berkembang, karena ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang

dilakukan oleh petugas atau pejabat negara.20 Penyalahgunaan kekuasaan dan

wewenang dapat terjadi di negara-negara berkembang, sebab pengertian

19Ibid.,

hal. 7.

20

Mugiharjo, Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberisasi, Suara Pembaruan Online, 1997.


(30)

demokrasi lebih banyak ditafsirkan dan ditentukan oleh penguasa daripada ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir di negara-negara berkembang tersebut.

Berdasarkan rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat bahwa korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh

kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime

yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam

pemerintahan atau di dunia perekonomian.21

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Indriyanto Seno Adji, bahwa tak

dapat dipungkiri korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang

selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga

dikatakan sebagai Invisible Crime yang penanganannya memerlukan kebijakan

hukum pidana.22

Mengacu pada berbagai pengertian dari korupsi yang telah diuraikan diatas, secara umum korupsi tidak lain adalah tindakan yang tidak sah atau gelap terkait dengan keuangan atau lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan oleh seseorang atau suatu kelompok untuk kepentingan diri sendiri, oranglain atau kelompok yang tidak saja merugikan negara tetapi juga seseorang atau publik karena kekuasaanyang dimilikinya. hal ini tentu sangat dekat dengan pejabat publik dimana pejabat publik dikenal dekat dengan kekuasaan. Korupsi tentunya bukan hal sulit untuk dilakukan oleh mereka yang ingin memamfaatkan jabatannya untuk melakukan korupsi. Pejabat publik yang seharusnya menjadi

21

Sudarto, Op, Cit, hal.102

22

Indryanto Seno Adji,Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2006, hal. 374.


(31)

panutan bagi warga tidak seharusnya melakukan perbuatan korupsi, karena disamping korupsi adalah perbuatan menyimpang dan melanggar hukum juga dapat merugikan keuangan Negara. Kalau negara sudah mengalami kerugian tentu akan berdampak pada stabilitas Negara, bukan hanya ekonomi tapi juga social, budaya dan politik.

3. Pengertian Pejabat Negara

Pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu terdiri dari dua suku kata yaitu “pejabat” yang berarti pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan) dan “negara” yaitu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai

kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.23

Pada kamus besar bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta pejabat negara dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada bagian pemerintahan, pegawai pemerintahan. Pada beberapa pengertian lain dari KPK dan Hoge Raad pejabat negara diartikan luas salah satunya yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut Hoge Raad pejabat negara atau pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat

23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989


(32)

untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas

pemerintahan atau alat perlengkapannya.24

Pada pasal 92 KUHP juga mengatur yang disebut pejabat termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu pula orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk Undang-undang, Badan Pemerintahan, atau Badan Perwakilan Rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atas nama pemerintah, begitu

juga semua anggota dewan subak (waterschap), dan semua kepala rakyat

Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang termasuk dalam Pejabat Negara (pasal 122) yaitu :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;

f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

k. Kepala perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

l. Gubernur dan wakil gubernur;

m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

24

http://avirista.blogspot.com/2012/11/pengertian-pejabat-negara.html?m=1.Diakses pada tanggal 22 Mei 2015.


(33)

Pengertian Pejabat Negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 1 angka 4 :

“Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara

lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang”.

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pejabat Negara terdiri dari atas (pasal 11) :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;

d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah

Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan

sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan

k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 1 ayat 1 :

“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,

legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Negara Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 2 yaitu :


(34)

a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;

b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;

c. Menteri;

d. Gubernur;

e. Hakim;

f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan

g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “para pejabat negara merupakan “political appointee”sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative

appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena

pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan

politik (political appointement) haruslah bersumber dan dalam rangka

pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan. Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut

sebagai pejabat negara yang dipilih atau“elected official”.25

25


(35)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum Normatif.

Metode penelitian hukum Normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book)atau hukum

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi hukum primer, sekunder dan tersier. Data sekunder adalah dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan sebagainya.

Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen-dokumen dan peraturan yang

mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa Undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan diantaranya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan Nomor 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Medan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan


(36)

korupsi, seperti buku-buku, majalah-majalah, karya tulis ilmiah, internet serta tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep

dan keterangan-keterangan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang dipergunakan dalam mengumpul data penelitian adalah

penelitian kepustakaan (library reseach)yaitu dengan mengumpulkan

bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, majalah dan dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya.

4. Analisis Data

Adapun analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, mengelola data dan mneganalisanya dan kemudian dituangkan dengan cara menggunakan kalimat untuk menjawab permasalahan pada skrispsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling antara yang satu dengan yang lainnya sehingga lebih terarah dan lebih mudah untuk dipahami.


