Membangun Femininitas Glokal Transformas docx

Membangun Femininitas Glokal: Transformasi, Kesadaran dan Negosiasi Femininitas dalam
Auto/Biografi Yuni Shara1

Aquarini P. Prabasmoro

Abstrak
Auto/Biografi selebritas seringkali dianggap hal yang sepele dan tidak penting. Dalam paper
ini saya berargumentasi bahwa auto/biografi siapapun, termasuk selebritas, merupakan
objek akademik penting karena auto/biografi mencerminkan nilai-nilai yang ada pada
masyarakat baik masyarakat yang merupakan bagian dari narasi auto/biografi tersebut
maupun bagi masyarakat tempat auto/biografi itu lahir. Auto/biografi juga berpotensi untuk
menjadi situs pertarungan nilai-nilai karena auto/biografi dapat menjadi ruang bagi
pelanggengan nilai-nilai tertentu, terutama nilai-nilai yang bersifat normatif dan tradisional.
Pada saat yang sama, auto/biografi juga memberikan ruang bagi nilai-nilai [baru] tertentu
yang meresistensi nilai-nilai yang dianggap tidak lagi sesuai. Dalam auto/biografi-nya, Yuni
Shara ditampilkan sebagai sosok perempuan yang mempunyai kesadaran serta melakukan
transfomasi dan negosiasi atas konstruk femininitas yang melingkupinya.

Abstract
Celebrity auto/biographies are often considered trivial and insignificant. In this paper I argue
that auto/biographies of any persons, including those of celebrities, can present an

important scholarly object because auto/biographies reflect the values existing in the
communities, both those who are part of the narrative of the auto/biographies as well as
those who are part of the communities where the auto/biographies are produced.
Auto/biographies are the potential site of struggles of the different values. Auto/biographies
can as a mode for the preservation of certain traditional and local values. At the same time,
they can also provide a space for the flourishing of certain [new] values that resist the
values no longer considered appropriate. In her auto/biography, Yuni Shara is portrayed as
a female figure who has the awareness as well as exerts transformation and negotiations of
the construct of femininity established within her context.
1

Terbit di Jurnal Sosiologi Pendidikan, Vol. 1 No. 1 August 2012, 49-66.

1

Keywords: Globalisasi, Femininitas, Auto/Biografi, Selebritas

Globalization memainkan peran penting dalam konstruksi femininitas, terutama femininitas
selebritas perempuan. Bagian awal dari paper ini akan memetakan globalisasi sebagai
kerangka penting dalam membahas persoalan femininitas glokal. Saya akan menjelaskan

makna globalisasi, apa konsekuensi dan dampak globalisasi, bagaimana globalisasi bekerja
dan bagaimana dampaknya terhadap konstruksi femininitas. Terutama sekali, saya ingin
memaparkan bagaimana globalisasi memengaruhi konstruksi femininitas selebritas
Indonesia. Di Indonesia ada kecenderungan pendapat dan kecurigaan bahwa globalisasi
adalah pertama-tama westernisasi, jika bukan Amerikanisasi. Kecenderungan ini harus
dieksplorasi untuk mendapatkan gambaran mengenai dampak dan proses globalisasi yang
saya akan coba lakukan dengan menempatkan auto/biografi Yuni Shara sebagai teks/situs
yang akan dibedah. Pemaparan mengenai globalisasi di awal paper ini juga berfungsi untuk
memberikan latar belakang bagi argumentasi saya tentang bentuk femininitas glokal yang
muncul dalam auto/biografi Yuni Shara,. Saya berpendapat bahwa penggambaran
femininitas yang ditunjukkan di dalam auto/biografi Yuni Shara dapat merepresentasi
gambaran femininitas glokal dalam auto/biografi selebritas perempuan Indonesia.2

Globalization and the Construction of Celebrity Femininity in Local Global Nexus
Mengerangkai femininitas dalam konteks globalisasi sangatlah penting untuk memahami
bahwa femininitas adalah suatu konstruk yang terus menerus berubah, dan bukan sebagai
sesuatu yang stagnant dan ajeg. Para teoris feminis dan gender seperti Rubin (1975), Moi
(1991), Gatens (1996) dan Butler (1999) telah berargumentasi bahwa femininitas harus
ditempatkan sebagai persoalan sosial kultural dan bukan persoalan biologis/alamiah.
Meskipun demikian, harus dipahami bahwa gagasan mengenai tubuh dan biologi

merupakan bagian penting dari femininitas. Dengan demikian, walaupun femininitas dapat
saja mempunyai kesamaan antara satu budaya dengan budaya lain, femininitas juga
2

Penelitian lengkap mengenai auto/biografi selebritas perempuan Indonesia ada pada disertasi saya, Staging a
Life: Portraying Femininities in the Auto/Biographies of Indonesian Female Celebrities, Doctoral Dissertation,
Monash University, 2011.

2

berbeda karena konteks spesifik lokalitas dan waktu yang melingkupinya berbeda.
Perbedaan berdasarkan konteks lokalitas itu menghasilkan apa yang disebut oleh
Appadurai (2000: 179) sebagai “subjek lokal”. Berdasarkan pemikiran itu, dapat
diargumentasikan bahwa sifat femininitas yang terus menerus berubah dapat diatribusikan
sebagai akibat dari dinamika dalam ruang local dan juga karena semakin saling terkait dan
terhubungnya dunia, yang menyebabkan budaya lokal harus terus menerus berdialog
dengan budaya lain, termasuk dengan budaya-budaya yang dianggap budaya “global”.

Globalisasi itu apa? Apa yang terjadi dalam proses globalisasi?
Globalisasi telah didiskusikan secara meluas dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi,

politik, budaya, hukum, bahasa, media. Globalisasi juga digambarkan dalam pelbagai
istilah, misalnya sebagai “aliran” (flows) (Appadurai, 1990a), “kekuatan” (forces) (Cvetkovich
and Kellner, 1997), “proses” (Cvetkovich and Kellner, 1997, Appadurai, 2000, Axtmann,
1997). Penggambaran awal ini menyiratkan bahwa globalisasi mengacu kepada suatu
dinamika yang kompleks dan berlapis-lapis yang menyebabkan pelbagai aspek kehidupan
di seluruh dunia, termasuk yang sifatnya personal dan public, menjadi semakin saling
terhubung (interconnected). Sebagaimana diargumentasikan Cvetckovich dan Kellner
(1997), globalisasi mengacu kepada “cara ekonomi global, kekuatan politik dan budaya
semakin cepat memasuki penciptaan pasar dunia baru, organisasi politik transnasional
baru dan budaya global baru” (Cvetkovich and Kellner, 1997: 3).

