Bhinneka Tunggal Ika Untuk Menge

Bhinneka Tunggal Ika:
Keanekaragaman Sukubangsa
atauKebudayaan?
Pendahuluan: Masyarakat Majemuk Indonesia dan Permasalahannya
Dalam berbagai tulisan, antara lain Suparlan (2001a, 2001b), telah saya tunjukan
bahwa corak masyarakat majemuk, atau bhineka tunggal ika, Indonesia di tandai oleh
penekanannya pada kesukubangsaan yang mengacu pada kelompok-kelompok atau
masyarakat-masyarakat

sukubangsa

dengan

masing-masing

kebudayaanya

yang

dipersatukan dan diatur secara administratif oleh sistem nasional Indonesia yang
berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. di bawah pemerintahan presiden Suharto

sistem nasional tersebut didominasi oleh coraknya yang sentralistik, otoriter-militeristik,
korup, pemanipulasian SARA dan juga pemanipulasian hukum legal, hukum adat dan
berbagai konvesi sosial untuk kepentingan penguasa/pejabat dan kekuasaan rezim. Hak
warga dan komuniti (masyarakat lokal atau kolektiva sosial) diabaikan atau tidak
dihargai, dan hak hidup sukubangsa dan kebudayaannya serta pranata-pranatanya
ditekan selama tidak mendukung keberadaan dan kemantapan penguasa dalam rezim
Suharto, yang dalam kegiatan rezim ini melakukan eksploitasi secara maksimal atas
semua sumber-sumber daya yang ada di Indonesia.
Melemahnya sistem nasional yang otoriter-militeristik, tetapi masih diaktifkannya
pemanipulasian SARA dan hukum, dan ditambah dengan kebijakan-kebijakan sosial,
ekonomi, dan piltik (yang ditambah lagi dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia
sebagai kelanjutan dari krisis moneter) yang hanya bikin bingung dari pemerintahan
presiden Habibie yang melanjutkan masa pemerintahan presiden Suharto yang
dijatuhkan oleh mahasiswa, telah memunculkan kesadaran politik kesukubangsaan dan
penggunaannya, dan hasilnya adalah memunculkan berbagai konfik primordial yang
bersumber pada kesukubangsaan dan keagamaan (Suparlan 2001b, 2001c). Dalam
zaman

pemerintahan


Habibie

yang

pemerintahannya

lemah

karena

kendornya

kekuatan otoriter-militeristiknya tersebut, konfik antar sukubangsa dan keyakinan
keagamaan adalah justru yang muncul dan bukannya konfik antar masyarakat
sukubangsa melawan pemerintah atau sistem nasional. Konfik antar sukubangsa yang
terwujud juga bukan didasari oleh semangat nativisme dari masyarakat sukubangsa

yang asli setempat (Suparlan 2001d, 2001e), tetapi didasari oleh perlawanan atau
pembalasan dari masyarakat sukubangsa yang asli setempat melawan sekelompok
sukubangsa pendatang yang diperlakukan sebagai musuh, karena kesewenangan

mereka dalam mengekpoitasi sumber-sumber daya yang ada setempat yaitu dengan
tindakan-tindakan

kekerasan

dan

premanisme

yang

mereka

lakukan

sebagai

“pendatang” terhadap warga masyarakat setempat, dilihat oleh warga setempat karena
mereka si “pendatang” itu merasa terlindungi oleh oknum-oknum tertentu dalam
memenangkan


persaingan. Oknum-oknum yang

dilihat oleh warga

masyarakat

sukubangsa setempat sebagai mewakili kekuasaan pemerintah di wilayah mereka.
Ketidak-berdayaaan

warga

masyarakat

sukubangsa

setempat

dalam


melawan

pemerintah atau sistem nasional, kecuali di Aceh, mungkin dikarenakan bahwa: (1)
selama ini tokoh-tokoh dari masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia telah
berada dalam bayang-bayang ketakuatan akan kemutlakan kekuasaan penghancur dari
sistem nasional; dan (2) juga karena sebagian dari tokoh-tokoh masyarakat tersebut
telah ikut menikmati berbagai fasilitas dan keistimewaan dari sistem nasional karena
secara politik mendukung dan memperkuat posisi rezim orde baru, ini membenarkan
hipotesa yang pernah saya buat (1982), bahwa dalam masyarakat majemuk seperti
Indonesia,

keseimbangan

hubungan

kekuatan

antara

masyarakat-masyarakat


sukubangsa dengan sistem nasional adalah sebuah prasarat bagi kestabilan sosial dan
nasional, karena dalam masyarakat majemuk hubungan kekuatan antara masyarakatmasyarakat sukubangsa dengan sistem nasional adalah bercorak ekuililibrium. Bila
sistem nasional diperkuat sehingga menjadi kekuatan absolut maka masyarakatmasyarakat sukubangsa akan secara formal menjadi lemah, karena itu kekuatan sosial
politik masyarakat sukubangsa akan tersembunyi dalam berbagai bentuk sakit hati
yang sekali-sekali terungkap sebagai satire atau lelucon, akan memunculkan diri dalam
berbagai bentuk pemberontakan terselubung, dan akan meledak sebagai sebuah
pemberontakan terbuka pada waktu sistem nasional itu menjadi lemah. Dalam keadaan
dimana sistem nasional itu lemah maka masyarakat-masyarakat sukubangsa yang
merasa tertekan itu akan mencoba membebaskan dirinya dari kungkungan sistem
nasional untuk menjadi sebuah satuan tatanan politik atau negara-sukubangsa, dengan
cara menghancurkan berbagai kelompok sukubangsa pendatang yang selama ini
dianggap merugikan dan merupakan kepanjangan kekuasaan sistem nasional, dan baru
kemudian mengkonsolidasi diri umtuk melawan sistem nasional, seperti yang terjadi di
Aceh (menghancurkan dan mengusir semua pendatang asal pulau Jawa dan dari daerah

lain di Indonesia, dan para pendatang yang bukan Islam; semacam gerakan nativistik
untuk pemurnian Aceh dari unsur-unsur ‘asing’). Atau menghancurkan kelompokkelompok sukubangsa pendatang yang selama ini mereka lihat sebagai representasi
sistem nasional, karena tindakan-tindakan mereka di bawah lindungan para oknum
(seperti yang terjadi di Ambon pada tahap permulaan, di Sambas, dan di Sampit).

Secara singkat inti permasalahan yang mempunyai potensi disintegrasi bangsa
Indonesia adalah:
Corak bhineka tunggal ika sebagai lambang negara yang menekankan



komposisinya
bukannya

pada

pada

keanekaragaman

keanekaragaman
kebudayaan

sukubangsa


sukubangsa

sebagai
sebagai

fokus

produk

dan

kesukubangsaan,

keanekaragamannya

dari

acuan

dan

dan

keanekaragaman

kebudayaan tersebut.
Sistem nasional yang otoriter-militeristik dan yang korup dalam segala aspek,



sehingga berbagai bentuk pemanipulasian hukum dan SARA bagi berbagai
kepentingan dan keuntungan oknum telah terjadi, yang menyebabkan rasa ketidak
adilan

hanya

dapat

diatasi

dengan


dalam

perlindungan

sukubangsa

dan

kesukubangsaan.


