Uji Daya Hambat dan Daya Bunuh Ekstrak Ethanol Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Secara IN VITRO

(1)

UJI DAYA HAMBAT DAN DAYA BUNUH EKSTRAK ETHANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP BAKTERI

Staphyloccoccus aureus SECARA IN VITRO

(Skripsi)

Oleh

JEANNA SALIMA 1118011062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

UJI DAYA HAMBAT DAN DAYA BUNUH EKSTRAK ETHANOL BAWANG PUTIH (Allium Sativum L.) TERHADAP BAKTERI

Staphylococcus aureus SECARA IN VITRO

Oleh

JEANNA SALIMA 1118011062

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

ABSTRACT

ANTIBACTERIAL ACTIVITY OF ETHANOL EXTRACT OF GARLIC (Allium sativum L.) AGAINST Staphylococcus Aureus IN VITRO

By

JEANNA SALIMA

Infectious disease has become one of major health concern not only in Indonesia, but also in the world. Antibiotics is main treatment of infectious disease. But, as the rate of infectious disease goes up, so does the use of antibiotics, which if it is used irrationally, could lead us to a new problem, which is, antibiotic resistant pathogens. Therefore, the use of herbs as alternative medicine is now being thoroughly studied. One of the herbs that is now being extensively studied by researchers is garlic. This experiment has the aim of determining antibacterial activity of garlic against Staphylococcus aureus.

This experiment was an observational laboratory experiment. The Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) was determined using broth dilution method. The Minimum Inhibitory Concentration was determined visually by observing the turbidity of Mueller Hinton Broth (MHB) which was added with various concentration of ethanol extract of Garlic (50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%) and inoculated each with one ose of Staphyloccocus aureus. Then, to determine the MBC, each broth was then inoculated on Mueller Hinton Agar to see if there is any growth of bacterial colony.

The result of this experiment shows that ethanol extract of garlic has the ability to inhibits and kills bacterial growth against Staphylococcus aureus in the concentration of 6,25% and higher.

Therefore, we could summarize that ethanol extract of garlic has both the ability to Inhibits and to kill the growth of gram positive bacteria, Staphylococcus aureus.


(4)

ABSTRAK

UJI DAYA HAMBAT DAN DAYA BUNUH EKSTRAK ETHANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP BAKTERI

Staphylococcus aureus IN VITRO

Oleh

JEANNA SALIMA

Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan yang besar tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia. Antibiotik merupakan pilihan utama tatalaksana penyakit infeksi. Namun seiring dengan meningkatnya kejadian penyakit infeksi, meningkat pula pemakaian antibiotik, yang apabila tidak dilakukan secara rasional, dapat berakibat ke dalam masalah baru, yaitu lahirnya bakteri patogen yang resisten antibiotik. oleh karena itum penggunaan tanaman herbal sebagai terapi alternatif banyak dipelajari saat ini. Salah satu tanaman herbal yang banyak dipelajari fungsi antibakterinya ialah bawang putih. Penelitian ini akan menguji kemampuan antibakteri bawang putih terhadap salah satu patogen penting dalam dunia kesehatan, Staphyloccus aureus.

Penelitian ini merupakan penelitian observatif laboratorik. Penentuan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dilakukan dengan metode dilusi. Observasi kekeruhan Mueller Hinton cair yang dicampur dengan ekstrak ethanol bawang putih dengan konsentrasi yang berbeda (50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%) yang direplikasi sebanyak 3 kali. dan masing-masing diinokulasikan dengan satu ose bakteri Staphylococcus aureus dilakukan untuk menentukan KHM ekstrak bawang putih. Sedangkan untuk menentukan KBM ekstrak bawang putih, dilakukan inokulasi kembali masing-masing tabung Mueller Hinton cair ke dalam Mueller Hinton agar untuk melihat ada tidaknya pertumbuhan bakteri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih memiliki daya hambat dan daya bunuh terhadap bakteri Staphyloccocus aureus pada konsentrasi 6,25% dan konsentrasi yang lebih tinggi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak ethanol bawang putih memiliki daya hambat serta daya bunuh terhadap pertumbuhan bakteri gram positif, Staphylococcus aureus.


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 7 September 1993, merupakan anak ketiga dari pasangan orang tua bernama Jusuf Zakaria Salima dan Betty.

Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di TKIT Almanar, Bekasi utara, pada tahun 1997 dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan sekolah dasar (SD) ditempuh di SDIT Al-Manar dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ditempuh di SMP N 1 Bekasi, yang diselesaikan pada tahun 2008. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan di SMA N 1 Bekasi. Pada tahun 2011, penulis berhasil menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penulis pernah aktif sebagai anggota Palang Remaja di SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2009. Ketika duduk di bangku perguruan tinggi, penulis pernah aktif di organisasi FSI Ibnu Sina sebagai staf bidang kesekretariatan dan di BEM Fakultas Kedokteran Unila pada periode 2012-2013 sebagai anggota biro Komunikasi Informasi dan Kesekretariatan (KIK) dan pada periode 2013-2014 sebagai ketua biro KIK. Dalam bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten dosen Histologi pada periode 2013-2014 dan asisten dosen CSL pada periode 2014 semester ganjil.


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat dari-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. Shalawat beriring salam kepada junjungan kita, Rasullulah Muhammad SAW, semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir.

Skripsi dengan judul “Uji Daya Hambat dan Daya Bunuh Ekstrak Ethanol Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Staphylococcus aureus secara IN VITRO” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

2. Kepada dr. Tri Umiana Soleha M. Kes, selaku Dosen Pembimbing Utama dalam penyelesaian skripsi ini. Yang dengan sabar membimbing, memberi


(10)

vii

kritik dan saran yang membangun, atas ketersediaan waktu dan perhatian hingga selesainya skripsi ini.

3. Kepada dr. Novita Carolia M. Sc, selaku Dosen Pembimbing Kedua atas kesediaan selalu memberikan waktu untuk membimbing, memberi saran, dan member kritik membangun dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Kepada dr. Ety Apriliana M. Biomed, selaku Dosen Penguji Utama. Terimakasih atas bimbingan, waktu, ilmu, kritikan dan saran-saran yang telah diberikan.

5. Terimakasih pada dr. Reni Zuraida, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan pengarahan dan saran-saran dalam menghadapi proses belajar di FK Unila ini.

6. Terima kasih yang tak terhingga kepada Mama yang tercinta, Betty atas do’a yang selalu terucap, atas kasih sayang, cinta kasih yang selalu menaungiku dan dukungannya yang tanpa henti selalu menyertai. Terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Papa, Jusuf Zakaria Salim yang telah membesarkanku, mendidikku dan selalu memberikan kasih sayang, cinta, perlindungan dan dukungan yang tak ternilai. Terimakasih juga kepada kakak-kakak tersayang, Johan Salim dan Jacob Salim atas dukungan dalam menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran, serta Paman dan Bibi yang terus mendukung dan memberikan semangat dalam menjalani pendidikan di Fakultas kedokteran ini.


(11)

viii

7. Seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita dan memotivasi baik berupa ilmu maupun semangat; 8. Seluruh staf Tata Usaha dan civitas FK Universitas Lampung yang turut

membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mbak Ida, mba Kori, bapak Ma’mun dan bapak Anomali yang selalu memberi saran untuk segala pengurusan kelengkapan surat-surat;

9. Terimakasih kepada Asisten Lab Mikrobiologi, Mbak Romi, yang dengan sabar terus menemani proses berjalannya penelitian ini, memberikan masukan, dan menyediakan jasanya dan senantiasa menjadi tempat bertanya. 10. Kepada teman-teman seperjuangan dalam meraih cita-cita, Cici Yuliana Sari,

Magista Vivi Anisa, Annisa Ratya, Putri Fitriana, Gita Augesti, Aulia Agristika, Bianti Nuraini, Putri Rinawati, Asih sulistiyani, dan Ayu Aprilia atas semua yang telah dilewati bersama dan selalu memberi perhatian, semangat, dukungan, motivasi, kasih sayang, kebersamaan dan kebahagiaan bagi penulis dalam proses meraih cita-cita dan menyelesaikan skripsi ini. 11. Terima kasih kepada teman-teman skripsi Mikrobiologi, Nyimas Farisa

Nadila, Stevan W. K, Desta Eko I., Gulbuddin Hikmatyar, Danar F. Sudarsono, yang telah bersama menjadi tempat bertanya dan memberikan bantuan dalam penyelesaian proses penelitian.