Dengan perkataan lain, globalisasi bekerja melalui berbagai cara, alat dan institusi, yang
keseluruhannya bekerja demi terciptanya saling keterhubungan antara berbagai aspek
kehidupan dari perlbagai “locales” yang berbeda dan diantara budaya local itu sendiri.
Globalisasi juga mengacu kepada pertemuan terus menerus antara yang global dan yang
local. Sebagaimana dielaborasi lebih jauh oleh Robertson dan Chirico, sebagaimana dikutip
oleh Robertson (1997: 18), “globalization is, in spite of differing conceptions of that theme,

best understood as indicating the problem of the form in terms of which the world
becomes ‘united’, but by no means integrated in naïve functionalist mode”. Dapat

dikatakan bahwa meskipun globalisasi terlihat sebagai penyebab munculnya
kesamaanatau homogenitas, globalisasi juga membuka peluang terjadinya “perbedaan dan
perpecahan” (Appadurai, 1990a). Appadurai (2000: 17, terjemahan dari saya) berpendapat:

3

Globalisasi itu sendiri adalah suatu proses yang bersifat historis, tidak merata, dan
bahkan melokalisasi (menjadikan lokal). Globalisasi tidak dapat dengan sederhana
disamakan sebagai homogenisasi atau Amerikanisasi, dan dalam bahkan dalam hal
tertentu, masyarakat yang berbeda akan menyesuaikan material untuk modernitas
dengan cara yang berbeda juga.

Argumentasi Appadurai bahwa globalisasi sesungguhnya bekerja dengan memicu
terjadinya proses “lokalisasi” sangatlah penting. Menurut Appadurai, walaupun globalisasi
mengisyaratkan bahwa budaya global mengambil tempat di pusat, tidak berarti bahwa
budaya global merupakan pusat. Karena harus berhadapan dengan kekuatan globalisasi,
local dipaksa untuk mempertahankan budaya serta nilai-nilai lokalnya melawan proses
globalisasi. Jika kita menempatkan pemikiran ini ke dalam konstruksi femininitas, dapat
dikatakan bahwa meskipun konstruk femininitas local harus terus menerus berrsinggungan
dengan konstruk femininitas global, konstruksi femininitas lokal Indonesia akan terus

menerus membangun perbedaannya dengan konstruk global dan konstruk budaya lokal
lain, meskipun pada saat yang sama merangkul konstruk femininitas global sebagai bagian
dari dirinya. Budaya dan nilai-nilai lokal akan terus menerus berkembang dan berubah
sebagaimana yang global dan yang lokal akan terus menerus saling mempengaruhi di
dalam pelbagai aspek kehidupan.

Pendapat Appadurai mengenai perbedaan dan perpecahan atas globalisasi lebih jauh
menggaribawahi hal ini. Ia berpendapat bahwa globalisasi adalah suatu “proses yang tidak
merata” dan bahwa “perbedaan dan perpecahan” atas globalisasi terutama disebabkan
oleh fakta bahwa globalisasi bekerja melalui “aliran budaya global” yang disebutnya sebagai
“(a) ethnoscapes; (b) mediascapes; (c) technoscapes; (d) finanscapes; and (e) ideoscapes”
(Appadurai, 1990a: 6). Appadurai menekankan bahwa akhiran “scapes dalam berbagai
gagasan ini mengacu kepada sifat cair dari berbagai elemen yang membangun budaya
global. Dialektika yang terus menerus terjadi antara berbagai aliran ini mempengaruhi
konstruk social budaya serta pengimaginasian diri yang berbeda” (Appadurai, 2000),
termasuk juga, menurut saya, konstruk femininitas. Ini terutama jika dilihat secara lebih
spesifik melalui “mediascapes” dan “technoscapes”, karena aliran media dan teknologi
mengandung aspek yang berbeda-beda, keduanya dapat diadaptasikan dan diintegrasikan

4


ke dalam pelbagai budaya yang berbeda sebagaimana mereka diproyeksikan di dalam
kehidupan sehari-hari yang biasa saja. Appadurai (2000: 4) lebih jauh berpendapat:

Because of the sheer multiplicity of the forms in which they appear (cinema,
television, computers, and telephones) and because of the rapid way in which they
move through daily life routines, electronic media provide resources for self-imagining
as an everyday social project.

Jelas dari argumentasinya bahwa menurut Appadurai, media merupakan sumber penting
bagi proyeksi imaginasi diri. Secara lebih luas dapat diargumentasikan bahwa media
memberikan kita cermin yang daripadanya kita melihat diri kita, membayangkan diri kita,
dan memproyeksikan diri kita di masa depan.
.

Bagaimana globalisasi bekerja dan mempengaruhi konstruksi femininitas Indonesia?
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Appadurai (1990b, Appadurai, 2000), globalisasi
bekerja dengan melalui paling tidak lima aliran. Saya berargumentasi bahwa aliran-aliran ini
diimungkinkan oleh perlintasan berbagai bahasa dan semakin meningkatnya penggunaan
komunikasi visual, termasuk gambar/citra dan iklan dalam majalah dan budaya perempuan.

Citra-citra ini berfungsi untuk memproyeksikan tidak saja budaya global sebagai global,
tetapi juga memaksakan yang lokal terhadap yang global sedemikian sehingga baik yang
lokal maupun yang global harus terus menerus bernegosiasi dan berdialog. Perempuan
‘lokal’ memproyeksikan dirinya sebagai global dan lokal melalui citra yang ditampilkan di
pelbagai media yang tersedia bagi dirinya, termasuk sastra, majalah, televisi, film, media
cetak dan media cyber. Citra di dalam majalah perempuan Indonesia, misalnya, meskipun
dimodeli oleh ‘perempuan lokal’ tidak serta merta merepresentasi femininitas lokal
Indonesia karena mereka juga merepresentasi femininitas global. Dalam logika yang sama
dapat diargumentasikan bahwa meskipun pelbagai media berbicara dalam bahasa lokal
Indonesia, media yang berbeda ini juga menggunakan Bahasa Inggris, yang dianggap
sebagai bahasa global, yang bahkan dalam banyak hal, berbagai bahasa ini (Indonesia,
Inggris atau bahasa daerah) digunakan secara bersama-sama seolah-olah merupakan satu
bahasa, sebagaimana diungkapkan oleh Hall (1998: 27):

5

Global mass culture is dominated by the modern means of culture production,
dominated by the image which crosses and re-crosses linguistic frontiers much more
rapidly and more easily, and which speaks across languages in a much more
immediate way. It is dominated by all the ways in which the visual and graphic arts

have entered directly into the reconstitution of popular life, of entertainment and of
leisure. It is dominated by television and by film, and by the image, imagery, and
styles of mass advertising

Fenomena ini terutama jelas terlihat dalam teks auto/biografis selebritas perempuan
Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu, misalnya
Jawa, Manado, Sunda, dan sebagainya, atau dalam konteks kebangsaan (Indonesia),
tetapi pada saat yang sama mereka memproyeksikan diri sebagai “global” sebagaimana
terefleksikan dalam tingginya penggunaan Bahasa Inggris di dalam teks auto/biografis para
selebritas yang diteliti. Hal yang sama dapat juga dikatakan sehubungan dengan
representasi melalui citra yang ditampilkan oleh para selebritas sebagai orang Indonesia,
misalnya dengan mengenakan pakaian tradisional atau aksesori lain yang mengacu kepada
budaya Indonesia, tetapi pada saat yang sama merupakan warganegara global melalui
konsumsi barang-barang bermerk global dan juga penampilannya dengan mengenakan
pakaian masa kini yang mengglobal, misalnya jeans dan gaun). Hal ini terlihat jelas pada
auto/biografi Yuni Shara sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut ini:

Figur 1

Figur 2


6

Paper ini memperhitungkan dengan serius fakta bahwa selebritas perempuan Indonesia
harus menegosiasikan femininitas dan konstruksi identitas “global” dengan konstruksi lokal.
Misalnya, para selebritas harus menegosiasikan citra seksi dengan ajaran agama dan
budaya yang berlaku di Indonesia. Strategi yang hati-hati diperlukan untuk bermain dalam
area ini karena selebritas perempuan harus cukup seksi untuk dapat menarik perhatian
tetapi cukup sopan sehingga tidak mengundang pandangan yang tidak senonoh atau
menuai protes. Praktik auto/biografis dari para selebritas ini berpotensi untuk memaparkan
cerita tentang bagaimana globalisasi berproses di ranah publik, yang secara superfisial
dilihat sebagai yang [di]global[kan]. Saya yakin bahwa penggambaran bagaimana selebritas
perempuan secara strategis mengatur ranah hegemonis yang beragam, seperti misalnya
lokalitas dan globalitas, femininitas normatif dan femininitas yang cair atau partikular atau
femininitas global dan femininitas lokal akan memberikan informasi penting mengenai moda
artikulasi perempuan dan masyarakat lokal.

Mengikuti argumen bahwa kebudayaan masa global dikonstruksi melalui teknologi dan
media global, dan bahwa hal itu mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dirinya serta
bagaimana seseorang memproyeksikan kehidupannya dan dirinya, dapat dikatakan bahwa

globalisasi bukanlah satu cara dan kekuatan yang menghomogenkan. Berargumentasi
seperti itu adalah mengasumsikan bahwa budaya lokal bersifat tabula rasa dan bahwa
budaya lain akan diserap dengan tanpa resistensi atau proses dialogis lainnya.
Sebagaimana diargumentasikan Axtman (1997), media memang mempengaruhi budaya,
tetapi bukan berarti media akan sepenuhnya mendefinisi budaya. Lebih lanjut menurut
Axtman (1997: 17):

The argument that media determines culture and cultural experience systematically
denies the contextuality of culture. The social groups and collectives that are the
recipients of the “global message” interpret, or bestow meaning upon, these
messages on the basis of their own specific experience and memories as they grew
out of their own particular histories and cultures; they creatively modify “messages”
and cultural products in light of their own local needs and requirements. It is exactly
the timeslessness, but also the context-specific “Westernness,” of the global
cultural message that is undermining its capacity to create a global collective
identity…

7

Dengan perkataan lain, pengaruh apapun juga yang akan berimbas pada konstruk budaya
akan selalu melalui proses penyaringan, adaptasi dan adopsi karena fakta bahwa budaya
selau berkaitan dengan sejarah, nilai dan norma yang tidak dapat begitu saja dilepaskan.
Lebih penting dari itu, budaya bersifat melekat dan menubuh pada pendukungnya.

Hal yang sama dapat dikatakan berkenaan dengan konstruk femininitas, yang merupakan
bagian inheren dari budaya. Konstruksi global atas femininitas adalah bagian penting dari
elemen yang membangun konstruksi femininitas lokal dengan cara yang mungkin dapat
dianggap kontradiktif. Sebagaimana globalisasi seringkali diacu sebagai ‘modernisasi’
(Cvetkovich and Kellner, 1997, Robertson, 1997), konstruk femininitas global juga dapat
memaksakan/menekankan nilai-nilainya yang kemudian diproyeksikan sebagai femininitas
yang modern dan lebih lumrah. Pada saat yang sama, tekanan yang dilakukan oleh
globalisasi mendorong lokal untuk menjunjung tinggi konstruk femininitas lokalya sendiri.
Dalam hal ini, perlu juga dipertimbangkan pendapat bahwa globalisasi beroperasi melalui
pasar dan modus produksi dan konsumsi (Cvetkovich and Kellner, 1997, Appadurai,
2001). Appadurai, Cvetkovich & Kellner berpendapat bahwa globalisasi sangatlah dekat
hubungannya dengan pasar sedemikian sehingga pasar mendikte kehidupan
“warganegara modern” dan pada saat yang sama memicu komodifikasi pelbagai aspek
kehidupan, termasuk persoalan yang sebelumnya dianggap pribadi. Proses ini secara jelas
berlangsung hampir sama di seluruh pelosok bumi. Saya berpendapat bahwa aspek-aspek
ini berpengaruh terhadap konstruk femininitas lokal. Majalah perempuan Indonesia,
misalnya, terlihat banyak yang mengubah format dan isinya sehingga menjadi mirip dengan
majalah-majalah yang lebih global. Hal ini ditandai dengan kemiripan yang sangat antara
majalah perempuan lokal dengan majalah perempuan ‘global’, misalnya Cosmopolitan,

Elle, dan sebagainya. Globalisasi juga terlihat jelas dalam pergeseran isi yang menjadi lebih
“global’ dan “modern” dengan memasukkan/mengintegrasikan konten seks dan gaya
hidup. Sebagaimana diungkapkan Cvetkovich and Kellner (1997: 8), “budaya global
bermakna mempromosian gaya hidup, konsumsi, produk dan identitas”. Persoalanpersoalan ini bukan saja ditandai sebagai global, tetapi lebih penting lagi dimaknai sebagai
“modern”. Majalah-majalah global yang ditargetkan bagi perempuan professional kelas
menengah yang mempunyai ruang untuk bersinggungan dengan pendukung budaya
global serta menjalani hidup baik pada ranah publik/profesional maupun ranah domestik.

8

Hidupnya kembali industri pertunjukan lokal, termasuk musik, televisi, radio film dan
semakin dipublikasikannya berbagai aspek kehidupan memunculkan suatu kelompok
selebritas yang sangat besar, baik selebritas yang memang mempunyai pencapaian dan
prestasi yang sudah mapan maupun mereka yang hanya “well-known for their well-

knowness” (Boorstin, 1972). Selebritas yang hidupnya terus menerus berada dalam
sorotan diberikan ruang untuk memproyeksikan hidupnya, untuk mempertunjukkan suatu
bentuk femininitas dan identitas yang biasa dan luar biasa. Representasi selebritas
perempuan di media memberikan model yang sangat beragam untuk dapat dijadikan
bayangan tentang citra diri dan juga konstruksi femininitas. Fakta bahwa media adalah
fokus tempat proses globalisasi terjadi dengan cara yang sangat intens dan bahwa
selebritas mendapatkan status selebritasnya melalui mekanisme media bermakna bahwa
budaya selebritas lokal secara terus menerus bersinggungan dengan budaya selebritas
global, sedemikian sehingga selebritas lokal dapat mengidentifikasi dirinya dengan
selebritas global tertentu, atau mengagumi selebritas global tertentu serta sikap-sikap lain
yang mengisyaratkan efek dari pertemuannya dengan budaya global. Pertemuan ini
mempengaruhi pelbagai aspek dari kehidupan selebritas lokal, termasuk aspek-aspek yang
berkenaan dengan pekerjaan profesionalnya, penampilannya, modus konsumpsinya serta
kehidupan pribadinya, termasuk gaya hidup, hubungan pribadinya dengan pasangannya
dan atau dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu. Akhirnya, dapat diargumentasikan
bahwa selebritas lokal tidak saja mereprsentasi femininitas lokal tetapi juga femininitas
global, yang pada gilirannya selebritas perempuan lokal ini akan menjadi model femininitas
bagi konstruksi lokal femininitas Indonesia. Pada saat yang sama, efek Hollywood juga
mengalir melalui berbagai aspek langsung terhadap ruang global publik tempat selebritas
global memproyeksikan dirinya di dalam berbagai media.