Corak masyarakat yang tidak demokratis walaupun mengaku sebagai
demokratis. Dalam pemerintahan Suharto konsep demokrasi diberi embel-embel,
seperti demokrasi Pancasila, yang hanya menjadi angan-angan karena tidak
operasional, dan yang karena itu tidak menjadi ideologi dalam pengertian yang
sebenarnya karena hanya lip-service atau buah bibir saja. Demokrasi Pancasila
dalam konteks flsafat dan ideologi menjadi absolute (Suparlan 1992), karena tidak
universal dan tidak didukung oleh berbagai flsafat dan ideologi lainnya, serta tidak
menjadi bagian dari kebudayaan dan pranata-pranata demokrasi tetapi menjadi inti

dari kebudayaan otoriter yang militeristik yang pada waktu itu berlaku. Produk dari
penerapan demokrasi Pancasila selama tiga puluh tahun, yang mementingkan lipservice tersebut adalah kepura-puraan, penipuan secara tersembunyi maupun
tertutup, dan ketidak setaraan dalam derajat dalam segala segi kehidupan.
Produk lip-service ini tidak hilang begitu saja dengan kejatuhan pemerintah Suharto,
karena produk lip-service ini adalah kebudayaan aktual yang nyata-nyata ada dalam
kehidupan orang Indonesia untuk keselamatan jiwa-raga dan harta benda, dan
untuk keuntungan sosial, ekonomi dan politik.

Dalam tulisaan saya yang terdahulu (Suparlan 2000, 2001a) telah saya usulkan untuk
merubah

penekanan

dari

keanekaragaman

sukubangsa

yang

tercakup

di

dalam bhineka tunggal ikamenjadi keanekaragaman kebudayaan. Sehingga masyarakat
Indonesia

berubah

coraknya

dari

masyarakat

majemuk (plural

society) menjadi

masyarakat beranekaragam kebudayaan (multicultural society, yang secara literal
diterjemahkan sebagai masyarakat bangsa yang bercorak banyak kebudayaan kata
cultural dan bukannya culture atau kata benda karena makna cultural adalah berfungsi
sebagai kata sifat atau adjektif, yaitu yang mensifati corak masyarakatnya).
Tulisan

ini

akan

secara

singkat

menyajikan

pokok-pokok

pemikiran

mengenai

keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi isu utama dari lambang negara dan
bangsa kita bhineka tunggal ika. Tulisan akan mencakup pembahasan mengenai
potensi-potensi kebudayaan dan keagamaan dalam solidaritas sosial dan konfik yang
primordial dibandingkan dengan potensi-potensi kebudayaan untuk hal yang sama,
model demokrasi dan multikulturalisme sebagai sebuah satuan ideologi yang saling
mendukung dan merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh, dan penegakan
hukum yang adil dan beradab berdasarkan prinsip demokrasi dan multikulturalisme
untuk menjamin terwujudnya kesetaraan dan kesejahteraan bagi semua warga dan
kehidupan komuniti, dan bagi keutuhan bangsa.
Sukubangsa dan Kebudayaan Dalam Masyarakat Majemuk
Dari berbagi macam perang dan konfik, maka konfik yang paling mengerikan dan
merugikan adalah konfik antar-sukubangsa. Konfik antar sukubangsa lebih banyak
terjadi dan lebih mengerikan dari pada berbagai perang antar negara dalam perang
antar negara ada Konvensi Jenewa yang melindungi hak-hak kemanusiaan dari prajurit,
sedangkan dalam konfik antar sukubangsa intinya adalah penghancuran sukubangsa
pihak lawan dan segala atribut-atributnya. Konfik antar sukubangsa yang terjadi di Uni
Soviet setelah kejatuhan rezim komunis adalah hasil dari buyarnya kekuasaan yang
otoriter-militeristik dan tidak berlakunya penegakan hukum yang adil yang disebabkan
oleh korupsi yang merajalela. Hal yang sama juga dialami oleh Indonesia dengan sebabsebab yang kira-kira sama. Barangkali apa yang dialami oleh Indonesia yang dilanda
oleh berbagai kerusuhan dan konfik antar-sukubangsa lebih dahsyat dan mengerikan
dari pada yang dialami oleh Uni Soviet, mengingat banyaknya sukubangsa di Indonesia
yang kira-kira lima kali banyaknya sukubangsa di Uni Soviet, dan mengingat lebih

besarnya ketertekanan dari warga masyarakat-masyarakat sukubangsa di Indonesia
dibandingkan dengan warga masyarakat-masyarakat sukubangsa di Uni Soviet, yang
tertampung dalam tatanan kehidupan negara-negara bagian.
Apakah ada cara-cara yang terbaik dan manjur atau ces-pleng sebagai resep umum
dalam meniadakan konfik antar-sukubangsa yang dapat berlaku umum? Jawabannya
tidak ada. Karena konfik antar sukubangsa adalah produk dari hubungan antar
sukubangsa dengan sebab-sebab yang berada dalam konteks-konteks lokal dari
hubungan antar sukubangsa itu sendiri. Jadi cara-cara penyelesaiannya tidak dapat
diberlakukan secara pukul rata. Mungkin cara terbaik menyelesaikan konfik ini bukan
meredam dengan kekerasan (penggunaan satuan tentara), karena potensi konfik akan
tetap hidup seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu meledak bila ada
kesempatan, tetapi memahaminya untuk menemukan penyebab-penyebabnya lalu
memikirkan strategi negosiasi agar kedua masyarakat sukubangsa yang bermusuhan
tersebut dapat hidup berdampingan secara damai. Upaya-upaya negosiasi untuk
mendamaikan hanya mungkin dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak, yang
dianggap mempunyai kekuatan dan kewenangan oleh pihak-pihak yang konfik, untuk
menggunakan kekuatan tersebut dalam menindak sesuatu pihak dalam hal terjadinya
kekerasan secara sepihak. Pihak ketiga yang mempunyai kewenangan untuk itu adalah
polisi, yang fungsinya dalam masyarakat adalah sebagai pengayom masyarakat dan
penegak hukum. Pertanyaannya adalah, apakah ada penegak hukum yang dapat
berlaku adil dan beradab dan mempunyai visi dan misi untuk itu?
Pertanyaan tersebut di atas saya ajukan mengingat bahwa tingkat perbuatan KKN
sudah merasuk kesegala penjuru dan bidang kehidupan, termasuk kehidupan dari para
penegak hukum, dan mengingat bahwa para penegak hukum itu sendiri tidak atau
belum dilengkapi dengan pengetahuan multikultural dan tidak atau belum dapat
menyimpan kesukubangsaan masing-masing dalam berbagai penanganan konfik yang
terjadi

di

Indonesia.

