Tantangan atas Visi Penyatuan
dengan Pararaton maupun Nāgarakṛtāgama dalam hal ini.33
Munculnya nama Bhatāra Parameṡwara dan Narāryya Guning Bhaya merangsang tafsiran baru tentang adanya perpecahan
atau pembelahan wilayah kerajaan Singhasari setelah Ken Angrok mangkat.
Slamet Muljana—dengan merujuk pada prasasti Mūla- Malurung—sangat meyakini bahwa sesudah Ranggah Rājasa,
Singhasari dibelah menjadi dua wilayah, yakni kerajaan Janggala yang berpusat di Kutaraja, kemudian berganti nama menjadi
Singhasari di bawah kekuasaan Anūsapati; dan, kerajaan
Kadiri dibawah kekuasaan Bhatāra Parameṡwara atau Mahisa Wonga Teleng, anak pertama Ken Angrok dari ibu Ken Dedes.
Masih menurut tafsir Slamet Muljana, raja Kadiri berturut- turut sesudah Kan Angrok adalah, Bhatāra Parameṡwara atau
Mahisa Wonga Teleng, dilanjutkan oleh adiknya yaitu Narāryya Guning Bhaya atau Agnibhaya, baru kemudian digantikan oleh
Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari ibu berbeda, Ken Umang. Tidak ada penjelasan yang memuaskan mengapa Panji
Tohjaya yang menggantikan Narāryya Guning Bhaya
.34
Intinya, Slamet Muljana menolak kisah
Pararaton yang menyebutkan bahwa pada tahun 1171 Saka 1248 M terjadi pembunuhan
dan penggulingan kekuasaan Anūsapati oleh Panji Tohjaya.
35
Ia menganggap kisah tersebuh sebagai dongeng belaka. Kesimpulan ini diperkuat oleh bukti bahwa,
Nāgarakṛtāgama tidak pernah mengisahkan tokoh Panji Tohjaya, termasuk tidak pernah menceritakan peralihan
kekuasaan dari Anūsapati ke Tohjaya. Berikutnya, merujuk pada prasasti Maribong,
36
yang memerintah Singhasari pada
33
Marawati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Ibid, hal. 4045
34
Slamet Muljana, Ibid, hal. 97-105
35
Slamet Muljana, Ibid, hal. 78
36
Lihat, J.L. Moens, “Wisnuwarddhana, Radja Singasari dan Kaum Keluarga Majapahit”,
Bahasa dan Budaya, II 6, 1954
tahun 1171 Saka 1248 M adalah Śrī Jayawisnuwarddhana atau Narāryya Semining Rāt, putra Anūsapati. Dalam kedua
sumber tersebut memang tidak pernah dikisahkan tokoh bernama Tohjaya. Hilangnya nama Tohjaya besar kemungkinan
karena Tohjaya tidak dianggap sebagai leluhur raja Hayam Wuruk, dengan mempertimbangkan bahwa
Nāgarakṛtāgama memang ditulis sebagai puji-pujian terhadap raja Majapahit
tersebut. Secara faktual, cerita Pararaton dan Nāgarakṛtāgama
memang berbeda soal peralihan kekuasaan Singhasari pada periode 1252 M [versi
Nāgarakṛtāgama] atau 1248 M [versi Pararton]. Informasi wirama 412
Nāgarakṛtāgama memiliki kesesuaian dengan informasi prasasti Maribong
bahwa, periode itu kekuasaan Singhasari dilanjutkan oleh Śrī Jayawisnuwarddhana.
37
Para ahli umumnya sepakat, hilangnya nama tokoh Tohjaya dalam
Nāgarakṛtāgama, sama sekali tidak mengurangi kesejarahan tokoh tersebut karena prasasti Mūla-Malurung
secara eksplisit menyebut nama Narāryya Tohjaya. Perselisihan tafsir sebagaimana ditampilkan oleh Slamet Muljana, lebih
mengarah pada adanya pembelahan wilayah kekuasaan Singhasari sesudah wafatnya Ken Angrok. Slamet Muljana
berpandangan bahwa, informasi
Pararaton sesungguhnya hanya mengisahkan Singhasari dengan melupakan Kadiri.