Mengapa auto/biografi?
Sekalipun seringkali dianggap sepele, auto/biografi adalah bagian penting dari budaya yang
merefleksikan bagaimana diri dipersepsi, bagaimana sejarah ditampilkan dan bagaimana
pergeseran terjadi. Menurut Stanley, bentuk penting dari auto/biografi adalah apa yang
disebutnya sebagai Bildungsroman, yang menurutnya merupakan “the tale of the

progressive traveling of a life from a troubled or stifled beginnings; in which obstacles are
overcome and the true self actualised or revealed; and then the tale may, prototypically,

9

end, or it may go on to document yet further troubles turned to triumphs” (1992: 11).
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa bentuk tradisional auto/biografi,

bildungsroman, menampilkan ‘dokumen’ atau ‘cerita faktual’ mengenai kehidupan
seseorang yang telah mencapai sukses setelah menjalani kehidupan yang sulit
sebelumnya.

Lebih jauh lagi, Stanley (1992) berargumentasi bahwa auto/biografi berpotensi untuk
memberikan gambaran mengenai hidup yang dapat dijadikan contoh, yang tokohnya dapat
dijadikan panutan. Penggunaan kata auto/biografi dalam paper ini mengacu kepada
kaburnya batasan antara autobiografi dan biografi terutama dalam hal auto/biografi
selebritas. Dalam konteks ini, dapat juga diargumentasikan bahwa auto/biografi selebritas
lokal dapat juga dijadikan bagian dari pendukung terciptanya konstruksi femininitas lokal
yang merupakan hasil dialog dengan konstruksi femininitas global. Sebagaimana
diargumentasikan oleh Steedman (2000), auto/biografi mempunyai potensi untuk menjadi
agen perubahan di satu sisi dan pelanggengan nilai-nilai atau konstruksi sosial kulural
tertentu di sisi lain. Menurutnya “[o]ne of the many ways in which forms of selfhood have

been transmitted and appropriated is through the reading of – or at least knowing about –
literary selves” (Steedman, 2000: 27). Dengan demikian, menjadi lebih jelas lagi bahwa
walaupun auto/biografi seringkali ditulis tentang seseorang tertentu, eksistensinya tidak
berhenti sebatas si autobiografer itu saja melainkan jauh meluas karena, bagaimanapun,
suatu buku, atau dalam hal ini auto/biografi, yang diterbitkan di ranah publik ada untuk
dimaknai dan diinterpretasi, sebagai bagian dari “ part of a general and perpetual

conversation about life possibilities” (Bruner, 1993: 41).

Dari diskusi yang sudah saya sampaikan, jelas bahwa auto/biografi dapat membawa
pengaruh terhadap konstruksi diri di satu sisi, dan menjadi agen perubahan di sisi lain.
Dalam konteks budaya selebritas, selebritas menempati ruang yang menarik karena ia
berada dalam berbagai ranah yang berbeda, ia adalah figur di ranah publik dan pada saat
yang sama juga menempati ranah pribadi serta ranah lokal dan global, dan kedua ranah itu
bukanlah dua ranah yang terpisah secara mutlak. Lebih dari itu, seperti disebutkan oleh
Marshall (2001), selebritas adalah sosok yang terus menerus melakukan perlintasan ranahranah yang berbeda, termasuk juga perlintasan dalam hal profesi yang menjadi acuan
profesinya. Seorang selebritas mempunyai lebih dari satu profesi, misalnya model,

10

presenter dan penyanyi. Dalam konteks paper ini, Yuni Shara memang lebih dikenal
sebagai penyanyi, tetapi ia juga sebenarnya adalah seorang pebisnis. Dalam
auto/biografinya ia menampilkan diri sebagai ‘duta’ bagi merk tas global seperti Louis
Vuitton, Channel dan Hermes yang ditampilkan sebagai bagian penting dari identitas
femininitasnya yang global dan lokal.

Kesadaran, Transformasi dan Negosiasi Femininitas Glokal (Global dan Lokal)
Dari pelbagai aspek, auto/biografi Yuni Shara yang berjudul Yuni Shara: 35 Cangkir Kopi
sangatlah menarik. Diterbitkan atas kerjasama penulis Tamara Geraldine, yang juga
seorang selebritas, dan Darwis Triadi, seorang fotografer yang namanya sudah mapan di
papan atas fotografer model Indonesia. Buku ini tidak semata-mata menarasikan hidup
seorang selebritas karena Yuni Shara bukan hanya ditampilkan sebagai selebritas
melainkan juga sebagai teman bersama pembuat bukunya, yakni Tamara dan Darwis.
Dalam posisi sebagi teman, Tamara menulis auto/biografi ini sebagai hadiah ulang tahun
ke-35 bagi Yuni. Sementara Darwis Triadi adalah fotografer yang sudah seringkali
bekerjasama dengan Yuni Shara, dan seperti diakui Yuni dalam kata pengantar buku ini,
Darwis Triadi “tak pernah gagal membuat saya terlihat cantik” (Geraldine and Triadi, 2007:
xxi). Kerjasama Tamara and Darwis menghasilkan rasa artistik ke dalam auto/biografi ini,
baik dalam hal artikulasi puitis Tamara Geraldine dan juga dalam hal foto-foto artistik yang
dihasilkan oleh Darwis Triadi. Saya berargumentasi bahwa dalam banyak hal, auto/biografi
Yuni Shara ini melakukan perlintasan antara beberapa genre karena ia dapat dilihat sebagai
autobiografi dan biografi. Ia juga dapat dilihat sebagai album foto Yuni Shara atau juga
portfolio Darwis Triadi sebagai fotografer. Struktur auto/biografi yang ditawarkan oleh
Tamara Geraldine juga mengawinkan struktur majalah perempuan ke dalam genre
auto/biografi dengan cara yang sangat menarik. Dari sisi Yuni Shara, auto/biografi ini
adalah sebentuk momento mori dari 35 tahun hidup yang penuh warna dan aroma.