Pertanyaan

berikutnya

adalah,

berapa

lamakah

hidup

berdampingan secara damai tersebut dapat dipertahankan, mengingat bahwa segala
sesuatu dalam kehidupan manusia itu berubah, termasuk prinsip-prinsip hidup
berdampingan secara damai yang merupakan variabel tergantung dari berbagai
variabel yang ada dalam konteks-konteks kehidupan bersama tersebut? Jawabannya
tergantung pada banyak faktor yang sangat kontekstual. Salah satu yang paling penting
adalah adanya hukum yang adil dan operasional dalam konteks-konteks lokal, yang

mencakup hukum adat dan konvensi-konvesi sosial yang berlaku, dddan yang dijalani
oleh

penegak

hukum

yang

memahami

konteks-konteks

permasalahan

wilayah

kewenangannya masing-masing, dan yang lebih menekankan pentingnya tindakan
preventif dengan cara arif dan bijaksana dari pada tindakan represif. Pertanyaanpertanyaan tersebut diatas juga saya ajukan mengingat bahwa kesukubangsaan,
termasuk keyakinan keagamaan, adalah satuan primordial bagi jati diri.
Sukubangsa adalah golongan sosial yang askriptif berdasarkan atas keturunan dan
tempat asalnya. Jati diri sukubangsa atau kesukubangsaan, dengan demikian adalah,
jatidiri yang askriptif yang didapat bersamaan dengan kelahirannya atau tempat
asalnya. Kesukubangsaan berbeda dari berbagai jatidiri lainnya yang dipunyai oleh
seseorang, karena kesukubangsaan bersifat primordial (yang pertama didapat dan
menempel pada dirinya sejak masa kanak-kanak dan utama dalam kehidupannya
karena merupakan acuan bagi jatidiri dan kehormatannya), sedangkan berbagai jatidiri
lain yang dipunyai oleh seseorang adalah berdasarkan pada perolehan status dalam
kehidupan sosialnya. Berbagai jatidiri yang lainnya tersebut dapat hilang karena tidak
berfungsinya status-status yang dipunyainya, sedangkan jatidiri sukubangsa atau
kesukubangsaannya tidak dapat hilang. Bila jatidiri sukubangsa tidak digunakan dalam
interaksi maka jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tersebut disimpannya dan
bukannya dibuang atau hilang.
Sebagai golongan sosial, sukubangsa mewujudkan jatidirinya dalam kolektiva-kolektiva
atau masyarakat-masyarakat sukubangsa yang hidup dalam wilayah-wilayah yang
diakui sebagai wilayah tempat hidupnya dan merupakan sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Wilayah masing-masing sukubangsa ini di Indonesia, biasanya
dinamakan hak ulayat atau wilayah adat masyarakat sukubangsa tertentu. Sebuah
sukubangsa dapat terdiri dari hanya satu kolektiva atau masyarakat sukubangsa yang
menempati sebuah wilayah, tetapi biasanya mempunyai dua atau lebih masyarakat
yang mendiami dua atau lebih wilayah yang berbeda. secara umum masing-masing
masyarakat sukubangsa yang sama tersebut mempunyai kebudayaan yang ciri-ciri
utamanya sama, terutama dalam bahasanya, tetapi secara lebih khusus masing-masing
masyarakat dari sukubangsa yang sama tersebut mempunyai corak kebudayaan yang
berbeda. perbedaan tersebut disebabkan oleh adaptasi budaya terhadap lingkungan
atau wilayah tempat mereka hidup serta cara-cara atau teknologi dalam memanfaatkan

sumber-sumber daya yang terkandung didalamnya untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan hidup.
Kebudayaan

dapat

dilihat

sebagai

pedoman

bagi

kehidupan

yang

diyakini

kebenarannya oleh para pemiliknya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan
beserta isinya bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, kebudayaan dimiliki
secara bersama oleh sebuah kolektiva atau masyarakat. Karena, kebutuhan-kebutuhan
hidup manusia tidak dapat dipenuhi semata-mata secara individual. Kebudayaan
berisikan konsep-konsep sebagai hasil dari sistem-sistem penggolongan yang menjadi
hakekat dari kebudayaan, berisikan metode-metode untuk memilah-milah konsepkonsep dan memilih konsep-konsep hasil pilahan serta mengkombinasikan konsepkonsep yang terpilih sebagai acuan atau pedoman bertindak dalam menghadapi dan
memanfaatkan lingkungan, dan berisikan teori-teori yang dapat diseleksi untuk
dijadikan pedoman atau untuk menjelaskan sesuatu model atau pola bertindak dalam
menghadapi dan memanfaatkan lingkungan.
Kebudayaan diacu oleh para pemeluknya untuk pemenuhan-pemenuhan kebutuhan
biologi, sosial dan adab. Nilai-nilai budaya adalah acuan bagi pemenuhan kebutuhan
adab, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui yang benar sebagai lawan dari
yang salah, yang suci dari yang kotor, yang indah dari yang buruk, dsb. Satu atau
sejumlah nilai budaya yang terseleksi dijadikan inti dari dan yang mengintegrasikan
sesuatu pemenuhan kebutuhan biologi, sosial, adab atau sesuatu kombinasi dari
ketiganya. Penggunaan kebudayaan dalam pemenuhan sesuatu kebutuhan dilakukan
secara sistemik dengan nilai-nilai budaya sebagai inti atau pusatnya yang diacu untuk
mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan tersebut dan untuk pembenaran dan
keabsahannya (lihat Suparlan 1986). Sehingga misalnya, kebutuhan untuk makan
bukan hanya asal makan, tetapi apa yang dimakan, dengan siapa makan, bagaimana
memakannya, yang disesuaikan dengan waktu, tempat, dan konteks makna dari
makan. Secara keseluruhan, kegiatan makan tersebut dari pelakunya dipedomani oleh
nilai budaya yang biasanya kita kenal dengan nama etika makan.
Nilai-nilai budaya berisikan keyakinan-keyakinan yang digunakan untuk menilai
berbagai gejala yang dihadapi menurut kebudayaan yang dipunyai oleh pemilik
kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kehidupan manusia, nilai-nilai budaya ini
diperkuat fungsinya oleh keyakinan keagamaan yang dipunyai oleh pemiliknya; artinya