(12)

ix

12. Teman-teman angkatan 2011 tercinta yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih telah memberikan motivasi, kebersamaan dan ilmu yang tak ternilai;

13. Kepada saudara-saudaraku di FSI Ibnu Sina dan BEM FK Unila, yang telah memberikan banyak pelajaran mengenai tanggung jawab, kerjasama, dan loyalitas.

14. Kepada rekan-rekan Asdos Histologi (Anggia, Ferina, Gaby, Deborah, Sheba, Ade) dan Asdos CSL (Asih, Nyimas, Likha, Ara, Mahe, Agung).

15. Kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2014) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran;

16. Semua pihak yang telah berjasa dalam proses pencapaian cita-cita penulis yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terima kasih.

Bandar Lampung, 13 Januari 2015 m Penulis m


(13)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ...i

LEMBAR PERSETUJUAN ...iii

LEMBAR PENGESAHAN ...iv

RIWAYAT HIDUP ...v

SANWACANA ...vi

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan Penelitian ...6

D. Manfaat Penelitian ...6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang putih (Allium sativum L.)...7

1. Sejarah Tumbuhan ...7

2. Taksonomibawang putih (Allium sativum L.) ...7

3. Morfologi Tanaman ...8

4. Kandungan dan manfaat bawang putih (Allium sativum L.) ...10

B. Mekanisme Antibakteri Bawang Putih ...13


(14)

xi

1. Klasifikasi ...15

2. Morfologi dan Deskripsi Bakteri ...15

3. Karakteristik Kultur ...17

4. Enzim dan Toksin ...17

5. Patogenesis ...19

6. Mekanisme Resistensi Stafilokokus ...20

D.Kerangka Teori ...20

E.Kerangka Konsep ...21

F. Hipotesis ...22

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...23

B. Waktu dan Tempat Penelitian ...23

C. Bahan dan Alat Penelitian ...23

D. Prosedur Penelitian ...24

E. Variabel Penelitian ...29

F. Definisi Operasional ...30

G. Analisis Data ...31

H.Etika Penelitian ...31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...32

B. Pembahasan ...35

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan...40

B. Saran ...41

DAFTAR PUSTAKA ...xiv LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Informasi Kandungan Gizi bawang putih (United States

Departement of Agriculture, 2010) ... 10 2. Definisi Operasional ... 30 3. Hasil uji daya hambat ekstrak ethanol bawang putih terhadap

Staphylococcus aureus... ... 32 4. Hasil uji daya bunuh ekstrak ethanol bawang putih terhadap


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Bawang Putih (Litbang Departemen Pertanian, 2008) ...8 2. Gram stain Staphylococcus aureus diambil dari eksudat pustula

(Todar,2005) ...17 3. Kerangka teori efek pemberian ekstrak ethanol 96% bawang putih

terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus ...21 4. Kerangka konsep efek pemberian ekstrak ethanol 96% bawang putih


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga diseluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan penyakit infeksi. Penyakit infeksi juga merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia (Mulholland, 2005).

Pemberian antibiotik merupakan tatalaksana penting dalam menangani pasien dengan penyakit infeksi. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan dalam praktik perawatan kesehatan, banyak penderita penyakit infeksi yang memerlukan perawatan jangka panjang di rumah sakit. Hal ini menyebabkan pajanan antibiotik oral dan antibiotik parenteral terhadap pasien tersebut semakin meningkat. Hal ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu munculnya mikroba patogen yang resisten terhadap antibiotik (Mardiastuti, 2007).

Pemakaian antibiotika secara rasional mutlak menjadi suatu keharusan. Rasionalitas pemakaian antibiotik tersebut meliputi tepat indikasi, tepat


(18)

2

penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping obat. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan munculnya banyak efek samping dan mendorong munculnya bakteri resisten (Sutrisna,2012).

Salah satu bakteri patogen yang sering menginfeksi manusia ialah bakteri bergenus Staphylococcus. Genus Staphylococcus sedikitnya memiliki 30 spesies. Tiga spesies utama yang memiliki kepentingan klinis adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat koagulase positif, yang membedakannya dari spesies lainnya. S. aureus adalah patogen utama pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan derajat keparahan yang beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa (Brooks, 2008).

Bakteri genus Staphylococcus bersifat cepat menjadi resisten terhadap banyak obat antimikroba dan menyebabkan masalah terapi yang sulit (Brooks, 2008). Mardiastuti dkk, dalam penelitiannya juga memaparkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri dengan angka resistensi terhadap beragam antibiotik yang cukup tinggi di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Mardiastuti menjelaskan bahwa di Asia, Staphylococcus aureus telah menunjukkan sifat resisten terhadap penisilin, oksasilin, dan antibiotik golongan beta laktam lainnya. S. aureus yangresisten terhadap siprofloksasin mencapai 37%.


(19)

3

Meningkatnya resistansi antibiotik ini merupakan salah satu penghambat utama dalam tercapainya hasil pengobatan yang sukses dan pengontrolan terhadap patogenisitas mikroba (Fu, 2007). Selain itu, antibiotik juga dikenal banyak memiliki efek samping yang sering mengganggu kenyamanan konsumennya. Efek samping itu antara lain ialah rasa lemas, mual, sakit kepala dan lainnya (Rangan, 2009). Oleh karena itu, berkembangnya resistensi terhadap obat serta meningkatnya ketertarikan konsumen terhadap obat-obatan dengan efek samping yang minimal memaksa kita untuk mengembangkan agen antimikroba baru (Gull, 2012). Untuk menanggulangi masalah tersebut, salah satu usaha yang telah lama dikembangkan dalam beberapa dekade akhir ini ialah dengan mengambil jalan alternatif dengan meggunakan obat-obatan alami berbahan dasar tumbuhan (Ansari, 2006).

Penggunaan obat-obatan herbal yang berasal dari tumbuhan dan rempah, apabila dibandingkan dengan obat-obat yang diformulasikan dari bahan kimia, memiliki efek samping yang lebih minimal. Obat-obatan herbal ini juga dapat dibeli dengan harga yang relatif murah, sehingga dengan mudah dapat dijangkau oleh kalangan sosial ekonomi manapun (Vuorela, 2004). Oleh karena itu, beberapa tahun belakangan ini, karena manfaatnya yang dinilai tinggi, penggunaan obat-obatan herbal yang berasal dari tumbuhan dan rempah meningkat. Tidak hanya di negara berkembang, namun juga di negara maju (De Boer, 2005). Salah satu tumbuhan yang telah lama dipercaya memiliki aktivitas antibakteri yang cukup baik untuk melawan Staphylococcus aureus ialah bawang putih (Duman, 2008).


(20)

4

Penggunaan terapetik Bawang putih sudah lama diketahui memiliki potensi pengobatan terhadap infeksi berbagai macam organisme. Sebagai contohnya sebagai antijamur, antivirus, antibakteri, anticacing, dan antiseptik. Ekstrak bawang putih menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri gram negatif (E. Coli, Salmonella sp., Citrobacter enterobacter, dan Pseudomonas kilabsella) dan bakteri gram positif (S. aureus, S. pneumoniae, Group A streptococcus dan Bacillus anthrax) (Deresse, 2010). Semua bakteri patogen di atas telah dikenal sebagai bakteri yang menyebabkan angka morbiditas yang tinggi di seluruh dunia. Namun, penelitian kali ini hanya akan difokuskan terhadap efek antibakteri bawang putih terhadap Staphylococcus aureus.

Ekstrak air, ethanol dan kloroform dari bawang putih telah dilaporkan menginhibisi pertumbuhan bakteri patogen, dengan berbagai macam derajat sensitivitas. Banyak literatur menyebutkan bahwa bakteri gram positif Staphylococcus aureus dinyatakan lebih rentan terhadap efek toksik dari bawang putih daripada bakteri gram negatif (El-Mahmood, 2009). Menurut penelitian yang telah dilakukan Eja dkk, di salah satu institut di Calabar, Nigeria, dilaporkan bahwa bawang putih memiliki suatu kandungan yang bernama Allicin, suatu zat aktif yang memiliki aktivitas antibakteri dan telah dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri yang besar (zona inhibisi >16mm) terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (zona inhibisi >18mm) dalam konsentrasi ekstrak bawang putih 20%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan dalam penelitian lain, telah dibuktikan bahwa apabila zat allicintersebut dihilangkan, akan


(21)

5

berdampak pada menghilangnya aktivitas antibakteri bawang putih. (Hughes dan Lawson, 1991; Cai et al., 2007).

