Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law

(1)

ANALISIS GUGATAN BERSIFAT

IN REM

TERHADAP

HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI PADA

SISTEM HUKUM

COMMON LAW

TESIS

Oleh

OLOAN E. HUTABARAT

077005053/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Judul Tesis : ANALISIS GUGATAN BERSIFAT IN REM TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI PADA SISTEM

HUKUM COMMON LAW

Nama Mahasiswa : Oloan E. Hutabarat Nomor Pokok : 077005053

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Ketua

)

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

Anggota Anggota

)

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(3)

ABSTRAK

Gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal proses

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?, Kedua, Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Ketiga, Bagaimana kendala dan solusi penerapan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law di Indonesia?

persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan perbandingan (Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu. Sebagai Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan Kedua, Instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diutamakan terhadap kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara; Ketiga, kendala penerapannya, meliputi : sistem hukum yang kaku, belum memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, serta perilaku para penegak hokum yang cenderung KKN dan masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang.

Saran didalam penelitian ini diantaranya : Kesatu, Guna kepentingan untuk mengejar aset tindak pidana korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan baru yang mengatur penyitaan aset secara perdata maupun secara pidana. Kedua, Instrumen yang perlu diterapkan adalah tidak selalu bergantung pada adanya kerugian Negara dan penyelesaiannya harus dilakukan secara perdata, yaitu dilakukan secara terpisah dengan penyelesaian secara pidana. Ketiga, sebaiknya para penegak hukum tidak terpaku pada aturan undang-undang saja (asas legalitas), tetapi harus lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat.


(4)

ABSTRACT

Civil complaint regulated in Law on Corruption has the concept which is almost the same as the in rem complaint applied in the common law system but the most significant difference is their solution in which the effort of civil law in the Law of Corruption is only familiar with the trial process following the formal or ordinary material civil law.

The research questions discussed in this study were: first, why does the Common Law System-based in rem complaint need to be applied in corruption cases?; second, How is the instrument needed to be applied in the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia?; and third, what constraints and solutions are faced in applying the instrument of the Common Law System-based in rem complaint in Indonesia?

This study employed a Comparative Approach to compare the law in one country to that in other countries in a certain period of time. The data for this study were obtained from the primary legal materials such as Law No. 20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Corruption Eradication, law No. 30/2002 on Corruption Eradication Commission, Law No.7/2006 on the Ratification of United Nations Convention Against Corruption, 2003, and the other related regulations.

The conclusion drawn fronm this study are that, first, the in rem complaints against the results of corruption in Common Law System needs to be applied; second, the instrument of the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia is prioritized on the cases which have obviously inflicted financial loss to the state; third, the constraints faced include rigid legal system, the principle of multi-jurisdictional litigation is not yet maximized, the law enforcers still tend to practice corruption, collusion, and nepotism and favor the legislation rules. It is suggested that: first, for the sake of pursuing the assets obtained through corruption, it is necessary to introduce a new civil or criminal rule regulating asset confiscation; second, the instrument needed to be applied does not always have to depend on the state loss and its solution must be done based on civil law which is separately done from the solution based on criminal law; and third, the law enforcers should not get stuck to the rules of legislation alone (principle of legality), but should pay more attention to the public sense of justice.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada sistem hukum Common Law” ,merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisannya juga menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak

terhingga kepada : Prof. Dr. Bismar Nasution,S.H.,M.H, Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.Hum, Syafruddin Hasibuan,S.H.,M,H, DFM,

ditengah-tengah kesibukannya meluangkan waktu dan penuh perhatian memberi bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang turut memberikan dukungan, yaitu :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, Msc(CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada


(6)

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum.

2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum.

3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H.,M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala arahan dan dorongan yang diberikan selama menuntut ilmu di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang senantiasa membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Sefwitson, S.H.,M.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Tanjungpadan yang telah memberi izin penelitian, dan memberikan dukungan kepada penulis mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua (Tambok Hutabarat,S.E. dan Herlina Hutagalung), kedua mertua (Ir. S. Siahaan dan Dr. dr. Sarma Lumbanraja, SpOG (K)) yang selalu memberikan dukungan nasihat-nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

7. Istri tercinta (dr. Hatsari M.P.S. Siahaan,SpOg) beserta anak-anakku tersayang (Oloi Eleazar Mario Hutabarat dan Olin Emanuelle Hutabarat) yang selalu sabar


(7)

membagi hati dan pikirannya menjadi kekuatan, inspirasi dan motivasi penulis dalam penyelesaian pendidikan ini.

8. Saudara-saudaraku terkasih (Pytua Hutabarat, Dr Eng. Nauas DM Romauli Hutabarat, S.Tp. M.Eng beserta lae Himsar Ambarita, S.T.P.HD , Anggina Hutabarat,Amd, dr Jesurun B.D. Hutabarat, Gratia Hutabarat) yang selalu mndukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

9. Rekan-rekan hakim yang selalu membantu memberi masukan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

10. Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang saling memberikan dukungan salam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya, kritik dan saran konstruktif penulis harapkan demi perbaikan pada masa yang akan datang. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hokum khususnya.

Medan, Maret 2013 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….………... i

ABSTRAC ………. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

RIWAYAT HIDUP ……….. vi

DAFTAR ISI ……….……… vii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ……….… ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 15

C. Tujuan Penelitian ………..……….. 15

D. Manfaat Penelitian……… 16

E. F. G. Keaslian Penelitian ……….……….. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ………. Metode Penelitian ………. 16 18 25 BAB II PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM COMMON LAW ……… 29

A. Perkembangan gugatan bersifat in rem pada negara common law ……… 29

B. Prosedur gugatan bersifat in rem ……….. 38

C. Penerapan dan Penggunaan Gugatan Bersifat In Rem … 42 D. Upaya Pemberantasan Korupsi oleh Negara-Negara di Dunia ……… 46 E. Implementasi UNCAC dalam Gugatan In Rem …….. 47

F. Upaya Indonesia Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi ……… 55 BAB III PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ………. 59

A. Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ……….……… ……….. 59

B. Instrumen Perdata dalam Gugatan Korupsi …………. 62

C. Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum Di Indonesia ... 68

D. Ratifikasi UNCAC ... 93

E. Kendala-kendala Dalam Menerapkan Instrumen Gugatan Bersifat In Rem Berdasarkan Sistem Hukum Common Law Di Indonesia ………. 101

F. Contoh Kasus ... 106


(9)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………..…….. 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 132


(10)

ABSTRAK

Gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal proses

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?, Kedua, Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Ketiga, Bagaimana kendala dan solusi penerapan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law di Indonesia?

persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan perbandingan (Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu waktu tertentu. Sebagai Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa; Pertama, Gugatan bersifat in rem terhadap hasil tindak pidana korupsi pada Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan Kedua, Instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, diutamakan terhadap kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara; Ketiga, kendala penerapannya, meliputi : sistem hukum yang kaku, belum memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, serta perilaku para penegak hokum yang cenderung KKN dan masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang.

Saran didalam penelitian ini diantaranya : Kesatu, Guna kepentingan untuk mengejar aset tindak pidana korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan baru yang mengatur penyitaan aset secara perdata maupun secara pidana. Kedua, Instrumen yang perlu diterapkan adalah tidak selalu bergantung pada adanya kerugian Negara dan penyelesaiannya harus dilakukan secara perdata, yaitu dilakukan secara terpisah dengan penyelesaian secara pidana. Ketiga, sebaiknya para penegak hukum tidak terpaku pada aturan undang-undang saja (asas legalitas), tetapi harus lebih memperhatikan rasa keadilan masyarakat.


