Representasi Femininitas Pada Tokoh Utama Dalam Lima Cerita Pendek Karya Guy De Maupassant: Kajian Femininitas

(1)

REPRESENTASI FEMININITAS PADA TOKOH UTAMA

DALAM LIMA CERITA PENDEK KARYA GUY DE

MAUPASSANT:

Kajian Femininitas

REPRESENTATION OF FEMININITY IN MAIN CHARACTERS

IN FIVE SHORT STORIES BY GUY DE MAUPASSANT:

A Study of Femininity

SKRIPSI

diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Komputer Indonesia

VINI NINDYANI NIM. 63710011

PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA 2014


(2)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERSETUJUAN PERBAIKAN (REVISI) PERNYATAAN BUKTI KEPEMILIKAN

HALAMAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI x

DAFTAR LAMPIRAN xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR SINGKATAN xv

BAB 1: PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Kegunaan Penelitian 5

1.5. Kerangka Pemikiran 5

BAB II: KAJIAN TEORI 9


(3)

xi

2.2. Femininitas 19

BAB III: METODE PENELITIAN 28

3.1. Objek Penelitian 28

3.2. Sinopsis 28

3.2.1. The Diamond Necklace 28

3.2.2. Madame Baptiste 29 3.2.3. The Farmer’s Wife 29

3.2.4. The False Gems 30 3.2.5. Miss Harriet 30 3.3. Metode Penelitian 30 3.3.1. Teknik Pengumpulan Data 31 3.3.2. Teknik Analisis Data 32

BAB IV: PEMBAHASAN 34

4.1. Femininitas yang Tumbuh dan Berkembang di Masyarakat pada Lima Cerita Pendek Karya Guy De Maupassant 34

4.2. Femininitas yang Direpresentasikan oleh Tokoh Utama pada Lima Cerita Pendek 44 BAB V: SIMPULAN DAN SARAN 62

5.1. Simpulan 62

5.2. Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 67


(4)

xii


(5)

64

DAFTAR PUSTAKA

Delpierre, Madeleine. 1997. Clothes in France in the Eighteenth Century. Yale: Yale University Press.

Dewald, Jonathan. 1993 Aristocratic Experience and the Origins of Modern Culture: France, 1570-1715. Berkeley: University of California Press. Haine, W. Scott. 2006. Culture and Costums of France of Europe. London:

Greenwood Press.

Jones, M. Jenifer. 2004. Sexing La Mode: Gender, Fashion and Commercial Culture in Old Regime France. Oxford: United Kingdom.

Mousli, Beatrice dan Eve-Alice Rostang-Stoller. 2009. Women, Feminism and Femininity. New York: Palgrave Macmillan.

Priyatna, Aquarini. 2013. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Penerbit Matahari.

Rahayu, Meilinawati Lina, et al. 2013. Sastra Bandingan. Bandung: Balatin. Reinisch, Machover June. 1987. Masculinity/Femininity: Basic Perspective.

Oxford: Oxford University Press.

Website

Dyer, Richard. 1999. The Role of Stereotypes. 3 Januari 2014. Diakses melalui <http://thowe.pbworks.com/f/dyer.on.sterotypes.pdf>

Fatimah, Siti. 2013. Gender Issues on Dorian Gray Character in The Novel The Picture of Dorian Gray by Oscar Wild. Diakses melalui

<http://elib.unikom.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptunikomp p-gdl-sitifatima-32377>

Maupassant, De Guy. 2004. Original Short Stories:Complete Volumes 1-XIII. 3 Januari 2014. Dikases melalui

< http://www.gutenberg.org/files/28076/28076-h/28076-h.htm>

Rajagukguk, Meslina. 2013. Pengaruh Feminitas Terhadap Olivia dan Victoria dalam Novel Miror Image. Diakses Melalui


(6)

65

65

<http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=202295>

Sukmadinata. 2006. Metode Penelitian. 27 Desember 2013. Diakses melalui <http://www.bimbingan.org/pengertian-pendekatan-deskriptif-analitis.htm>

a ceremonial robe ála francaise:

<http://mediacacheec0.pinimg.com/236x/c0/9b/4b/c09b4b8e0d75f3677e 56f53b3a4ad1b1.jpg> diakses pada tanggal 16 Juli 2014

<http://1.bp.blogspot.com/FVRAv0cCNWo/UdWFGSOG9kI/AAAAA AAAHlc/H5v1dCyPjE4/s787/hogarth+marriage+a+la+mode+the+toilett e.jpg> diakses pada tanggal 16 Juli 2014

<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fus.images.deti k.com%2Fcontent%2F2013%2F11%2F15%2F233%2F172402_1.jpg&img refurl=http%3A%2F%2Fasalasah.blogspot.com%2F2013%2F11%2Fkete mu-majalah-fashion-dari-300-tahun-lalu-ini- dia.html&h=320&w=420&tbnid=F-4G_Uhpvq_m1M%3A&zoom=1&docid=2eW5PChMzpeHAM&ei=jdXL U8zEMMS9uASYyYH4Cw&tbm=isch&ved=0CBoQMygAMAA&iact=r c&uact=3&dur=2350&page=1&start=0&ndsp=15> diakses pada tanggal 16 Juli 2014

<http://media-cache-

ec0.pinimg.com/236x/39/36/c5/3936c59c831478d3b9aca9b9d8c4aa03.jpg > diakses pada tanggal 19 Juli 2014

<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fblog.catherine delors.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F18th-century-court-gown- cloth-of-gold1.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fblog.catherinedelors.com%2F18th -century-court-costume-and-marie-antoinette%2F&h=761&w=956&tbnid=t8OdlLPpj1MX7M%3A&zoom=1 &docid=4pjOq9C0VC-pqM&ei=ctvLU4f5DoegugS5-4D4Cg&tbm=isch&ved=0CDkQMygZMBk&iact=rc&uact=3&dur=927& page=2&start=25&ndsp=32> diakses pada tanggal 19 Juli 2014

<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fsocialdance.s tanford.edu%2FSyllabi%2Fimages%2Fmidcentury.jpg&imgrefurl=https% 3A%2F%2Fsocialdance.stanford.edu%2FSyllabi%2F19th_century.htm&h =173&w=300&tbnid=fxUMqCue0T6IHM%3A&zoom=1&docid=y987y1


(7)

66

66

w2It-P_M&ei=41XMU-SdKdiMuAS7yICQBA&tbm=isch&ved=0CFAQMygwMDA&iact=rc&ua ct=3&dur=1109&page=2&start=25&ndsp=32> diakses pada tanggal 19 Juli 2014

>http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.blogspot.

com%2F-

je6ajycAfZw%2FUABogAhTBaI%2FAAAAAAAAA5Y%2Flrfj-7aWYbE%2Fs1600%2FImage%252B%2819%29.jpg&imgrefurl=http%3 A%2F%2Fchanietbinou.blogspot.com%2F2012%2F07%2Fwomen-

fashion-through-18th-century.html&h=1600&w=1126&tbnid=Z6gSwgfQ7KWfHM%3A&zoom

=1&docid=sr7o5087ni-KTM&ei=YlPMU5vCIcK6uAS1-oHACw&tbm=isch&ved=0CEUQMyglMCU&iact=rc&uact=3&dur=369 &page=2&start=25&ndsp=33> diakses pada tanggal 19 Juli 2014

<http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.blogspot.

com%2F-nz6-gdU7_0Q%2FUgrqhtSu8HI%2FAAAAAAAACqg%2Fl8hrGjdGu4Y%2F s1600%2F1882%252Bfashions.71%252Bwalking%252Bdresses.png&img refurl=http%3A%2F%2Fhistoricaltidbits.blogspot.com%2F2013%2F08%

2F1882-fashions.html&h=1600&w=955&tbnid=yt_lc4nuv6IY4M%3A&zoom=1& docid=S1MQqH05y6HsYM&ei=ydrLU7ygLNK5uAT6goHgCw&tbm=is ch&ved=0CIMBEDMoYDBg&iact=rc&uact=3&dur=390&page=4&start =89&ndsp=31> diakses pada tanggal 19 Juli 2014

<http://www.scribd.com/doc/87514161/Laporan-Fesyen-Pada-Abad-14-17> diakses pada tanggal 19 Juli 2014


(8)