Dipilihnya bawang putih dikarenakan ini dalam kesehariannya sering digunakan sebagai obat alternative untuk menyembuhkan bisul (furunkel) pada kulit, yang seringkali disebabkan oleh bakteri gram positif, Staphylococcus aureus (El-Mahmood, 2009). Selain itu juga, dalam literature lain, disebutkan pula bahwa penggunaan bawang putih sebagai bahan masakan dapat mencegah terjadinya Staphylococcal food poisoning (Deresse, 2010). Bawang putih juga sangat mudah didapatkan di tengah kalangan masyarakat dan merupakan tanaman yang hampir selalu ditemui di dapur setiap rumah.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah pemberian ekstrak ethanol bawang putih (Allium sativum Linn) memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif Staphylococcus aureus?

2. Berapakah Konsentrasi Hambat minimal dan Konsentrasi bunuh minimal ekstrak ethanol bawang putih terhadap pertumbuhan bakteri gram positif Staphylococcus aureus ?


(22)

6

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui daya hambat dan daya bunuh ekstrak ethanol bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap pertumbuhan bakteri gram positif Staphylococcus aureus.

2. Mengetahui Konsentrasi Hambat Minimal dan Konsentrasi Bunuh Minimal ekstrak ethanol bawang putih terhadap bakteri gram positif Staphylococcus aureus.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah ilmu pengetahuan seputar manfaat yang dapat diambil dari tanaman bawang putih terhadap suatu penyakit infeksi bakteri, terutama infeksi bakteri Staphylococcus aureus. Diharapkan pula bahwa penelitian ini dapat menambah pengetahuan di dalam ilmu kedokteran, tertutama dalam bidang ilmu Mikrobiologi dan Farmakologi.

2. Manfaat Aplikatif

a. Manfaat bagi peneliti ialah sebagai wujud penerapan ilmu yang telah dipelajari. Serta dan menambah wawasan serta keterampilan dalam perihal penulisan penelitian.

b. Manfaat bagi institusi ialah menambah referensi bagi penelitian yang serupa.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bawang Putih (Allium Sativum L.) 1. Sejarah Tumbuhan

Bawang putih sebenarnya berasal dari Asia Tengah, diantaranya Cina dan Jepang yang beriklim subtropik. Dari sini bawang putih menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia. Di Indonesia, bawang putih dibawa oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian dibudidayakan di daerah pesisir atau daerah pantai. Seiring dengan berjalannya waktu kemudian masuk ke daerah pedalaman dan akhirnya bawang putih akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Peranannya sebagai bumbu penyedap masakan modern sampai sekarang tidak tergoyahkan oleh penyedap masakan buatan yang banyak kita temui di pasaran yang dikemas sedemikian menariknya (Syamsiah dan Tajudin, 2003).

2. Taksonomi Bawang Putih (Allium Sativum L.)

Klasifikasi bawang putih, yaitu : Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Liliales


(24)

8

Suku : Liliaceae Marga : Allium

Jenis : Allium sativum (Syamsiah dan Tajudin, 2003).

3. Morfologi Tanaman

Bawang putih (Allium sativum L.) adalah herba semusim berumpun yang mempunyai ketinggian sekitar 60 cm. Tanaman ini banyak ditanam di ladang-ladang di daerah pegunungan yang cukup mendapat sinar matahari (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Adapun morfologi dari tanaman bawang putih (Allium sativum L.) ialah sebagai berikut :

Gambar 1. Bawang Putih (litbang Departemen Pertanian, 2008)


(25)

9

a. Daun

Berupa helai-helai seperti pita yang memanjang ke atas. Jumlah daun yang dimiliki oleh tiap tanamannya dapat mencapai 10 buah. Bentuk daun pipih rata, tidak berlubang, runcing di ujung atasnya dan agak melipat ke dalam (arah panjang/membulur).

b. Batang

Batangnya merupakan batang semu, panjang (bisa 30 cm) tersusun pelepah daun yang tipis, namun kuat.

c. Akar

Terletak di batang pokok atau di bagian dasar umbi ataupun pangkal umbi yang berbentuk cakram. Sistem perakarannya akar serabut, pendek, menghujam ke tanah, mudah goyang dengan air dan angin berlebihan.

d. Siung dan Umbi

Di dekat pusat pokok bagian bawah, tepatnya diantara daun muda dekat pusat batang pokok, terdapat tunas, dan dari tunas inilah umbi-umbi kecil yang disebut siung muncul. Hampir semua daun muda yang berada di dekat pusat batang pokok memiliki umbi. Hanya sebagian yang tidak memiliki umbi (Syamsiah dan Tajudin, 2003).


(26)

10

4. Kandungan dan Manfaat Bawang Putih (Allium sativum L.)

Secara klinis, bawang putih telah dievaluasi manfaatnya dalam berbagai hal, termasuk sebagai pengobatan untuk hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, rheumatoid arthritis, demam atau sebagai obat pencegahan atherosclerosis, dan juga sebagai penghambat tumbuhnya tumor. Banyak juga terdapat publikasi yang menunjukan bahwa bawang putih memiliki potensi farmakologis sebagai agen antibakteri, antihipertensi dan antitrombotik (Majewski, 2014).

Bawang putih memiliki setidaknya 33 komponen sulfur, beberapa enzim, 17 asam amino dan banyak mineral, contohnya selenium. Bawang putih memiliki komponen sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies Allium lainnya. Komponen sulfur inilah yang memberikan bau khas dan berbagai efek obat dari bawang putih (Londhe, 2011).

Adapun kandungan gizi lain yang terkandung dalam 100 gram bawang putih dapat dilihat pada Tabel 1 yang ada di bawah ini.

Tabel 1. Informasi Kandungan Gizi bawang putih

Kandungan Satuan Nilai Kandungan per 100 gram

Air g 58,58

Energi Kcal 149

Energi kJ 623

Protein g 6,36

Total Lemak g 0,50 Karbohidrat g 33,06


(27)

11

Gula, total g 1,00 Mineral

Kalsium mg 181

Besi, Fe mg 1,70 Magnesium, Mg mg 25 Fosfor, P mg 153 Kalium, K mg 401 Natrium, Na mg 17 Zinc, Zn mg 1,16 Copper, Cu mg 0,299 Mangan, Mn mg 1,672 Selenium, Sn mcg 14,2 Vitamin

Vitamin C, total asam askorbat mg 31,2 Vitamin B-6 mg 1,235 Beta karotin mcg 5 Vitamin A, IU IU 9 Vitamin E, (alpha-tocopherol) mg 0,08 Vitamin K (phylloquinone) mcg 1,7 Asam amino

Tryptophan g 0,066 Threonine g 0,157 Isoleusin g 0,217

Leusin g 0,308

Metionin g 0,076

Sistin g 0,065

Lisin g 0,273

(Sumber :United States Departement of Agriculture, 2010)

Adapun efek dan manfaat bawang putih terhadap tubuh kita ialah sebagai berikut :

a. Pada Metabolisme Lemak dan Kolesterol

Bawang putih membantu metabolisme lemak dan menurunkan level kolesterol tubuh. Meningkatkan kolesterol baik, HDL dan menurunkan kadar kolesterol jahat, LDL dan trigliserida. Melindungi pembuluh darah dan jantung. Secara signifikan mengurangi aktivitas HMG CoA dan enzim lainnya (Bayan, 2013).