(37)

Secara sistemats penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : Berisikan pendahuluan yang di dalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Merupakan pembahasan mengenai pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana didalamnya dibahas tentang bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi,pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi, sanksi dalam tindak pidana korupsi dan upaya pecegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

BAB III : Merupakan pembahasan mengenai posisi kasus, berupa dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan jaksa penuntut umum, fakta-fakta hukum, putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan tingkat banding, putusan tingkat kasasi, pertimbangan hukum hakim dan diakhiri dengan analisa kasus.

BAB IV : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang dapat berguna bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


(38)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo.

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain yang pada akhirnya kebiasaan tersebut akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.

Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi,

yaitu sebagai berikut :26

1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari

pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.

2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit

bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan

26

http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html?m=1. Diakses pada tanggal 31 mei 2015.


(39)

pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan di jalan, pelabuhan dan sebagainya.

3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu

pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.

4. Penyuapan, yaitu seseorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada

seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.

5. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran

uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.

6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan

mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.

7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas

pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakukan secara adil.

Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya 7 (tujuh) bentuk dan 30 jenis perbuatan korupsi (diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi), mulai dari Pasal 2 sampai

Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut :27

1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara

a. Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)

27


(40)

a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya).

b. Menyuap hakim. c. Menyuap advokat.

d. Hakim dan advokat menerima suap. 3. Penggelapan dalam Jabatan

a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan. b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.

c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi).

d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti. e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti. 4. Pemerasan

5. Perbuatan Curang

a. Pemborong berbuat curang.

b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang. c. Rekanan TNI/Polri berbuat curang.

d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang. e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.

f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain.

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Gratifikasi (pemberian hadiah).


(41)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana tersebut rinciannya adalah sebagai

berikut:28

1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara,

2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

3. Pasal 5 Ayat (1) huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan

sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

4. Pasal 5 Ayat (1) huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

28


(42)

5. Pasal 5 Ayat (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,

6. Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan

sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

7. Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

8. Pasal 6 Ayat (2) : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,

9. Pasal 7 Ayat (1) huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu

membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaaan perang;

10. Pasal 7 Ayat (1) huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi

pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;


(43)

11. Pasal 7 Ayat (1) huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

12. Pasal 7 Ayat (1) huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan

barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

13. Pasal 7 Ayat (2) : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan

atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c.

14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut

15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau


(44)

untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan, yang dikuasai karena jabatannya;

17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah

atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;


(45)

22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan

maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,

atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang

memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu

menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada


(46)

penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada

waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung

maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kerugian keuangan negara;

a. Pasal 2


(47)

2. Suap – Menyuap;

a. Pasal 5 ayat (1) huruf a

b. Pasal 5 ayat (1) huruf b

c. Pasal 5 ayat (2)

d. Pasal 6 ayat (1) huruf a

e. Pasal 6 ayat (1) huruf b

f. Pasal 6 ayat (2)

g. Pasal 11

h. Pasal 12 huruf a

i. Pasal 12 huruf b

j. Pasal 12 huruf c

k. Pasal 12 huruf d

l. Pasal 13

3. Penggelapan dalam jabatan;

a. Pasal 8

b. Pasal 9

c. Pasal 10 huruf a

d. Pasal 10 huruf b

e. Pasal 10 huruf c

4. Pemerasan;

a. Pasal 12 huruf e

b. Pasal 12 huruf f


(48)

5. Perbuatan curang;

a. Pasal 7 ayat (1) huruf a

b. Pasal 7 ayat (1) huruf b

c. Pasal 7 ayat (1) huruf c

d. Pasal 7 ayat (1) huruf d

e. Pasal 7 ayat (2)

f. Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;

a. Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi;

a. Pasal 12B Jo. Pasal 12C

Selain bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan diatas, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada Pasal 21, 22, 23 dan 24 Bab III Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas :

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21)

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal

22 jo. Pasal 28)

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo. Pasal


(49)

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 35)

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau

memberikan keterangan palsu (Pasal 22 jo. Pasal 36)

6. Saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo. Pasal 31).

Pengaturan mengenai bentuk-bentuk perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Secara leksikal, kata “ Pertanggungjawaban” berasal dari bentuk kata majemuk “tanggungjawab” yang berarti keadaan wajub menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri dan orang lain. Selain itu, kata “tanggungjawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui sikap, tindakan dan prilaku. Setelah bentuk


(50)

dasar, kata “tanggungjawab” mendapat imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjwaban” yang berarti perbuatan bertanggungjawab atau

suatu yang dipertanggungjawabkan.29

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana

(criminalliability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk

memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Sedangkan pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.

Pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan perbuatan pidana, karena perbuatan pidana menentukan sejauh mana seseorang dapat dimintai pertanggungjawabanya. Menurut Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhkan pidana) apabila kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian bahwa, pertanggungjawaban pidana tergantung pada dilakukanya tindak pidana, dalam artian bahwa adanya unsur kesalahan seperti melakukan perbuatan pidana terlebih dahulu, baru seseorang itu

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.30

Menurut ajaran dualistis antara perbuatan pidana dengan

pertanggungjawaban pidana walaupun berkaitan erat haruslah dipisahkan karena ajaran dualistis beranggapan bahwa unsur pembentuk pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang

29

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta,Halaman 1139

30

Chairul Huda, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Pidana dan Pertanggung ja waban Pidana, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2006, hal.26


(51)

padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan

lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.31 Oleh karena itu berdasarkan ajaran

dualistis tersebut maka antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana adalah berbeda namun berkaitan erat.

Pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana membawa konsekuaensi bahwa belum tentu jika seseorang telah terbukti melakukan perbuatan pidana, dapat dimintai pertanggungjawabanya karena bisa saja orang yang melakukan perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya misalnya karena orang tersebut gila, atau mungkin orang tersebut dipaksa untuk melakukan perbuatan itu.

Pertanggungjawaban pidana ini tidak hanya bagi orang, tetapi juga berlaku bagi badan hukum. Karena badan hukum ini tidak berbuat secara langsung mempertanggung jawabkan perbuatannya, pertanggung jawaban dikenakan

kepada orang yang mewakilinya.32

Seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggung

jawabnya apabila orang tersebut telah memenuhi 3 elemen, antara lain:33

1. Kemampuan untuk bertanggungjawab;

2. Adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan, dimana sikap batin ini melahirkan 2 bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan.

31

Ibid., hal.26

32

Hakim, Rahmat.Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung : CV. Pustaka Setia.2000. hal. 175-177

33

Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014, hal.88-89


(52)

Dimana syarat kesengajaan adalah weten en wilen (mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian; 3. Tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis

besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana juga merupakan pertanggungjawaban orang

terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang

dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.

Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam

melakukan tindak pidana tersebut.34

Pada tindak pidana korupsi sendiri, subjek yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Noor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu sebagai berikut:

1. Korporasi

34

http://princemalekrove.blogspot.com/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 15 Mei 2015


(53)

2. Pegawai Negeri, yang meliputi;

a. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Kepegawaian;

b. Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau Daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan Negara atau Daerah;

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi.

Oleh karena itu, berdasarkan pasal tersebut maka dapat dilihat bahwa pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi itu dapat dibebankan kepada seseorang dan korporasi. Dimana jika seseorang yang melakukan tindak pidana Korupsi maka pertanggungjawaban pidana dapat langsung dibebankan kepada orang tersebut, asal saja orang tersebut telah memenuhi 3 elemen untuk menyatakan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawabanya. Namun jika Korporasi yang melakukan tindak pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pengurusnya saja, ataupun korporasinya saja, atau dapat juga dibebankan kepada kedua-duanya, karena ketentuan Pasal 20 tersebut


(1)

2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat Negara yang melakukan penyalahgunaan Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN. Mdn) Atas Nama Terdakwa Binahati Benedictus Baeha oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan, Hakim Pengadilan Tinggi Medan, dan Hakim Mahkamah Agung yaitu pada putusan Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Medan sama halnya yaitu membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Primair yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) dan menjatuhkan Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dengan pertimbangan fakta yang terungkap dalam persidangan sehingga majelis hakim berpendapat terhadap Terdakwa lebih tepat diterapkan Pasal 3 karena untuk memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang adalah diisyaratkan bahwa pelakunya harus pegawai negeri atau penyelenggara negara, sehingga terpenuhilah unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, karena pada saat terjadinya tindak pidana tersebut, Terdakwa bertindak sebagai Bupati Nias dan terbukti di persidangan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Bupati. Putusan Hakim Mahkamah Agung yaitu membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 15 /Pid.Sus/2011/PT-Mdn. Tanggal 27 Oktober 2011 yang merubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No. 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn. tanggal 10 Agusutus 2011, dan menyatakan seluruh unsur dalam Dakwaan Primair telah terbukti dan karenanya Terdakwa terbukti melangar Dakwaan


(2)

Primair, dengan pertimbangan Judex Facti telah salah menerapkan hukum yang menyatakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak dapat dikenakan pada Pegawai Negeri. Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan kepada siapa saja, sehingga pembuktian dari dakwaan Primair dengan alasan tersebut merupakan kesalahan penerapan hukum pembuktian yang dilakukan oleh Judex Facti.