80

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Profil Mahasiswa

a. Nama :Vini Nindyani

b. Alamat : Kp. Munjul Kidul RT/RW 31/06

Desa Curug Kec. Klari Kab. Karawang 41371

c. Tempat Tanggal Lahir : Karawang, 19November 1991

d. Jenis kelamin : Perempuan

e. Agama : Islam

f. No. Telepon : 082315827819

g. Email :azis.vini@yahoo.com

2. Latar belakang Pendidikan a. Pendidikan Formal

No Tahun Nama Sekolah/Institusi

1 1996-1998 TK (Taman Kanak-kanak) Karawang

2 1998-2004 SD Negri Curug II Karawang

3 2004-2007 SMP Negri II Klari Karawang

4 2007-2008 Islamic Boarding School Nihayatul Amal

Karawang


(9)

81

6 2010-sekarang Universitas Komputer Indonesia

b. Seminar, Pelatihan dan Workshop

No Tahun Nama Seminar, Pelatihan dan Pendidikan

Sertifikat

1 2010 Feminist, Feminine and Text seminar Sertifikat

2 2010 Latihan Kepemimpinan Manajerial

Mahasiswa

Sertifikat

2 2011 Public Speaking seminar Sertifikat

3 2011 The Seminar and Workshop of Semiotic

in Literature and Media

Sertifikat

4 2011 Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru

Tahun Akademik 2011-2012

Sertifikat

5 2012 English Literary Internal Training of Education

Sertifikat

6 2012 “Kreatif Menulis, Rejeki Tak Akan

Habis” Bersama Raditya Dika Talk show

Sertifikat

7 2012 English Contest Sertifikat

8 2012 Hari Sastra Sertifikat

9 2012 Training-LIFE Training and Learning Sertifikat

10 2012 Seminar-OBIF Training and Learning Sertifikat

11 2012 Character Building Training Sertifikat


(10)

82

13 2013 Building The Translation Skill and Confidence

Sertifikat

14 2013 Pemateri Harmonisasi Prestasi dan Kreasi Mahasiswa Sastra

Sertifikat

15 2013 Muslimah Exhibition Sertifikat

16 2013 Islamic Motivation Training Sertifikat

17 2013 Seminar Pengenalan Copywriting kepada Mahasiswa UNIKOM

Sertifikat

18 2013 Seminar Training dan Motivasi Sertifikat

19 2014 Seminar TOEFEL: “How TO Train Your

TOEFEL

Sertifikat

20 2014 Post Colonialism Seminar Sertifikat

21 2014 Talk Show Menulis Bersama Risa

Saraswati: “You Write What You Think”

Sertifikat

22 2014 Seminar Menyambut Bulan Suci

Ramadhan

Sertifikat

c. Keahlian

Bahasa Daerah (Aktif)

Indonesia (Aktif) Inggris (Aktif) Arab (Pasif)

Komputer  MS. Office


(11)

83

 Hardware Komputer

Keahlian Lain Pembawa acara

d. Pengalaman Organisasi

No Tahun Organisasi

1 2010-2011 Anggota Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris

2 2011-2012 Ketua Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris

3 2012-sekarang Anggota Lembaga Dakwah Ummi Kampus

UNIKOM

e. Lomba yang pernah diikuti

No Tahun Lomba Piagam

1

2009

Juara III Lomba Ngarang Tingkat SLTA Putri (Pasanggiri dan Apresiasi Bahasa, Dan Seni Daerah Wilayah II, Jawa Barat)


(12)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, saya juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait melalui media ini, di antaranya:

1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM. 2. Dr. Juanda, Ketua Prodi Sastra Inggis UNIKOM. Terima kasih atas

kesempatan dan motivasi yang telah Bapak berikan pada saya sehingga saya dapat menyelaikan perkuliahan di fakultas ini.

3. Retno Purwani Sari, S.S., M.Hum, Koordinator Skripsi dan sebagai Pembimbing pertama. Terima kasih atas semua saran dan motivasinya yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan semangat.

4. Nenden Rikma Dewi, S.S., M.Hum. Pembimbing Kedua. Terima kasih atas semua saran dan masukan-masukan yang diberikan pada saya.

5. Nungki Heriyati, S.S., MA, Dosen Sastra Inggris dan Dosen Wali. Saya ucapkan terimakasih karena telah menjadi dosen wali yang baik dan membantu saya selama menjadi mahasiswa dalam fakultas ini. Terima kasih atas matovasi selama saya menuntut ilmu di kampus UNIKOM. 6. M. Rayhan Bustam, S.S. M.Hum, Dosen Sastra Inggris

7. Asih Prihandini, S.S., M.Hum, Dosen Sastra Inggris 8. Tatan Tawami, S.S., M.Hum, Dosen Sastra Inggris.


(13)

ix

9. Staf jurusan dan seluruh Dosen UNIKOM.

Saya berharap penelitian ini dapat berguna khususnya bagi diri saya sendiri, umumnya bagi seluruh pembaca. Saya pun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, besar harapan saya agar pembaca dapat memberikan saran serta masukannya sebagai bentuk kontribusi dalam penulisan skripsi ini.

Bandung, Juli 2014


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Setiap perempuan menginginkan agar dirinya tampil cantik berdasarkan konsep kecantikan yang berlaku di masyarakatnya. Meskipun demikian, konsep kecantikan tersebut selalu bergantung pada kondisi yang ada pada masa dan lokasi tertentu. Akibatnya, stereotip terhadap perempuan bukanlah satu hal yang mutlak dari waktu ke waktu. Apa pun nilai stereotip yang berlaku, perempuan yang terlahir di masa dan tempat mana pun akan selalu mengalami stereotip bahwa dirinya harus bersikap dan berpenampilan feminin. Hal semacam ini yang kemudian disebut sebagai femininitas.

Pada umumnya, femininitas yang terkonstruksi dalam diri perempuan terlahir dari keterlibatan budaya, sosial, dan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Keterlibatan tiga faktor tersebut, salah satunya, diperlihatkan melalui konsep kecantikan mengenai tubuh seorang perempuan. Mengenai hal ini, terkadang perempuan merasa terbelenggu ketika ia harus mengikuti stereotip femininitas tubuhnya, padahal ia tidak menginginkannya. Priyatna (2013: 119) memaparkan bahwa tubuh perempuan dalam konteks femininitas dan seksualitas selebritas perempuan Indonesia pada tahun 2000-an direpresentasikan dengan warna kulit putih, bentuk tubuh yang semampai, jenis rambut yang lurus, kelas menengah dan terdidik, sebagaimana yang dituntut oleh penguasa; pada tatanan


(15)

2

personal penguasa adalah laki-laki yang menempati posisi sebagai calon pacar, calon suami, pacar atau suami. Selebritas perempuan berupaya mengikuti stereotip femininitas yang berlaku pada waktu itu di Indonesia, meski tak jarang bertentangan dengan hati nuraninya. Dari paparan di atas, Priyatna tersebut mempertegas stereotip femininitas yang tertanam dalam diri perempuan merupakan hasil dari tuntutan masyarakat yang berasal dari keinginan laki-laki terhadap kesempurnaan dan kecantikan perempuan. Apa pun aturan atau stereotip femininitasnya, perempuan harus mengikuti aturan stereotip agar dapat diterima di masyarakat dan lingkungannya. Namun pada dasarnya, seorang perempuan yang terkonstruksi oleh femininitas adalah perempuan yang berupaya memenuhi keinginan atau menarik lawan jenisnya.

Merujuk pada teoretis stereotip femininitas, saya menggunakan gagasan Dyer (1999) mengenai The Role of Stereotype untuk memaparkan konstruksi masyarakat mengenai femininitas perempuan. Pernyataan Dyer mengenai strereotip menjadikan landasan saya berpikir untuk mengembangkan penelitan ini. Nilai-nilai stereotip yang menjadi wujud nilai kesepakatan dalam kelompok tertentu memaksa perempuan harus mengikuti aturan yang mengubah diri dan kepribadian mereka. Namun stereotip itu harus tetap diikuti jika tidak diikuti, atas keinginan sendiri atau tidak, perempuan tersebut telah melanggar stereotip femininitas akan dikenai hukum sosial yang berlaku di masyarakat dan lingkungannya.