dipertegas batas-batas antara yang baik dari yang tidak baik, antara yang halal dari
yang haram, antara yang sah dari yang tidak sah, dsb. Agama sebagai petunjuk Tuhan
mengenai kebenaran dan jalan menuju kebenaran menurut perintah Tuhan, yang
tertulis dikitab suci atau yang ada dalam teks-teks suci yang tertulis maupun lisan,
hanya akan menjadi dokumen-dokumen tertulis atau teks-teks lisan bila tidak menjadi
keyakinan keagamaan dari manusia yang meyakini kebenaran ajaran Tuhan tersebut.
Untuk dapat menjadi keyakinan keagamaan dari pemeluknya, maka agama harus
sesuai dengan kebudayaan dari pemeluknya. Penyesuaian bisa terjadi dalam bentuk
penyesuaian kebudayaan pemeluknya (seperti misalnya pada sukubangsa Minangkabau
dan Aceh yang menganut prinsip matrinileal, yang harus membuat penyesuaian dalam
sistem matrilineal mereka, sehingga mereka dapat mengatakan bahwa “adat bersendi
sara’ dan sara bersendi kitabullah”) atau pada penyesuaian dalam sebagian dari ajaran
agama yang dipeluk, seperti adanya tradisi abangan , priyayi, dan santri dalam
kehidupan keagamaan orang Jawa Islam (Geertz, 1980).
Pada waktu telah tercapainya proses penyesuaian antara agama dengan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama tersebut menjadi bagian dari
kebudayaan sehingga berada dalam hubungan fungsional dengan berbagai unsur
kebudayaan dalam memproses masukan untuk menjadi keluaran yang terwujud
sebagai tindakan-tindakan. Dalam beberapa masyarakat, agama bukan hanya menjadi
bagian dari kebudayaan tetapi bahkan menjadi inti dari kebudayaan karena agama
telah menjadi nilai-nilai budaya atau setidak-tidaknya mewarnai nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Nilai-nilai budaya yang pada hakekatnya adalah keyakinankeyakinan dan pedoman penilaian menurut kebudayaan yang bersangkutan adalah
penuh dengan muatan perasaan dan terwujud dalam bentuk luapan-luapan emosi yang
tidak dapat ditawar. Nilai-nilai budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan
ataupun keyakinan keagamaan yang merupakan dirinya sebagai nilai-nilai budaya,
merupakan corak yang primordial, karena manusia belajar agama sejak dari masa
kanak-kanak.

Pelajaran

agama

adalah

pelajaran

mengenai

keyakinan

tentang

kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran dari agama yang diyakininya yang dibedakan
dari keyakinan keagamaan lain yang tidak benar. Sehingga keyakinan keagamaan
menciptakan suatu aura subyektivitas dalam diri pelakunya berkenaan dengan
kebenaran dan kehormatan jatidiri yang berbeda atau bertentangan dengan jatidiri
lainnya. Primordialitas keyakinan keagamaan dan kesukubangsaan adalah sama, dan

saling menunjang atau memperkuat keyakinan-keyakinan kebenaran yang hakiki yang
diacu untuk jati diri dan digunakan dalam interaksi.
Kebudayaan dipunyai oleh seseorang dengan melalui proses belajar mengenai
kebudayaan orang tua dan komunitinya atau “enkulturisasi” dan melalui “sosialisasi”
atau proses belajar dalam kehidupan sosial dengan cara memerankan status-status
sosial di dalam kehidupan sosial yang nyata. Karena kebudayaan yang dipunyai oleh
seseorang atau sebuah kolektiva itu melalui proses-proses belajar dan bukannya
melalui proses pewarisan yang askriptif, maka hakekat kebudayaan berbeda dari
hakekat kesukubangsaan. Bila hakekat kesukubangsaan adalah konstan maka hakekat
kebudayaan

adalah

akumulatif

dan

dapat

berubah

sesuai

dengan

perubahan

lingkungan yang dihadapi dan sesuai dengan motivasi-motivasi yang dipunyai untuk
mengadopsi sesuatu unsur kebudayaan lain atau membuang unsur-unsur kebudayaan
yang tidak fungsional lagi kegunaannya atau juga mellakukan inovasi dan penciptaan
sesuatu unsur kebudayaan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang
baru. Dengan demikian seseorang sebagai anggota kolektiva sukubangsa tertentu
dapat mempunyai kebudayaan yang mencakup berbagai unsur dari satu atau sejumlah
kebudayaan lainnya, atau dapat juga seseorang itu hanya mempunyai kebudayaan
sukubangsa setempat dimana dia menjadi warganya.
Karena itu pada waktu para pakar ilmu-ilmu sosial Indonesia mengatakan bahwa konfik
antar sukubangsa disebabkan oleh perbedaan kebudayaan, sebagaimana dikemukakan,
antara lain, oleh Nitibaskara (2001), saya mengatakan bahwa hal itu tidak benar
(Suparlan 2001b). Karena dalam sejarah kemanusian manusia tidak pernah ada bukti
bahwa sesama manusia itu konfik atau saling berbunuhan karena perbedaan
kebudayaan. Yang terjadi adalah, mereka itu dapat saling bermusuhan karena
memperebutkan sumber-sumber daya, termasuk harga diri dan kehormatan, dalam
struktur-struktur

sosial

yang

ada

dalam

konteks

kehidupan

mereka,

dengan

menggunakan kebudayaan yang mereka punyai masing-masing sebagai acuan
stereotip dan prasangka untuk landasan penciptaan batas-batas sosial dan budaya
diantara mereka dan dalam mengorganisasi diri umtuk bermusuhan. Penghancuran
terhadap masing-masing harta benda yang bercirikan kebudayaan sukubangsa pihak
lawannya tidaklah dapat diartikan sebagai konfik sukubangsa disebabkan oleh adanya
perbedaan kebudayaan. Karena, hakekat konfik antar sukubangsa adalah konfik

penghancuran kategori sukubangsa. Sehingga segala sesuatu yang mempunyai ciri-ciri
yang tergolong sebagai sukubangsa pihak lawan akan dihancurkan.
Dalam masyarkat majemuk yang bercorak otoriter dan berperintahan sentralistik, ada
kecenderungan

untuk

menerapkan

kebijakan

asimilasi

terhadap

sukubangsa-

sukubangsa minoritas agar menjadi bagian dari masyarakat luas yang mayoritas dan
dominan. Di bawah

pemerintahan

presiden

Suharto

misalnya,

telah

dilakukan

kampanye pembauran, sebuah kata halus untuk asimilasi, untuk orang-orang Cina
menjadi orang Indonesia. Orang-orang Cina mentaatinya agar terhindar dari berbagai
bentuk diskriminasi dan pengkambing hitaman. Walaupun demikaian mereka itu masih
juga ditandai sebagai orang Cina, melalui kode tertentu di KTP mereka, untuk dapat
didiskriminasi dan dipalak, sampai pengkodean di KTP tersebut dihapuskan dimasa
pemerintahan Habibie.
Dalam masyarakat multi etnik atau banyak sukubangsa, seperti Amerika, yang pada
dasarnya masyarakat rasis, yang telah menghasilkan hirearki sosial dengan berbagai
bentuk diskriminasi atas dasar ras dan asal sukubangsa telah secara bertahap diubah
melalui perjuangan persamaan hak dalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan
landasan dasar dari negara itu. Masyarakat Amerika yang sejak didirikannya bercorak
monokultural dengan golongan WASP (White Anglo Saxon Protestan) sebagai golongan
mayoritas

dan

dominan

telah

secara

bertahap

menjadi

bercorak

multikultural

sebagaimana keadaannya sekarang ini (Suparlan 1999). Perjuangan persamaan hak,
terutama bagi mereka yang kulit hitam atau berwarna dengan kulitputih dimulai secara
luas ditahun enampuluhan oleh Martin Luther King, presiden Kennedy dan yang
kemudian dilanjutkan secara lebih efektif oleh presiden Johnson, telah menyemangati
keberhasilan perjuangan tersebut melalui berbagai kegiatan affirmative actionsv
Secara hukum tidak ada lagi diskriminasi, sejak diundangkannya Civil Right Act pada
tahun 1964, artinya bila terjadi diskriminasi terhadap orang bukan WASP di tempattempat umum dan di tempat kerja maka yang melakukan diskriminasi tersebut dapat
dituntut di pengadilan untuk di hukum, walaupun demikian, tanpa dukungan dan
perjuangan dari berbagai kelompok, kolektiva, dan komuniti untuk menerapkan
diberlakukannya Civil Act tersebut, maka persamaan hak tidak akan mungkin terwujud
secara sempurna dan cepat sebagaimana yang telah terjadi di Amerika Serikat
sekarang ini. Perjuangan persamaan hak tersebut yang meluas secara nasional telah
dilakukan kelompok-kelompok sosial dan organisasi-organisasi gereja melalui apa yang