(28)

12

b. Terhadap Proses Oksidasi Sel Kanker

Studi baru belakangan ini menunjukkan bahwa suatu kandungan dalam bawang putih memiliki kadar anti-oksidan yang kuat. Dan komponen sulfur dalam bawang putih juga dipercaya memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan tumor (Bayan, 2013). c. Terhadap Sistem Kardiovaskular

Bawang putih dapat memperbaiki keseimbangan profil lipid, mempengaruhi tekanan darah, menginhibisi fungsi platelet, antioksidan dan aktivitas fibrinolisis (Bayan, 2013).

d. Terhadap Tulang dan Sendi

Diallyl disulfide (DADS), menghambat ekspresi protease matriks yang menyebabkan kerusakan pada struktur kondrosit. Serta memiliki mekanisme potensial bersifat protektif terhadap pasien dengan osteoporosis. Selain itu pula, bawang putih memiliki kemampuan anti-inflamasi (Bayan, 2013).

e. Kemampuan antibakteri

Studi In vitro telah menunjukkan bahwa bawang putih memiliki aktivitas melawan banyak bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Beberapa bakteri yang telah diuji sensitivitasnya terhadap bawang putih antara lain ialah Escherichia, Salmonella,


(29)

13

Staphylococcus, Streptococcus, Klebsiella, Proteus, Bacillus, Clostridium dan Mycobacterium tuberculosis (Bayan, 2013).

Louis Pasteur merupakan orang pertama yang menemukan efek antibakteri dari jus bawang putih. Bawang putih dipercayai memiliki aktivitas antibakteri berspektrum luas (Stavelikova, 2008). Kemampuan antibakteri ini diyakini dikarenakan adanya zat aktif Allicin dalam bawang putih. (Cai et al., 2007)

B. Mekanisme Antibakteri Bawang Putih

Allicin dan komponen sulfur lain yang terkandung di dalam bawang putih dipercaya sebagai bahan aktif yang berperan dalam efek antibakteri bawang putih. Zat aktif inilah yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dengan spektrum yang luas, hal ini telah dievaluasi di dalam banyak penelitian, bahwa bawang putih memiliki aktivitas antibakteri yang cukup tinggi dalam melawan berbagai macam bakteri, baik itu bakteri gram negatif maupun bakteri gram positif. Beberapa bakteri yang telah terbukti memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap aktivitas antibakteri bawang putih ialah Staphylococcus, Vibrio, Mycobacteria, dan spesies Proteus (Mikaili, 2013). Allicin (diallyl thiosulfinate) merupakan salah satu komponen biologis yang paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Komponen ini, bersamaan dengan komponen sulfur lain yang terkandung dalam bawang putih berperan pula memberikan bau yang khas pada bawang putih (Londhe,


(30)

14

2011). Allicin tidak ada pada bawang putih yang belum dipotong atau dihancurkan (Majewski, 2014).

Adanya kerusakan pada umbi bawang yang ditimbulkan dari dipotongnya atau dihancurkannya bawang putih akan mengaktifkan enzim Allinase yang akan memetabolisme alliin menjadi allicin, yang kemudian akan dimetabolisme menjadi vinyldithiines dan Ajoene. Proses ini memakan waktu berjam-jam dalam suhu ruangan dan hanya memakan waktu beberapa menit dalam proses memasak. Allicin tidak hanya memiliki efek antibakteri, tapi juga efek antiparasit, antivirus, dan parasit (Londhe, 2011). Cara kerja Allicin dalam menghambat pertumbuhan bakteri ialah dengan cara menghambat secara total sintesis RNA bakteri. Walaupun sintesis DNA dan protein juga mengalami penghambatan sebagian oleh Allicin, nampaknya RNA bakteri merupakan target utama Allicin (Deresse, 2010). Allicin merupakan senyawa yang bersifat tidak stabil, senyawa ini dalam waktu beberapa jam akan kembali dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti vinyldithiines dan Diallyl disulfide (Ajoene) yang juga memiliki daaya antibakteri berspektrum luas, namun dengan aktivitas yang lebih kecil (Dusica, 2011).

Bawang putih juga mengandung komponen minyak atsiri, yang juga memiliki aktivitas antibakteri yang bekerja dengan mekanisme menghambat pembentukan membran sel bakteri. Namun, potensi minyak atsiri sebagai antijamur dikenal jauh lebih besar disbanding potensinya sebagai antibakteri (Benkeblia, 2004). Satu lagi kandungan bawang putih yang juga diyakini


(31)

15

memiliki aktivitas antibakteri ialah flavonoid, yang bekerja dengan cara mendenaturasi protein yang dimiliki bakteri. senyawa flavonoid ini juga dikenal baik sebagai antioksidan. Flavonoid merupakan turunan senyawa fenol yang dapat berinteraksi dengan sel bakteri dengan cara adsorpsi yang dalam prosesnya melibatkan ikatan hidrogen. Dalam kadar yang rendah, fenol membentuk kompleks protein dengan ikatan lemah. Yang akan segera terurai dan diikuti oleh penetrasi fenol ke dalam sel, dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein (Gulfraz, 2014). selain itu pula, fenol dapat menghambat aktivitas enzim bakteri, yang pada akhirnya akan mengganggu metabolisme serta proses kelangsungan hidup bakteri tersebut (Basjir, 2012).

C. Staphylococcus aureus 1. Klasifikasi

Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus


(32)

16

2. Morfologi Bakteri dan Deskripsi Bakteri

Staphylococcus adalah sel sferis, berdiameter sekitar 1µ m tersusun dalam kelompok yang tidak teratur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan bentuk rantai juga terlihat di biakan cairan. Staphylococcus aureus merupakan bakteri kokus gram positif, yang tersusun seperti anggur. Staphylococcus tidak motil dan tidak membentuk spora (Brooks et al., 2008).

Umumnya tidak memiliki kapsul, namun beberapa strain S. Aureus memiliki kapsul, yang menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi spesifik. Spesies Micrococcus seringkali menyerupai Staphylococcus (Brooks et al., 2008).

Beberapa tipe Staphylococcus merupakan flora normal kulit dan membran mukosa manusia yang merupakan patogen utama pada manusia yang dapat ditemukan di mana-mana. Staphylococcus cepat menjadi resisten terhadap banyak obat antimikroba dan menyebabkan masalah terapi yang sulit (Brooks et al., 2008). Contoh gambar dari hasil pewarnaan gram bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 2.


(33)

17

3. Karakteristik Kultur

Staphylococcus aureus merupakan bakteri aerob. Organisme ini paling mudah berkembang pada medium bakteriologik dalam lingkungan aerobik atau mikroaerofilik. Paling cepat tumbuh pada suhu 370C tetapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen ialah suhu ruangan. Koloninya membentuk warna abu-abu hingga kuning tua kecoklatan. Staphylococcus memproduksi katalase, yang membedakannya dengan Streptococcus. Staphylococcus memfermentasikan banyak karbohidrat secara lambat, menghasilkan asam laktat, namun tidak menghasilkan gas (Jakee, 2008).

4. Enzim dan Toksin a. Katalase

Berfungsi mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Uji katalase membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus. Gambar 2. Gram stain Staphylococcus aureus diambil dari eksudat pustula


(34)

18

b. Koagulase dan Faktor Penggumpal

Suatu protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sitrat berasamaan dengan protrombin keduanya akan aktif secara enzimatik dan menginisiasi polimerasi fibrin. Faktor penggumpal adalah kandungan permukaan S. Aureus yang berfungsi melekatkan organime ke fibrin atau fibrinogen. c. Eksotoksin

Alfa toksin merupakan protein heterogen luas pada membran sel eukariot, hemolisin yang kuat. Beta toksin menguraikan sfingomielin sehingga bersifat toksik untuk berbagai sel, termasuk sel darah manunsia. Gamma toksin melisis sel darah manusia dan hewan. Delta toksin bersifat heterogen, mengganggu membran biologik dan berperan terhadap infeksi diare Staphylococcus aureus. d. Leukosidin

Memiliki dua komponen yang bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih manusia dan hewan. merusak dengan cara membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas kation dan membunuhnya.

e. Toksin eksfoliatif

Toksin epidermolitik, merupakan 2 protein berbeda dengan berat molekul sama. Toksin epidermolitik A adalah produk gen


(35)

19

kromosomal yang tahan panas. Toksin epidermolitik B diperantarai plasmid dan tidak tahan panas.

f. Toksin Sindrom-Syok-Toksik

Serupa dengan enterotoksin F. Merupakan superantigen prototipikal berikatan dengan MHC klas II, menstimulasi sel T, menimbulkan manifestasi protean pada sindrom syok toksik.

g. Enterotoksin

Terdapat berbagai macam enterotoksin. 50% strain S. aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin atau lebih. Tahan terhadap panas dan resistan terhadap kerja enzim usus. Merupakan penyebab penting keracunan makanan (Brooks et al., 2008)

5. Patogenesis

Infeksi S. Aureus terjadi cenderung terjadi karena adanya paparan bakteri ke permukaan luka terbuka, ataupun juga dari saluran nafas bagian atas. Saat pajanan pertama bakteri sampai ke jaringan di bawah mukosa kulit pejamu, peptidoglikan dan lipoprotein S. Aureus akan dideteksi oleh Pattern Recognition Molecule pejamu dan mengakibatkan produk pecahan hialuronan dikeluarkan dan berikatan dengan Toll Like Receptor, yang selama infeksi terus berlanjut, akan terus mengeluarkan sinyal pro-inflamasi yang mengaktifkan sel imun dan merekrut neutrofil dan makrofag (Liu, 2009).