Berkaitan dengan penelitian ini saya menemukan dua penelitian terdahulu mengenai femininitas. Pertama, Meslina Rajagukguk (2013) yang berjudul


(16)

3

Pengaruh Feminitas Terhadap Olivia dan Victoria dalam Novel Miror Image.

Fokus dari penelitiannya adalah pengaruh feminitas terhadap tokoh Olivia dan

Victoria dengan menggunakan gagasan feminis eksistensialis milik Simone de Beauvoir. Kedua, Siti Fatimah (2013) yang berjudul Gender Issues on Dorian Gray Character in The Novel The Picture of Dorian Gray by Oscar Wild. Penelitiannya berfokus pada pengaruh maskulinitas dan femininitas pada tokoh

Dorian Gray. Ada pun gagasan yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam penelitiannya adalah gagasan Judith Bulter mengenai gender.

Meski kedua penelitian sebelumnya dan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu mendiskusikan femininitas, penelitian ini lebih berfokus pada representasi femininitas dalam konsep kecantikan terhadap perempuan dengan melibatkan aspek budaya Perancis sebagai tolok ukur penentuan nilai femininitas. Dengan demikian, penelitian ini bermaksud untuk menunjukan bahwa perempuan yang menjadi tokoh utama pada cerita pendek karya Guy de Maupassant: The Diamond

Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet mengalami konstruksi sehingga femininitasnya terepresentasi melalui tokoh perempuan. Berdasarkan pada latar belakang di atas, penelitian ini berjudul

“Representasi Femininitas pada Tokoh Utama pada Lima Cerita Pendek Karya Guy De Maupassant.”


(17)

4

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini dibuat agar menjadi kerangka dalam menganalisis isu stereotip femininitas. Berikut adalah rumusan masalah: 1. Femininitas apa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada cerita pendek

karya Guy de Maupassant: The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The

Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet?

2. Bagaimana femininitas direpresentasikan melalui tokoh utama pada ke lima cerita pendek tersebut?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas

1. Mendeskripsikan femininitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada cerita pendek karya Guy de Maupassant: The Diamond Necklace, Madame

Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet.

2. Mendeskripsikan femininitas yang direpresentasikan melalui tokoh utama pada ke lima cerita pendek tersebut.

1.4Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna membuktikan gagasan Dyer (1999) mengenai stereotip, Reinisch (1987) mengenai maskulinitas/femininitas dan Jones (2004) mengenai budaya perempuan di Perancis pada abad 17, 18 atau 19.


(18)

5

Penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi rujukan alternatif bagi para peneliti selanjutnya mengenai stereotip femininitas. Hasil dari penelitian ini bisa memberikan pemahaman tentang konsep kecantikan pada perempuan.

Sementara itu, sebagai peneliti, saya tersadar bahwa pada dasarnya semua perempuan, termasuk saya, secara tidak sadar telah terkonstruksi oleh masyarakat mengenai sikap yang harus mencerminkan feminin sebagai identitas perempuan.

1.5Kerangka Pemikiran

Gagasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gagasan mengenai stereotip yang dinyatakan oleh Dyer (1999), Reinisch (1987) mengenai konsep feminitas dan maskulinitas dan Jones (2004) mengenai budaya Perancis. Dalam esainya, Dyer (1999) menyatakan bahwa, stereotip yang ada di masyarakat mempengaruhi setiap individu dalam kelompok masyarakat. Stereotip tersebut mengatur bagaimana individu—dalam hal ini adalah perempuan—bersikap, berpakaian, bertutur kata dan sebagainya.

Melalui pernyataan Dyer di atas, aturan atau konsep yang tertanam dalam masyarakat ditemukan sebagai hasil dari kesepakatan masyarakat itu sendiri, bahkan dapat dikatakan stereotip yang berlaku dalam masyarakat adalah stereotip secara turun temurun. Stereotip tersebut harus ditanamkan pada generasi-generasi baru karena menyangkut budaya atau tradisi dilingkungannya. Hal tersebut bisa dilihat dalam stereotip masyarakat terhadap perempuan. Ketika seorang


(19)

6

perempuan terlahir ke dunia, ia langsung dikonstruksi oleh aturan-aturan yang sebenarnya aturan tersebut menjadikan perempuan tidak menjadi diri sendiri melainkan wujud individu yang dioperasikan oleh masyarakat.

Dyer tersebut terkait dengan, Reinisch (1987), ia mengemukakan bahwa karakteristik feminitas yang distereotip oleh masyarakat adalah perempuan yang cantik adalah perempuan yang feminin: lemah lembut, santun, berbudi bahasa yang halus, patuh, penurut dan sebagainya (1987). Karakteristik femininitas ini muncul dalam lima cerita pendek Maupasannt dengan latar budaya Perancis era 17, 18 atau 19.

Oleh karena itu, Jones (2004) mengenai budaya Perancis. digunakan untuk memaparkan budaya Perancis yang berkaitan dengan feminitas.

A series of questions about the personal, subjective experience of dressing race through the mind of any woman who has ever stood before a mirror contemplating her clothing, her body, and her identity. (Jones, 2004: xv-xvi)

Dari pernyataan Jones di atas menunjukkan perempuan Perancis pada abad 17 sebenarnya tidak sadar bahwa dirinya telah terkonstruksi oleh masyarakat, wajahnya, tubuhnya, sikap dan sebagainya. Stereotip budaya yang berkembang pada abad 17 untuk menyatakan kecantikan seorang perempuan yaitu perempuan yang berbadan gemuk, riasan wajah yang digunakan tebal dan berwarna mencolok, dan pakaian yang digunakan selalu menampilkan kesan mewah dengan sebutan a ceremonial robe ála francaise, berjubah dan menggunakan ball

atau pakaian dengan rok mengembang. Namun hal itu membuat para perempuan Perancis mempertanyakan, bagi siapa mereka berdandan, memakai pakaian


(20)

7

mewah, bersikap atau berpenampilan feminin. Hal ini membuat Jones berpendapat bahwa perempuan di Perancis pada jaman itu juga telah terstereotip mengenai budaya setempat oleh masyarakat.

Pada zaman itu juga tidak hanya perempuan yang mengalami konstruksi sosial dan mengikuti stereotip, laki-laki pun mengalaminya dengan memperhatikan fashionnya, berias menggunakan bedak dan lipstick dan

berpakaian mewah. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan

kemaskulinitasannya. Namun fokus penelitian ini adalah perempuan yang dituntut menjadi feminine oleh budayanya sendiri melalui pemaparan karya Guy de Maupassant.


(21)

8

1.1 Kerangka Pemikiran

FEMININITAS

REPRESENTASI

FEMININITAS

BUDAYA, SOSIAL DAN

KEBIASAAN MASYARAKAT

PERANCIS ABAD 17, 18

ATAU 19 DALAM LIMA


(22)

9

BAB II KAJIAN TEORI

Pada bab ini, gagasan yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan secara menyeluruh. Gagasan mengenai stereotip dipaparkan terlebih dahulu karena penelitan ini ditujukan untuk memaparkan nilai stereotip femininitas dalam konsep kecantikan yang melekat pada perempuan yang terkonstruksi oleh masyarakat. Gagasan Dyer (1999) dipaparkan sebagai gagasan yang relevan untuk mendukung penelitian ini. Sebagaimana nilai stereotip yang telah dipaparkan oleh Dyer, nilai stereotip yang ada adalah nilai-nilai budaya yang diambil oleh masyarakat untuk menjadi tanda atau tradisi tempat tersebut. Sementara itu, pemaparan Reinisch (1987) menjadi rujukan atas nilai-nilai femininitas dan maskulinitas yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, pemaparan mengenai budaya Perancis dalam membentuk dengan nilai-nilai stereotip dan femininitas. Nilai-nilai budaya Perancis tersebut diambil dari gagasan Jones (2004). Penelitian mengenai stereotip femininitas konsep kecantikan perempuan dalam penelitian ini bersumber pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant pada abad 17, 18 atau 19 di Perancis.