Seperti kebanyakan auto/biografi, auto/biografi ini juga dapat dianggap sebagai

bildungsroman, yang tulang punggungnya ada pada narasi progresif yang disampaikannya.
Dalam genre ini, narasi bercerita mengenai awal yang penuh kesulitan yang dialami oleh
subjek auto/biografis dan kemudian bagaimana subjek auto/biografis itu mengatasi
kesulitannya dan kemudian berhasil memperoleh kesuksesan. Dalam auto/biografi Yuni
Shara ini, trasnformasi dari anak perempuan kelas bawah menjadi penyanyi yang berhasil

11

dan menjadi kaya diceritakan melalui sudut pandang pohon kelengkeng di rumah tempat
dulu Yuni, Ibu dan adiknya, Krisdayanti, tinggal di Malang. Dapat dikatakan bahwa rumah
ini merupakan simbol dari awal hidupnya yang sederhana, jika tidak miskin. Pohon
kelengkeng itu keman menjadi saksi bagi perubahan atau perbaikan kelas sosial Yuni.
Meskipun si pohon tidak melihat transformasi tempat tinggal Yuni dari rumah yang
berdesak-desakan dengan keluarga lain ke rumah mewah yang ditempatinya sendiri,
namun ia mendengar keberhasilan Yuni yang disimbolkan oleh rumahnya yang mewah
sekarang.

Katanya mereka sudah tinggal di rumah masing-masing di Selatan Jakarta yang tak
pernah sejuk. Mereka tidak lagi perlu menyapu halaman setiap jam tiga sore seperti
dulu. Pasti sekarang mereka punya banyak pembantu. Yang aku dengar, mereka
sudah tinggal sendiri-sendiri dan sudah bukan gadis-gadis kecil lagi. Si kakak dan
si adik sudah benar-benar menjadi penyanyi. Pasti mereka sudah tinggal di rumah
besar, berkamar luas dan berpagar tinggi. (Geraldine and Triadi, 2007: 49)

Kutipan tersebut dengan jelas menunjukkan genre bildungsroman auto/biografi Yuni Shara
ini, yang juga terlihat dari sudut pandang pohon kelengkeng ini adalah bahwa pekerjaan
domestik seperti menyapu halaman ditandai sebagai pekerjaan kelas bawah. Sebaliknya,
pembantu, kamar yang luas dan pagar tinggi ditandai sebagai status sosial tinggi dan
simbol kesuksesan.
Selain jelasnya “progress narrative” di dalam auto/biografi ini, seperti juga kebanyakan
auto/biografi perempuan, Yuni Shara: 35 cangkir Kopi ini juga menampilkan dan
memproblematisasi konstruksi femininitas, yang di satu sisi seringkali bersifat normatif –
terutama yang dianggap sebagai nilai-nilai lokal, dan di sisi lain membuka kemungkinan
transformasi, resistensi dan negosiasi. Berbagai fitur femininitas ditampilkan dalam
auto/biografi ini. Yuni Shara bercerita mengenai pengalamannya menjadi ibu, tetapi yang
lebih sangat kuat terasa adalah narasinya sebagai seorang istri. Setelah kegagalan dalam
perkawinan pertamanya3, pandangannya terhadap perkawinan dan hubungan suami istri
sangatlah cair, dalam artian beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai
3

Ketika auto/biografi ini diterbitkan, Yuni Shara masih dalam perkawinan dengan suami keduanya,
Henry Siahaan, yang berakhir dengan perceraian pada tanggal 17 Juni 2008.

12

konvensional serta merefleksikan nilai-nilai tradisional Jawa, tetapi beberapa pandangannya
yang lain sangatlah modern (baca: global) dan memberdayakan. Dalam paparan berikut
saya akan menggambarkan dan memetakan pelbagai bentuk kesadaran, transformasi dan
negosiasi femininitas yang ditunjukkan Yuni Shara dalam berbagai peran dan atribusi sosial
dan kultural dalam auto/biografinya, Yuni Shara: 35 Cangkir Kopi.

Konstruksi femininitas sebagai Ibu
Ada dua “Ibu” yang berbeda di dalam auto/biografi ini, yakni Yuni Shara dan ibunya. Ibu
yang diperkenalkan pertama kali adalah Ibu Yuni Shara, yang diacu sebagai “Mama”.
Kedua ibu, Yuni Shara dan ibunya, digambarkan mempunyai kekhawatiran, keinginan dan
usaha yang sama untuk menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya. Melalui narasi Mama,
ditunjukkan bahwa tuntutan menjadi seorang ibu adalah suatu hal yang tidak mungkin
dipenuhi secara keseluruhan. Mama mengakui bahwa ia bukanlah ibu yang sempurna,
tetapi ia bangga telah berhasil melakukan semua kewajibannya sebaik yang dia bisa
sebagai seorang ibu tunggal bagi kedua putrinya. Mama bernarasi [kepada Yuni], “Banyak
hal yang mungkin menurut banyak orang tidak Mama lakukan buatmu. Seperti juga banyak
yang tidak mereka lihat Mama lakukan demi tanggung jawab menjadi seorang Mama”
(Geraldine and Triadi, 2007: 14)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa salah satu bagian penting dari konstruksi femininitas
dalam masyarakat kita adalah menjadi ibu ‘yang baik’, suatu kualitas yang dituntut dari
perempuan dan dikenai pengawasan dan monitoring yang cukup ketat oleh lingkungan
sekitar. Persoalan surveillance dan monitoring ini dikatakan oleh Bartky (1997), mengikuti
Foucault, adalah bagian dari konstruksi femininitas yang dibentuk dengan membangun
kesadaran pada perempuan bahwa ia terus menerus diawasi.

Yang menarik dari paparan Mama berikutnya adalah bagaimana menjadi Ibu juga
bermakna kesiapan untuk selalu berjaga-jaga untuk kehidupan anak-anaknya. Seorang ibu
harus selalu ada kapanpun anak-anaknya memerlukannya. Dalam konteks Yuni Shara,
karena Yuni dikenal introvert, bahkan ibu dan adiknya sekalipun tidak akan menanyakan

13

padanya mengenai kehidupan pribadinya hingga Yuni Shara sendiri membukanya4,
sebagai Ibu, Mama selalu bersiap menghadapi kesulitan apapun yang mungkin menimpa
anaknya. Dalam narasinya, Mama berjanji (Geraldine and Triadi, 2007: 17):

Dalam diammu yang kedinginan
Kuhangatkan secangkir kecil pelukan
Kapan saja kau merasa ingin pulang

Dalam tradisi Islam dan Jawa, seorang istri tidak sepatutnya meninggalkan rumahnya tanpa
izin dari suaminya. Meninggalkan rumah (sebagai suatu institusi perkawinan) adalah
meninggalkan perkawinan. Dalam konteks Yuni Shara, keberadaan ibu yang siap menerima
[kembali] anaknya yang ‘pulang’ jika perkawinan anaknya tidak berlangsung baik adalah
bagian penting dari kehadiran ibu. Dengan perkataan lain, melalui narasi ini, seorang ibu
digambarkan selalu bersedia dan ada bagi anak-anaknya, bahkan sesulit apapun
keadaannya.