(11)

ABSTRACT

Civil complaint regulated in Law on Corruption has the concept which is almost the same as the in rem complaint applied in the common law system but the most significant difference is their solution in which the effort of civil law in the Law of Corruption is only familiar with the trial process following the formal or ordinary material civil law.

The research questions discussed in this study were: first, why does the Common Law System-based in rem complaint need to be applied in corruption cases?; second, How is the instrument needed to be applied in the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia?; and third, what constraints and solutions are faced in applying the instrument of the Common Law System-based in rem complaint in Indonesia?

This study employed a Comparative Approach to compare the law in one country to that in other countries in a certain period of time. The data for this study were obtained from the primary legal materials such as Law No. 20/2001 on the amendment of Law No. 31/1999 on Corruption Eradication, law No. 30/2002 on Corruption Eradication Commission, Law No.7/2006 on the Ratification of United Nations Convention Against Corruption, 2003, and the other related regulations.

The conclusion drawn fronm this study are that, first, the in rem complaints against the results of corruption in Common Law System needs to be applied; second, the instrument of the Common Law System-based in rem complaint related to the Law on Corruption in Indonesia is prioritized on the cases which have obviously inflicted financial loss to the state; third, the constraints faced include rigid legal system, the principle of multi-jurisdictional litigation is not yet maximized, the law enforcers still tend to practice corruption, collusion, and nepotism and favor the legislation rules. It is suggested that: first, for the sake of pursuing the assets obtained through corruption, it is necessary to introduce a new civil or criminal rule regulating asset confiscation; second, the instrument needed to be applied does not always have to depend on the state loss and its solution must be done based on civil law which is separately done from the solution based on criminal law; and third, the law enforcers should not get stuck to the rules of legislation alone (principle of legality), but should pay more attention to the public sense of justice.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum.1

Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat rumit, bangsa Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas kezoliman terutama “korupsi” yang merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun disaksikan bersama kenyataannya setelah sekian lama gerakan reformasi tidak mampu berbuat banyak, seperti contoh korupsi terus tumbuh semakin subur, sementara supremasi hukum bagaikan menegakkan benang basah.2

Dulu, sebelum 1945, musuh utama bangsa Indonesia adalah penjajah Belanda. Belandalah yang membuat bangsa ini miskin, tertindas, terbelakang, dan sengsara. Karena itu, sudah selayaknya bangsa ini bahu-membahu tanpa

1

Erman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta : PT. Tatanusa, 2004), Hal 1.

2

Sambian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Konsep Philippe Nonet & Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System & Common Law System Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), Hal 14.


(13)

kenal menyerah dan lelah untuk bangkit melawan penjajah Belanda. Merdeka atau mati adalah semboyan yang pas dipekikkan waktu itu.3

Saat ini musuh terberat adalah para koruptor. Koruptor telah mencuri uang rakyat bukan hanya miliaran rupiah per tahun, melainkan triliunan. Kasus pengemplangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penyalahgunaan dana Bank Indonesia, illegal loging yang puluhan triliun per bulan, korupsi perizinan, pemborosan anggaran daerah dan nasional, serta suap-menyuap. Semua itu hanya dinikmati segelintir elite politik.4

Pada awal kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangatlah dicanangkan gerakan pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat dari banyaknya pejabat Negara yang diijinkan untuk diperiksa dan dibawa ke pengadilan. Hal ini sangat berbeda dengan kepemimpinan presiden yang sebelumnya dimana proses mendapatkan ijin dari presiden memakan waktu yang berlarut-larut, bahkan sampai pejabat yang hendak diperiksa tersebut lengser dari kursi jabatannya.

Salah satu contoh kasus korupsi yang sempat mencuat adalah pada skandal BLBI yang telah menyebabkan kerugian Negara dalam jumlah yang sangat besar yakni 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpangan penyaluran BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dan Rp 84,842 triliun (58,7%) dari penyimpangan

3

Jabir Alfaruqi, Nasionalisme Baru Tanpa Korupsi, 6 Agustus 2008

4


(14)

penggunaan BLBI, serta Rp. 17,76 triliun (33%) dari penyimpangan penggunaan rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blanket guarantee).5

Bukan hanya itu, kerugian juga ditimbulkan akibat dikucurnya Rp. 431,6 triliun untuk penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan, ditambah sedikitnya Rp. 600 triliun sebagai pembayaran bunganya. Sementara, atas dana BLBI yang dikucurkan hanya sekitar 28 % rata-rata tingkat pengembalian uang negara (recovery rate) dari penyelesaian kewajiban obligator melalui mekanisme Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Beban utang yang harus ditanggung oleh negara akibat skandal BLBI itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp 1000 triliun harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiiap tahunnya mencapai Rp. 40 triliun – Rp. 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini menyebabkan menurunnya kemampuan keuangan Negara, khususnya dalam membiayai pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan rakyat.

6

Secara umum, himpunan pengaturan mengenai korupsi di Indonesia telah banyak dikeluarkan yaitu antara lain: Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

5 Hizbut Tahrir Indonesia, Membongkar Kembali Mega Korupsi BLBI, 1 Maret 2008 2009.

6


(15)

Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi, Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-1 11212005 Nomor : KEP-IAIJ.A11212005 tentang Kerja Sama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan.

Khusus dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003


(16)

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional.7

Konvensi Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) telah merubah paradigma dalam melihat fenomena serta multi aspek korupsi sebagai kejahatan transnasional. Makin disadari, bahwa pencegahan korupsi, tidaklah dapat dilakukan oleh suatu negara tanpa adanya kerjasama dengan negara lain yang mempunyai komitmen sama dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang (termasuk Indonesia) yang umumnya disimpan di pusat-pusat finansial negara maju, merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi ini. Bagi Indonesia pengembalian aset negara sangatlah penting, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.8

Pada Bulan September 2007 the United Nations Office an Drugs and Crime dan World Bank secara resmi meluncurkan Stolen Asset Recovery Initiative (StAR I) yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan technical dan financial assistance untuk memperkuat kapasitas institusional

lembaga-7

I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery Iniative; Suatu Harapan Dalam

Pengembalian Aset Negar, Januari 2008

8


(17)

lembaga nasional dari negara-negara berkembang untuk dapat mengambil kembali asset-assetnya yang telah dicuri.9

Secara khusus prakarsa ini mempunyai lima tujuan. Pertama, membantu membangun kapasitas untuk merespon dan mengajukan permohonan untuk international mutual legal assistance. Kedua, membantu untuk diadopsinya dan diberlakukannya aturan mengenai penyitaan, termasuk undang-undang mengenai penyitaan tanpa hukuman atau kesalahan. Ketiga, membantu peningkatan transparansi dan akuntabilitas sistem manajemen keuangan public. Keempat, membantu membentuk dan memperkuat lembaga anti korupsi nasional. Kelima, membantu mengawasi dana yang dikembalikan (monitoring) apabila diminta oleh Negara terkait.10

Kebijakan dan ketentuan tentang perampasan harta hasil kejahatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan yang mengatur tentang pergerakan uang internasional (international money movement) yang populer dengan label anti-money laundering.11

Pada era interdependensi antar negara, kerjasama internasional atau soft power merupakan pilihan utama dibanding dengan hard power dalam pengembalian harta hasil kejahatan. Soft power bersumber dari aturan dan

9

Bismar Nasution, Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia” Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007.