B. Saran

Berdasarkan Kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu adanya intropeksi diri masing-masing, dimana pribadi-pribadi kita sendiri harus menyadari bahwa tindak pidana korupsi dapat merusak kepribadian diri sendiri maupun juga orang banyak sehingga dalam mencegah tindak pidana korupsi harus bermula dari diri sendiri dan kemudian secara bersama-sama. Dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi ini juga perlu ditingkatkan suatu inovasi yang lebih baik dengan cara mendidik para generasi penerus untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran yang tinggi serta meningkatkan moral dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar moral, etika dapat terarah kepada hal yang lebih postif. Dan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan kerja sama yang baik dan saling bersinergi antara para penegak hukum, yaitu Kepolisian, KPK, Kejaksaan, dan Peradilan, bukan saling menyerang dan menjatuhkan antara lembaga penegak hukum.


(3)

Karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi gerbang terdepan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebgaimana yang diamanatkan undang-undang, sehingga diharapkan di masa mendatang kasus korupsi di Indonesia bisa berkurang dan pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang dapat berjalan dengan baik.

2. Bagi para Pejabat Negara yang sedang menjalankan tugas dan tanggungjawabanya saat ini, hendaknya melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana amanat dari Undang-Undang yang mengatur jabatannya, menjadi teladan yang baik bagi bawahan serta masyarakat umum. Mengedepankan kepentingan umum/rakyat dari pada kepentingan keluarga/pribadi, karena sesungguhnya Pejabat Negara itu merupakan Pelayan Negara, karena gaji serta fasilitas yang diperoleh saat menjadi Pejabat Negara merupakan berasal dari uang rakyat. Untuk itu sebagai Pejabat Negara harus bisa memberikan pelayanan yang baik bagi rakyat, menghindari berbagai macam praktik yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme agar tujuan dan cita-cita Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat tercapai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adji Seno Indryanto. 2006.Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana.Jakarta: Diadit Media.

Amiruddin. 2010.Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Penerbit Genta Publisihing.

Asshiddiqie Jimly. 2010. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers. Bambang Poernomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia. Effendy, Marwan. 2013.Korupsi & Strategi Nasional. Jakarta: Press Group. Ekaputra, Mohammad. 2013.Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: Usu Press. Gunadi Ismu &Efendi Joenaidi. 2014.Cepat dan Mudah Memahami Hukum

Pidana. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hakim, Rahmat. 2000.Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya

Harahap, Yahya. 1993.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I). Jakarta: Pustaka Kartini.

Hartanti, Evi. 2005.Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Sinar Grafika, Jakarta. Huda, Chairul. 2006.Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Pidana dan

Pertanggung jawaban Pidana. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Marpaung, Leden. 1992.Tindak Pidana Korupsi Masalah Dan Pemecahanya. Jakarta: Sinar Grafika.

Mas, Marwan. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mertokusumo, Sudikono. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.


(5)

Mugiharjo. 1997.Korupsi Dalam Menyongsong Era Liberisasi. Suara Pembaruan Online.

Nasution, Karim A. 1981. Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana. Jakarta: CV. Pantjuran Tujuh.

Oemar Senoadji. 1985. KUHAP Sekarang.

Sjawie F. Hasbullah. 2015.Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pranada Media Group.

Soekanto Soerjono, Abdullah Mustafa. 1980.Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

Soesilo, R.1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum). Bogor: Politeia.

Sofyan, Andi & Asis, Abd. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Prenadamedia Group.

Sudarto. 1996.Hukum dan Hukum Pidana. Alumni Bandung, cetakan Keempat.

B. Media Internet

http://www.tahupedia.com/content/show/587/10-Negara-Terkorup-Di-Dunia. diakses tanggal 2 mei 215.

http://makalainet.blogspot.com/2013/10/korupsi.html?m=1. Diakses tanggal 3 mei 2015.

http://intisari-online.com/mobile/read/kasus-korupsi-di-indonesia-meningkat-di-2013-2014. diakses tanggal 3 mei 2015.

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html?m=1, diakses tanggal 8 mei 2015.

http://princemalekrove.blogspot.com/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 15 Mei 2015

http://avirista.blogspot.com/2012/11/pengertian-pejabat-negara.html?m=1. Diakses pada tanggal 22 Mei 2015.

http://fayusman-rifai.blogspot.com/2011/02/bentuk-bentuk-tindak-pidana-korupsi.html?m=1. Diakses pada tanggal 31 mei 2015.


(6)

http://kpk.go.id/gratifikasi/images/pdf/memahami/pdf. Diakses pada tanggal 7 juni 2015.

http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di-html?m=1. Diakses Pada tanggal 28 Juni 2015.

http://yenniwidiastuti.blogspot.com/2014/ -html?m=1. Diakses Pada tanggal 30 Juni 2015.

C. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989.

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

D. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)

0 68 154

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

2 17 70

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

0 2 11