(36)

20

S. aureus dapat bertahan hidup dengan baik di dalam maupun di luar sel pejamu. Bakteri S. Aureus dapat mengeluarkan 2 macam molekul, yaitu Chemotaxis Inhibitory Protein (CHP) dan Extracellular Adherence Protein (EAP) yang berfungsi untuk menghalangi neutrofil mengenali faktor kemotaktik dan menghalangi penempelan neutrofil dengan Intracellular Cell Adherence Molecule-1 (ICAM-1) sehingga menghambat terjadinya penempelan leukosit, diapedesis dan ekstravasasi aliran darah ke tempat infeksi, sehingga bakteri ini dapat melawan sifat fagosit yang dimiliki neutrofil terhadapnya. Faktor virulensi lain yang dimiliki oleh S. aureus ialah dengan cara membentuk biofilm, yang membantu bakteri S. aureus bertahan hidup dalam tubuh pejamu dengan menghindari sistem pertahanan tubuh pejamu (Liu, 2009).

6. Mekanisme resistensi Stafilokokus

a. Produksi enzim β laktamase

b. Tidak tersedianya protein pengikat penisilin (Penicillin-binding protein).

c. Peningkatan sintesis dinding sel.

d. Resistansi yang diperentarai plasmid terhadap tetrasiklin, eritromisin, aminoglikosida, dan obat-obat lain.

e. “Toleransi”- menandakan bahwa stafilokokus dihambat oleh suatu obat, namun tidak dibunuh (Brooks et al., 2008).


(37)

21

D. Kerangka Teori

Bawang putih memiliki beberapa kandungan yang berperan aktif dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri. Kandungan tersebut diantara lain ialah Allicin, minyak atsiri, Ajoene dan juga Flavonoid, yang secara sinergis bekerja sama dalam menghasilkan aktivitas antibakteri bawang putih. Adapun mekanisme masing-masing kandungan tersebut bekerja dalam menghasilkan aktivitas antibakteri dalam bawang putih dapat dilihat di gambar 3 yang ada di bawah ini.

Gambar 3. Kerangka teori efek pemberian ekstrak ethanol 96% bawang putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus


(38)

22

E. Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka konsep efek pemberian ekstrak ethanol 96% bawang putih terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus

F. Hipotesis

1. Pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dapat menghambat pertumbuhan serta dapat membunuh bakteri gram positif Staphylococcus aureus.

2. Ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) memiliki konsentrasi minimal tertentu yang efektif menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri Staphylococcus aureus.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik. B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober–Desember 2014 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Ekstraksi bahan dilakukan di Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Uji

Bahan penelitian ialah ekstrak ethanol 96% Bawang Putih (Allium sativum L.) dengan konsentrasi (50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, dan 0,78%) (Ramadanti, 2008). Bawang putih diekstrak di laboratorium kimia organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.


(40)

24

2. Bakteri Uji

Bakteri Uji yang dipergunakan adalah bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang berasal dari UPTD Balai Laboratorium Klinik Bandar Lampung.

3. Media Kultur

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mueller Hinton Broth dan Mueller Hinton Agar, yang merupakan agar standar uji sensitivitas antibiotik (Stephen et al.,2004).

4. Alat – alat yang digunakan

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pipet hisap, rak, pipet ukur, lampu spirtus, mikropipet, ose, tabung reaksi, neraca penimbang, beaker glass, stir plate, tabung erlemeyer, inkubator, dan autoklaf.

D. Prosedur Penelitian

1. Ekstraksi Bawang Putih

Ekstrak bawang putih sebanyak 300 ml didapatkan dari bawang putih kering dengan berat 2 kg, yang kemudian diektraksi dengan tehnik maserasi dengan ethanol, yang kemudian dilakukan proses evaporasi (penguapan). Bawang putih yang dipakai dalam penelitian ini ialah bawang putih jenis Hardneck, yang sering digunakan untuk memasak (Everhart, 2003). Ekstrak bawang putih didapatkan dari Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


(41)

25

Unversitas Lampung. Menurut Dusica pada tahun 2011 dalam jurnal Physics, Chemistry and Technology, kandungan allicin dalam bawang putih dapat diekstrak dengan pelarut organik bersifat polar, seperti ethanol.

Adapun cara pembuatan ekstrak ethanol bawang putih dalam penelitian ini ialah:

a. Bawang putih dikupas, dicuci bersih dengan air dan kemudian diiris tipis-tipis.

b. Irisan bawang putih direndam di dalam ethanol sebanyak 2 Liter selama 24 jam.

c. Setelah proses perendaman selesai dilakukan selama 24 jam, ekstrak ethanol disaring dengan kertas saring dan dilakukan proses evaporasi untuk memisahkan antara ekstrak dan ethanol. Maka didapatkanlah ekstrak ethanol bawang putih sebanyak 300mL.

2. Sterilisasi Alat

Alat yang digunakan pada penelitian dibersihkan terlebih dahulu kemudian dibungkus dengan kertas, selanjutnya dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah itu dimasukkan oven suhu 100oC selama 1 jam untuk mengeringkan alat. 3. Pembuatan MHA (Mueller Hinton Agar)

Timbang 3,8 gram Muller Hinton Agar (38 gr/L) dengan komposisi medium (Beef Infusion 300 gr, Casamino acid 17,5 gr, Agar 17 gr) kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquadest. Panaskan hingga


(42)

26

mendidih, sterilkan selama 15 menit di autoklaf dengan tekanan udara 1 atm suhu 121oC (Ramadanti, 2008).

4. Identifikasi dan Isolasi Staphylococcus aureus.

Sebelum dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji, dilakukan isolasi terlebih dahulu terhadap bakteri uji untuk memastikan bahwa bakteri uji benar-benar bakteri uji yang diinginkan. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan inokulasi bakteri yang telah dibeli di UPTD balai laboratorium klinik Bandar Lampung ke dalam agar Mannitol Salt Agar(MSA).

Mannitol Salt Agar merupakan agar selektif yang mengandung karbohidrat manitol, NaCl 7,5%, dan indicator pH phenol red, yang akan berubah warna menjadi kuning apabila pH berada dibawah angka 6,8 dan tetap berwarna merah apabila pH berada diantara 7,4 sampai 8,4 dan berubah warna menjadi merah muda dengan pH diatas 8,4. Kadar NaClnya yang tinggi mendukung pertumbuhan bakteri Staphylococci dan menghambat pertumbuhan organisme lain. Bakteri Staphylococcus aureus akan menghasilkan pertumbuhan koloni berwarna kuning apabila diinokulasikan ke dalam MSA, hal ini dikarenakan kemampuannya untuk memfermentasikan manitol dan menurunkan pH. Asam yang dihasilkan dari reaksi fermentasi berdifusi ke dalam medium dan menghasilkan halo berwarna kuning yang mengelilingi koloni Staphylococcus aureus yang tumbuh di dalam media MSA (Leboffe, 2008).


(43)

27

Setelah dilakukan inokulasikan di MSA, pada koloni bakteri yang tumbuh dilakukan pewarnaan gram untuk memastikan jenis bakteri dan dari hasilnya dilakukan pembiakan bakteri pada beberapa media agar miring MSA dan Nutrient Agar (NA).

5. Pembuatan Suspensi Bakteri

Biakan bakteri diambil menngunakan ose sebanyak 1-2 ose, dan kemudian disuspensikan kedalam larutan NaCL 0,9 sampai diperoleh kekeruhan yang sesuai dengan standar 0,5 MacFarland atau sebanding dengan jumlah bakteri 108 (CFU)/ml (Ramadanti, 2008).