10Ibid 11

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan (Bandung : BooksTerrace & Library, 2005) Hal 306.


(18)

institusi rezim internasional yang memperngaruhi suatu negara agar bertindak sesuai dengan aturan yang disepakati. Sebaliknya hard power, terjadi ketika suatu negara memerintahkan negara lain bertindak sesuai dengan keinginannya.12

Beberapa koruptor mungkin dapat dideteksi dan kemudian dihukum. Akan tetapi lingkungan bisnis dan pemerintahan yang bersih tidak akan terwujud kecuali dapat memberdayakan peran supply-side, yaitu dengan menyusun dan mengimplementasikan standar etika bisnis atau good corporate governance. Dan dibutuhkan pula komitmen yang kuat dari sektor swasta untuk menerapkannya.13

Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Anglosaxon/Common Law tidak lagi memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum yang demikian memungkinkan mengenal adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture memungkinkan penyitaan atau perampasan hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan negara-negara penganut sistem Eropa Kontinental/Civil Law. Asset Forfeiture hanya dikenal dalam proses sistem hukum pidana, yang dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.14

12 Zulkarnain Sitompul, Hal 306-307. 13Ibid

, Hal 310. 14

Lihat Azamul F. Noor dan Yed Imran, Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana; Suatu Telaahan Baru dalam Sistem Hukum Indonesia, 28 November


(19)

Seperti layaknya di Indonesia, ketentuan hukum acara pidana yang digunakan penyidik adalah penyitaan atau sita in persona yaitu penyitaan terhadap benda-benda milik terdakwa karena benda-benda yang akan disita tersebut dinilai ada hubungannya dengan tindak pidana. Hal tersebut akan menjadi masalah jika berkaitan dengan tindak pidana khusus, seperti korupsi dimana penyidik tidak mudah menemukan hubungan langsung antara aset yang hendak disita dengan perbuatan pidana dan pelaku.

Harapan terhadap rejim civil forfeiture menjanjikan karena dapat melakukan penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset secara perdata. Karena sifatnya perdata, rejim ini tidak mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Penuntut cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana dengan standar pembuktian perdata (formil). 15

Secara umum civil forfeiture adalah gugatan bersifat in rem yang tidak mempunyai kaitan dengan tindak pidananya. Misalnya, dalam rejim ini pemilik aset tidak harus membuktikan mengenai kesalahannya atau keterlibatannya dalam sebuah tindak pidana korupsi, sehingga hubungan antara tipikor yang

2007

15 Lihat Bismar Nasution, Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi, disampaikan pada mata Kuliah Money Laundering, Program Pasca Sarjana FH-USU, Medan, Oktober 2008.


(20)

diduga dan keterlibatan pemilik aset dengan tipikor tersebut tidak relevan dalam persidangan dan hanya hubungan antara pemilik dan aset yang dituntutlah yang menjadi fokus dari persidangan. Konsekwensi logis dari hal ini akan membantu kelancaran proses pengambilalihan aset hasil korupsi karena status, keberadaan atau kondisi si koruptor tidak akan menghambat proses persidangan.16

Sebagai gambaran umum, negara-negara common law

1. Untuk mengidentifikasi setiap harta kekayaan yang berasal, baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana, dengan tujuan agar harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara;

telah memiliki perangkat hukum yang mencegah hasil kekayaan tindak pidana digunakan atau dinikmati oleh pelaku pidana dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Asset Forfeiture. Undang-Undang tentang Asset Forfeiture ini dimaksudkan untuk hal-hal sebagai berikut:

2. Untuk menyita setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil tindak pidana, termasuk di dalamnya harta kekayaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana, harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana, atau sebagai sarana atau prasarana pendukung tindak pidana;

3. Untuk menjamin agar harta kekayaan yang disita dapat digunakan untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana, termasuk di dalamnya untuk menjamin bahwa harta kekayaan milik pelaku tindak pidana 16


(21)

tidak dialihkan atau dipindahtangankan kepada orang lain sehingga menjamin terlaksananya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini;

4. Mencegah harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut digunakan untuk melanjutkan tindak pidana tersebut atau melakukan tindak pidana yang lain; 5. Untuk mengambil alih keuntungan pelaku tindak pidana menjadi milik

negara, sekaligus sebagai salah satu elemen "general deterrence" yang ampuh.17

Dalam 18 US Code Section 981 diatur hasil kejahatan yang dapat dilakukan penyitaan secara perdata yaitu harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana terorisme, perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya, money laundering, fraud (penipuan), korupsi, perampokan dan lainnya. Didalam 18 US Code Sections 981 (a) (1) (C); 1956 (c) (7) (B) diatur juga proses penyitaan perdata terhadap hasil kejahatan dari tindak pidana yang dilakukan di luar negeri (crimes commited overseas) seperti perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya, penyuapan, penipuan, tindak pidana di bidang perbankan, pembunuhan, perdagangan manusia dan extraditable offences. Tidak dikenal substitute assets sehingga yang dapat diajukan penyitaannya adalah harta kekayaan yang berasal atau terlibat di dalam tindak pidana.18

17Ibid . 18

Lihat Naskah Akademik, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006, Hal 47.


(22)

Dalam hal harta kekayaan berada di luar negeri dan pengadilan di luar negeri telah melakukan pemeriksaan atas harta kekayaan tersebut atas pengadilan Amerika Serikat, maka Pengadilan Amerika Serikat harus melakukan control terhadap harta kekayaan tersebut. Setiap harta kekayaan yang dilakukan penyitaan dan perampasan secara perdata dapat diblokir dan harus diumumkan kepada publik berdasarkan perintah pengadilan.19

Dalam perkara korupsi sebagaimana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diatur mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui ketentuan Pasal 3220), Pasal 3321) dan Pasal 3422) serta Pasal 38C23) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 melalui gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5)24

19Ibid.

)

, Pasal

20

Pasal 32 ayat (1) menentukan: “(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan“ dan Ayat (2) menentukan: ”Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”.

21 Pasal 33 menentukan: ”Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

22 Pasal 34 menentukan: ”Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”.

23

Pasal 38C menentukan: ”Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.

24

Pasal 38 Ayat(5) menentukan: ”Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak


(23)

38 ayat(6)25) dan Pasal 38B ayat (2)26) dengan jalur pidana melalui proses penyitan dan perampasan.27

Aspek substansial nuansa hukum perdata tersebut eksis dalam rangka mengembalikan aset pelaku tindak pidana korupsi kepada negara. Tegasnya, ada gabungan antara jalur kepidanaan (criminal procedure) dan jalur keperdataan (civil procedure) pada kebijakan legislasi Indonesia untuk memberantas tindak pidana korupsi,28 karena pemberantasan korupsi menimbulkan kesulitan yaitu harus menantang kepentingan-kepentingan kuat yang bercokol, terorganisasi dalam kelompok-kelompok yang membangkitkan keuntungan timbal balik.29

Ketentuan-ketentuan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik di tingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.30

pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”.

Ketentuan pasal ini banyak menimbulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata

25 Pasal 38 Ayat (6) menentukan: ”Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding”.

26

Pasal 38B Ayat(2) menentukan: ”Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”.