Pandangan bahwa seorang ibu selayaknya selalu ada dan mengabdikan diri pada anakanaknya juga diyakini oleh Yuni Shara, yang memiliki dua anak laki-laki. Seperti ibunya, Yuni
juga melihat bahwa pengorbanan adalah bagian penting dari atribusinya sebagai ibu.
Menurut perspektif Yuni, kehadiran dan pengorbanan seorang Ibu diperkuat oleh
kemampuan untuk bisa luwes dan lentur dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu.
Menurutnya, menjadi ibu bukanlah suatu kondisi yang statis, melainkan suatu perubahan
terus menerus dari waktu ke waktu. Menjadi ibu adalah persoalan kontekstual yang tidak
dapat didekati dengan pendekatan yang kaku. Dalam narasinya, Yuni mengatakan
(Geraldine and Triadi, 2007: 27):

Cangkir-cangkir mungil itu kuberi nama Cavin dan Cello. Kuusahakan mereka
mengkilap dan senantiasa berkilau wlau harus kubasuh dengan kain sutra basa air
mata dan tetes keringat. Kulagukan senandung lullaby semakin keras ketika hujan
mulai turun rintik perlahan. Kubiarkan diriku menjelma menjadi sebuah teko yang
4

. Dalam sebuah program infotainment tanggal 21 September 2007. Sayang saya tidak sempat
mendokumentasikan nama programnya.

14

menyiramkan air hangat di kala tubuh mereka dingin atau ketakutan. Lalu
kukembalikan wujudku kembali menjadi sebuah cangkir seukuran jika mereka
kekurangan teman bermain pasir. Karena nanti mereka pun harus sefleksibel itu jika
suatu saat dikelilingi cangkir-cangkir kecil yang bernama belakang Siahaan, seperti
mereka.

Janji Yuni Shara untuk selalu ada dalam berbagai bentuk dapat diargumentasikan sebagai
versi menjadi ibu yang yang telah mengalami transformasi dari bentuk kehadiran Mama
untuknya. Dapat juga diargumentasikan bahwa Yuni Shara menampilkan bentuk usaha
menjadi ibu yang lebih modern,. Pembacaan atas kedua cara menjadi ibu tidak
terhindarkan dalam mencermati auto/biografi ini karena memang ada pembandingan cara
keduanya menjadi ibu. Yang menurut saya sangat melegakan dan bersemangat feminis
adalah bahwa perbedaan ini tidak dikerangkai sebagai bentuk kompetisi melainkan
sebagai bentuk pengakuan atas perbedaan situasi, perbedaan keterbatasan dan
keleluasaan dari kedua ibu; Yuni Shara dan ibunya, yang kemudian membentuk konstruksi
ibu yang juga berbeda antara satu dan yang lainnya. Ini menunjukkan bagaimana lokalitas
dan globalitas, nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai yang lebih modern berbaur tanpa masingmasing kehilangan nilai-nilai pentingnya. Memahami bahwa masa kecilnya sulit secara
ekonomi, Yuni Shara memahami ketidakhadiran ninak bobo yang dinyanyikan di kupingnya,
meskipun dia sangat menginginkannya. Tanpa terlihat sebagai suatu keluhan dan ‘balas
dendam’, Yuni Shara berjanji untuk selalu menyanyikan nina bobok untuk anak-anaknya
karena ia memahami apa yang dulu tidak diperolehnya, yang dipahaminya sebagai bukan
kesalahan ibunya. Ia memaparkan “[k]etika telingaku tidak pernah mendengar senandung
ibuku pada saat dingin menemanimalam, aku ingin mereka terus mendengar sayup-sayup
lagu nina bobok” (Geraldine and Triadi, 2007: 23).

Menarik untuk melihat disini bahwa, dibandingkan cara menjadi ibu versi ibunya, Yuni
Shara tidak pernah membicarakan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti
cara ibunya yang mendefinisi perannya sebagai ibu tunggal. Karena kesuksesannya
sebagai penyanyi, jelas bahwa Yuni Shara tidak harus berhadapan dengan situasi finansial
yang sulit sebagaimana ibunya dulu, karena itu ia dapat mengungkapkan atribusinya
sebagai ibu dengan cara yang lebih filosofis, misalnya seperti terlihat dalam caranya

15

memandang anak-anaknya dan perannya sebagai ibu sebagai suatu momento mori. Di
satu sisi, Yuni Shara merasa bahwa menjadi ibu telah membatasi kapasitasnya untuk
bertualang sebagai seorang perempuan, di sisi lain, baginya anak-anak adalah manifestasi
dari hasrat untuk hidup selamanya, untuk selalu hidup dan diingat. Ia mengungkapkan
(Geraldine and Triadi, 2007: 23):

Aku tetap perempuan yang ingin menjalani hidup dengan petualangan tak terbatas
jika saja tak terlanjur menambah sebuah status baru, menjadi bunda, bagi kedua
pangeran yang akan mengabadikanku. Dari bola mata mereka yang akan
membuatku dikenang, hidung kecil yang membangkitkan ingatan bahwa aku
pernah ada dan memberi warna (apapun itu) dalam dunia. Dengan kehadiran
mereka, aku percaya bahwa aku akan terus hidup seribu tahun lagi.

Gagasan bahwa menjadi ibu adalah cara untuk diingat sangatlah baru dan menyegarkan
untuk saya. Menjadi ibu bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan merupakan cara untuk
melanggengkan dan membangun “keabadian” subjektivitas diri. Seorang ibu tidak dapat
begitu saja dihilangkan dari pikiran seseorang karena jejak seorang ibu akan selalu ada baik
dalam wujud fisik maupun dalam setiap langkah, setiap ujaran dan setiap pikiran yang ada
di dalam diri seorang anak. Dengan demikian, dapat diargumentasikan bahwa dengan
membesarkan seorang anak, seorang ibu hidup selamanya. Eksistensi dan subjektivitas
seorang ibu tidak dapat disangkal dan tidak dapat dihindarkan. Meskipun ini terdengar
romantis dan sentimental, tetapi menurut saya gagasan mengenai ibu yang terungkap
dalam auto/biografi ini memberikan pencerahan bukan saja dalam konteks praktik
pragmatis peran/fungsi/tugas seorang ibu, yang secara tradisional dan konvensional
diterjemahkan sebagai tugas menyiapkan makanan, mencuci, membersihkan rumah dan
sebagainya, melainkan peran/fungsi/tugas dan kapasitas seorang ibu untuk ‘mewarnai’
dunia.

Konstruksi Femininitas sebagai Istri
Peran lain yang ditampilkan penting dalam auto/biografi ini adalah menjadi istri, yang
diungkapkan dengan sikap nrimo tetapi juga dirayakan sebagai suatu hal yang luhur dan

16

memberikan kebahagiaan. Menurut saya, disinilah terlihat bagaimana nilai-nilai budaya
Jawa dalam konstruksi diri sebagai seorang istri muncul dalam penggambaran diri Yuni
Shara, seperti terlihat dalam pandangannya atas apa yang sudah menjadi ‘takdirnya’,
terutama dalam penceritaan tentang perkawinan pertamanya yang berakhir dengan sangat
menyakitkan. Ia menerima bahwa ia ada semata-mata sebagai “anak wayang, bidak catur,
atau perumpaan-perumpamaan lainnnya, aku ada sesuai porsi dimana aku ditempatkan”
(Geraldine and Triadi, 2007:7). Seperti pernah juga saya bahas dalam tulisan saya yang lain
(Prabasmoro, 2006), peran istri seringkali bermakna tuntutan untuk berkorban demi
kepentingan orang-orang di sekitarnya, terutama suami dan anak-anaknya. Yang kemudian
menarik mengenai penggambaran diri sebagai istri, di satu sisi Yuni Shara merayakan
penerimaan peran, tugas, dan fungsi [konvensional]nya sebagai seorang istri yang
cenderung mengabaikan kepentingan dirinya sendiri, di sisi lain, ia juga bersifat kritis
terhadap dirinya sendiri karena telah menerima tanpa syarat apapun pengorbanan dirinya
itu. Hal ini terutama jelas dalam pembicaraannya mengenai pernikahan pertamanya (dalam
chapter Cangkir Somplak).