(23)

10

2.1 Stereotip

Stereotip merupakan konstruksi masyarakat mengenai sesuatu hal dan menjadi aturan atau nilai yang telah disepakati dan harus diterapkan pada suatu kelompok. Oleh sebab itu, nilai-nilai yang telah disepakati tersebut menjadi landasan utama bagi individu dalam bersikap atau pun berpenampilan karena pada dasarnya stereotip merupakan nilai yang dikukuhkan untuk menjadi individu lebih baik menurut kacamata masyarakat. Dalam esainya, Dyer (1999) menyatakan bahwa, stereotip yang ada di masyarakat mempengaruhi setiap individu dalam kelompok masyarakat. Stereotip tersebut mengatur bagaimana individu—dalam hal ini adalah perempuan—bersikap, berpakaian, bertutur kata dan sebagainya.

The stereotype is taken to express a general agreement about a social group, as if that agreement arose before, and independently of, the stereotype. Yet for the most part it is from stereotypes that we get our ideas about social groups.” (Dyer, 1999: par 13)

Melalui pernyataan Dyer di atas, aturan atau konsep yang tertanam dalam masyarakat ditemukan sebagai hasil dari kesepakatan masyarakat itu sendiri, bahkan bisa dikatakan stereotip yang ada dalam masyarakat merupakan stereotip secara turun temurun. Hal tersebut dapat dilihat dari stereotip masyarakat terhadap perempuan. Ketika seorang perempuan terlahir ke dunia, ia langsung dikonstruksi oleh aturan-aturan melalui keluarga dan lingkungannya yang sebenarnya menjadikan perempuan tidak menjadi diri sendiri melainkan wujud individu yang dikendalikan oleh masyarakat. Meski pun demikian, stereotip yang berkembang di masyarakat dilandasi oleh empat kategori mengenai bagaimana stereotip berfungsi dalam suatu kelompok masyarakat seperti yang dipaparkan oleh Lippman sebagaimana dikutip Dyer berikut:


(24)

11

“(i) an ordering process, (ii) a 'short cut', (iii) referring to 'the world', and (iv) expressing 'our' values and beliefs.” (Dyer, 1999 par:3)

Kutipan di atas menunjukan bahwa nilai stereotip itu dibentuk dengan empat kategori, yakni an ordering process, a 'short cut', referring to 'the world', and expressing 'our' values and beliefs. An ordering process atau nilai-nilai yang

“dipesan” oleh masyarakat menjadi bahan pertimbangan apakah nilai-nilai tersebut akan dijadikan tolok ukur individu dalam bersikap dan berpenampilan atau sebaliknya. Tolok ukur tersebut dilihat dari representasi, tipikasi dan kategorisasi setiap individu dalam masyarakat sehingga individu ada yang mengikuti dan ada yang tidak mengikuti stereotip yang berlaku di masyarakatnya. Misalnya, stereotip bagian dari masyarakat sebagai cara memahami diri mereka sendiri. Sementara itu, untuk mendapatkat pengakuan dari masyarakat tak jarang individu tersebut menggunakan a 'short cut' untuk mengikuti stereotip yang ada. Misalnya, anggapan masyarakat terdapat suatu kelompok—“orang padang pelit

-pelit”, padahal hal tersebut belum tentu benar adanya.

Istilah referring to 'the world', yakni untuk melihat awal mula nilai stereotip yang berlaku di masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh kepekaan individu terhadap kebiasaan yang ada dan berkembang di masyarakatnya sehingga berfungsi sebagai tanda status sosial mereka. Contohnya, orang baduy luar yang memiliki identitas kelompoknya yang mengenakan pakaian hitam-hitam, memakai ikat kepala dan tas rajut ketika keluar dari daerahnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya nilai stereotip merupakan sebuah nilai kesepakatan dalam kelompok tertentu—expressing 'our' values and beliefs.


(25)

12

Hal tersebut dilakukan untuk mengekpresikan karakteristik nilai stereotip yang berlaku di masyarakat, contohnya nilai kebiasaan yang menjadi budaya—nilai tradisi pernikahan adat Jawa yang mana pengantin perempuan harus membersihkan kaki pengantin laki-laki yang telah menginjak telur. Hal tersebut menjadi ciri identitas kelompok atau masyarakat Jawa. Nilai stereotip tersebut dipengaruhi oleh nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Namun, realitas yang terjadi di masyarakat nilai stereotip tidak hanya dilekatkan pada perempuan saja melainkan laki-laki juga harus mengikuti stereotip yang ada pada tempat dan lingkungan ia tinggal. Nilai-nilai yang harus diikuti tentunya sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati dan berlaku di masyarakatnya salah satu contoh kecilnya adalah stereotip pada laki ditandai dengan bahwa laki-laki harus lebih kuat dari pada perempuan, tidak boleh menangis dan memakai pakaian berwarna merah muda karena hal ini merujuk pada stereotip perempuan.

Pembedaan semacam itu membuat setiap individu tidak memiliki identitas diri karena semua yang ada pada dirinya—sikap dan penampilan—telah terkonstruksi oleh masyarakat. Hal tersebut dapat diketahui melalui pemaparan dari Jones (2004: xvii) mengenai masyarakat Perancis pada abab 17, 18 atau 19. Pada abad tersebut, di Perancis identitas individu ditentukan oleh pakaian yang dikenakan, apakah mewah atau tidak karena hal tersebut akan menjadi tolok ukur status sosialnya di masyarakat. selain itu, masyarakat pada masa itu harus bersikap berpenampilan sesuai selera masyarakat sehingga banyak individu dari masyarakat tidak mengenalai identitas diri. Hal tersebut membuat setiap individu berbondong-bondong untuk mengikuti nilai stereotip yang ada agar diterima oleh


(26)

13

masyarakat. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun ikut serta dalam berpenampilan mewah sesuai yang ditentukan oleh masyarakat—memakai pakaian mewah dan menggunakan tata rias tebal dan mencolok layaknya perempuan, semua aspek tersebut merupakan selera masyarakat pada masa itu. Oleh sebab itu, apa pun nilai yang berlaku, setiap individu di masyarakat harus tetap mengikuti nilai tersebut agar bisa diterima oleh lingkungannya, baik fisik atau pun non fisik. Namun, hal tersebut menjadikan perempuan dan laki-laki terkonstruksi dengan nilai-nilai yang membuat dirinya tidak mengetahui identitas diri selain identitas bentukan.

Identitas bentukan tersebut merupakan hasil dari konstruksi sosial yang mengharuskan sikap dan penampilan seseorang sesuai gender, yakni perempuan harus bersikap dan berpenampilan feminin, serta laki-laki harus menunjukkan sikap dan penampilan maskulin. Alhasil banyak individu dari masyarakat yang mempertanyakan identitas diri dan menyimpang dari nilai yang berlaku. Dengan demikian, identitas setiap individu di nilai berdasarkan selera masyarakat dengan stereotip yang berlaku di lingkungannya. Hal ini tentunya terjadi pula pada masyarakat Perancis di abad 17, 18 atau 19.

Merujuk pada cerita pendek Maupassant yang berlatar belakang Perancis memunculkan stereotip femininitas dalam konsep kecantikan yang berlaku pada saat itu. Stereotip itu dibuat berdasarkan budaya, sosial dan kebiasaan yang kuat sehingga menjadikan ketiga nilai itu sebagai satu tolok ukur bagi setiap individu dalam bersikap dan berpenampilan. Dengan demikian, stereotip femininitas dalam konsep kecantikan tidak lepas dari ketiga nilai tersebut pada suatu masyarakat di


(27)

14

lokasi dan tempat tertentu. Hal ini terjadi karena masyarakat ingin membentuk setiap individu di lingkungannya sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai selera masyarakat itu sendiri. Di samping itu, nilai stereotip femininitas bersifat mutlak dan nyata sehingga nilai-nilai tersebut harus tertanam pada diri setiap individu. Pernyataan bahwa nilai stereotip femininitas bersifat mutlak adalah setiap individu harus menerima tanpa mempertanyakan atau membantah stereotip tersebut, sedangkan nyata memperlihatkan bahwa semua seseorang tersebut mengikuti nilai yang ada dan diketahui melalui caranya berpakaian dan bersikap. Oleh sebab itu, jika seorang individu melangar nilai stereotip yang berlaku, dia akan memperoleh hukuman sosial berupa pengasingan dan pencemoohan oleh masyarakat. Hukuman semacam ini pada dasarnya merupakan hasil dari nilai stereotip yang dibentuk oleh seseorang dengan pengaruh kuat dalam masyarakat sehingga apa pun nilai dan aturannya akan dituruti oleh setiap individu masyarakat.

on the 'social construction of reality' stresses, not only is any given society's ordering of reality an historical product but it is also necessarily implicated in the power relations in that society (Dyer, 1999, par: 7)

Pemaparan di atas menegaskan bahwa konstruksi sosial tidak hanya ditanamkan pada sebagian masyarakat saja melainkan pada seluruh masyarakat sesuai waktu dan lokasi tertentu. Hal ini terjadi karena setiap daerah mempunyai nilai budaya, sosial dan kebiasaan sendiri, dari realitas kebiasaan masyarakat menjadi nilai budaya dan sosial sebagai tolok ukur individu dalam bersikap dan berpenampilan. Ketiga nilai tersebut tentunya berasal dari sejarah waktu dan lokasi sehingga nilai-nilai yang berlaku sangat bergantung pada tokoh atau


(28)

15

seseorang yang dipercaya dan dituakan oleh masyarakat itu sendiri. Nilai sejarah dan lokasi tersebut merupakan perbedaan sejarah Perancis antara abad 14 dengan abad 17, 18 atau 19 yang berkiblat ke Renaissance Italia.