27

Lilik Mulyadi, Ibid. Hal 101-103 28

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : P.T. Alumni, 2007) Hal 101

29

The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia, Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan (Jakarta : Kantor Bank Dunia Jakarta, 2004) Hal 61

30


(24)

tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikut jalur polarisasi pembentuk Undang-Undang, berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti, walaupun bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap dapat dilakukan gugatan perdata.31

Pasca KAK 2003, kebijakan legislasi akan dihadapkan adanya perumusan tindak pidana korupsi yang tidak mempermasalahkan lagi adanya unsur kerugian keuangan negara, karena berdasarkan ketentuan Pasal 20 KAK 2003 tindak pidana korupsi berorientasi kepada perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment).32

Tegasnya, unsur kerugian negara bukan unsur penting sebagaimana redaksional ketentuan Pasal 3 butir 2 KAK 2003 tentang “scope application”, yang menegaskan bahwa :33

“For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except as otherwise stated herein. For the offence set forthin it to result in damage or harm to State property”.

(untuk tujuan pelaksanaan konvensi ini, tidak perlu, kecuali ditentukan lain dalam konvensi ini, bahwa kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam konvensi ini mengakibatkan kerusakan atau mencederai kekayaan Negara)34

31

Ibid. Hal 108 32Ibid. Hal 109 33Ibid

. Hal 109 34

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005) Hal 323-324


(25)

Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan, dalam praktek peradilan lazim juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dengan modus operandi pengembalian tersebut dilakukan secara sukarela. Misalnya dalam praktek terjadi perkara Abdullah Puteh sebagaimana diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor. 1344 K/Pid/2005.35

Terkait dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana korupsi, Undang-Undang Antikorupsi telah mengetengahkan konsep pengembalian kerugian keuangan negara. Konsep tersebut diharapkan mampu mengembalikan kerugian negara di samping pelaku tindak pidana korupsi dikenai sanksi pidana, juga dikenai pidana uang pengganti yaitu dengan jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Tetapi dalam praktiknya, pengembalian uang pengganti jarang dilakukan.

Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut diataslah yang menjadi latar belakang penulis untuk mengadakan penelitian tesis ini yang berjudul : ANALISIS GUGATAN BERSIFAT IN REM TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI PADA SISTEM HUKUM COMMON LAW.

35


(26)

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengapa gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law perlu diterapkan terhadap Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana instrumen yang perlu diterapkan pada gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

3. Bagaimana kendala dan solusi dalam menerapkan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui penerapan gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law terhadap Tindak Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui instrumen yang perlu diterapkan gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law yang dikaitkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

3. Untuk mengetahui kendala dan solusi dalam menerapkan gugatan bersifat in rem berdasarkan Sistem Hukum Common Law di Indonesia.


(27)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih mendalam.

2. Secarapraktis

Manfaat penelitian ini dapat memberikan pemikiran-pemikiran baru bagi pemerintah, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan dalam mengatasi kendala-kendala yang di temui di lapangan dan juga dapat menjadi pedoman atau referensi bagi pihak pencari keadilan guna tercapainya kepastian hukum sesuai dengan perkembangan perekonomian Indonesia sekarang ini.

E. Keaslian Penelitian

Pada tahun 2009, Irdanul Achyar melakukan penelitian terhadap analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture dalam Pemberantasan Money


(28)

Laundering.36

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang analisis gugatan bersifat in rem terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada sistem hukum common law dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama.

Penelitian ini secara umum mengkaji tentang penerapan rezim civil forfeiture yang memfokuskan pada tindak pidana pencucian uang dan tidak ada membahas mengenai gugatan terhadap harta yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.

Jadi berdasarkan pemahaman penulis dalam menelusuri bahan-bahan hukum dan kepustakaan, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan dan saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

36

Irdanul Achyar, Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture dalam Pemberantasan Money Laundering- Tesis,(Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009)


(29)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi. 1. Kerangka Teori

Di dalam melakukan suatu penelitian di perlukan adanya kerangka teoritis bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.37

Salah satu yang menjadi sorotan publik terhadap dunia peradilan adalah mengenai penanganan korupsi melalui proses persidangan. Terbukti bersalah atau tidaknya terdakwa yang diajukan ke persidangan disertai dengan jumlah besaran kerugian Negara yang telah secara sah terbukti diselewengkan oleh terdakwa merupakan ujung dari sorotan publik tersebut, begitu pula dengan aspek pengembalian kerugian Negara akibat perbuatan korupsi tersebut.

Penyebutan gugatan perdata yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hampir memiliki konsep yang sama dengan gugatan in rem yang diterapkan dalam sistem hukum common law, tetapi perbedaan yang paling menonjol adalah cara penyelesaiannya, dimana upaya hukum perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hanya mengenal proses

37

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982), hal. 37.

persidangan yang mengikuti hukum perdata formil atau materil biasa. Sehingga dalam gugatan perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana


(30)

Korupsi

Dengan mengacu pada uraian yang telah diuraikan sebelumnya, dapatlah dipahami bahwa produk hukum Indonesia mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana mendapatkan problema hukum sedangkan tindak pidana korupsi terjadi pada setiap Negara diseluruh dunia, dimana tiap negara mengimplementasikan aturan-aturan hukum materiilnya masing-masing.

hanyalah dapat diajukan apabila telah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap serta adanya kewajiban bagi Jaksa Pengacara Negara untuk membuktikan adanya kerugian Negara.

Problema hukum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi inilah yang menyebabkan perlunya diadopsi pengaturan gugatan in rem pada sistem hukum common law di Indonesia. Dalam mengimplementasikan instrument ini, pemerintah harus memperhatikan sistem hukum perdata Indonesia yang berlaku sehingga diperlukan adanya perbandingan hukum antara kedua sistem hukum tersebut karena hukum menyangkut nasib manusia, baik dalam bidang perdata maupun pidana, bahkan nyawapun bisa dipertaruhkan sehingga diperlukan kecermatan, ketepatan dan mungkin juga kecepatan dalam mengambil keputusan.38

38

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2007) Hal 95.


(31)

yang seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum.39

Perbandingan hukum (Rechtsvergelijking) pada dasarnya menunjukkan suatu rangkaian kegiatan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain; dengan perkatan lain membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu sistem (stelsel) hukum dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain.40

Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan mengenai comparative law: Perbandingan hukum akan dapat memberikan bahan-bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara berangsur-angsur demi integrasi masyarakat, terutama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia dan yang menjadi tujuan akhir bukan lagi menemukan persamaan dan/atau perbedaan, akan tetapi justru pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.41

Menurut Ridwan Khairandy, menyatakan :

Perbandingan hukum itu adalah usaha mempelajari beberapa sistem hukum secara berdampingan, dengan tujuan untuk menemukan persamaan atau perbedaan dalam sistem hukum tersebut yang memungkinkan untuk mengambil kesimpulan tertentu yang dapat membantu seseorang dalam memecahkan masalah-masalah tertentu yang dikemukakan ilmu pengetahuan hukum praktik hukum.42

39 Phillippe Nonet & Philip Selzenick, Law and Society in Transition: Toward Responsive

Law, (NewYork: Harper &Row, 2003), yang diterjemahkan oleh Rafael Edy Bosco, Op.cit. hal.59. 40

Syafruddin, Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana

41 Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, (Bandung : Penerbit Alumni, 1979), Hal 62 42

Sambian Utsman, Op. Cit.Hal 54 sebagaimana dikutip dari Ridwan Khairandy, Sari Kuliah Perbandingan Sistem Hukum tentang Sitem Peradilan, Program Doktor Ilmu Hukum UII, Yogyakarta: PPs FH UII, hal 1.