Penggambaran yang kontras ini menunjukkan adanya fragmentasi dan kesadaran atas
peran serta atribusinya sebagai perempuan yang menjalankan berbagai peran berbeda;
sebagai perempuan, istri, anak, ibu, dan Diri. Dapat diargumentasikan bahwa femininitas
bukanlah suatu hal yang integrated dan tunggal, melainkan terpecah-pecah meski bukan
berarti terpisah-pisah karena pecahan-pecahan itu saling berhubungan. Meskipun
demikian, Yuni Shara mengatakan, usaha untuk menjalani pelbagai peran in seringkali
berkonsekuensi pengabaian dirinya sendiri sebagai Diri, sebagai Subjek dan sebagai suatu
subjektivitas, seperti yang dikatakannya berikut ini (Geraldine and Triadi, 2007: 3):

Kadang aku harus mengesampingkan perasaan dan berusaha memahami karena
terlanjur menjadi bagian dari begitu banyak posisi. Terlalu banyak hati yang harus
dijaga, dimengerti, sehingga aku tak lagi sempat menjadi Yuni, menjadi diriku
sendiri.

17

“Menjadi Diri sendiri” dalam konteks menjadi istri dan ibu adalah konsep yang tidak
tradisional karena ia adalah bagian konstruksi diri yang individual. Ungkapan Yuni Shara
akan hilangnya bagian penting dari dirinya itu menunjukkan adanya kesadaran akan nilainilai yang modern yang ingin diklaimnya kembali.

Pada perkawinan keduanya, sebagaimana digambarkan dalam auto/biografi ini,
penyerahan dirinya terhadap perkawinan telah bertrasnformasi menjadi posisi yang lebih
sadar, yakni dedikasi. Ia tidak lagi mengorbankan diri membabi buta, meskipun ia masih
berpendapat bahwa mengalah [kepada suami] adalah cara untuk mencapai hubungan
suami istri yang membahagiakan. Saya berpendapat bahwa dalam auto/biografinya, Yuni
Shara digambarkan sebagai perempuan yang berkomitmen, dan bukan submisif, terhadap
perkawinannya, sehingga dedikasinya terhadap perkawinan lebih dapat dimaknai sebagai
manifestasi perayaan femininitas, rasa dirinya sebagai perempuan, kecantikannya, dan
hubungannya dengan suaminya. Chapter Air dalam Cangkir, Senin sampai Minggu (Tips

mencintai pasangan apa ada Yuni) memberikan gambaran yang menarik tentang
kesadaran dan negosiasi atas konstruksi femininitas Yuni Shara sebagai perempuan dan
istri. Ada tiga puluh lima tips yang dipaparkan di dalam chapter ini, yang dapat dibagi
dalam kategori berikut:

1. Kebutuhan untuk mencintai sebelum mencintai orang lain.
2. Peran istri sebagai manager rumah tangga
3. Peran istri sebagai sebagai pasangan yang mencintai dan penuh kasih sayang
4. Peran istri sebagai partner seksual
5. Peran istri sebagai menantu perempuan yang baik
6. Peran istri sebagai anggota dari keluarga yang dipimpin suami
7. Kebutuhan untuk menerima fakta bahwa suami bukanlah superman
8. Kebutuhan untuk menerima diri sendiri sebagai perempuan biasa (dan bukan super

woman)
9. Berbagai trik untuk menyampaikan yang tidak dapat dikatakan tetapi tetap bersikap
asertif
10. Kebutuhan untuk menjaga dan memelihara tubuh
11. Kebutuhan untuk selalu waspada ketika terjadi pertengkaran (untuk menghindari
keluarnya ucapan’cerai’)

18

Saya menganggap bagian ini sangat menarik, karena walaupun judulnya terkesan
menggurui, pendekatan yang lebih jenaka meringankan nada konseling perkawinan’ yang
mungkin terasa karena isinya yang memang berisi nasihat. Pendekatan yang lebih relaks ini
juga mengisyaratkan kapasitas femininitas Yuni Shara yang lentur dan fleksibel. Dalam trik
no. 29, misalnya, disebutkan, “Jika ada masalah yang tidak bisa selesai, lewatkan saja.
Karena suami kita bukan Superman (if he is, he’ll be wearing his underwear outside)
(Geraldine and Triadi, 2007: 86, Bahasa Inggris dalam teks asli). Saya melihat pendekatan
yang mengacu kepada penerimaan yang sehat terhadap fungsi, tugas dan peran seorang
istri lebih berterima dibandingkan indoktrinasi dogmatis untuk selalu menghormati suami
sebagai orang yang lebih baik dibandingkan istrinya. Saya juga mengganggap sangat
menarik cara Yuni Shara melihat persoalan ‘menyerah’ dalam konteks perebutan
‘kekuasaan’ atas remote control. Ia mengatakan, “Biarkan dia memegang remote teve dan
mengganti channel setiap lima belas detik sekali” (Geraldine and Triadi, 2007: 86). Trik ini
menempatkan perempuan sebagai orang yang lebih rasional dibandingkan laki-laki yang
“mengganti channel setiap lima belas detik”. ‘Saran’ ini juga menandai laki-laki sebagai
irasional dan impulsif, suatu atribusi yang biasanya ditujukan kepada perempuan. Selain itu,
trik atau tip ini juga memberikan ruang bersama bagi perempuan untuk menertawakan
keadaan atas situasi yang sesungguhnya berpotensi untuk menjadi penderitaan bagi
perempuan. Laki-laki yang ingin sepenuhnya menguasai televisi menjadi bahan tertawaan
dari kejauhan karena perempuan disarankan untuk menjarakkan diri dari perebutan
kekuasaan yang tidak berarti. Dalam posisi ini perempuan ditempatkan sebagai saksi atas
ketidakmampuan laki-laki bahkan untuk mendefinisi apa yang diinginkan atau
dibutuhkannya (berubah pikiran setiap lima belas detik sekali adalah penanda yang jelas
dari hal tersebut). Justru dalam posisi ‘mengalah’ perempuan merebut klaim atribusi
rasional yang selama ‘dikuasai’ laki-laki. Yang dianjurkan Yuni adalah memainkan peran
tradisional sebagai istri yang mengalah, tetapi sebetulnya mengalah adalah strategi yang
sangat efektif untuk menegosiakan posisi konvensional yang selama ini secara ajeg
menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak rasional dan inferior terhadap lakilaki. Saya melihat ini bukan saja sebagai permainan kata-kata yang sangat cerdas
melainkan juga bentuk negosiasi atas konstruksi femininitas dan maskulinitas yang sangat
tegas tetapi luwes.