Oleh sebab itu, setiap individu bersikap dan berpenampilan layaknya masyarakat dari kalangan kelas atas di era Renaissance—pakaian dan perhiasan yang mewah, dan menunjukan sikap keangkuhan agar menjaga status sosialnya. Sementara itu sejarah lokasi berkaitan dengan budaya Renaissance Italia yang mempunyai nilai seni sehingga Perancis meniru budaya, sosial dan kebiasaan pada masa itu. Dari nilai seni tersebut masyakat Perancis pada saat itu mengaplikasikannya kepada penampilan dan tubuh baik perempuan maupun laki-laki. Mereka menggunakan tatarias tebal dan mencolok layaknya kanvas lukisan yang diwarnai untuk menunjukan ciri khas feminin yaitu penggunaan bedak yang tebal berwarna putih, perpaduan warna hijau, ungu dan merah pada wajah, selain itu mereka menggunakan lipstik merah yang diulas di bagian tengah bibir. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukan kecantikan perempuan. Sementara itu, ciri maskulin ditunjukkan melalui penggunaan bedak tebal berwarna putih, pemulas warna hijau, eyeshadow warna peach dan lipstik merah yang diulas ke bibir. Selain itu tubuh mereka harus memiliki lekukan—memiliki payudara dan bokong yang besar dan pinggang yang ramping. Tidak hanya itu latar belakang keluarga dan kemolekan tubuh pun akan menentukan status sosial di masyarakat, diterima atau tidak. Seperti halnya, stereotip femininitas konsep kecantikan di Perancis yang melihat status sosial perempuan dari latar belakang keluarga, penampilan dan mengikuti atau tidak nilai stereotip femininitas konsep kecantikan yang


(29)

16

berlaku pada masa itu. Pada abad 17 gaun yang dikenakan oleh perempuan Perancis lebih luas hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah keluranya lapisan rok dalam dan tentunya agar terilat lebih mewah. Sementara itu, pakaian laki-laki pun tetap terkesan mewah dengan warna pakaian cerah dan memakai hiasan rambut meski pun tidak mengenakan boneth seperti halnya perempuan.

Gambar 2.1 penampilan masyarakat pada abad 17 (sumber: http://Fus.images.detik.com)

Gambar di atas merupakan contoh keadaaan masyarakat Perancis pada abad 17. Kesan kemewahan tetap dijadikan acuan setiap individu dalam berpenampilan sehingga apa pun keadaan tubuh dan ekonominya setiap individu akan berusaha untuk mengikuti nilai stereotip yang ada. Seperti halnya perempuan, pada masa itu perempuan harus mengenakan gaun mewah—a ceremonial robe ála francaise.

Gambar 2.2 pakaian perempuan pada abad 17 (sumber: http//Fblog.catherinedelors.com)


(30)

17

Gaun mewah tersebut yang sebenarnya membuat individu khususnya perempuan tidak mengenali identitas diri karena perempuan pada masa itu harus mengenakan pakaian mewah—lebar, berjubah dan harus mengenakan ball. Hal tersebut dikenakan agar dapat diterima oleh masyarakat dan menaikan status sosialnya. Sementara pada abad 18, pakaian yang dikenakan oleh perempuan atau pun laki-laki mengalami perubahan. Lebar gaun yang dikenakan perempuan mulai mengecil karena perubahan pemikiran masyarakat khussunya perempuan— dengan lingkar rok sebelumnya yang lebar menyulitkan perempuan di abad 17 sulit untuk beraktivitas sehingga di abad 18 lingkar rok di perkecil untuk memudahkan perempuan berkativitas di masa itu. Sementara itu, laki-laki memakai long tuxedo dan celana yang panjangnya hanya mencapai lutut.

Gambar 2.3 penampilan masyarakat pada abad 18 (Sumber: http://media-cache-ec0.pinimg.com)


(31)

18

Gambar 2.4 penampilan masyarakat pada abad 18 (Sumber: http://1.bp.blogspot.com)

Perubahan pakaian yang terjadi pada abad 18 dikarenakan nilai stereotip yang berlaku mengalami perubahan. Selain itu, budaya, sosial dan kebiasaanya pun semakin berkembang. Para perempuan mulai banyak beraktivitas di luar rumah sehingga boneth yang digunakan oleh perempuan tidak lagi menjulang tinggi namun terlihat lebih sederhana sedangkan lebar rok atau pun gaun yang dikenakan diperkecil agar memudahkan perempuan untuk beraktivitas. Meski pun demikian, perempuan pada masa itu tetap terlihat cantik dan elegan dengan pakaian yang mereka kenakan begitu pun laki-laki pakaian yang mereka kenakan tetap menampilkan kesan maskulinitas.

Gambar 2.5 penampilan masyarakat pada abad 19 (Sumber: http//ocialdance.stanford.edu)


(32)

19

Sama hal perubahan pakaian di abad 18, pada abad 19 lebar dan lingkar gaun perempuan semakin mengecil hal ini terjadi karena ada pengaruh dari revolusi perancis sehingga banyak perempuan sering beraktivitas di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan khususnya, perempuan kelas bawah. Begitu pun dengan pakaian laki-laki, tetap memakai jas berjubah seperti pada abad 18 namun celana yang dikenakan bukan lagi celana selutut namun celana panjang dan warna jasnya pun tidak berwarna cerah. Meski pun demikian, perubahan tersebut tidak menghilangkan kesan mewah dan elegan perempuan pada masa itu karena kesan kemewahan harus tetap diterapkan pada sikap dan penampilan mereka agar menaikkan status sosial diri sendiri atau pun keluarga. Dengan demikian, stereotip yang ada sehingga memunculkan nilai femininitas.

2.2 Femininitas

Stereotip yang ada di masyarakat telah membentuk konsep yang harus dimiliki baik perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, sebagaimana stereotip, femininitas merupakan konstruksi masyarakat terhadap perempuan untuk menjadi tanda identitas diri perempuan di lingkungannya. Namun pada dasarnya konsep kecantikan yang berlaku merupakan permintaan atau tuntutan laki-laki yang menginginkan sosok perempuan sempurna, baik tubuh, sikap, penampilan dan pemikirannya. Semua yang ada pada diri perempuan itu demi pemenuhan kriteria feminin, seperti pemaparan berikut:


(33)

20

“Sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” dan bagi

perempuan itu, mereka rasa, dalam satu atau lain cara, bukanlah

diri mereka.” (Wolf, 2002:4)

Perempuan akan berusaha semaksimal mungkin untuk tampil sempurna agar dapat diterima oleh lingkungannya. Mereka berpenampilan sesuai selera masyarakat, yakni bertubuh ideal sehingga perempuan berbadan gemuk berusaha mendapatkannya. Ada pun tubuh yang ideal adalah memiliki wajah mulus berbentuk oval tanpa cacat, berambut pirang dan berkulit putih. Selain itu, seorang perempuan pun harus besikap lemah lembut, anggun, santun dan penurut. Sadar atau tidak, konstruksi femininitas konsep kecantikan terhadap perempuan tidaklah menjadikan perempuan memiliki dirinya sendiri seutuhnya melainkan pribadi yang berwujud tubuh masyarakatnya.