(32)

Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum (comparative law) menjadi tiga bagian, yaitu:43

a. Hukum secara deskriptif, yaitu mencoba untuk menginventarisasi sistem hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat beberapa kategori hubungan hukum.

b. Perbandingan mengenai sejarah hukum, yaitu mencoba untuk menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.

c. Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan

yurisprudensi, yaitu mencoba untuk menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.

Lawrence M. Friedman juga memberikan pandangan yang mengatakan bahwa hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh luar.44

43

Pan Mohamad Faiz, Klasifikasi dan Nilai dari Perbandingan Hukum

Dengan adanya perbandingan hukum antar Negara pada akhirnya akan melahirkan

44 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 37-38. sebagaimana dikutip dari Lawrence M. Friedman, Legal Cultur and Welfare State; Law and Society-An Introduction. Cambridge. Massachusetts. London. Harvard University Press. 1990. Hal. 89.


(33)

produk hukum yang dapat diterapkan di Negara Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Jeremy Pope bahwa dampak dari undang-undang anti-korupsi yang normal biasanya dapat diperkuat dengan menambahkan dua unsur yaitu waktu untuk bertindak dan peran serta orang luar.45

2. Landasan Konsepsi

Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memberikan definisi dari istilah-istilah tersebut, antara lain:

a. Gugatan bersifat in rem adalah gugatan berupa penyitaan dan pengambilalihan terhadap suatu asset46 melalui jalur perdata.47

b. Menganalisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Tindak Pidana Korupsi adalah48

45

Lihat Bismar Nasution, Menjaga Demokrasi dengan Pemberantasan Korupsi, Disampaikan pada Seminar Nasional “Bersama Rakyat Membangun Demokrasi” dilaksanakan oleh Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi, Hotel Asean International, tanggal 13 Desember 2005, Medan. Hal 8. sebagaimana dikutip dari Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, (Yayan Obor Indonesia,Jakarta, 2003), hal. 402

:

46

David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.

47

Bismar Nasution, Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi,Op.Cit. Hal 1. 48

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus


(34)

1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2);

2). Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;

3). Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423 atau Pasal 435 KUHP; serta Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12;

4). Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut (Pasal 13);

5). Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);

6). Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);


(35)

7). Setiap orang diluar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16);

c. Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap semua unsur-unsur juridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.49

d. Common law pada umumnya lebih berupa asas kaidah, bukan peraturan tertulis, tidak berupa aturan-aturan yang absolute, tetap dan tanpa dapat berubah; namun berupa asas-asas yang umum dan komprehensif berdasarkan rasa keadilan, pertimbangan akal, dan pendapat umum yang dapat diterima. Common law merupakan asal-usul dan penyebaran praktik peradilan. Asas-asasnya ini mudah beradaptasi terhadap keadaan, kepentingan, hubungan dan pemakaian ungkapan yang baru, sebagaimana kemajuan masyarakat mungkin sekali mengharuskan demikian.50

49

Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU,1998) Hal 115

50

Sambian Utsman, Op. Cit, Hal 65-66 sebagaimana dikutip dari steven Gifis, Law Dictionary, dalam Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum) (Yogyakarta : Gama Media, 2002), Hal 91.


(36)

e. Civil forfeiture adalah penyitaan dan pengambilalihan suatu asset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap asset.51

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan pendekatan perbandingan (Comparative Approach) hukum yaitu kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatau waktu tertantu dengan hukum dari waktu yang lain yang bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua Negara atau lebih. Penyikapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan perundang-undangan.52 dan kemudian diteliti secara deskriptif analitis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori53

51

David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.

52 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2005) Hal 133.

53

Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 17.


(37)

2. Sumber Data

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berasal dari penelitian kepustakaan (library research) sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi, selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer berupa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: 1 11212005 Nomor: KEP-IAIJ.A11212005 tentang Kerja Sama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 7


(38)

Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan hukum pidana dan acara perdata, hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. 4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh, dikumpulkan untuk selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif tersebut dilakukan


(39)

dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang ketentuan mengenai adanya gugatan yang bersifat in rem terhadap pelaku tindak puidana korupsi dalam sistem hukum common law dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data dianalisis secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi, sehingga dapat menjadi acuan dan pertimbangan hukum dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul.


(40)

BAB II

PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT IN REM DALAM SISTEM HUKUM COMMON LAW

A. Perkembangan gugatan bersifat in rem pada negara common law

Selama abad pencerahan (renaissance), ilmu pengetahuan hukum di Eropa dipengaruhi oleh kekuatan dan ketentuan hukum Romawi yang digali kembali, dan hukum Romawi sangat mempengaruhi perkembangan gaya dan muatan hukum di berbagai negara. Namun, bangsa Inggris tidak tergoda oleh keagungan Roma melainkan tetap memegang erat tradisi aslinya. Memang dalam kenyataannya, banyak pemikiran dan istilah dari hukum Romawi dan Eropa Kontinental masuk ke sistem hukum Inggris, namun inti sistem hukumnya tetap kokoh. Sistem yang lokal yang kuat ini disebut sistem hukum anglo amerika (common law).54

Common law system atau Sistem common law dikenal dan berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Pelopor utamanya adalah Negara Inggris. Kemudian sistem ini dikembangkan di Negara-negara commonwealth (Negara-negara persemakmuran Inggris). Tahun 1066 dianggap sebagai tahun kelahiran tradisi

54 Zuryawan Isvandiar Zoebir, “

COMPARATIVE LAW-LEGAL HISTORY-LEGAL ETHNOLOGY”, diakses pada


(41)

common law ketika bangsa Norman mengalahkan dan menaklukkan kaum asli (Anglo Saxon) di Inggris.55

Ada beberapa ciri pokok yang penting dalam common law system, yaitu antara lain:56

1. Pembangunan hukum tidak mengutamakan kodifikasi, nilai yang diangkat dan diterapkan sebagai hukum diambil dari nilai yang hidup dalam masyarakat, kebiasaan umum, maupun yang dianggap layak dan patut sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

2. Kebanyakan ketentuan hukumnya tidak tertulis (unwritten law) yaitu dengan kata lain disebut hukum kebiasaan.

3. Konkretisasi hukum melalui putusan pengadilan. Dengan adanya putusan pengadilan, maka akan menjadi hukum yang digunakan sebagai pedoman dan rujukan untuk menyesuaikan sengketa yang timbul dikemudian hari. 4. Menganut sistem preseden, yaitu apabila suatu nilai hukum telah

dikonkretkan melalui putusan pengadilan, maka semua pihak terikat untuk mengikatnya.

Sistem hukum anglo Amerika (common law), tumbuh pertama kali dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di Inggris pada abad ke-19, ketika semangat romantisme historis, utilitarianisme, positivisme ilmiah dan

55

Bismar Nasution, Reformasi Pendidikan Hukum yang Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional, yang disampaikan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-51Fakultas Hukum USU, Harian Waspada, tanggal 27 Februari 2007.

56

M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997),Hal 425-426


(42)

materialisme ekonomi yang mempunyai pendekatan empiris, induktif dan individualistis dalam melakukan upaya pemecahan pada setiap masalah-masalah hukum.

