Menyongsong Pematangan Cakrawala Mandala
meminta bantuan Sang Rāmapati bersama dengan Rakryan Apatih dan Sang Dharmmādhyaksa ri Kasaiwan Sang Apanji
Tanutama, menghadap dan memohon raja Kṛtnagara agar menjadikan wilayah mereka menjadi wilayah swatantra.
Semua daerah yang ditetapkan sebagai swatantra lepas sebagai wilayah Thānibala, sehingga dibebaskan dari semua
jenis pajak dan pengutan.
Dalam prasasti juga dijelaskan bahwa raja Kṛtnagara mengabulkan permohonan tersebut, mempertimbangkan
bahwa wilayah Sarwwadharma telah berjasa sangat besar bagi pemerintahan Jayawisnuwarddhana, pada masa Sang
Pamgēt Ranu Kabayan Sang Apanji Patipati. Pada masa pemerintahan Jayawisnuwarddhana sesungguhnya wilayah
Sarwwadharma tersebut telah ditetapkan sebagai wilayah sīma swatantra. Tegaslah bahwa Sang Apanji Patipati adalah
Dharmmādhyaksa ring Kasaiwan, pada masa pemerintahan Jayawisnuwarddhana. Tokoh ini merupakan Dharmmādhyaksa
ring Kasaiwan sebelum Sang Apanji Tanutama. Jelas sekali tokoh Sang Apanji Patipati berasal Sarwwadharma di wilayah
timur lereng Gunung Wilis dan di dekat Candi Penampihan, Sendang, Tulungagung saat ini.
Kembali pada informasi Pararaton, bila Mahisa Campaka
dan Rangga Wuni meminta perlindungan kepada Sang Apanji Patipati untuk menghindari pengejaran Lembu Ampal, maka
hampir bisa dipastikan, kediaman Sang Apanji Patipati adalah di lereng Timur Gunung Wilis dan wilayah Candi Penampihan.
Inilah yang menjelaskan mengapa Tulungagung seperti memiliki hubungan primordial, bukan semata-mata dengan
kekuasaan Singhasari, tetapi dengan ide besar mandala cakrawala. Di pelbagai lapisan masyarakat, masih dengan
mudah dilacak
oral history tentang bagaimana Sang Apanji Patipati sesungguhnya lebih merupakan guru spiritual dan
arsitek visi besar mandala cakrawala yang ditegaskan oleh pemerintahan Jayawisnuwarddhana. Tentu kadar kebenaran
oral history selalu bisa dipertanyakan, akan tetapi bila sejarah dipandang sebagai warisan yang masih memiliki bekasnya
hingga hari ini maka sejarah oral sekalipun harus tetap dipertimbangkan.
Mari kembali ke kediaman Sang Apanji Patipati. Lembu Ampal masih melakukan pengejaran terhadap
Wisnuwarddhana dan Narasinghamūrrti. Mengetahui bahwa keduanya mendapat perlindungan Sang Apanji Patipati,
Lembu Ampal akhirnya ciut nyali. Ia mengurungkan niatnya, malah menyampaikan sumpah setia untuk menjadi pengikut
Wisnuwarddhana dan Narasinghamūrrti. Pararaton memang tidak bercerita secara eksplisit bagaimana hal itu bisa terjadi,
tetapi sangat besar kemungkinan hal ini karena pengaruh Sang Apanji Patipati yang sangat besar pada masa Singhasari.
Wilayah Sarwwadharma menjadi wilayah yang sangat diperhitungkan. Masih menurut
Pararaton, kediaman Sang Apanji Patipati kemudian menjadi tempat strategis, bukan
hanya untuk berlindung, tetapi juga untuk melancarkan serangan ke Singhasari.
Di akhir kekuasaannya, Panji Tohjaya mendapat serangan dari pemberontak
wong Rājasa dan wong Sinēlir, kedua kelompok yang tidak pernah jelas riwayatnya.