Ketika tubuh seorang perempuan merupakan perwujudan dari masyarakatnya maka dia pun telah menanamkan nilai-nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang berlaku. Nilai-nilai tersebut disepakati dan ditanamkan pada perempuan sejak perempuan terlahir kedunia. Dari ketiga nilai itu terbentuk nilai femininitas sebagai acuan masyarakat, khususnya perempuan.

Oleh sebab itu, femininitas merupakan aturan yang mengatur perilaku dan penampilan perempuan. Salah satunya adalah gagasan mengenai femininitas yang dikemukakan oleh Reinisch (1987). Karakteristik femininitas yang distereotip oleh masyarakat adalah perempuan yang cantik, feminin dan harus lemah lembut, santun, berbudi bahasa yang halus, patuh, penurut dan sebagainya (Reinisch, 1987: 1). Rangkaian dari stereotip tersebut harus perempuan tanamkan dalam, fisik dan sikapnya.


(34)

21

Di samping itu ada bentukan feminin yang harus dimiliki oleh perempuan, yakni bentuk natural ingenuity yang tidak dimiliki oleh laki-laki karena berkaitan dengan kondisi biologis perempuan seperti menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui.

The seductive quality of simple dichotomies like those of male/female or of nature/nurture can also be seen in the scientific efforts to avoid the pitfalls of cultural or contextual biases by examining masculinity/femininity questions from biological (biochemical, anatomical, physiological), comparative (interspecific), or cross-cultural perspectives. (Reinisch, 1987:7)

Pemaparan di atas menjelaskan bahwa pemisahan laki-laki dan perempuan sering kali menjadi hal yang problematis jika dilihat secara alamiah (nature) dan bentukan (nurture). Berbagai pertanyaan muncul mengenai pemisahan itu sehingga dibutuhkan suatu langkah untuk menentukan bagaimana masyarakat melihat dan menilai permasalahan tersebut. Usaha ilmiah dilakukan untuk menjembatani konteks budaya dalam menentukan gender—maskulinitas dan femininitas. Usaha yang terkait dengan biologis terdiri dari biochemical, anatomical dan physiological. Biochemical yaitu usaha pemisahan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada zat kimia—hormon testosteron pada laki-laki dan hormon estrogen pada perempuan—yang ada dalam tubuh keduanya. Anatomical

melihat pemisahan laki-laki dan perempuan berdasarkan kondisi organ tubuhnya. Misalnya, perempuan memiliki rahim, vagina dan payudara yang memungkinknnya untuk mengandung, melahirkan, menyusui dan menstruasi, sedangkan laki-laki memiliki scrotum dan penis. Meski laki-laki memiliki payudara, organ itu tidak berfungsi sebagaimana pada perempuan. Sementara itu,


(35)

22

yang sangat berbeda karena dipengaruhi keberadaan faktor biochemical dan

anatomical. Oleh sebab itu, setiap individu mempunyai kekhasan masing-masing sebagai identitasnya. Namun, pemisahan tersebut memunculkan stereotip femininitas dan maskulinitas sehingga perbandingan tersebut menjadi pemisah status seksualitas atau pun gender.

Dengan demikian, kekhasan yang dimiliki perempuan berfungsi untuk memuaskan lawan jenisnya berdasarkan pada stereotip femininitas konsep kecantikan di masyarakatnya. Hal tersebut kemudian menjadikan perempuan mempunyai nilai lebih sehingga dikategorikan perempuan sempurna. Kesempurnaannya akan menjadi utuh apabila perempuan tersebut mengetahui cara berdandan, berpenampilan dan bersikap. Dengan demikian, perempuan akan berusaha untuk tampil cantik misalnya merias rambut untuk menopang status sosialnya seperti yang di paparkan oleh Lippman sebagaimana dikutip Dyer berikut:

to refer 'correctly' to someone as a 'dumb blonde', and to understand what is meant by that, implies a great deal more than hair colour and intelligence. It refers immediately to ber sex, which refers to her status in society, her relationship to men, her inability to behave or think rationally, and so on. In short, it implies knowledge of a complex social structure. (Dyer, 1999: par 8)

Seperti yang telah dipaparkan, status sosial perempuan dalam tatanan masyarakat Perancis pada abad 17, 18 atau 19 ditentukan oleh pakaian yang ia kenakan sehingga mendukung penampilannya yang elegan dan anggun sesuai selera masyarakat. Di kesehariannya perempuan Perancis dipengaruhi oleh budaya pada masa itu misalnya bercemin untuk memastikan identitas dirinya. Oleh sebab itu, perempuan sering kali bertanya “apakah pakaianku sesuai dengan tubuhku,


(36)

23

wajahku, identitasku dan akankah diterima atau tidak oleh masyarakat” (Jones, 2004: xv). Hal tersebut dapat diketahui melalui pemaparan berikut:

A series of questions about the personal, subjective experience of dressing race through the mind of any woman who has ever stood before a mirror contemplating her clothing, her body, and her identity: White muslin or blue silk? Which is more practical, or more flattering? (Jones, 2004: xv)

Identitas diri perempuan sangat menentukan status sosial yang akan ia sandang sehingga mempengaruhi caranya memilih warna dan jenis pakaian, perhiasan, sepatu, kipas, boneth—hiasan kepala sejenis topi dengan hiasan bulu burung merak—tata rias yang tebal dan warna terang sehingga padan dengan yang ia kenakan. Misalnya saja pemilihan bentuk dan warna boneth yang ia kenakan: merah atau biru karena pemilihan itu akan menunjukan identitas dirinya dan kecantikan yang ia miliki.

Namun femininitas yang tertanam pada diri perempuan membuat ia tidak sadar bahwa dirinya telah distereotip oleh masyarakat berdasarkan budaya yang berkembang. Stereotip budaya yang berkembang terhadap kategori perempuan cantik pada waktu itu yang menggunakan a ceremonial robe ála francaise, berjubah dan menggunakan ball sehingga suami dan anaknya akan memujinya.


(37)

24

Gambar 2.5 pakaian dan boneth perempuan abad 17 (Sumber: http://media-cache-ec0.pinimg.com)

Seperti yang telas dipaparkan sebelumnya gaun yang dikenakan perempuan memiliki lebar yang luas dan memakai boneth tinggi menjulang agar dapat sepenuhnya mengikuti femininitas konsep kecantikan yang berlaku pada masa itu.

Gambar 2.6 Pakaian perempuan abad 18 (sumber: http:// women-fashion-through-18th-century.html)

Lebar gaun dan rok pada abad 18 pun mengalami perubahan. Namun, hal tersebut tidak mengilangkan kesan mewah dan elegan.


(38)

25

Gambar 2.7 penampilan perempuan pada abad 19 (Sumber: http:// bp.blogspot.com)

Begitu pun pada abad 19, seperti yang telah dijelaskan, lingar rok dan gaun pada abad tersebut semakin mengecil. Namun lingkar pinggang semakin diperkecil untuk menekan payudara dan bokong menjadi besar sehingga mereka dapat mengikuti femininitas konsep kecantikan yang berlaku dan dapat berdandan layaknya perempuan terhormat. Meski pun demikian, perempuan akan bertanya berdandan untuk siapa, memakai pakaian mewah untuk siapa, bersikap atau berpenampilan feminin untuk siapa. Fenomena tersebut membuat Jones berpendapat bahwa perempuan di Perancis pada masa itu juga telah terstereotip oleh budaya, sosial dan kebiasaan setempat. Konstruksi masyarakat terhadap perempuan feminin atau maskulin.

Lippman menyatakan ciri atau tanda yang menunjukkan dia perempuan atau laki-laki ditandai dengan nilai budaya yang melekat pada diri personal. Hal itu yang akan menjadi status dalam lingkungan masyarakatnya.

part of the way societies make sense of themselves, and hence actually make and reproduce themselves. (Dyer, 1999: par 5)


(39)

26

Nilai budaya yang mendasari nilai-nilai femininitas konsep kecantikan terbentuk tidak luput dari pengaruh seseorang yang berkuasa pada daerah tertentu. Nilai-nilai stereotip yang mutlak itu dijadikan sebagai pengukuhan „nilai-nilai

tradisional‟. Nilai tradisional tersebut adalah perempuan dan laki-laki bersikap dan berpenampilan mewah. Di kesehariannya mereka melihat majalah fashion dan pergi ke butik untuk membangun identitas diri dengan menggunakan stoking dan sepatu, korset dan gaun, rambut palsu dan topi. Oleh sebab itu, perempuan dan laki-laki pada abad 17, 18 atau 19 di Perancis terkonstruksi tidak hanya penampilan melainkan perasaannya. Setiap mereka bercermin, mereka aka berpikir apakah pakaian yang mereka kenakan menjadikan atau mencerminkan identitas diri mereka atau sebaliknya.