6. Pengujian Aktivitas Antimikroba

Aktivitas mikroba diuji dengan menggunakan metode dilusi yang meliputi 2 tahap, yaitu penentuan KHM (Kadar Hambat minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum). Konsentrasi ekstrak bawang putih yang digunakan ialah 7 konsentrasi 50%, 25%, 12,5%, 6,25%,3,125%, 1,56%, dan 0,78%. Ditambah 1 kelompok kontrol bakteri (K+), dan 1 kelompok kontrol bakteri negatif (K-).

Penelitian ini membagi sampel terhadap 9 kelompok :

a. Kelompok perlakuan 1 (P1) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambahkan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi sampel 50% dan diberi satu ose suspensi bakteri.

b. Kelompok perlakuan 2 (P2) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25% dan diberi satu ose suspensi bakteri.


(44)

28

c. Kelompok perlakuan 3 (P3) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 12,5% dan diberi satu ose suspensi bakteri.

d. Kelompok perlakuan 4 (P4) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 6,25%, dan diberi satu ose suspensi bakteri.

e. Kelompok perlakuan 5 (P5) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 3,125% dan diberi satu ose suspensi bakteri.

f. Kelompok perlakuan 6 (P6) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 1,56% dan kemudian diberi satu ose suspensi bakteri.

g. Kelompok perlakuan 7 (P7) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 0,78% dan kemudian diberi satu ose suspensi bakteri.

h. Kelompok kontrol positif (K+) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 0,1 ml suspensi bakteri dan diberi antibiotik Gentamisin.

i. Kelompok kontrol negatif (K-) yaitu 1 ml Mueller Hinton cair ditambah dengan 1 ml suspensi bakteri Staphylococcus aureus. Semua tabung tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam, kemudian diamati dan dibandingkan dengan kontrol positif. Konsentrasi sampel terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan


(45)

29

bakteri (ditandai secara visual oleh tiga pengamat) ditentukan sebagai Kadar Hambat Minimum (KHM) (Garba et al., 2006).

Untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimum (KBM), diambil satu ose dari konsentrasi Mueller Hinton cair yang telah dinyatakan jernih (memiliki kadar hambat) pada observasi sebelumnya, lalu diinokulasikan pada media Mueller Hinton agar dan kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kadar Bunuh Minimum ditentukan pada konsentrasi terkecil dimana pada media Mueller Hinton Agar tidak lagi ditemukan pertumbuhan koloni bakteri (Garba et al., 2006).

Pengujian terhadap masing-masing kelompok uji diatas dibuat secara tripol, yang dimaksud dengan tripol sendiri ialah dilakukan replikasi terhadap satu kelompok ujicoba sebanyak 3 kali.

E. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Ekstrak bawang putih dengan 8 tahap pemberian konsentrasi, yaitu konsentrasi 50%,25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56% dan 0,78%.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat untuk penelitian ini tingkat kejernihan secara visual media Mueller Hinton cair dan pertumbuhan koloni kuman pada media Mueller Hinton Agar.


(46)

30

F. Definisi Operasional

Tabel 2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Hasil Cara Ukur Alat

Ukur Skala Konsentra si ekstrak bawang putih Pemberian ekstrak bawang putih yang dilakukan pada penelitian ini adalah : Kelompok 1 (P1) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 50%

Kelompok 2 (P2) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 25%

Kelompok 3 (P3) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 12,5%

Kelompok 4 (P4) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 6,25%

Kelompok 5 (P5) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 3,125%

Kelompok 6 (P5) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 1,56%

Kelompok 7 (P7) Ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 0,78%

Kelompok (K+) 1 ml media Mueller

Hinton cair + 1 ose

bakteri S. aureus + Gentamisin Kelompok (K-) Media Mueller Hinton cair + 0,1 ml suspense bakteri S. Aureus

Konsentra si bertingkat ekstrak ethanol bawang putih rumus pengenceran M1V1=M2V2

Mikropip et, pot, pipet ukur, tongkat pengaduk Ordinal Kadar Hambat Kadar konsentrasi bawang putih yang memiliki daya hambat terhadap bakteri S. aureus Media Mueller Hinton cair keruh (+) Media Mueller Hinton Observasi kekeruhan media Mueller Hinton Broth dengan latar


(47)

31 cair jernih (-) belakang kertas hitam Kadar Bunuh Kadar konsentrasi bawang putih yang memiliki daya bunuh terhadap bakteri S. aureus Ada koloni bakteri tumbuh (+) Tidak ada koloni bakteri tumbuh (-) Observasi tidak adanya pertumbuh an koloni bakteri S. aureus pada hasil kultur di Mueller Hinton Agar

Visual Ordinal

G. Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional, Penjabaran data yang didapatkan dari hasil penelitian akan dipaparkan secara deskriptif, dengan melihat dan menjabarkan konsentrasi terkecil bawang putih yang memiliki efek hambat dan efek bunuh terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

H. Etika Penelitian

Proposal penelitian ini telah diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dan telah disetujui dengan nomor surat 2239/ UN26/8/DT/2014.


(48)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Ekstrak ethanol bawang putih (Allium sativum L.) memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan serta membunuh bakteri gram positif Staphylococcus aureus.

2. Kadar Hambat Minimum (KHM) ekstrak ethanol bawang putih terhadap bakteri Staphylococcus aureus terletak pada konsentrasi ekstrak 6,25%. Sedangkan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak ethanol bawang putih terhadap bakteri Staphylococcus aureus terletak pada konsentrasi 12,5%.

B. Saran

1. Dilakukannya penelitian serupa terhadap bakteri lain, atau bahkan pada bakteri yang telah resisten terhadap banyak obat-obatan. untuk menentukan efektivitas ekstrak bawang putih pada berbagai macam bakteri lain, atau bahkan pada bakteri patogen yang dengan resistensi tinggi.


(49)

41

2. Dilakukan penelitian serupa dengan memodifikasi kondisi lingkungan (suhu, pH, dan lain-lain) yang dimodifikasi sedemikian rupa, untuk menemukan kondisi lingkungan optimal dimana ekstrak bawang putih dapat menimbulkan daya antibakteri secara optimal.

3. Dilakukannya penelitian untuk mengetahui toksisitas serta efek samping dari pemberian bawang putih sebagai terapi pengobatan. Baik pengobatan penyakit infeksi dan non-infeksi.

4. Dilakukan penelitian yang membandingkan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih sendiri dengan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih bersamaan dengan agen antibiotic tertentu. Sehingga dapat diketahui apakah bawang putih memiliki potensi kegunaan sebagai terapi adjuvant antibiotik.

5. Dilakukan penelitian untuk membandingkan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih dengan antibiotik pilihan tertentu agar dapat diketahui apakah bawang putih dapat digunakan sebagai terapi antibiotic pengganti atau tidak.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews J M. 2006. Determination of Minimum Inhibitory Concentration. J Antimicrob Chem. 48: 5-16.

Ansari M, Ahmed S, Halder S. 2006. Nigella sativa: A non-conventional herbal option for the management of seasonal allergic rhinitis. Pak J Pharmacol. 23: 31-35.

Basjir, Erlinda T, Nikham. 2012. Uji Bahan Baku Antibakteri Dari Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Hasil Radiasi Gamma dan Antibiotik Terhadap Bakteri Patogen. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan; 168-174. ISSN 1411-2213; 2012

Bayan L, Koulivand P, Gorji A. 2013. Garlic: a review of potential therapeutic effects. Avicenna J Phytomed. 4 (1): 7-21.

Benkeblia N. 2004. Antimicrobial activity of essential oil extracts of various onions (Allium cepa) and garlic (Allium sativum). Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 37: 263–268.

Brooks G F, Carroll K, Butel J, dan Morse S. 2008. Jawetz, Melnick, &

Adelberg’s medical microbiology 25th edition. United States: McGrawHill.

Cai Y, Wang R, Pei F, dan Liang B. 2007. Antimicrobial activity of allicin alone and in combination with beta lactams against Staphylococcus spp. And Pseudomonas aeruginosa. J Antibiot. 60: 335-338.

Dahlan S. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan Multivariat dilengkapi Aplikasi dengan menggunakan SPSS. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.


(51)

xv

De Boer H, Kool A, Mizirary W. 2005. Antifungal and antibacterial activity of some herbal remedies from Tanzania. J Ethanopharmacol. 96: 461-469. Deptan. 2010. Petunjuk teknis budidaya bawang putih. BPTP Jawa Tengah.