19

Femininitas sebagai kekuatan perempuan
Elemen femininitas lain yang menurut saya layak dibicarakan adalah bagaimana femininitas
ditunjukkan sebagai kekuatan perempuan. Walaupun tidak secara eksplisit, di dalam
auto/biografinya, Yuni Shara digambarkan telah melalui berbagai cobaan baik sebagai anak
perempuan, sebagai perempuan dewasa dan bahkan sebagai istri dari dua laki-laki yang
berbeda. Sebagai anak, ia hidup sebagai anak keluarga yang relatif miskin.Ketika ia
tumbuh dewasa dan menikah muda untuk pertama kalinya, ia menikah dengan laki-laki
yang berbeda agama dengannya, yang merupakan persoalan pelik di Indonesia. Laki-laki
itu tidak saja melalukan kekerasan secara fisik dan mental kepadanya, tetapi juga
mempermalukan dirinya di hadapan publik dengan mengedarkan video malam
pengantinnya (Juliastuti, 2002)5. Laki-laki ini diacu sebagai “nyamuk” dalam auto/biografi
ini, seperti terungkap dalam narasi ibundanya, “Andai Mama tahu lebih awal, Mama akan
menutup pinta rapat-rapat untuk seekor nyamuk yang sempat mengubahmu dari sekadar
anak menjadi seorang istri” (Geraldine and Triadi, 2007: 15).
Setelah terbebas dari ‘nyamuk’, Yuni Shara menikah dengan Henry Siahaan, yang lima
belas tahun lebih tua. Sekali lagi ia harus melewati masa sulit karena pernikahannya dengan
Henry tidak diakui secara legal di Indonesia karena perbedaan agama diantara keduanya.
Dalam auto/biografi ini, diungkapkan ‘tantangan’ terakhir kehidupan bagi Yuni adalah
dituduhnya Henry sebagai koruptor. Menghadapi kesulitan seperti ini, Yuni Shara
digambarkan tetap mampu memelihara kekuatan dan ketenangan. Ia mengomentari
peristiwa yang harus dilaluinya dengan cara yang tipikal Jawa, tetapi sangat menohok
dengan mengatakan, “dalam hati aku hanya melihat diri ini tidak lebih, tidak kurang, dan
tidak lain hanya sebagai perempuan. Karena perempuan adalah mahakarya yang
sempurna. Berbanggalah dan taklukkan masalah…” (Geraldine and Triadi, 2007: 7).

Kemampuan untuk bertahan dan keluar dari masalah dari Yuni Shara yang terlihat lembut
menciptakan konstruksi femininitas yang sangat menarik ketika kekuatan ditampilkan
sebagai kelembutan, atau dengan perkataan lain ketika kelembutan digambarkan sebagai
manifestasi kekuatan. Kemampuan bertahan dan menghadapi masalah ini diikuti oleh
kemampuan untuk mentransformasi diri, untuk berubah, untuk menjadi lentur, sama seperti

5

Tentang video ini banyak diskusi baik formal maupun informal yang dapat diakses di internet.

20

yang diungkapkannya tentang kelenturan yang diperlukan untuk menjadi ibu bagi anakanaknya. Kemampuan ini mungkin tidak akan terlihat dalam situasi yang normal, tetapi
narasi Yuni Shara menunjukkan bahwa bagian penting dari femininitasnya adalah
kemampuan untuk menjadi seorang ‘survivor’bahkan ketika harus menghadapi tekanan
yang tidak terbayangkan. Dalam narasinya, Henry Siahaan, suami Yuni Shara,
menunjukkan betapa ia sendiri tidak melihat kekuatan itu ada pada Yuni, yang biasanya
tampak lembut dan rentan (Geraldine and Triadi, 2007: 132):

Dan saya bersyukur di saat berat yang kami lewati bersama tersebut, Yuni tidak
hanya menjadi istri yag tahan badai. Ia secara tiba-tiba dan tak terduga berhasil
mentrasnformasi dirnya menjadi wujud perempuan yang tak pernah saya
bayangkan. Istri yang tegar, ibu yang melindungi, anak dan menantu yang
mendeduhkan serta artis yang bijaksana dalam memberikan jawaban. Saya tahu
ada kecewa (untuk kesekian kali di dadanya) pada saya.

Penutup
Dalam auto/biografinya Yuni Shara telah menunjukkan bukan saja kesadaran melainkan
juga penerimaan atas konstruksi femininitas lokal. Yang menarik dari penggambaran diri di
dalam auto/biografinya, Yuni Shara melakukan transformasi dan negosiasi terhadap
konstruksi femininitas lokal itu sedemikian sehingga ia ditampilkan sebagai sosok yang
bukan saja melakukan perlintasan publik dan privat (sebagai penyanyi dan sebagai istri,
misalnya) melainkan juga melakukan perlintasan antara yang tradisional dan yang modern,
yang lokal dan yang global. Kata perlintasan disini mengacu kepada argumentasi saya,
seperti yang sudah saya tunjukkan melalui pembahasan atas konstruksi femininitas yang
muncul pada auto/biografi Yuni Shara, bahwa femininitas yang ditampilkan adalah bentuk
femininitas baru yang merangkul nilai-nilai modern tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional.

Catatan yang belum sempat terelaborasi atas meleburnya barat dan timur tampak jelas
pada citra visual yang ditampilkan dalam auto/biografi ini, misalnya seperti yang terlihat
pada gambar 1 dan 2. Pada gambar 1 diperlihatkan Yuni Shara dengan mengenakan kain
dan ‘tank top’ yang menyerupai baju dalam perempuan Indonesia jaman dulu, sementara
pada gambar 2 Yuni ditampilkan mengenakan gaun modern yang mengisyaratkan

21

pengaruh fashion global pada keseharian dirinya. Gambar 2 juga merupakan ilustrasi yang
sempurna untuk menunjukkan perlintasan lokal dan global dalam pola konsumsi Yuni
Shara. Satu chapter tersendiri dalam auto/biografi ini menunjukkan passion yang dimilikii
Yuni Shara pada tas-tas bermerk global, yang juga menunjukkan pentingnya konsumsi
barang-barang ‘global’ sebagai bagian dari konstruksi dirinya sebagai perempuan. Chapter
mengenai tas ini disampaikan melalui sudut pandang orang lain yang memaknai hasrat
Yuni Sharat terhadap tas-tas bermerk itu sebagai simbol kesuksesan dan modernitas.
Menjelang akhir auto/biografi, Yuni Shara mengisyaratkan bagaimanapun femininitas yang
ditampilkannya tidak selalu mudah didefinisi. Ia bersifat ambigu dan cair, seperti yang
diungkapkan salah satu sahabatnya, Melly Goeslaw, “Ia bangga dengan
keperempuanannya walaupun keperempuanannya itu membuatnya sukar memilah-milah
mana sebenarnya yang harus lebih dulu dikonsentrasikan” (Geraldine and Triadi, 2007:
125). Dan mungkin perempuan tidak selalu harus memilih yang mana yang akan
dikonsentrasikan karena bagaimanapun ia adalah kesemua identitas diri yang melekat
padanya pada saat yang bersamaan.

Daftar Pustaka