As applied to men and women, the social type/stereotype distinction implies that men have no direct experience of women and that there could be a society composed entirely of men: both of these are virtually impossible. Yet it seems to me that what the distinction points to, as applied to women and men, is a tendency of patriarchal thought to attempt to maintain the impossible, by insisting on the 'otherness' of women and men (or rather the 'otherness' of women, men being in patriarchy the human norm to which women are 'other') in the face of their necessary collaboration in history and society. (The distinction does also refer in part to a real separation in social arrangements, i.e. the fact of male and female 'preserves': the pub, the beauty salon, the study, the kitchen. etc.) What the distinction also maintains is the absolute difference between men and women, in the face of their actual relative similarity. (Dyer, 1999:par 18)

Seperti yang telah dipaparkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai pembeda dari keduanya—biochemical, anatomical, dan physiological. Nilai pembeda tersebut dikukuhkan untuk mempertahankan unsur budaya dan kebiasaan di masyarakatnya. Selain itu status sosial keduanya pun akan naik


(40)

27

ketika nilai pembeda yang disepakati oleh masyarakat ditanamkan seutuhnya pada diri mereka. Meski pun demikian, sikap dan penampilan laki-laki dan perempuan berasal dari nilai-nilai patriaki berlandaskan hasrat masyarakat yang menginginkan kesempurnaa pada diri laki-laki dan perempuan. Nilai patriaki tersebut tidak lepas dari sejarah dan lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal sehingga nilai tersebut membentuk nilai stereotip femininitas konsep kecantikan yang mengharuskan perempuan dan laki-laki bersikap dan berpenampilan feminin pada masa itu. Untuk mempertahankan nilai pembeda dari keduanya, mereka pergi ke salon untuk merawat diri agar stereotip femininitas dan maskulinitasnya dapat dipertahankan. Hal tersebut dilakukan agar mereka diterima oleh lingkungannya.


(41)

28

BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1Objek penelitian

Objek penelitian pada skripsi ini berfokus pada stereotip femininitas dalam konsep kecantikan yang ada pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant yang berjudul The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gems dan Miss Harriet. Adapun pemilihan kelima cerita pendek ini didasarkan adanya kemiripan fenomena stereotip femininitas kecantikan masyarakat Perancis pada abad ke-17 dengan stereotip femininitas masyarakat Indonesia pada masa kini.

Untuk memberikan gambaran alur cerita kelima cerita pendek tersebut, saya membuat paparan sinopsis dari masing-masing cerita pendek untuk memberikan informasi awal mengenai budaya, sosial dan kebiasaan yang membentuk stereotip femininitas konsep kecantikan. Berikut ini paparan dari sinopsis kelima cerita pendek Guy de Maupassant yang menjadi sumber penelitian.

3.2Sinopsis


(42)

29

Dalam cerita pendek The Diamond Necklace (TDN) menceritakan tentang seorang perempuan bernama Mathilde yang bersih keras untuk terlihat cantik di hadapan orang lain ketika datang ke pesta. Untuk memenuhi keinginannya itu, Mathilde meminta kepada suaminya untuk membelikannya gaun mewah dan untuk menopang penampilannya Ia meminjam perhiasan berupa kalung kepada tetangganya. Namun sepulang dari pesta kalung tersebut hilang dan tidak di temukan hingga pada akhirnya Mathilde harus mengganti kalung tersebut dengan kerja keras untuk mendapatkan uang untuk mengganti kalung yang mahal. Karena kerja kerasnya membuat badan Mathilde yang subur menjadi kekar dan berotot.

3.2.2 Madame Baptiste (MB)

Dalam cerita pendek Madame Baptiste (MB) menceritakan seorang perempuan yang bernama Madam Paul Hamot yang bunuh diri karena keperawanannya terenggut oleh seorang laki-laki. Keperawanan Hamot terenggut secara paksa ketika ia berumur 11 tahun oleh seorang budak di rumahnya. Akibat dari peremerkosaan itu, ia di anggap monster oleh masyarakat sehingga ia bunuh diri karena tertekan oleh keadaan masyarakat yang mengucilkan dan mencemoohnya.

3.2.3 The Farmer’s Wife (TFW)

Dalam cerita pendek The Farmer’s Wife (TFW) menceritakan tentang perempuan bernama Jean yang bekerja sebagai perempuan tuna susila namun memiliki kecantikan yang memikat hati seorang laki-laki yang melihatnya. Wajahnya, tubuhnya, penampilannya bahkan pancaran auranya layaknya perempuan terhormat berstatus sosial tinggi.


(43)

30

3.2.4 The False Gems (TFG)

Dalam cerita pendek The False Gems menceritakan seorang perempuan bernama Madame Latin yang merupakan sosok perempuan sederhana namun memiliki kecantikan layaknya perempuan terhormat. Namun karena kelompok teater yang ia ikuti, memaksa ia harus berpenampilan mewah untuk menjaga gengsi dan status sosialnya dalam kelompok teater.

3.2.5 Miss Harriet (MH)

Dalam cerita pendek Miss Harriet (MH) menceritakan tentang sosok perempuan bernama Harriet yang merupakan seorang perempuan yang taat pada agamanya. Namun keyakinannya ditentang oleh masyarakat karena agama yang ia yakini adalah agama puriitans yang tidak lain agama protestan. Namun ia juga mempunyai konsep kecantikan tersendiri, yakni kecantikan seorang perempuan yang taat pada agamanya. Ia menggunakan jubah untuk menandakan agamanya, badannya kurus, dan kulitnya putih pucat.

3.3Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Mengenai deskriptif, Sukmadinata (2006: 72) mendeskripsikan penelitian deskritif sebagai berikut:

“penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang

ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik,


(44)

31

perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena

yang satu dengan yang lain.”

Jadi dalam penelitian ini, fenomena karakteristik stereotip femininitas dalam konsep kecantikan yang terkonstruksi dalam diri perempuan dideskripsikan secara mendalam berdasarkan karakteristik nilai budaya, sosial dan kebiasaan di masyarakat; tempat para tokoh utama tinggal dan hidup dalam cerita pendek Maupassant. Selanjutnya, pendeskripsian ini dipertajam dengan analisis kualitatif sehingga memungkinkan hasil penelitian yang lebih komprehensif. Hikmat (2011: 38) mengkategorikan metode penelitian serupa ini sebagai metode deskriptif kualitatif. Menurutnya, karakteristik metode kualitatif ditandai penelitian latar ilmiah. Artinya, data yang diperoleh diambil secara utuh dan dianalisis secara induktif.

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari lima cerita pendek yaitu, The Diamond Necklace, Madame Baptiste, The Farmer’s Wife, The False Gums dan Miss Harriet. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan langkah-langkah desripfif, yakni mengumpulkan data, merumuskan dan menghubungkan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian mengumpulkan informasi data yang terkumpul serta melakukan interpretasi dan generalisasi merumuskan tujuan penelitian, menyimpulkan fenomena dan menyimpulkan hasil dari penelitian.


(45)

32

3.3.2 Teknik analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik atau metode langsung (telling) dan tidak langsung (showing). Seperti yang dipaparkan oleh Minderop (2005: 8), metode langsung (telling) merupakan metode yang dipaparkan pengarang secara langsung melalui narasi. Dengan demikian, data dideskripsikan dan dianalisis melalui bantuan narasi pengarang sebagai data sekunder.

Sementara itu, Minderop (2005: 22) memaparkan metode tidak langsung (showing) sebagai metode yang tidak melibatkan kehadiran pengarang, sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan dirinya sendiri secara lansung melalui penokohan mereka. Artinya, dengan teknik tidak langsung ini, stereotip femininitas konsep kecantikan direpresentasikan secara langsung melalui karakter dan sikap serta cara pandang tokohnya.