Badan litbang pertanian, Kementrian Pertanian, Republik Indonesia. [diakses pada tanggal 21 September 2014] Tersedia dari : http://jateng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view =article&id=315:budidaya-bawang-putih&catid=14:alsin

Deresse D. 2010. Antibacterial effect of garlic (Allium sativum) on Staphylococcus aureus: An in vitro study. Asian J Med Sci. 2(2): 62-65. Duman A. 2008. Investigation of antibacterial effects of some medicinal plants

and spices on food pathogens.Kalkas Univ Vet Fak Derg. 14: 83-87.

Dusica P, Vesna D, Ljubisa B, Mihajlo Z. 2011. Allicin and related compounds: biosynthesis and pharmacological activity. Phys Chem Tech. 9(1): 9-20. Eja M, Arikpo G, Ikpeme E. 2011. An evaluation of garlic (Allium sativum) and

Utazi (Gongronema latifolium) on Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Malay J Microbiol. 7 (1): 49-53.

El-mahmood M. 2009. Efficacy of crude extract of garlic (Allium sativum Linn.) against nosocomial Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniea, Pseudomonas aeruginosa. J Med Plants Res. 2 (4): 179-185. Everhart E, Haynes C, Jauron R. 2003. Garlic. Iowa State Horticurture Guide:

Home Gardening. USDA.

Fu Y J, Zu Y, Chen L, Wang Z. 2007.AntimicrobialActivity of clove and rosemary essential oils alone and in combination. Phytother res. 21: 989-999.

Garba I, Umar A, Abdulrahman A. 2006. Phytochemical and bacterial properties of garlic extracts. Bayero J Pure App Sci. 6 (2): 45-48

Gulfraz M, Imran M, Khadam S. 2014. A comparative study of antimicrobial and antioxidant activities of garlic (Allium sativum L.) extracts in various


(52)

xvi

localities in Pakistan. Afr J Plant Sci. 8: 298-306. Tersedia dari : URL : http://www.academicjournals.org/article/article1403521690_Gulfraz%20et %20al.pdf (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014)

Jakee J, Ata S, Bakry M, Zouelfakar A. 2008. Characteristics of Staphylococcus aureus strains isolated from human and animal sources. Am Eurasian J Agric Environ Sci. 4 (2): 221-229.

Liu G. 2009. Molecular pathogenesis of Staphylococcus aureus infection. National Institute of Health Public Access [Online Journal] [diunduh 21

September 2014] Tersedia dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2919328/

Greenwood D, Barer M, Slack R, Irving W. 2012. Medical Microbiology, A guide to Microbial infection: Pathogenesis, Laboratory investigation and control 8th edition. United States: Churchill Livingstone, Elsevier.

Gull I, Saeed M, Shaukat H, Shahbaz M. 2012. Inhibitory effect of Allium sativum and Zingiber officinale extracts on clinically Important drug resistant pathogenic bacteria. J Clin Microbiol Antimicrob. 3 (11): 65-73. [diunduh 3 Oktober 2014] Tersedia dari : http://www.ann-clinmicrob.com/content/11/1/8

Leboffe M J, Pierce B E. 2008. Microbiology: Laboratory theory and application, brief edition. Colorado: Morton Publishing Company. hlm. 198-200.

Londhe V, Gavasane A, Nipate S, Bandawane D, Chaudhari P. 2011. Role of garlic (Allium sativum) in various disease: an overview. J Pharm Res Opin[diunduh 20 September 2014] Tersedia dari: http://www.researchgate.net/profile/Vikas_Londhe/publication/233379240_ ROLE_OF_GARLIC_%28ALLIUM_SATIVUM%29_IN_VARIOUS_DIS EASES_AN_OVERVIEW/links/09e41509d3c3b3480900000

Majewski M. 2014. Allium sativum: Facts and Myths Regarding Human Health. J Natl Ins Public Health. 65 (1): 1-8.

Mardiastuti H, Karuniawati A, Kiranasari A, Kadarsih R. 2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi terkini di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 57 (3): 75-79.


(53)

xvii

Mikaili P, Maadirad S, Moloudizargari M. 2013. Therapeutic uses and pharmacological properties of garlic, shallot, and their biologically active compounds. Iran J Basic Med Sci. 16 (10): 1031-1048.

Mulholland A. 2005. Bacterial infection – A major cause of death among children in Africa. New Engl J Med. 352: 75-77.

Ramadanti I. 2008. Uji aktivitas antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap bakteri Escherichia coli in vitro. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro.

Rangan C, Barceloux D. 2009. Food additives and sesitivities. Dis Mon. 2 (55): 292-311.

Seo K S, Bohach G A. 2007. Staphylococcus aureus. Ch. 22 Dalam: Doyle MP, Beuchat LR (eds) Food microbiology: Fundamentals and frontiers. 3rd ed, ASM Press. Washington D.C. 493–518.

Shokrzadeh M, Ebadi A. 2006. Antibacterial effect of garlic (Allium sativum L.) on Staphylococcus aureus. Pak J Biol Sci. 9 (8): 1577-1579.

Stavelikova H. 2008. Morphological characteristic of garlic (Allium Sativum L.) genetic resources collection – information. Department of Vegetables and Special Crops, Crop Research Institute, Prague-Ruzyne, Olomouc, Czech Replubic. 35(3): 130–135. [diunduh 20 September 2014] Tersedia dari :http://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=CZ2008000570

Stephen R, Davis P, Castro R. 2004. The in vitro susceptibility of scedoporium prolificans to ajoene, allitridun and raw extract of garlic (Allium sativum). J Antimicrob Chem. 8 (2): 67-70

Sulistyaningsih. 2010. Uji kepekaan beberapa sediaan antiseptik Terhadap bakteristaphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus resisten metisilin(MRSA). (Tesis). Universitas Padjajaran. Bandung. 2pp.

Sutrisna. 2012. Penggunaan antibiotika secara rasional.Majalah Kedokteran Indonesia. 7: 32-39


(54)

xviii

Syamsiah S, Tajudin. 2003. Khasiat dan manfaat bawang putih: Raja antibiotik alami. Jakarta; Agromedia.

Tanprasert P, Reed B M. 2000. Determination of Minimal Bactericidal and Effective Antibiotic Treatment Concentrations for Bacterial Contaminants from Micropropragated Strawberries. In Vitro Cell Dev Biol. 38: 227-230. Todar K. 2005. Todar’s online textbook of bacteriology. Texas: Winconsin.

Tersedia dari : http://textbookofbacteriology.net/staph.html [diakses pada 21 Oktober 2014]

USDA. 2010. National Nutrient Database for Standard Reference of raw garlic. Agricultural Research Service.United States: Department of Agriculture. [diakses pada 21 September 2014] Tersedia dari : http://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/3003

Vuorela P, Leinonerib M, Saikkuc P, dan Tammelaa P. 2004. Natural products in the process of finding new drug candidates. Curr Med Chem. 2 (11): 1375-1389.


(1)

41

2. Dilakukan penelitian serupa dengan memodifikasi kondisi lingkungan (suhu, pH, dan lain-lain) yang dimodifikasi sedemikian rupa, untuk menemukan kondisi lingkungan optimal dimana ekstrak bawang putih dapat menimbulkan daya antibakteri secara optimal.

3. Dilakukannya penelitian untuk mengetahui toksisitas serta efek samping dari pemberian bawang putih sebagai terapi pengobatan. Baik pengobatan penyakit infeksi dan non-infeksi.

4. Dilakukan penelitian yang membandingkan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih sendiri dengan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih bersamaan dengan agen antibiotic tertentu. Sehingga dapat diketahui apakah bawang putih memiliki potensi kegunaan sebagai terapi adjuvant antibiotik.

5. Dilakukan penelitian untuk membandingkan efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih dengan antibiotik pilihan tertentu agar dapat diketahui apakah bawang putih dapat digunakan sebagai terapi antibiotic pengganti atau tidak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews J M. 2006. Determination of Minimum Inhibitory Concentration. J Antimicrob Chem. 48: 5-16.

Ansari M, Ahmed S, Halder S. 2006. Nigella sativa: A non-conventional herbal option for the management of seasonal allergic rhinitis. Pak J Pharmacol. 23: 31-35.