dinamakan affirmative action, yaitu perjuangan yang bukan hanya untuk membebaskan
orang kulit hitam dan minoritas untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang
tersedia,

guna

mengejar

ketertinggalan

status

sosial

mereka,

dengan

cara

mendiskriminasikan mereka yang kulit putih dan dominan untuk tidak memperoleh
jabatan atau pekerjaan tersebut dalam keadaan dimana kemampuan profesional yang
kulit hitam atau minoritas itu sama dengan yang kulit putih atau dominan.
Persamaan hak berdasarkan prinsip demokrasi ini juga diberlakukan bagi berbagai
golongan minoritas yang sebelumnya didiskriminasi. Sehingga pada masa sekarang ini,
Amerika Serikat adalah satu-satunya masyarakat yang mempunyai kebudayaan
bersama yang unsur-unsurnya mencakup hampir semua kebudayaan yang ada dan
hidup di Amerika. Dan, Amerika Serikat juga merupakan satu-satunya masyarakat
dimana

warganya

menikmati

berbagai

kebebasan

mengekspresikan

ungkapan-

ungkapan budaya mereka masing-masing sepanjang hal itu tidak mengganggu yang
lainnya atau mengganggu ketertiban umum.
Multikulturalisme
Dengan mengacu pada Bennet (1995), David Jary dan Julia Jary (1991:319), Fay (1996),
Nieto (1992), dan Reed, ed (1997), saya melihat multikulturalisme sebagai sebuah
ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak
kehidupan masyarakat. Multikulturalisme mengagungkan dan berusaha melindungi
keanekaragaman budaya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai
minoritas. Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat-bangsa dilihat
sebagai sebuah kebudayaan bangsa yang merupakan mainstream,yang seperti sebuah
mosaik, dan didalam kebudayaan bangsa tersebut terdapat berbagai perbedaan corak
budaya.

Model

multikulturalisme

yang

menekankan

pengakuan

kesederajatan

perbedaan-perbedaan tersebut adalah berbeda atau bahkan bertentangan dengan
model multikulturalisme yang menekankan pada penyatuan kebudayaan-kebudayaan
yang ada sebagai sebuah satuan keseragaman. Dalam model monokulturalisme
tersebut kebudayaan yang dominan melakukan kebijakan asimilasi atau pengasingan
dan bahkan pemusnahan terhadap kelompok-kelompok sukubangsa yang digolongkan
sebagai minoritas.

Dalam model multikulturalisme penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapanungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian
unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam
kehidupannya tanpa adanya hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang
diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas sukubangsa yang primordial. Dalam
masyarakat multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, kata Nathan Glazer
(1997), karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari
kebudayaan asal atau sukubangsanya tetapi juga mempunyai kebudayaan yang
berisikan kebudayaan-kebudayaan dari sukubangsa atau bangsa lain.
Bila demikian, pertanyaannya adalah, berada dimanakah posisi sukubangsa dalam
masyarakat yang multikultural karena dalam masyarakat tersebut setiap orang menjadi
multikulturalis? Sukubangsa sebagai golongan sosial yang askriptif dan sebagai
masyarakat pemilik kebudayaan sukubangsa tetap ada dalam masyarakat multikultural,
tetapi sukubangsa sebagai sebuah ideologi dan sebuah satuan politik diredupkan
perannya. Peranan sukubangsa tidak lagi harus ada dalam kehidupan publik atau
masyarakat luas, tetapi berada dalam suasana-suasana sukubangsa yang merupakan
ungkapan-ungkapan budaya sukubangsa dalam kehidupan masyarakat sukubangsa
yang bersangkutan. Model berpikir ini mungkin sejalan dengan model kebijakan politik
di zaman pemerintahan presiden Sukarno yang melarang didirikannya partai politik
sukubangsa

tetapi

mengagungkan

kehidupan

budaya

sukubangsa

di

dalam

lingkungannya sendiri, dan menampilkan ungkapan-ungkapan budaya tersebut secara
nasional di bawah lambang bhineka tunggal ika dengan penekanannya pada
keanekaragaman kebudayaan.
Dalam konsep multikulturalisme penekanan fokusnya adalah pada pemahaman dan
hidup dengan perbedaan sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara
kelompok atau masyarakat. Individu dilihat sebagai refeksi dari satuan sosial dan
budaya dimana mereka itu menjadi bagian dari padanya. Permasalahannya bukan
terletak pada perbedaan kebudayaan ataupun pada hubungan budaya, dengan
berbagai corak akulturasi, yang menghasilkan warga masyarakat multikultural yang
multikulturalis, tetapi permasalahannya terletak pada waktu hubungan antar budaya
tersebut bergeser menjadi hubungan antar-jatidiri. Pada waktu hubungan antar jatidiri
masih berada dalam ruang lingkup kerja atau berdasarkan atas status-status sosial
yang didapat, maka hubungan antar jatidiri yang berlangsung akan mengacu pada

struktur satuan sosial dimana interaksi tersebut berlangsung. Tetapi, pada waktu
hubungan tersebut menjadi hubungan antar jatidiri yang mendasar dan umum maka
acuan bagi jatidiriyang digunakan adalah sukubangsa. Hubungan antar jatidiri yang
menjadi hubungan antar sukubangsa menapikan peranan pemahaman antar budaya
yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, dan sebaliknya menekankan penggunaan
stereotip dan prasangka untuk mempertegas perbedaan dan batas-batas sukubangsa
diantara mereka.
Multikulturalisme

dilihat

perbedaan-perbedaan,

sebagai
termasuk

pengikat

dan

jembatan

perbedaan-perbedaan

yang

mengakomodasi

kesukubangsaan

dan

sukubangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada
pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum,
tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam kesetaran derajat secara politik,
hukum, ekonomi dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat sukubangsa
dan kebudayaan sukubangsaannya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau
suasana kesukubangsaannya. Tetapi, didalam suasana-suasana nasional dan tempattempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme
budayanya,

dan

bukannya

sesuatu

kesukubangsaan

atau

sesuatu

kebudayaan

sukubangsa tertentu yang dominan.
Dengan kata lain politik kesukubangsaan tidak mungkin dapat hidup atau ditoleransi
untuk dapat hidup dalam suasana nasional atau umum, karena hanya akan menjadi
acuan pemecah belah integritas bangsa, terutama dalam masyarakat majemuk seperti
Indonesia. Model ini mungkin dapat kita temui dalam kebijakan politik kesukubangsaan
yang dibuat oleh presiden Sukarno dalam rezim orde liberal (sebelum orde lama), yaitu
yang melarang keberadaan partai-partai politik berlandaskan sukubangsa.
Bila kesukubangsaan tidak seharusnya dimunculkan dalam arena nasional dan umum,
bagaimana dengan kemunculannya di kabupaten atau propinsi dalam rangka otonomi
daerah? Sebaiknya konsep nasional dan umum harus didefnisikan untuk kejelasannya,
karena pengertian nasional dan umum sebetuulnya dan seharusnya mencakup juga
wilayah-wilayah yang sekarang berada dalam sistem otonimi daerah. Jadi bukan hanya
Jakarta saja yang merupakan wilayah nasional dan umum. Dengan demikian, adalah
menjadi kewajiban dari pemerintah pada tingkat kabupaten dan propinsi untuk
menciptakan adanya:

(1) sebuah konsep mengenai wilayah-wilayah umum dan nasional yang dibedakan dari
wilayah-wilayah sukubangsa; dan (2) konsep pluralisme budaya dimana hak-hak
minoritas atau pendatang yang bermukim diwilayah tersebut dijamin hak-hak hidupnya
untuk berbeda darimainstream yang ada, dan dijamin pula tingkat kesederajatan hakhak hidup mereka. Golongan minoritas ini tidak seharusnya diperlakukan sebagai
kategori sukubangsa, tetapi sebagai variasi ungkapan budaya dari kebudayaan bangsa
Indonesia dengan demikian, maka tindakan pembedaan antara yang ‘asli’ dan
‘pendatang’ harus ditinjau ulang.karena dalam konsep yang sekarang berlaku, mereka
yang asli adalah siapa saja yang hidup dimana saja asalkan yang bersangkutan itu
merupakan keturunan asli dari sukubangsa di daerah tersebut. Keturunan pendatang
yang sudah hidup turun menurun disuatu wilayah sukubangsa digolongkan sebagai
pendatang. Padahal keturunan pendatang inilah yang lebih tahu dan hanya tahu
mengenai kehidupan di daerah dimana dia hidup dibandingkan dengan mereka yang
‘asli’. Sehingga, yang ‘asli’ atau ‘putra daerah’ seharusnya adalah mereka yang
dilahirkan di daerah tersebut, dan bukannya mereka yang orang tua atau nenek
moyangnya berasal dari daerah tersebut tetapi mereka itu sendiri hidup di daerah
lainnya. Mereka ini sebenarnya telah menjadi ‘putra daerah’ di tempat lain. Dengan
cara ini maka pluralisme budaya dapat dikembangkan untuk meredam kemunculan
kesukubangsaan sebagai potensi konfik antar-sukubangsa.
Permasalahan pluralisme budaya ini menjadi pelik di Indonesia, sehingga presiden
Sukarno melarang partisipasi kesukubangsaan melalui partai-partai politik sukubangsa
di dalam arena politik nasional maupun daerah, karena khawatir menjadi acuan bagi
penggalangan politik yang memecah belah integrasi kehidupan berbangsa menjadi
negara-negara sukubangsa. Sedangkan keyakinan keagamaan, yang juga bersifat
primordial dan mempunyai potensi pemecah belah bangsa melalui batas-batas sosial
budaya yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan, justru dikembang-suburkan. Kalau
kita perhatikan kasus-kasus Aceh, Ambon, Maluku Utara dan Poso barangkali kita
semua dapat merenungkan makna dari potensi keyakinan keagamaan berkenaan
dengan potensinya dalam gejolak-gejolak yang membahayakan integrasi bangsa.
Kalau kita perhatikan sejarah Eropa Barat barangkali kita dapat memehami mengapa
negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, memisahkan kehidupan kenegaraan
dari keagamaan. Di abad ke-16, Eropa Barat terpecah-pecah oleh konfik atau perang
antara penganut agama Katolik dengan agama Protestan mengenai agama mana yang

berhak memerintah di suatu wilayah kerajaan. Akhirnya konfik-konfik ini diselesaikan
dengan cara memisahkan domain kekuasaan negara dari domain kekuasan gereja dan
meneguhkan kebebasan individual dalam beragama. Agama menjadi milik pribadi atau
individu, dan menjadi urusan komuniti atau masyarakatnya, dan bukannya menjadi
urusan negara. Dalam prinsip pemisahan kekuasaan negara dari kekuasaan agama,
negara menjamin kebebasan warganya untuk mempunyai keyakinan keagamaan
apapun sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan produktivitas masyarakat. Dengan
kebijakan tersebut maka kelompok-kelompok keagamaan minoritas dilindungi secara
tidak langsung oleh negara dengan cara memberikan hak kebebasan individu untuk
memuja

Tuhan

yang

diyakininya

dan

kebebasan

untuk

secara

bersama-sama

berjamaah tanpa harus takut untuk tidak disetujui atau didiskriminasikan oleh negara.
Di negara-negara barat, khususnya di Amerika Serikat, yang mayoritas penduduknya
beragama kristen justru para imigran yang beragama Islam memperoleh kebebasan
untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan mereka tanpa harus khawatir untuk
didiskriminasi atau dilarang oleh negara dan tanpa takut untuk diserbu dan dibakar
masjidnya oleh warga setempat yang beragama kristen. Bahkan di kota Bloomington di
negara bagian Indiana, berdasarkan pengamatan saya, masjid dibangun di atas
sebidang

tanah

hasil

sumbangan

dari

jemaah

gereja

setempat.

Pembakaran,

pengrusakan, atau pemboman gereja atau kelenteng merupakan gejala yang tidak
mengagetkan di Indonesia tetapi sangat mengagetkan dan tak masuk akal bagi orang
Amerika, karena kejadian-kejadian tersebut terjadi di abad ke-20 dan ke-21 dan
bukannya di zaman kegelapan sebagaimana yang telah terjadi di Eropa Barat di abad
ke-16.
Multikulturalisme adalah sebuah politik nasional. Jika pemerintah Indonesia yang
memang menginginkan adanya kestabilan keamanan secara nasional dan keteraturan
sosial dalam kehidupan sehari-hari yang memunngkinkan warga masyarakat dapat
menjalankan fungsi-fungsi produktivitasnya dan menikmati kesejahteraan hidup yang
pantas, maka sudah sepantasnya model multikulturalisme dipelajari dengan sungguhsungguh dan sejumlah kebijakan haruslah diambil unntuk dijalankan secara nasional.
Penerapan multikulturalisme untuk menghasilkan sebuah masyarakat multikultural
tidak dapat dipaksakan oleh pemerintah. Tugas pemerintah adalah menstimuli atau
memberi semangat bagi terciptanya masyarakat multikultural dan membuat programprogram jangka pendek maupun jangka panjang dalam sistem dan lembaga pendidikan,