Untuk mengetahui metode tersebut berikut adalah penerapannya dalam kutipan cerita:

Konstruksi masyarakat terhadap perempuan memaksa mereka untuk mengikuti nilai streotip yang berlaku meski pun nilai-nilai tersebut bertentangan dengan hati nuraninya. Namun apa pun nilainya perempuan harus tetap mengikuti nilai stereotip femininitas konsep kecantikan yang berlaku di masyarakatnya agar tidak dikenai hukum sosial. Oleh karena itu, masyarakat Perancis pada abad 17, 18 19 berusaha mengikuti nilai stereotip yang ada meski pun keadaan fisik, ekonomi dan latar belakang keluarga tidak menopang stereotip femininitas konsep kecantikan. Hal tersebut dapat diketahui melalui


(46)

33

kutipan berikut: “Mathilde suffered ceaselessly, feeling herself born to enjoy all delicacies and all luxuries.” (TDN, 1850 par : 3). Dari kutipan tersebut Mathilde merasa menderita dengan keadaan ekonomi keluarganya karena keadaan ekonominya itu ia tidak dapat mengikuti stereotip femininitas yang berlaku di masyarakatnya. akibatnya ia tidak bisa berikap dan berpenampilan layanknya perempuan terhormat dan berstatus sosial tinggi.


(47)

62

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Secara kodrati perempuan menginginkan tampil cantik dan sempurna sesuai selera masyarakat di tempatnya tinggal. Hal tersebut yang kemudian memunculkan tolok ukur kriteria perempuan cantik dan sempurna. Tolok ukur tersebut berlandaskan nilai-nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang berkembang di lingkungannya sehingga sikap dan penampilan setiap individu sesuai dengan selera masyarakat. Dengan demikian, setiap individu akan berusaha memenuhi stereotip femininitas konsep kecantikan atas tubuhnya agar dapat diterima oleh masyarakat. Mekipun demikian, nilai steotip berkembang dan berlaku sesuai pada masa, waktu dan lokasi tertentu. Namun, apa pun nilainya perempuan harus mengikuti nilai sterotip yang ada agar tidak dikenai hukum sosial.

Tokoh utama pada kelima cerita pendek karya Guy De Maupassant merepresentasikan konsep kecantikan yang berbeda sehingga masing-masing tokoh tersebut mempunyai kekhasan dalam bersikap dan berpenampilan, baik secara fisik maupun non fisik. Selain itu, mereka juga mempunyai kekhasan yang berbeda dalam menyikapi kodratinya sebagai perempuan yang memiliki sifat biologisnya, yakni natural ingenuity, instinc for what is elegant dan a supple mind. Perbedaan yang dimiliki oleh tokoh utama pada cerita pendek tersebut menunjukan femininitas yang berbeda pada masa, waktu dan lokasi tertentu—


(48)

63

Mathilde, Hamot dan Madame Latin tinggal di kota paris yang penuh dengan kemewahan sehingga keadaan fisik dan non fisiknya memaksa mereka untuk tampil layaknya perempuan terhormat dan berstatus sosial tinggi. Meskipun Jean dan Harriet tinggal di pedesaan, femininitas yang dianut oleh masyarakat kota tetap ada dan berlaku di masyarakatnya.

5.2 SARAN

Penelitian ini berfokus pada femininitas dalam konsep kecantikan pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant. Pada saat meneliti stereotip femininitas, laki-laki pun mengalami stereotip maskulinitas sehingga konsep maskulinitas itu sendiri dipertanyakan oleh masyarakat. Dengan demikian, penelitian selanjutnya dapat membahas identitas laki-laki pada abad 17, 18 atau 19 berdasarkan stereotip maskulinitas di Perancis.


(49)

(50)

(1)

3.3.2 Teknik analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik atau metode langsung (telling) dan tidak langsung (showing). Seperti yang dipaparkan oleh Minderop (2005: 8), metode langsung (telling) merupakan metode yang dipaparkan pengarang secara langsung melalui narasi. Dengan demikian, data dideskripsikan dan dianalisis melalui bantuan narasi pengarang sebagai data sekunder.

Sementara itu, Minderop (2005: 22) memaparkan metode tidak langsung

(showing) sebagai metode yang tidak melibatkan kehadiran pengarang, sehingga

para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan dirinya sendiri secara lansung melalui penokohan mereka. Artinya, dengan teknik tidak langsung ini, stereotip femininitas konsep kecantikan direpresentasikan secara langsung melalui karakter dan sikap serta cara pandang tokohnya.

Untuk mengetahui metode tersebut berikut adalah penerapannya dalam kutipan cerita:

Konstruksi masyarakat terhadap perempuan memaksa mereka untuk mengikuti nilai streotip yang berlaku meski pun nilai-nilai tersebut bertentangan dengan hati nuraninya. Namun apa pun nilainya perempuan harus tetap mengikuti nilai stereotip femininitas konsep kecantikan yang berlaku di masyarakatnya agar tidak dikenai hukum sosial. Oleh karena itu, masyarakat Perancis pada abad 17, 18 19 berusaha mengikuti nilai stereotip yang ada meski pun keadaan fisik, ekonomi dan latar belakang keluarga tidak menopang stereotip femininitas konsep kecantikan. Hal tersebut dapat diketahui melalui


(2)

33

kutipan berikut: “Mathilde suffered ceaselessly, feeling herself born to enjoy all

delicacies and all luxuries.” (TDN, 1850 par : 3). Dari kutipan tersebut

Mathilde merasa menderita dengan keadaan ekonomi keluarganya karena keadaan ekonominya itu ia tidak dapat mengikuti stereotip femininitas yang berlaku di masyarakatnya. akibatnya ia tidak bisa berikap dan berpenampilan layanknya perempuan terhormat dan berstatus sosial tinggi.


(3)

62 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Secara kodrati perempuan menginginkan tampil cantik dan sempurna sesuai selera masyarakat di tempatnya tinggal. Hal tersebut yang kemudian memunculkan tolok ukur kriteria perempuan cantik dan sempurna. Tolok ukur tersebut berlandaskan nilai-nilai budaya, sosial dan kebiasaan yang berkembang di lingkungannya sehingga sikap dan penampilan setiap individu sesuai dengan selera masyarakat. Dengan demikian, setiap individu akan berusaha memenuhi stereotip femininitas konsep kecantikan atas tubuhnya agar dapat diterima oleh masyarakat. Mekipun demikian, nilai steotip berkembang dan berlaku sesuai pada masa, waktu dan lokasi tertentu. Namun, apa pun nilainya perempuan harus mengikuti nilai sterotip yang ada agar tidak dikenai hukum sosial.

Tokoh utama pada kelima cerita pendek karya Guy De Maupassant merepresentasikan konsep kecantikan yang berbeda sehingga masing-masing tokoh tersebut mempunyai kekhasan dalam bersikap dan berpenampilan, baik secara fisik maupun non fisik. Selain itu, mereka juga mempunyai kekhasan yang berbeda dalam menyikapi kodratinya sebagai perempuan yang memiliki sifat biologisnya, yakni natural ingenuity, instinc for what is elegant dan a supple mind. Perbedaan yang dimiliki oleh tokoh utama pada cerita pendek tersebut menunjukan femininitas yang berbeda pada masa, waktu dan lokasi tertentu—


(4)

63

Mathilde, Hamot dan Madame Latin tinggal di kota paris yang penuh dengan kemewahan sehingga keadaan fisik dan non fisiknya memaksa mereka untuk tampil layaknya perempuan terhormat dan berstatus sosial tinggi. Meskipun Jean dan Harriet tinggal di pedesaan, femininitas yang dianut oleh masyarakat kota tetap ada dan berlaku di masyarakatnya.

5.2 SARAN

Penelitian ini berfokus pada femininitas dalam konsep kecantikan pada lima cerita pendek karya Guy De Maupassant. Pada saat meneliti stereotip femininitas, laki-laki pun mengalami stereotip maskulinitas sehingga konsep maskulinitas itu sendiri dipertanyakan oleh masyarakat. Dengan demikian, penelitian selanjutnya dapat membahas identitas laki-laki pada abad 17, 18 atau 19 berdasarkan stereotip maskulinitas di Perancis.


(5)

(6)