Basjir, Erlinda T, Nikham. 2012. Uji Bahan Baku Antibakteri Dari Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Hasil Radiasi Gamma dan Antibiotik Terhadap Bakteri Patogen. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan; 168-174. ISSN 1411-2213; 2012

Bayan L, Koulivand P, Gorji A. 2013. Garlic: a review of potential therapeutic effects. Avicenna J Phytomed. 4 (1): 7-21.

Benkeblia N. 2004. Antimicrobial activity of essential oil extracts of various onions (Allium cepa) and garlic (Allium sativum). Lebensm.-Wiss. u.-Technol. 37: 263–268.

Brooks G F, Carroll K, Butel J, dan Morse S. 2008. Jawetz, Melnick, & Adelberg’s medical microbiology 25th edition. United States: McGrawHill.

Cai Y, Wang R, Pei F, dan Liang B. 2007. Antimicrobial activity of allicin alone and in combination with beta lactams against Staphylococcus spp. And Pseudomonas aeruginosa. J Antibiot. 60: 335-338.

Dahlan S. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat dan Multivariat dilengkapi Aplikasi dengan menggunakan SPSS. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.


(3)

xv

De Boer H, Kool A, Mizirary W. 2005. Antifungal and antibacterial activity of some herbal remedies from Tanzania. J Ethanopharmacol. 96: 461-469.

Deptan. 2010. Petunjuk teknis budidaya bawang putih. BPTP Jawa Tengah. Badan litbang pertanian, Kementrian Pertanian, Republik Indonesia. [diakses pada tanggal 21 September 2014] Tersedia dari : http://jateng.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view =article&id=315:budidaya-bawang-putih&catid=14:alsin

Deresse D. 2010. Antibacterial effect of garlic (Allium sativum) on Staphylococcus aureus: An in vitro study. Asian J Med Sci. 2(2): 62-65.

Duman A. 2008. Investigation of antibacterial effects of some medicinal plants and spices on food pathogens.Kalkas Univ Vet Fak Derg. 14: 83-87.

Dusica P, Vesna D, Ljubisa B, Mihajlo Z. 2011. Allicin and related compounds: biosynthesis and pharmacological activity. Phys Chem Tech. 9(1): 9-20.

Eja M, Arikpo G, Ikpeme E. 2011. An evaluation of garlic (Allium sativum) and Utazi (Gongronema latifolium) on Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Malay J Microbiol. 7 (1): 49-53.

El-mahmood M. 2009. Efficacy of crude extract of garlic (Allium sativum Linn.) against nosocomial Eschericia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniea, Pseudomonas aeruginosa. J Med Plants Res. 2 (4): 179-185.

Everhart E, Haynes C, Jauron R. 2003. Garlic. Iowa State Horticurture Guide: Home Gardening. USDA.

Fu Y J, Zu Y, Chen L, Wang Z. 2007.AntimicrobialActivity of clove and rosemary essential oils alone and in combination. Phytother res. 21: 989-999.

Garba I, Umar A, Abdulrahman A. 2006. Phytochemical and bacterial properties of garlic extracts. Bayero J Pure App Sci. 6 (2): 45-48

Gulfraz M, Imran M, Khadam S. 2014. A comparative study of antimicrobial and antioxidant activities of garlic (Allium sativum L.) extracts in various


(4)

localities in Pakistan. Afr J Plant Sci. 8: 298-306. Tersedia dari : URL : http://www.academicjournals.org/article/article1403521690_Gulfraz%20et %20al.pdf (diakses pada tanggal 21 Oktober 2014)

Jakee J, Ata S, Bakry M, Zouelfakar A. 2008. Characteristics of Staphylococcus aureus strains isolated from human and animal sources. Am Eurasian J Agric Environ Sci. 4 (2): 221-229.

Liu G. 2009. Molecular pathogenesis of Staphylococcus aureus infection. National Institute of Health Public Access [Online Journal] [diunduh 21

September 2014] Tersedia dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2919328/

Greenwood D, Barer M, Slack R, Irving W. 2012. Medical Microbiology, A guide to Microbial infection: Pathogenesis, Laboratory investigation and control 8th edition. United States: Churchill Livingstone, Elsevier.

Gull I, Saeed M, Shaukat H, Shahbaz M. 2012. Inhibitory effect of Allium sativum and Zingiber officinale extracts on clinically Important drug resistant pathogenic bacteria. J Clin Microbiol Antimicrob. 3 (11): 65-73. [diunduh 3 Oktober 2014] Tersedia dari : http://www.ann-clinmicrob.com/content/11/1/8

Leboffe M J, Pierce B E. 2008. Microbiology: Laboratory theory and application, brief edition. Colorado: Morton Publishing Company. hlm. 198-200.

Londhe V, Gavasane A, Nipate S, Bandawane D, Chaudhari P. 2011. Role of garlic (Allium sativum) in various disease: an overview. J Pharm Res Opin[diunduh 20 September 2014] Tersedia dari: http://www.researchgate.net/profile/Vikas_Londhe/publication/233379240_ ROLE_OF_GARLIC_%28ALLIUM_SATIVUM%29_IN_VARIOUS_DIS EASES_AN_OVERVIEW/links/09e41509d3c3b3480900000

Majewski M. 2014. Allium sativum: Facts and Myths Regarding Human Health. J Natl Ins Public Health. 65 (1): 1-8.

Mardiastuti H, Karuniawati A, Kiranasari A, Kadarsih R. 2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi terkini di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 57 (3): 75-79.


(5)

xvii

Mikaili P, Maadirad S, Moloudizargari M. 2013. Therapeutic uses and pharmacological properties of garlic, shallot, and their biologically active compounds. Iran J Basic Med Sci. 16 (10): 1031-1048.

Mulholland A. 2005. Bacterial infection – A major cause of death among children in Africa. New Engl J Med. 352: 75-77.

Ramadanti I. 2008. Uji aktivitas antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap bakteri Escherichia coli in vitro. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro.

Rangan C, Barceloux D. 2009. Food additives and sesitivities. Dis Mon. 2 (55): 292-311.

Seo K S, Bohach G A. 2007. Staphylococcus aureus. Ch. 22 Dalam: Doyle MP, Beuchat LR (eds) Food microbiology: Fundamentals and frontiers. 3rd ed, ASM Press. Washington D.C. 493–518.

Shokrzadeh M, Ebadi A. 2006. Antibacterial effect of garlic (Allium sativum L.) on Staphylococcus aureus. Pak J Biol Sci. 9 (8): 1577-1579.

Stavelikova H. 2008. Morphological characteristic of garlic (Allium Sativum L.) genetic resources collection – information. Department of Vegetables and Special Crops, Crop Research Institute, Prague-Ruzyne, Olomouc, Czech Replubic. 35(3): 130–135. [diunduh 20 September 2014] Tersedia dari :http://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=CZ2008000570

Stephen R, Davis P, Castro R. 2004. The in vitro susceptibility of scedoporium prolificans to ajoene, allitridun and raw extract of garlic (Allium sativum). J Antimicrob Chem. 8 (2): 67-70

Sulistyaningsih. 2010. Uji kepekaan beberapa sediaan antiseptik Terhadap bakteristaphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus resisten metisilin(MRSA). (Tesis). Universitas Padjajaran. Bandung. 2pp.

Sutrisna. 2012. Penggunaan antibiotika secara rasional.Majalah Kedokteran Indonesia. 7: 32-39


(6)

Syamsiah S, Tajudin. 2003. Khasiat dan manfaat bawang putih: Raja antibiotik alami. Jakarta; Agromedia.

Tanprasert P, Reed B M. 2000. Determination of Minimal Bactericidal and Effective Antibiotic Treatment Concentrations for Bacterial Contaminants from Micropropragated Strawberries. In Vitro Cell Dev Biol. 38: 227-230.

Todar K. 2005. Todar’s online textbook of bacteriology. Texas: Winconsin. Tersedia dari : http://textbookofbacteriology.net/staph.html [diakses pada 21 Oktober 2014]

USDA. 2010. National Nutrient Database for Standard Reference of raw garlic. Agricultural Research Service.United States: Department of Agriculture. [diakses pada 21 September 2014] Tersedia dari : http://ndb.nal.usda.gov/ndb/foods/show/3003

Vuorela P, Leinonerib M, Saikkuc P, dan Tammelaa P. 2004. Natural products in the process of finding new drug candidates. Curr Med Chem. 2 (11): 1375-1389.