hukum, penegakan hukum berikut sanksi-sanksinya, membuat desain-desainuntuk
kegiatan umum dan pasar yang memungkinkan warga dari komuniti-komuniti setempat
untuk belajar dari pengalaman-pengalaman untuk dapat hidup dalam keanekaragaman
dan perbedaan kebudayaan tanpa harus menggunakan perbedaan sukubangsa untuk
acuan pemahamannya.
Pemerintah harus menegaskan bahwa yang utama adalah menjadi warga negara dan
bangsa Indonesia, tanpa memperdulikan asal sukubangsa, ras, agama dan daerah.
Yang dilihat adalah kesetiaannya kepada Indonesia, dalam bentuk karya-karyanya yang
dapat mensejahterakan diri dan kkomunitinya serta masyarakat Indonesia pada
umumnya. Penegasan tersebut di atas, yang merupakan landasan bagi kebijaksanaan
politik untuk menuju masyarakat multikultural, hanya mungkin dapat dicapai bila
dibarengi dengan penataan kehidupan demokrasi, penegakan hukum yang adil dan
beradab, pemberantasan korupsi dan kolusi, dan berbagai bentuk pemerasan atau
pemalakan.
Progaram-progaram

jangka

panjang

yang

secara

langsung

akan

mendukung

terciptanya masyarakat multikultural di masa akan datang adalah: pendidikan kewarga
negaraan, pendidikan multikultural, pendidikan bahasa-bahasa dan keanekaragaman
kebudayaan

sukubangsa,

keanekaragaman

agama

dan

keyakinan-keyakinan

keagamaan lain (yang tidak menjadi keyakinan keagamaan dari sipelajar pada tingkat
SLU atau mahasiswa). Program-program perbaikan hukum dan lembaga-lembaga
penegakan hukum. Program-program pemberantasan korupsi dan kolusi. Pemerintah
juga sebaiknya mengeluarkan sebuah ketetapan hukum mengenai kesetaraan warga
dan komuniti-komuniti setempat (tanpa memandang asal, sukubangsa, agama dan ras),
untuk

meniadakan

potensi

konfikyang

diakibatkan

oleh

pembedaan

dan

pendiskriminisian karena ‘asli’ dan ‘pendatang’ (lihat Suparlan 2001c)
Bhinneka Tunggal Ika: Masih Mungkinkah ?
Saya akan menjawabnya: Mungkin! Tetapi jawaban saya tersebut hanya mungkin dapat
terlaksana bila syarat-syarat untuk melakukannya dipenuhi. Kalau Amerika dapat
merubah dirinya dari sebuah masyarakat rasialis yang berideologi monokulturalisme
menjadi multikulturalisme (lihat: Suparlan 1999), dan Afrika Selatan yang semula
merupakan masyarakat majemuk otoriter yang ditandai oleh ideologi rasisme menjadi

masyarakat yang demokratis, mengapa kita tidak dapat melakukannya? Kita tentu saja
dapat mereformasi atau merubah masyarakat majemuk kita yang otoriter dan
militeristik menjadi sebuah masyarakat sipil yang demokratis dan bercorak bhinneka
tunggal ika. Dengan syarat-syarat bahwa:
Kita betul-betul berupaya menjadikan masyarakat kita sebuah masyarakat


sipil.


Betul-betul berpegang pada demokrasi sebagai pedoman utama dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.



Hak Individual atau Hak Azasi Manusia, Hak Budaya Komuniti atau
Masyarakat, dan Negara atau Pemerintah harus diperlakukan sama sakral atau
posisinya dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lainnya.



Hukum harus ditegakkan untuk menjamin terwujudnya keteraturan didalam
kehidupan masyarakat, sehingga warga masyarakat dapat melakukan kegiatankegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing untuk kesejahteraan demi
kelangsungan hidup masyarakat.
Berikut ini akan saya coba untuk menjelaskan secara singkat apa yang dimaksudkan
dengan dengan syarat-syarat tersebut diatas. Pertama, dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di masyarakat manapun di dunia ini yang menganut faham bahwa
masyarakatnya adalah masyarakat sipil, tidak ada dominasi militer atau adanya peran
sosial politik dari militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut. Militer
adalah pasukan perang, dipersiapkan untuk menghadapi peperangan yang dilakukan
untuk mempertahankan negara dari serangan musuh dari luar atau berperang melawan
musuh di negara lain. Dalam kehidupan sehari-hari di luar pangkalan militer, anggota
militer akan harus menjadi orang sipil yang harus tunduk, pada hukum yang berlaku
dalam masysrakat sipil yang bersangkutan. Untuk menghidari kekhilafan sehingga
berperan dalam bidang sosial politik, maka di berbagai negara, terutama di Amerika
Serikat, militer dididik untuk menjadi ahli-ahli teknik sehingga pada waktu mereka
dibebastugaskan dari dinas militernya akan mempunyai pekerjaan yang selalu
diperlukan oleh masyarakat. Mantan militer ini akan menjadi tenaga-tenaga produktif
yang handal yang berguna bagi terwujudnya kesejahteraan hidup dan kelangsungan
hidup masyarakat.

Bila syarat pertama tersebut dapat dipenuhi, maka syarat kedua akan harus mencakup
pemahaman yang benar mengenai konsep demokrasi dan penerapannya dalam
berbagai pranata nasional. Pemerintahan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat
haruslah dipegang teguh. Prinsip yang berlaku dalam demokrasi adalah konfik diantara
unsur-unsur yang tercakup di dalamnya. Konfik bukan untuk saling menghancurkan
tetapi untuk saling memeriksa guna terwujudnya keseimbangan (check and balances),
terutama dalam kaitan hubungan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif. Prinsip ini
mungkin tidak hanya berlaku pada tingkat supranasional, tetapi juga pada tingkattingkat yang lebih rendah, yaitu pada tingkat propinsi, kabupaten, kotamadya, dan
kecamatan.
Ketiga, dalam masyarakat yang demokratis landasan demokrasi pada hakekatnya
terletak pada hubungan keseimbangan antara hak pemerintah untuk mengatur individu
dan komuniti atau masyarakat, dengan hak individu atau HAM, dan dengan hak budaya
komuniti atau masyarakat yang tercakup dalam sebuah satuan politik. Tiga unsur
tersebut sama-sama sakralnya, dan harus berada dalam hubungan keseimbangan
diantara konfik-konfik yang terjadi diantara ketiga unsur tersebut. Pada satu saat,
untuk sesuatu kepentingan tertentu, pemerintah atau negaralah yang dimenangkan,
sedangkan pada saat lainnya individu yang harus diutamakan, dan pada saat lainnya
lagi

kepentingan

komuniti

atau

masyarakat

harus

dimenangkan

dalam

pertentangannya dengan kepentingan negara dan kepentingan individu.
Di masa lampau kepentingan pemerintahlah yang selalu dimenangkan dengan
mengorbankan kepentingan-kepentingan individual (HAM) dan komuniti. Di masa
sekarang, kepentingan individual (HAM) sudah dipertungkan dalam upaya penegakkan
hukum yang menjamin tercapainya cita-cita masyarakat demokrasi. Tetapi kepentingan
komuniti atau masyarakat diabaikan, barangkali karena belum terpikirkan betapa
penting posisi dan fungsinya dalam masyarakat demokratis. Dalam masyarakat yang
majemuk,