Common law berbeda dan terus berbeda dalam banyak hal dengan tatanan hukum di negara-negara Eropa lainnya. Satu hal yang penting, sistem hukum Anglo Amerika (common law) menolak kodifikasi. Tidak pernah ada semacam Undang-undang Napoleon di Inggris. Prinsip dasar hukumnya tidak ditemukan dalam undang-undang yang dibuat di parlemen, dan hanya sebagian kecil ditemukan melalui pernyataan hukum yang sistematis, rinci yang disahkan oleh badan-badan legislatif atau diberlakukan melalui ketetapan.

Negara common law menganut sistem hukum yang menekankan kepada putusan hakim, membuat perkuliahan difokuskan kepada pembahasan kasus hukum dan putusan pengadilan sebagaimana pendapat Bismar Nasution, yang menyatakan:57

Pada common law system, peraturan perundang-undangan bukan harga mati bagi sebuah keadilan, sehingga sering sekali putusan hakim dijadikan parameter untuk menilai apakah suatu peraturan dapat diterapkan di masyarakat. Putusan pengadilan itu juga bukan hal yang mutlak harus diikuti, apabila seorang hakim menganggap suatu putusan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, dia dapat membuat putusan baru tentu dengan argumentasi yang kuat. Putusan ini akhirnya akan diuji oleh Mahkamah Agung apakah diterima atau ditolak, karena adanya doktrin kalau suatu putusan pengadilan tidak boleh bertentangan dengan putusan pengadilan diatasnya. Inilah yang membuat para Sarjana Hukum common law selalu melakukan analisis dan kritis terhadap hukum. Tidak jarang mereka melakukan perbandingan hukum untuk 57

Bismar Nasution, Reformasi Pendidikan Hukum yang Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional.Op.Cit.


(43)

menjustifikasi argumen mereka bahwa hukum yang berlaku tidak sesuai lagi diterapkan di masyarakat.

Negara Amerika Serikat muncul secara revolusi yang memandang Konstitusi/UUD sebagai suatu kitab suci.58

Common law juga memiliki ciri yang khas dalam hal substansi, struktur dan budaya, karena ada yang menonjol dan mendasar, ada yang kurang menonjol dan kurang mendasar, misalnya, dewan juri adalah lembaga common law, begitu juga perwalian (trust), yaitu seseorang atau bank sebagai wali (trustee) yang menerima uang atau harta kekayaan untuk diinvestasikan dan dikelola untuk kepentingan ahli waris tertentu.

Prinsipnya terdapat pada hukum perkara (case law), yaitu dalam perangkat pendapat yang ditulis oleh hakim, dan dikembangkan oleh hakim dalam memutuskan perkara tertentu. Doktrin preseden (precendent) adalah doktrin common law yang kuat yaitu hakim terikat oleh apa yang telah diputuskan.

59

Common law tidak lagi terkungkung di satu negara kecil. Bangsa Inggris membawanya ke koloninya dan dalam kebanyakan, common law berakar dan berkembang pesat. Semua negara yang menganut common law, dan karenanya merupakan The Anglo American Legal Family, pernah menjadi koloni Britania Raya (Kerajaan Inggris). Dengan kata lain, common law merajalela di negara

58

Eddy Purnama Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara lain, (Bandung: Nusamedia, 2007) Hal 112, sebagaimana dikutip dari Earl R. Kruschke, An Introduction to The Constitution of The United States,

American Book Company, New York, 1968, Hal 1. 59


(44)

mana saja yang berbahasa Inggris, antara lain: Amerika Serikat (kecuali Lousiana), Kanada (kecuali Quebec), Australia, Selandia Baru, Jamaika, Trinidad, Barbados dan Singapura.60

Gugatan bersifat in rem pada Negara Common law merupakan prosedur penyitaan dan pengambilalihan suatu asset dalam rejim Civil forfeiture. Konsep civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint” (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut.61 Walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambilalih asset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambilalih suatu asset.62

Harta kekayaan yang dapat dirampas disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang terkait yaitu meliputi:63

1. Setiap harta kekayaan hasil tindak pidana atau yang diperoleh dari hasil tindak pidana; dan atau

2. Harta kekayaan yang digunakan sebagai alat, sarana, atau prasarana untuk melakukan tindak pidana atau mendukung organisasi kejahatan; dan atau

60 Ibid.

61

Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum NAsinal, 2007, hal.22-23. sebagaimana dikutip dari David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, Hal 390.

62 Ibid. hal 389. 63

Lihat Azamul F. Noor dan Yed Imran, Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana; Suatu Telaahan Baru dalam Sistem Hukum Indonesia, Ibid.


(45)

3. Setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak pidana atau organisasi kejahatan; dan atau

4. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai tindak pidana atau organisasi kejahatan; dan atau

5. Segala sesuatu yang menjadi hak milik pelaku tindak pidana atau organisasi kejahatan;

Saat aset harta kekayaan pelaku digugat, si pelaku tindak pidana tidak perlu ditahan guna ikut dalam proses pembuktian secara pidana, karena tradisi pada Negara common law dan tort law yang mengharuskan semua yang bersalah harus dihukum, walaupun hukuman yang termasuk pelayanan masyarakat, ganti rugi dan bentuk lain dari hukuman penjara yang membiarkan terpidana untuk tetap aktif dalam masyarakat.64

Berdasarkan Undang-Undang Asset Forfeiture di Amerika Serikat, dikenal ada 3 jenis prosedur Asset Forfeiture, yaitu:65

1. Perampasan Harta Kekayaan secara Administratif (Administrative Forfeiture

Perampasan harta kekayaan secara administratif dapat dilakukan jika pemerintah menemukan dan menyita harta kekayaan di tempat kejadian perkara. Penyitaan dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa harta

)

64 O.C.Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,

(Bandung : PT.Alumni, 2006) Hal 125. 65

Azamul F. Noor dan Yed Imran, Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana; Suatu Telaahan Baru dalam Sistem Hukum Indonesia, Ibid.


(46)

kekayaan tersebut berdasarkan undang-undang dapat dirampas dengan diterbitkannya izin/persetujuan penyitaan oleh pengadilan.

Pejabat pemerintah yang melakukan penyitaan harta kekayaan harus menyerahkan surat pemberitahuan kepada orang yang menguasai harta kekayaan dan orang-orang yang memiliki kepentingan atau terkait dengan harta kekayaan serta memberitahukan kepada masyarakat melalui surat kabar dan papan pengumuman pengadilan bahwa penyidik telah menyita harta kekayaan ini dan akan merampasnya untuk negara.

2. Perampasan Harta Kekayaan secara Pidana (Criminal Forfeiture

Perampasan harta kekayaan secara pidana merupakan bagian dari pelaksanaan putusan hakim pidana dalam suatu perkara pidana. Oleh karena itu, jenis perampasan harta kekayaan ini disebut juga sebagai tindakan

)

in personam terhadap terpidana, bukan tindakan in rem

Hakim dalam hal ini dapat menjatuhkan putusan kepada terpidana untuk membayar biaya perkara, dan/atau membayar denda, dan/atau membayar ganti rugi, dan/atau membayar uang pengganti, dan/atau menyita harta kekayaan lain milik terpidana untuk mebayar uang pengganti jika harta kekayaan yang terkait langsung dengan tindak pidana telah dialihkan atau tidak ditemukan.

terhadap harta kekayaan yang terkait dengan tidak pidana.

Sekalipun secara in personam sebenarnya harta kekayaan yang dapat dirampas hanyalah harta kekayaan milik terpidana, ternyata hal tersebut


(47)

tidak sepenuhnya benar, sebab harta kekayaan hasil tindak pidana atau harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai, menjadi alat, sarana, atau prasarana melakukan kejahatan, dapat juga dinyatakan dirampas jika penuntut umum dapat membuktikan bahwa terdapat kaitan yang erat antara harta kekayaan tersebut dengan tindak pidana yang didakwakan.