Lebih jauh Ia menyimpulkan, pengarang Pararaton hanya
menyisipkan nama Tohjaya dengan membumbuinya dengan dongeng tentang pembunuhan Anūsapati. Kisah tersebut
tidak pernah ditemukan dalam Nāgarakṛtāgama, dan bertolak
belakang dengan informasi prasasti Mūla-Malurung yang menjelaskan bahwa Narāryya Tohjaya naik tahta menggantikan
Narāryya Guning Bhaya atau Agnibhaya.
37
I Ketut Riana, Ibid, hal. 209
Bila direkonstruksi singkat, berikut ini gambaran pemisahan wilayah kekuasaan Singhasari beserta pergolakan
politiknya berdasarkan tafsir Slamet Muljana. Pembelahan Singhasari terjadi sesudah mangkatnya Ranggah Rājasa.
Wilayah dibagi dua, Janggala—atau kemudian diganti namanya menjadi Singhasari dikuasa Anūsapati, dan Kadiri
dikuasai oleh anak pertama Ken Angrok dari ibu Ken Dedes, Mahisa Wonga Teleng atau Bhātara Prameswara. Anūsapati
memiliki anak bernama Rangga Wuni atau Narāryya Semining Rāt atau Wisnuwarddhana, sementara itu Bhātara Prameswara
memiliki anak bernama Mahisa Campaka. Pada akhirnya, kekuasaan Singhasari memang diturunkan pada Narāryya
Semining Rāt, tetapi tidak demikian halnya dengan kekuasaan Kadiri. Setelah Mahisa Wonga Teleng kekuasan dilanjutkan oleh
Narāryya Guning Bhaya atau Agnibhaya, padahal seharusnya kekuasaan menjadi hak Mahisa Campaka. Atas kejanggalan
ini, alasan yang paling masuk akal adalah, saat Mahisa Wonga Teleng mangkat Mahisa Campaka masih sangat kecil sehingga
harus digantikan pamannya.
Faktanya, sesudah Narāryya Guning Bhaya lengser pun, kekuasaan tidak jatuh ke tangan Mahisa Campaka, malah
direbut oleh Panji Tohjaya, anak pertama Ken Angrok dari ibu Ken Umang. Mulai periode inilah semua masalah bermula.
Panji Tohjaya dianggap tidak memiliki hak karena lahir dari ibu selir. Saat Tohjaya dinobatkan, kemarahan Mahisa Campaka
memuncak dan mendorong rencana pemberontakan. Harus dicatat, menurut Slamet Muljana, pemberontakan terjadi di
Kadiri, bukan di Singashari. Pergolakan kekuasaan ini, telah mendorong Mahisa Campaka bersekutu dengan Semining
Rāt. Pemberontakan ini behasil menyingkirkan kekuasaan
Tohjaya di Kadiri. Sesudah itu, Semining Rāt dan Mahisa Campaka membuat pemerintahan bersama atau penyatuan
kembali wilayah JanggalaSinghasari dan DahaKadiri [bagian ini akan diulas kembali di bagian berikutnya].
Pendek kata, selain meyakini bahwa cerita Pararaton
kurang bisa dipercaya, Slamet Muljana juga ingin menegaskan bahwa pembelahan kekuasaan Singhasari bersifat historis.
38
Menurutnya, pembelahan kekuasaan Singhasari memang tidak pernah dikisahkan baik dalam
Nāgarakṛtāgama maupun
Pararaton, akan tetapi kisah ini disajikan secara implisit dan samar dalam dalam piagam Wurare atau prasasti
Mahakshobya bertarikh 1289 M
39
yang dikeluarkan oleh Raja Kṛtanagara. Atas dasar ini, Slamet Muljana juga sangat berani
menafsirkan bahwa, pembelahan Singhasari sesudah Ken Angrok, mengambil pola yang sama dengan pembelahan
kerajaan Erlangga menjadi Janggala dan Panjalu pada tahun 1041-1042 M. Tentu saja hanya Slamet Muljana ahli sejarah
yang memiliki pandangan demikian. Ia sangat meyakini bahwa Penyatuan Janggala dan Panjalu baru dilakukan pada masa
Wisnuwarddhana yang menyelenggarakan pemerintahan bersama dengan Mahisa Campaka pada sekitar tahun 1250 M.