seperti

telah

diuraikan

diatas,

posisi

dari

masyarakat-masyarakat

sukubangsa yang tercakup di dalamnya tidaklah dalam posisi yang seimbang. Sehingga
ada masyarakat yang kebudayaannya dominan dan ada yang minoritas. Dalam
masyarakat sipil yang demokratis, masyarakat-masyarakat yang minoritas ini diberi hak
lebih untuk hidup dibandingkan dengan yang dominan agar tidak hancur dalam kontakkontak hubungan dengan masyarakat sukubangsa yang dominan. Hak lebih tersebut
adalah hak untuk dapat hidup menurut kebudayaannya, diberi perlindungan terhadap

hak ulayat atas tanah, hutan dan air yang secara adat menjadi miliknya. Hak untuk
dapat hidup sesuai dengan tradisi budayanya yang mencakup juga hak untuk
mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda dari agama yang secara mayoritas
diyakini oleh masyarakat setempat yang dominan. Mereka harus diberi perlindungan
dari kampanye-kampanye keagamaan yang sistematik dan efektif dari penyebarpenyebar agama wahyu, atau upaya penggusuran mereka dari wilayahnya, ataupun
dari upaya-upaya penipuan sistematik untuk menguasai tanah dan sumber-sumber
dayanya dari para pebisnis sehingga mereka itu tergusur dari wilayahnya.
Ideologi tentang pentingnya hak budaya komuniti harus mulai disebar luaskan dari
sejak sekarang. Dengan alasan bahwa hak budaya komuniti adalah salah satu tiang
penyangga tegaknya masyarakat sipil yang demokratis. Amerika Serikat sebagai
negara demokratis mempunyai kebudayaan yang nilai-nilai budayanya yang sakral
mencakup tiga unsur tersebut (lihat Suparlan 1991). Karena itu masyarakat Amerika
tetap tegak dan berjaya dalam perang melawan otoritarianisme dan komunisme, dan
dalam menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik sukubangsa dan rasial.
Yang terakhir atau ke-empat, tatanan hukum yang berlaku di Indonesia yang berasal
dari pemerintahan penjajahan Belanda sudah waktunya untuk dirubah menjadi tatanan
hukum yang mendukung cita-cita terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis yang
menghargai

hak-hak

individual

dan

hak-hak

budaya

komuniti

dalam

kaitan

hubungannya dengan hak-hak berkuasa dari pemerintah atau negara. Permasalahan
hak budaya komuniti ini menjadi kritikal, karena dalam peraturan pemerintah mengenai
otonomi daerah hak budaya komuniti ataupun kebudayaan masyarakat-masyarakat
sukubangsa yang hidup dalam wilayah propinsi atau kabupaten itu tidak diperhatikan.
Yang bisa menjadi potensi bagi gagalnya upaya pelaksanaan otonomi daerah, bisa
antara lain disebabkan oleh adanya pendominasian struktur politik lokal oleh golongan
sukubangsa yang mayoritas dan dominan. Sehingga sukubangsa-sukubangsa yang kecil
jumlah warganya dan minoritas posisinya akan terpuruk kehidupannya. Sehingga
ketentuan hukum mengenai hak budaya komuniti juga seharusnya mencakup
ketentuan

hukum

yang

diberlakukan

pada

tingkat

propinsi

dan

kabupaten.

Permasalahan lainnya yang bisa menjadi potensi kegagalan pelaksanaan otonomi
daerah adalah konsep mengenai warga masyarakat setempat. Kecenderungannya
adalah, adanya anggapan bahwa otonomi daerah itu diperuntukkan bagi masyarakat
sukubangsa asli setempat. Orang-orang asal pendatang yang tinggal dalam wilayah

tersebut, walaupun lahir dan dibesarkan disitu tetap dianggap sebagai ‘orang luar’ yang
hak-haknya dibedakan dari yang asli. Masalah ini patut dipikirkan secara sungguhsungguh, mengingat pola-pola kerusuhan yang terjadi sekarang di beberapa tempat di
Indonesia adalah pengusiran terhadap mereka yang dianggap sebagi ‘orang luar’ oleh
mereka yang menganggap dirinya asli setempat. Bila hal ini tidak kita pikirkan secara
sungguh-sungguh, maka politik sukubangsa dari masyarakat setempat yang merasa asli
dan dominan akan berakibat pada tidak mungkinnya membangun kembali masyarakat
Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Yang terakhir, berkenaan dengan upaya penegakkan hukum bagi kesejahteraan hidup
masyarakat, adalah upaya pemberantasan preman dan oknum. Mereka ini adalah
benalu masyarakat yang menggrogoti kesejahteraan hidup dan potensi ekonomi serta
potensi

berproduksi

warga,

masyarakat,

dan

negara.

Sudah

waktunya

untuk

memikirkan upaya merubah cara hidup benalu ini menjadi cara hidup produktif,
sebagaimana yang seharusnya mereka lakukan sebagai warga masyarakat dan negara.
Atau kalau mereka tidak mau atau tidak dapat, maka harus diupayakan untuk
menyingkirkan mereka dari kehidupan masyarakat sipil demokratis yang bercorak
bhinneka tunggal ika yang kita cita-citakan.
Penutup
Sebagai penutup mungkin perlu dikemukakan bahwa kebijakan multikulturalisme
sebagai sebuah kebijakan politik nasional hanya mungkin terlaksana bila warga
masyarakat Indonesia pada umumnya, dan komuniti-komuniti serta individu-individu
merasakan bahwa kebijakan tersebut menguntungkan mereka. Untuk itu maka sebuah
strategi kampanye harus dilakukan, sehingga dapat diterima dan masuk akal bagi
semua. Kampanye yang bertujuan untuk memperkenalkan multikulturalisme harus
dibarengi dengan program-program yang nyata yang hasilnya dapat dipetik dalam
jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu panjang. Program-program ini harus
mampu mendorong terciptanya pranata-pranata dan tradisi-tradisi dalam kehidupan
sosial, baik pada tingkat komuniti maupun pada tingkat umum dan nasional yang
bercorak multikultural.
Model multikulturaisme hanya mungkin hidup dan berkembang dalam masyarakat yang
memegang prinsip demokrasi. Jika prinsip demokrasinya ditambah dengan embel-

embel, yang menunjukan corak otoriter penguasanya, maka model multikulturalisme
tidak berlaku dan masyarakat multikultural tidak akan terwujud. Karena yang akan
terwujud adalah masyarakat majemuk yang dipimpin oleh sistem nasional yang otoriter,
yang opresif, dan diskriminatif, yang menjadi landasan dari pemerintahannya yang
korup. Demokrasi bukan hanya dijadikan ideologi saja, atau hanya berlaku pada tingkat
makro saja (pemisahan kewenangan eksekutif, legislatif, dan judikatif), tetapi harus
berlaku dalam kehidupan yang nyata. Dalam kehidupan nyang nyata, demokrasi
mewujudkan dirinya dalam kesetaraan derajat dan kewenangan yang berada dalam
hubungan saling kompetisi dan keseimbangan antara individu, komuniti (hak budaya
komuniti), dan negara (pemerintah)