Mereka adalah kelompok yang berhasil ditundukan oleh Wisnuwarddhana dan Narasinghamūrrti ketika dalam
persembunyian di kediaman Sang Apanji Patipati. Serangan yang dilakukan oleh wong Rājasa dan wong Sinēlir langsung
masung ke jantung Kedaton, dan Tohjaya dibuat lari tunggang langgang. Ia sempat tertombak punggungnya sebelum
sempat lolos. Sempat diselamatkan oleh pengawalnya, dan dibawa lari ke Katanglubang. Di Katanglabung itulah Tohjaya
menghembuskan nafas terakhirnya, sekaligus dicandikan di tempat tersebut. Tohjaya tidak berkuasa lama, mungkin hanya
beberapa bulan di tahun 1248. Informasi ini tidak berselisih antara
Pararaton dan prasasti Mūla-Malurung. Sejak saat
inilah Wisnuwarddana dinobatkan sebagai raja Singhasari. Terkait penobatan dan periode kekuasaan
Wisnuwarddhana, di samping Pararaton dan Nāgarakṛtāgama,
masih ada sejumlah prasasti yang dijadikan petunjuk untuk merekonstruksi sejarah kekuasaan Śrī Jayawisnuwarddhana.
Sebagaimana ulasan sebelumnya, prasasti yang paling sering dijadikan acuan adalah Mūla-Malurung karena prasasti ini relatif
memberikan informasi berlimpah, dan yang paling penting, dikeluarkan pada tahun 1255 oleh Jayawisnuwarddhana
sendiri. Salah satu hal menarik dari isi prasasti tersebut adalah, informasi tentang penobatan Wisnuwarddhana sesudah Panji
Tohjaya mangkat. Dijelaskan, sepeninggal Narāryya Tohjaya,
semua pejabat tinggi kerajaan dipimpin oleh Sang Pamgēt Ranu Kabayan Sang Apanji Patipati menobatkan Narāryya
Smining Rāt sebagai raja Singhasari. Di samping menginisiasi suatu pemerintahan bersama
dengan Narasinghamūrrti, periode ini juga ditandai oleh menguatnya gagasan tentang Cakrawala Mandala Jawa.
Gagasan ini bahkan telah mencapai bentuknya yang matang karena pengaruh seorang arseitek dan spiritualis bernama Sang
Apanji Patipati. Ia merupaka tokoh sentral yang menyokong dan menghantar Wisnuwarddhana naik tahta, mungkin juga
tokoh sentral yang mengusulkan pemerintahan bersama Wisnuwarddhana dan Narasinghamūrrti. Selain disebut di
Pararaton, nama tokoh tersebut juga muncul di prasasti Mūla-Malurung. Sesudah menghantar Wisnuwarddhana,
Apanji Patipati lalu mengabdi kepada pemerintahannya hingga berlanjut pada pemerintahan Kṛtnagara. Melalui
prasasti Sarwwadharma yang dikeluarkan Kṛtnagara pada tahun 1269 yang ditemukan di Penampihan, lereng Gunung
Wilis. informasi tentang Apanji Patipati menjadi sedikit lebih terang. Dalam prasasti tersebut dijelaskan bahwa masyarakat
di wilayah Sarwwadharma meminta bantuan Sang Rāmapati
bersama dengan Rakryan Apatih dan Sang Dharmmādhyaksa ri Kasaiwan Sang Apanji Tanutama, menghadap dan
memohon raja Kṛtnagara agar menjadikan wilayah mereka menjadi wilayah swatantra. Semua daerah yang ditetapkan
sebagai swatantra lepas sebagai wilayah Thānibala, sehingga dibebaskan dari semua jenis pajak dan pengutan.
Dalam prasasti juga dijelaskan bahwa raja Kṛtnagara mengabulkan permohonan tersebut, mempertimbangkan
bahwa wilayah Sarwwadharma telah berjasa sangat besar bagi pemerintahan Jayawisnuwarddhana, pada masa Sang
Pamgēt Ranu Kabayan Sang Apanji Patipati. Pada masa pemerintahan Jayawisnuwarddhana sesungguhnya wilayah
Sarwwadharma tersebut telah ditetapkan sebagai wilayah sīma swatantra. Tegaslah bahwa Sang Apanji Patipati adalah
Dharmmādhyaksa ring Kasaiwan, pada masa pemerintahan Jayawisnuwarddhana. Tokoh ini merupakan Dharmmādhyaksa
ring Kasaiwan sebelum Sang Apanji Tanutama. Jelas sekali tokoh Sang Apanji Patipati berasal Sarwwadharma di wilayah
timur lereng Gunung Wilis dan di dekat Candi Penampihan, Sendang, Tulungagung saat ini.