Untuk melindungi hak-hak masyarakat, maka harus ada suatu prosedur yang menjamin agar perampasan harta kekayaan tersebut tidak sampai merenggut hak-hak dari pihak ketiga yang beritikad baik atau jujur. Prosedur ini di Amerika Serikat disebut dengan "ancillary proceeding"

3.

dan dilaksanakan oleh pengadilan setelah pokok perkara pidana telah diputus. Perampasan Harta Kekayaan secara Perdata (Civil Forfeiture

Perampasan harta kekayaan secara perdata bukan merupakan bagian dari proses penanganan perkara pidana. Pada kasus

)

civil forfeiture, pemerintah melakukan gugatan perdata terpisah in rem

Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil asset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan sudah lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil terhadap harta kekayaan yang akan dirampas, dan harus dapat mengajukan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa harta kekayaan tersebut dihasilkan atau digunakan untuk melakukan tindak pidana. Gugatan ini dapat diajukan sebelum putusan pidana, sesudah putusan pidana, atau bahkan sekalipun tidak terdapat putusan pidana menyangkut tindak pidana tersebut.


(48)

forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut sebagai Deodand.66 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya asset yang disita.67

Meskipun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat terutama dalam bidang hukum perkapalan (admiralty law).68 Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya.69

Walaupun seringkali dianggap praktek ini bersifat opresif dan tidak adil, Kongres pertama dari Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaan civil forfeiture di hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal. Supreme Court kemudian juga mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika dalam kasus the Palmyra yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah ilegal

66

Todd Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal 89.

67Ibid. hal 90. 68

Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. Cit, sebagaimana dikutip dari Leonard W. Levy,

A license to Steal: The forfeiture of Property ,1996, hal 19. 69


(49)

karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah.70

B. Prosedur Gugatan bersifat in rem

Langkah awal dalam berperkara di pengadilan adalah mengajukan gugatan yang diajukan secara tertulis oleh para pihak. Setelah menemukan pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas perkara yang akan diajukan, penggugat mengajukan tuntutan atau complaint. Selanjutnya panitera (clerk) menindaklanjutinya dengan tuntutan atau summons untuk disampaikan kepada terdakwa. Perumusan sebuah gugatan diformat dalam suatu bentuk yang simpel dan langsung pada pokok persoalan atau to the point.71

Sebagaimana sifat gugatan perdata, gugatan bersifat in rem tidak mengharuskan penuntut untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Penuntut cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana dan cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu asset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana tersebut. Pemilik dari asset tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa asset yang

70

Todd Barnet, Op.Cit, hal 91. 71

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law, Common Law, Hukum Islam), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004. Hal 80.


(50)

digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut.72

Pada kasus United States v. $160.000 in US Currency atau United States v. Account Number 12345 at XYZ Bank Held in the Name of Jones,73

Menurut Judge Virginia Covington

pemilik dari asset yang dituntut bukan merupakan para pihak yang berperkara, melainkan diajukan hanya sebagai pihak ketiga yaitu sebagai pihak turut tergugat dari proses persidangannya.

74

mengenai menangani masalah asset forfeiture (perampasan asset hasil kejahatan):75

Di Amerika untuk melakukan perampasan asset atau penggeledahan diperlukan Search Warrant (penggeledahan) yang dikeluarkan oleh pengadilan. Dengan Search Warrant ini, penegak hukum dapat mendapatkan banyak informasi mengenai individual yang bersangkutan seperti computer information, kekayaan, record bank, Pajak, Bisnis, buku cek dan banyak lagi. Elemen yang paling penting adalah harus mempunyai bukti bahwa penyitaan asset tersebut berhubungan dengan aktivitas illegal atau memberikan bukti dugaan bahwa asset tesebut berhubungan dengan aktivitas illegal. Terkadang informasi mengenai

72 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. Cit, Hal 5. 73

Kasus tersebut merupakan penelitian dari Stefan D. Cassella, seorang Deputy Chief for Legal Policy, Asset Forfeiture and Money Laundering Section pada U.S. Department of Justice yang disampaikan pada 25th Cambridge International Symposium on Economic Crime, 7 September

2007,

pada 16 Mei 2009; 74

Hakim Virginia Covington dengan qualifikasi Bachelor dan Master Degree dari Tampa Florida dan Law Degree dari Georgetown University, berpengalaman sebagai penuntut umum, Federal Attorney. Sebagai Federal Court bertanggung jawab atas Asset Forfeiture Courts, Pelatihan, Jaksa. Dipilih oleh Presiden Bush sebagai tele conference judge. Pada tahun 2004, dipilih oleh Presiden Bush sebagai US District Court Judge di Florida. Judge Virginia Covington telah mendapatkan banyak penghargaan di bidang Asset Forfeiture.

75 Minutes Meeting Tele Conference Asset Recovery, Kamis 26 April 2007


(51)

asset tesebut dapat diketahui sebelum search warrant dikeluarkan sehingga dapat lebih memudahkan para penegak hukum.

Salah satu contoh, dari data pengembaliian pajak (tax return) seseorang memperoleh pendapatan sebesar 10.000 US Dollar per tahun, tetapi orang tersebut memiliki harta kekayaan sekitar 500.000 US Dollar kemudian investigator harus mencari hubungan antara asset-aset tambahan dengan tindak pidana. Berdasarkan pengalaman saat saya bekerja sebagai jaksa penuntut umum di Tampa, Florida, terdapat seorang pengedar narkotika pada tahun 1990 dari Kolombia dan orang tersebut memiliki property yang disimpan dibeberapa negara misalnya negara Eropa. Hal yang penting bahwa pelaku kejahatan berupaya menyembunyikan asset kejahatannya dengan menyimpan di negara-negara lain.

Elemen lain yang penting adalah kerja sama antar negara. Dengan adanya kerja sama ini dapat membantu negara asal untuk melacak asset yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan di luar negeri.

Manajemen terhadap pelaksanaan gugatan yang bersifat in rem di Negara Amerika, ada dua badan manajemen yang mengelola keuangan dari Asset Recovery yaitu Asset Management Fund dibawah Department of Justice dan Asset Forfeiture Unit dibawah Department of Treasury dimana masing-masing menggunakan perusahaan swasta dalam mengelola sebagian aset-aset hasil rampasan. Misalnya, Kantor Pajak Amerika (Internal Revenue Service) IRS dibawah Department of Treasury terbiasa menggunakan perusahaan swasta dalam mengelola aset-aset hasil rampasannya. Penggunaan perusahaan swasta untuk mengelola aset, harus mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk perusahaan swasta. Salah satu masalah adalah banyaknya uang yang akhirnya digunakan untuk membayar perusahaan swasta, meskipun secara umum


(52)

perusahaan swasta memiliki sumber daya manusia yang berkualifikasi dalam mengelola aset secara profesional daripada lembaga pemerintah.76

Pengaturan mengenai asset forfeiture di Negara Inggris tercantum dalam

77

1. Pertama adanya proses penyitaan, yang dapat mengikuti hukuman pidana. 2. Kedua, ada proses kehilangan berupa uang tunai, yang bertempat di Inggris

dan Wales pada

yang diajukan oleh salah pihak kepolisian maupun dari pihak Bea Cukai.

3. Ketiga, adanya proses civil recovery yang diajukan oleh ARA

berdasarkan

dialihkan kepada

Negara Skotlandia menerapkan penyitaan asset (civil forfeiture) dimulai

dari kuasa fiskalnya yait

kepada pengadilan yaitmaupu Aset

yang berupa uang tunai digugat oleh pemerintah Skotlandia melalui bagian Civil Recovery ke pengadilan dan dapat pula mengajukan upaya hukum banding ke

78

76Ibid.

77Asset forfeiture in the United Kingdom,

diakses 27 April 2009.

78


(53)

Berdasarkan Konstitusi Thailand yang diamandemen tahun 1997, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Thailand telah menentukan pada Mahkamah Agung (The Supreme Court) dibentuk The Criminal Division for Holders of Political Positions yaitu divisi yang dibentuk untuk mengadili para pemegang jabatan politik, seperti Perdana Menteri, Menteri, anggota House of Representatives, Senator atau pemegang jabatan politik lainnya yang didakwa melakukan tindak pidana. Misalnya, pelanggaran yang berkenaan dengan adanya indikasi kekayaan yang tidak wajar, melanggar Criminal Code, melakukan tindakan tidak terpuji/tidak jujur serta tindak pidana korupsi.79

C. Penerapan dan Penggunaan Gugatan Bersifat In Rem

Implementasi gugatan bersifat in rem menggunakan pola sistem pembuktian terbalik dimana si pemilik dari aset yang di tuntut harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak tahu kalau aset yang dituntut adalah hasil, digunakan atau berkaitan dengan suatu kejahatan (innocent owner). Hal ini tentunya sedikit berbeda dengan gugatan perdata umumnya yang mengharuskan si penuntut untuk membuktikan adanya suatu perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialaminya.80

Perlu digarisbawahi bahwa pembuktian si pemilik aset dalam civil forfeiture hanya berkaitan dengan hubungan antara sebuah tindak pidana dan aset

79

Lihat Bismar Nasution, Menjaga Demokrasi dengan Pemberantasan Korupsi, Ibid, Hal 4 80


(1)

Najih, Mokhammad, Ratifikasi UNCAC 2003 (melalui UU No 7/2006) Dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia kaitannya dengan Stolen Assests Recovery (Star) Initiative, disampaikan pada Seminar Hukum nasional (SPHN 2007) di Hotel Milenium,Jakarta, 28-29 Nopember 2007.

Naskah Akademik, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006,

Nasution, Bismar, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di Indonesia”, disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia” Hotel Millenium Jakarta 28-29 November 2007.

_______________, “Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi”,

disampaikan pada mata Kuliah Money Laundering, Program Pasca Sarjana FH-USU, Medan, Oktober 2008.

_______________, “Menjaga Demokrasi dengan Pemberantasan Korupsi”, Disampaikan pada Seminar Nasional “Bersama Rakyat Membangun Demokrasi” dilaksanakan oleh Gerakan Rakyat Untuk Demokrasi, Hotel Asean International, tanggal 13 Desember 2005, Medan.

_______________, “Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan GOOD GOVERNANCE; Suatu Kajian Dari Pandangan Hukum dan Moral”, Disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.

_______________, Reformasi Pendidikan Hukum yang Menghasilkan Sarjana Hukum yang Kompeten dan Profesional, yang disampaikan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-51 Fakultas Hukum USU, Harian Waspada, tanggal 27 Februari 2007.

Ruki, Taufiqurrahman, KPK dan Jejaring Internasional Rezim Anti Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi, Seminar Nasional Sinergi Pemberantasan Korupsi,Gedung Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta: 4 April 2006.


(2)

Wandatama, Ario dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional, 2007.

C. Majalah.

Bismar Nasution, “Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan”, Majalah Forum Keadilan No. 3, tanggal 9 Januari 2005.

Mulyanto, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 254 , Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007.

D. Data Internet.

Asset forfeiture in the United Kingdom,

Alfaruqi, Jabir Nasionalisme Baru Tanpa Korupsi, 6 Agustus 2008

Ariawan, I Gusti Ketut, Stolen Asset Recovery Iniative; Suatu Harapan Dalam

Pengembalian Aset Negar, Januari 2008

2009;

Atmasasmita, Romli, Pengembalian dan Pengelolaan Aset Korupsi, Harian Sindo, 27 Juli 2007.

Dimitri Vlassis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, sebagaimana dikutib dari Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional dalam tanggal 11 Mei 2009.


(3)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 15 September 2005,

Faiz, Pan Mohamad, Klasifikasi dan Nilai dari Perbandingan Hukum

diakses 17 April 2009.

Harian Seputar Indonesia , 27 September 2006, Opini Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004).

Harian Sinar Harapan, “Ratifikasi UNCAC”, 23 Maret 2006, diakses pada Indonesia, Hizbut Tahrir, Membongkar Kembali Mega Korupsi BLBI, 1 Maret 2008

Iskandar, HS. Eka, “Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi (Bagian X)”, 27 Oktober 2008 _______________, “Soeharto Digugat, Siapa Menyusul? “ 13 Juli 2007 diakses pada

1 Mei 2009;

Jawa Pos Juni 2009.

Jawa Post,” Konferensi UNCAC Bali; Menyelamatkan Aset Negara”, dalam

Komisi Hukum Nasional, “Beban Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi”, dalam

2009.

Mahfud M Januari 2008, diakses pada


(4)

__________, “Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi di Indonesia”, dalam

Media Indonesia 27 Mei 2009.

Minutes Meeting Tele Conference Asset Recovery, Kamis 26 April 2007

Mulyadi, Lilik, “Politik Hukum Kebijakan Legislasi Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Terhadap Pembalikan Beban

Pembuktian” diakses pada

Noor, Azamul F. dan Yed Imran, Perampasan Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana; Suatu Telaahan Baru dalam Sistem Hukum Indonesia, 28 November

diakses 5 Desember 2008.

Saldi Isra, “Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional”, dalam

Samhadi, Srihartati, “Kejar Orangnya atau Uangnya?”, dalam

“Sita Perdata, Terobosan Baru Dalam RUU Tipikor”, dalam 2009.

Stefan D. Cassella, Asset Forfeiture and Money Laundering Section pada U.S. Department of Justice yang disampaikan pada 25th Cambridge International Symposium on Economic Crime, 7 September 2007,


(5)

Syafruddin, Signifikasi Perbandingan Hukum Pidana dalam Proses Pembaharuan Hukum Pidana diakses 17April 2009.

Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi” tanggal 14 Februari 2009.

Terdakwa Meninggal, KPK Upayakan Uang Negara Kembali secara Perdata, Media

Indonesia 27 Mei 2009,

2009.

Yunus Husein [Kepala PPATK dan Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance] Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi , 24 Juni 2008

Zoebir, Zuryawan Isvandiar, “COMPARATIVE LAW-LEGAL HISTORY-LEGAL ETHNOLOGY”, diakses pada tanggal 3 Juni 2009.

http://gagasanhukum.worldpress.com/tags-eka-iskandar/p/2 diakses tanggal 28 Juli 2010.

http://www.polotikindonesia.com/readhead.php?id=333.html.

http://www.tempointeraktif, “Indonesia Masih dianggap surge Pencucian Uang”, diakses 25 Oktober 2009.

http://suarakarya-online.com/news.html?.id=187515 diakses tanggal 15 Maret 2009.


(6)

D. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Coruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme