PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN JARING GARUK KERANG YANG DILARANG (Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN
JARING GARUK KERANG YANG DILARANG
(Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
Oleh
Venti Azharia
Pelaku tindak pidana yang menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk
kerang yang dilarang diputus pengadilan melanggar Undang-Undang No 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Putusan
Pengadilan
Negeri
Tanjung
Karang
Nomor:
237/Pid.Sus/2013/PN.TK yang menjatuhkan vonis penjara dan denda kepada
pelaku penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
Permasalahan dalam penelitian ini yang perlu diketahui adalah bagaimana
penegakan hukum pidana serta bagaimana faktor penghambat penegakan hukum
pidana dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat
penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan masalah secara yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang dgunakan adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh melalui wawancara secara
langsung serta menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah
ditentukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diajukan dengan melakukan
secara normatif dan empiris sebagai penunjang dapat disimpulkan sebagai berikut:
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan
ikan jaring garuk kerang yang dilarang dilakukan dengan cara : 1. Tahap
Formulasi, penegakan hukum diatur dalam Undang-Undang No 45 Tahun 2009;
2. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan; 3. Tahap Eksekusi,
yaitu terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp
700.000,00. Faktor penghambat dari penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang
adalah 1. Faktor hukumnya sendiri (Perundang-undangan); 2. Faktor penegak
Venti Azharia
hukum 3. Faktor sarana dan prasarana; 4. Faktor masyarakat yang kurang akan
kesadaran hukum; 5. Faktor Kebudayaan berasal dari masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka saran penulis adalah 1. Para penegak
hukum yaitu Kepolisian Perairan, Kejaksaan, dan Hakim harus melaksanakan
perannya masing-masing dengan baik serta meningkatkan kinerja dalam upaya
penegakan hukum terhadap tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan
jaring garuk kerang yang dilarang agar dapat terlaksananya penegakan hukum
yang maksimal; 2. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan sarana
dan fasilitas yang dibutuhkan, menjalin kerjasama antara masyarakat dan aparat
penegak hukum untuk mensosialisasikan bahaya penggunaan alat penangkapan
ikan yang dilarang serta mensosialisasikan Undang-Undang tentang Perikanan
agar masyarakat mengetahui aturan yang terdapat di dalamnya.
Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Pelaku, Alat Penangkapan Ikan
yang dilarang
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN
JARING GARUK KERANG YANG DILARANG
(Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
Oleh
VENTI AZHARIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan dan
peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Karena itu harus
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
dan umat manusia pada umumnya untuk sekarang dan di masa yang akan datang.1
Contoh sumber daya alam hayati laut yang harus dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik adalah kerang.
Kerang merupakan hewan air yang termasuk hewan bertubuh lunak (moluska).
Pengertian kerang bersifat umum dan tidak memiliki arti secara biologi namun
penggunaannya luas dan dipakai dalam kegiatan ekonomi. Dalam pengertian
paling luas, moluska dengan sepasang cangkang, dengan pengertian ini lebih tepat
orang menyebutnya kerang-kerangan dan sepadan dengan arti clam yang dipakai
di Amerika. Contoh pemakaian seperti ini dapat dilihat pada istilah “kerajinan
kerang”. Kata kerang dapat pula berarti semua kerang-kerangan yang hidupnya
menempel pada suatu obyek.2 Cara pengambilan kerang sangat mudah, yaitu
1
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukun Lingkungan
Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 96
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerang (diakses tanggal 12 Februari 2014, Pukul 08.00 WIB).
2
dengan menggunakan alat jaring yang dijatuhkan ke dasar laut lalu ditarik dengan
menggunakan mesin kapal, sama seperti pengambilan ikan pada umumnya.
Masyarakat yang tinggal di daerah pantai memanfaatkan kerang sebagai mata
pencaharian sehari-hari karena kerang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik,
karena semakin banyak peminat pengambilan kerang dan banyak yang ingin
mengeksploitasi nilai ekonomis dari kerang tersebut untuk mencari keuntungan,
ada sebagian orang menggunakan cara yang salah dengan memakai alat
penangkapan kerang yang dilarang yang tidak memiliki izin dari pemerintah.
Perbuatan seperti ini mengakibatkan kerusakan pada ekosistem kerang dan semua
ekosistem yang ada di laut bahkan mengalami kelangkaan hingga kepunahan.
Penegakan hukum dalam tindak pidana menggunakan alat penangkap ikan yang
dilarang ini bersifat universal dan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana khusus
karena berhubungan dengan berlangsungnya kehidupan ekosistem yang ada di
laut, sehingga dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku tindak pidana
menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang harus lebih diperhatikan lagi,
agar masyarakat jera dan tidak ingin mengulangi perbuatannya itu. Jika tidak
ditindak lanjuti, akan semakin banyak masyarakat yang ingin mengambil sumber
daya alam hayati berupa kerang dengan menggunakan alat penangkap ikan yang
dilarang oleh pemerintah demi mencapai keuntungan berlebih dengan cara yang
salah, tetapi tidak memikirkan akibat dari penggunaan alat penangkap ikan yang
dilarang tersebut utuk kelangsungan hidup ekosistem di bawah laut yang bisa
mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan.
3
Penegakan hukum itu sendiri merupakan ultimum remedium atau upaya hukum
terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman
penjara atau denda, jadi penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk
memperbaiki lingkungan yang tercemar. Penegakan hukum pidana ini dapat
menimbulkan faktor penjara (detterant factor) yang sangat efektif, oleh karena itu
dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.3
Undang-Undang yang mengatur tentang Perikanan diantaranya yaitu:
1. Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia.
Salah satu objek penelitian yang akan dibahas yaitu mengenai penegakan hukum
pidana terhadap pelaku tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring
garuk kerang yang dilarang, pada Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK.
Dalam putusan menjelaskan bahwa pada hari kamis tanggal 14 Februari 2012
sekira pukul 23.00, terdakwa selaku Nahkoda kapal (Misni Bin Samiran ) beserta
6 (enam) orang anak buah kapal (ABK) yaitu
saksi Triyono, Sugandi, Edi,
Widodo, Catur dan Siong berangkat berlayar dari Kuala Penat Lampung Timur
3
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.121
4
menuju ke perairan Tulang Bawang dengan menggunakan kapal KM. Indosiar
dengan membawa garuk kerang yang terbuat dari besi yang berukuran 2 meter
untuk melakukan penangkapan kerang, dan sekira pukul 03.00 Wib sampai di
perairan Tulang Bawang dan beristirahat jangkaran, selanjutnya pada hari Jum’at
tanggal 15 Februari 2012 sekira pukul 07.00 WIB garuk kerang yang terbuat dari
besi tersebut yang berada di buritan kapal mulai diturunkan oleh terdakwa talinya
diulur sampai masuk kedasar laut.
Jaring garuk tersebut ditarik sehingga semua kerang maupun ikan yang berada di
sekitar jaring garuk tersebut bahkan lumpur dan pasirpun terangkat masuk
kedalam jaring garuk dan setelah dirasa berat atau penuh hasil tangkapannya,
jaring garuk kerang tersebut diangkat dengan menggunakan mesin dengan cara
ditarik. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan terdakwa berkali-kali dan hasil
penangkapannya mendapat kerang bulu sebanyak 60 karung dengan berat sekitar
3 ton.
Pada hari itu pula pukul 11.00 WIB saat kapal posisi koordinat 4’51 “29.25” S105’54”20/11”T ditengah-tengah perairan laut Tulang Bawang yang sedang
dikemudikan oleh terdakwa tersebut didatangi oleh Polisi C.XXV-1010 dari Dit
Pol Air Polda Air Polda Lampung yang sedang melakukan tugas patroli,
kemudian saksi M.Yunus Ritonga, saksi Briptu Indra Saputra dan saksi Briptu
Erwansyah melakukan pemeriksaan terhadap kapal KM. Indosiar dan dari
pemeriksaan tersebut didapat 1 buah jaring garuk kerang yang terbuat dari besi
yang berukuran 2 meter.
5
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pada UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 85 jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan Pasal 85 menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa,dan/atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantupenangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 45
Ayat (1) menyatakan bahwa barang bukti berupa kerang tersebut akan dilakukan
jual lelang, namun karena berdasarkan pemeriksaan berupa laporan hasil uji Dinas
Kelautan dan Perikanan bahwa kerang tersebut sudah mengalami kemunduran
mutu dan tidak layak untuk di konsumsi, sehingga kerang tersebut akhirnya
dimusnahkan dengan dibuang kelaut.
Putusan tersebut telah sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan Pasal 85 yaitu terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak
pidana dengan sengaja bersama-sama menggunakan alat penangkapan ikan yang
dilarang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 85
yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,
membawa dan atau menggunakan alat penangkap ikan dan atau alat bantu
penangkapan ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
6
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) .
Dilihat dari kasus di atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan
menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang dari sisi
penegakan hukumnya pelaku dijatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara dan
denda Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/MEN/2011 bahwa diseluruh perairan WPPNRI (wilayah pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia)
jaring
garuk
kerang
tidak
dikeluarkan
perijinannya, penggunaan alat ini dilarang karena merusak sumber daya ikan,
mengakibatkan kerusakan terhadap perkembangan kerang yang diakibatkan
kerang yang tidak terangkat akan mati sehingga lama kelamaan kerang menjadi
punah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis
tentang penegakan hukum pidana dan faktor penghambat, oleh karena itu penulis
tertarik membuat penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Garuk Kerang
yang Dilarang (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)”
7
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini ada
beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah.
Beberapa masalah tersebut sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang? (Studi
Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
b. Bagaimanakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang? (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana,
tentang penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat
penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang (Studi Putusan PN Nomor :
237/Pid.Sus/2013/PN.TK). Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Kepolisian Perairan
Bandar Lampung pada tahun 2014.
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
b. Mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam pengkajian ilmu hukum
mengenai penegakan hukum pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang
dilarang dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan
pengetahuan dan bahan tambahan bagi perpustakaan atau bahan informasi
kepada seluruh pihak yang berkompeten mengenai penegakan hukum pidana
menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang.
9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.4
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai
hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan,
demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan keadilan dengan
menerapkan sanksi-sanksi.5
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu
ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai
pelaksana keputusan-keputusan hakim. Pendapat yang agak sempit tersebut
mempunyai kelemahan-kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau
keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam
pergaulan hidup.6
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hlm. 25
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 226
6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 7
5
10
Penegakan hukum dalam arti luas (meliputi segi preventif dan represif), cocok
dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu penanggulangannya pun beraneka
ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi.7
Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari
tiga tahap, yaitu:8
1. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan
pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi
masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundangundangn pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap
kebijakan legislasi.
2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Dalam tahap ini
aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan
pidana
yang
dibuat
oleh
badan
pembentuk
undang-undang.
Dalam
melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai
keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.
7
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 49.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm 45.
8
11
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh
aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh
pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan
oleh pengadilan.
Menurut Joseph Golstein, penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian
yaitu:9
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (Total Enforcement Concept)
yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang
dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes).
Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para
penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara
pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan, selain itu mungkin
terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya
dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delikdelik aduan.
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (Full Enforcement Concept)
yaitu dalam ruang lingkup ini para penegak hukum termasuk Polri tidak bisa
diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai
keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya
manusia, perundang-undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan
dilakukannya discretions. Sehingga menurut Joseph Golstein , yang tersisa
adalah Actual Enforcement.
9
Ibid, hlm.55
12
3. Konsep penegakan aktual (Actual Enforcement Concept) muncul setelah
diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, karena kepastian baik yang
terkait
dengan
undangannya
sarana-prasarana,
dan
kurangnya
kualitas
partisipasi
SDM,
kualitas
masyarakat.
perundang-
Tidak
tertutup
kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum termasuk Kepolisian. Sebagai contoh misalnya
penyimpangan terhadap hak-hak tersangka dalam Undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang KUHAP.
Penegakan hukum
dalam tindak pidana perikanan ini harus diperhatikan,
khususnya tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang
yang dilarang, dikarenakan tindak pidana tersebut sangat mudah dilakukan demi
mencapai keuntungan berlebih dengan menggunakan cara-cara yang salah,
sehingga mengakibatkan kerusakan serta kepunahan ekosistem yang ada di laut.
Cukup banyak dari sebagian masyarakat yang menggunakan hal-hal yang
dilarang, ini dikarenakan penggunaan alat-alat yang dilarang sangat mudah serta
memanfaatkan alat-alat yang ada, sehingga lebih memudahkan mereka dan demi
mencapai keuntungan yang berlebih. Kesadaran dari masyarakat sangat penting
akan hal ini, jika kesadaran dari masyarakat itu muncul maka akan berkurangnya
tindak pidana pengunaan alat penangkapan ikan yang dilarang dan akan beralih
menggunakan alat-alat yang di anjurkan oleh pemerintah.
13
Adapun faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap
pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang, menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut:10
a. Faktor Undang-undang
b. Faktor Penegak hukum
c. Faktor Sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor Masyarakat
e. Faktor Kebudayaan
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang diinginkan dan diteliti.11
Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian,
ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa. Konsep ini akan menjelaskan pengertian
pokok dari judul penelitian, sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam
penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan utuk menghindari kesalah
pahaman dalam melakukan penelitian.
Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan
proposal ini adalah sebagai berikut:
10
11
Sorejono Soekanto,Op. Cit., hlm 5
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 132
14
a. Penegakan Hukum Pidana adalah merupakan ultimum remedium atau upaya
hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan
hukuman penjara atau denda.12
b. Pelaku Tindak Pidana adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam
rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang
mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dihukum.13
c. Alat Penangkapan Ikan yang dilarang menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang dilarang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar
yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau, alat penangkapan ikan yang
dilarang.
d. Jaring Garuk adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk mengumpulkan
kerang. Alat tangkap ini dikelompokkan kedalam penggaruk atau dredge gear .
Konstruksi garuk sangat sederhana, karena hanya terdiri atas kerangka besi
berbentuk segitiga yang berfungsi sebagai mulut masuk dan kantong yang
terbuat dari jaring sebagai penampung kerang.14
12
Sukanda Husin, Op. Cit., 2009, hlm.121
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990,
hlm. 599
14
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/download/6517/5015 (diakses tanggal 10
April 2014,Pukul 07.30 WIB).
13
15
E. Sistematika Penulisan
Agar lebih memperjelas serta mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka
dibuat suatu sistematika penulisan, yaitu sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang tentang penegakan
hukum pidana, permasalahan, perumusan masalah, tujuan, serta sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Yaitu mengenai tinjauan umum tentang penegakan hukum pidana. Bab ini
diuraikan menjadi bebrapa sub bab, yang diantaranya mengenai, tindak pidana
perikanan , tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang,
penegakan hukum , penegakan hukum pidana dan faktor penghambat penegakan
hukum.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunakan dalam
pendekatan masalah, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, dan
analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang hsil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan
penelitian ini dengan mendasarkan pada data primer dan data sekunder.
16
V. PENUTUP
Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari
hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian
permasalahan yang berguna dan dapat menambah wawasan tentang ilmu hukum
khususnya hukum pidana.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Perikanan
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan
kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi
norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Tindak pidana adalah suatu
kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu
kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. 15 Perikanan
adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan.16 Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan
menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem
laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang yang
mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi
sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan. Contoh
15
16
Tri Andrisman, Op.Cit, hlm 70
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 22
18
tindak pidana perikanan adalah penangkapan ikan dengan alat yang dilarang,
pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal serta masih bnyak lagi kasus yang
lainnya. Di Indonesia, menurut Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1985 dan
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004, kegiatan yang termasuk dalam
perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.17
Bisnis perikanan tersebut sering terjadi suatu tindak pidana perikanan, tindak
pidana perikanan mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur
tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Ada 2 (dua) kategori mengenai
tindak pidana perikanan yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.18
Hakim yang akan mengadili pelanggaran dibidang perikanan juga khusus, yaitu
hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier.
Pemeriksaan pengadilan dapat dilakukan secara in absentia. Begitu pula
penahanan diatur secara khusus. Ada 17 buah pasal yang mengatur rumusan delik
perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. Pasal 84 Ayat (1) mengenai
penangkapan dan budi daya ikan tanpa izin dengan ancaman pidana penjara
maksimum 6 tahun dan denda maksimum 1,2 miliar rupiah. Ayat (2) pasal itu
menentukan subjek nakhoda atau pemimpin perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya,
17
18
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika Offset, 2011, hlm.68
http://id.m.wikipedia.org/wiki/perikanan (diakses tanggal 11Maret2014, pukul 12.00 WIB)
19
dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu maksimum 10 tahun penjara dan
denda 1,2 miliar rupiah.
Di dalam Pasal 84 Ayat (1) itu menyebut subjek pemilik kapal perikanan, pemilik
perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau
operator kapal perikanan melakukan hal yang sama pada Ayat (2) dengan
ancaman pidana penjara 10 tahun sama dengan Ayat (2) tetapi dengan denda yang
lebih tinggi, yaitu dua miliar rupiah. Ayat (4) pasal itu menyebut subjek pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan , kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan /atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggug
jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dengan menggunakan bahan kimia dan seterusnya sama dengan Ayat (3) dengan
ancaman pidana sama, yaitu 10 tahun dan denda juga sama Ayat (3).
Pasal 85 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan ikan
Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal
penangkap ikan
yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang.
Ancaman pidananya maksimum dua miliar rupiah.
20
Pasal 86 Ayat (1) mengenai pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara dan
denda maksimum dua miliar rupiah. Pasal 86 Ayat (2) mengenai pembudidayaan
ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam
tahun penjara dan denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86
Ayat (3) mengenai pembudidayaan hasil ikan rekayasa gentika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam tahun penjara dan
denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86 Ayat (4) mengenai
penggunaan
obatan-obatan
dalam
pembudidayaan
ikan
yang
dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia, dengan ancaman pidana yang sama dengan Ayat (3).
Pasal 87 Ayat (1) mengenai perbuatan merusak plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan dengan ancaman pidana maksimum dua tahun penjara
denda maksimum satu miliar rupiah. Pasal 88 mengenai setiap orang yang dengan
sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau
memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan, sumber daya ikan,
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau keluar
wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
21
Pasal 89 mengenai setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan
ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
Pasal 90 mengenai setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik
Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia
sebgaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana paing lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 91 mengenai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,
bahan tambahan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan
manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan
ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 92 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia
melakukan
usaha
perikanan
di
bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemerasan ikan,
yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 Ayat (1) (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
22
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 93 Ayat (1) mengenai setiap orang yng memiliki dan /atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, dan
tidak memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 93 Ayat
(2) mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pasal 94 mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoprasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memliliki
SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 96
mengenai setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan diwilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan tidak mendaftarkan kapal
perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
23
Pasal 36 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 97 Ayat (1) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan
ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama
berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan
alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Pasal 97 Ayat (2) mengenai nahkoda yang mengoperasikan
kapal penngkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEE
yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 97 Ayat (3) mengenai nahkoda yang
mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di
wilayah pengelolaan perikana Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98 mengenai nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal
perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 99 mengenai
setiap orang yang melakukan penenlitian perikanan di wilayah pengelolaan
24
perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 100 mengenai setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 101
mengenai dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat
(1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96 dilakukan oleh koorporasi, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah
1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.19
B. Tindak Pidana Menggunakan Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perikanan alat
penangkapan ikan yang dilarang adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang.
19
Andi Hamzah, Loq. Cit., hlm. 126
Tabel 1: Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Pada Jalur Penangkapan Ikan
ALAT PENANGKAPAN IKAN
NO
Pengelompokan
3.2.1
3.2.2
Pukat hela
pertengahan
berpapan (Otter
trawls)
3.2.1.1
Pukat
ikan
Pukat hela
pertengahan dua
kapal (Pair trawls)
KAPAL
PERIKANAN
S Kode
i
n
g
k
a
t
a
n
Sifat API
S
T
A
T
I
S
P
A
S
I
F
A
K
T
I
F
Ukuran
Selektifit
as dan
kapasita
s API
T s
M d
.
A
5
B
P
G
I
T
>
5
1
0
>
1
0
<
3
G 0
T
G
T
JALUR
PENANG
KAPAN
3 I I I
0 A B I
(
G ( ( 4
T 0 2 - - 1
u 2 4 2
p
m m m
i i i
l l l
) ) )
WPP-NRI
I 5 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7
I 7 7 7 1 1 1 1 1 1 1 1
I 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8
(
1
2
m
i
l
u
p
O 03.2.1
T
M
O 03.2.1.1
T
M
P
I
P 03.2.2
T
M
√
√
Mesh
size >2
inch;
Tali ris
atas
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN
JARING GARUK KERANG YANG DILARANG
(Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
Oleh
Venti Azharia
Pelaku tindak pidana yang menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk
kerang yang dilarang diputus pengadilan melanggar Undang-Undang No 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
Putusan
Pengadilan
Negeri
Tanjung
Karang
Nomor:
237/Pid.Sus/2013/PN.TK yang menjatuhkan vonis penjara dan denda kepada
pelaku penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
Permasalahan dalam penelitian ini yang perlu diketahui adalah bagaimana
penegakan hukum pidana serta bagaimana faktor penghambat penegakan hukum
pidana dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat
penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan masalah secara yuridis
normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang dgunakan adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh melalui wawancara secara
langsung serta menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah
ditentukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diajukan dengan melakukan
secara normatif dan empiris sebagai penunjang dapat disimpulkan sebagai berikut:
penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan
ikan jaring garuk kerang yang dilarang dilakukan dengan cara : 1. Tahap
Formulasi, penegakan hukum diatur dalam Undang-Undang No 45 Tahun 2009;
2. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan; 3. Tahap Eksekusi,
yaitu terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp
700.000,00. Faktor penghambat dari penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang
adalah 1. Faktor hukumnya sendiri (Perundang-undangan); 2. Faktor penegak
Venti Azharia
hukum 3. Faktor sarana dan prasarana; 4. Faktor masyarakat yang kurang akan
kesadaran hukum; 5. Faktor Kebudayaan berasal dari masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka saran penulis adalah 1. Para penegak
hukum yaitu Kepolisian Perairan, Kejaksaan, dan Hakim harus melaksanakan
perannya masing-masing dengan baik serta meningkatkan kinerja dalam upaya
penegakan hukum terhadap tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan
jaring garuk kerang yang dilarang agar dapat terlaksananya penegakan hukum
yang maksimal; 2. Sebaiknya aparat penegak hukum lebih memperhatikan sarana
dan fasilitas yang dibutuhkan, menjalin kerjasama antara masyarakat dan aparat
penegak hukum untuk mensosialisasikan bahaya penggunaan alat penangkapan
ikan yang dilarang serta mensosialisasikan Undang-Undang tentang Perikanan
agar masyarakat mengetahui aturan yang terdapat di dalamnya.
Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Pelaku, Alat Penangkapan Ikan
yang dilarang
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN
JARING GARUK KERANG YANG DILARANG
(Studi Putusan PN No: 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
Oleh
VENTI AZHARIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan dan
peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Karena itu harus
dikelola dan dimanfaatkan secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia
dan umat manusia pada umumnya untuk sekarang dan di masa yang akan datang.1
Contoh sumber daya alam hayati laut yang harus dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik adalah kerang.
Kerang merupakan hewan air yang termasuk hewan bertubuh lunak (moluska).
Pengertian kerang bersifat umum dan tidak memiliki arti secara biologi namun
penggunaannya luas dan dipakai dalam kegiatan ekonomi. Dalam pengertian
paling luas, moluska dengan sepasang cangkang, dengan pengertian ini lebih tepat
orang menyebutnya kerang-kerangan dan sepadan dengan arti clam yang dipakai
di Amerika. Contoh pemakaian seperti ini dapat dilihat pada istilah “kerajinan
kerang”. Kata kerang dapat pula berarti semua kerang-kerangan yang hidupnya
menempel pada suatu obyek.2 Cara pengambilan kerang sangat mudah, yaitu
1
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukun Lingkungan
Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 96
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerang (diakses tanggal 12 Februari 2014, Pukul 08.00 WIB).
2
dengan menggunakan alat jaring yang dijatuhkan ke dasar laut lalu ditarik dengan
menggunakan mesin kapal, sama seperti pengambilan ikan pada umumnya.
Masyarakat yang tinggal di daerah pantai memanfaatkan kerang sebagai mata
pencaharian sehari-hari karena kerang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik,
karena semakin banyak peminat pengambilan kerang dan banyak yang ingin
mengeksploitasi nilai ekonomis dari kerang tersebut untuk mencari keuntungan,
ada sebagian orang menggunakan cara yang salah dengan memakai alat
penangkapan kerang yang dilarang yang tidak memiliki izin dari pemerintah.
Perbuatan seperti ini mengakibatkan kerusakan pada ekosistem kerang dan semua
ekosistem yang ada di laut bahkan mengalami kelangkaan hingga kepunahan.
Penegakan hukum dalam tindak pidana menggunakan alat penangkap ikan yang
dilarang ini bersifat universal dan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana khusus
karena berhubungan dengan berlangsungnya kehidupan ekosistem yang ada di
laut, sehingga dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku tindak pidana
menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang harus lebih diperhatikan lagi,
agar masyarakat jera dan tidak ingin mengulangi perbuatannya itu. Jika tidak
ditindak lanjuti, akan semakin banyak masyarakat yang ingin mengambil sumber
daya alam hayati berupa kerang dengan menggunakan alat penangkap ikan yang
dilarang oleh pemerintah demi mencapai keuntungan berlebih dengan cara yang
salah, tetapi tidak memikirkan akibat dari penggunaan alat penangkap ikan yang
dilarang tersebut utuk kelangsungan hidup ekosistem di bawah laut yang bisa
mengakibatkan kerusakan dan kelangkaan.
3
Penegakan hukum itu sendiri merupakan ultimum remedium atau upaya hukum
terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman
penjara atau denda, jadi penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk
memperbaiki lingkungan yang tercemar. Penegakan hukum pidana ini dapat
menimbulkan faktor penjara (detterant factor) yang sangat efektif, oleh karena itu
dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.3
Undang-Undang yang mengatur tentang Perikanan diantaranya yaitu:
1. Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia.
Salah satu objek penelitian yang akan dibahas yaitu mengenai penegakan hukum
pidana terhadap pelaku tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring
garuk kerang yang dilarang, pada Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK.
Dalam putusan menjelaskan bahwa pada hari kamis tanggal 14 Februari 2012
sekira pukul 23.00, terdakwa selaku Nahkoda kapal (Misni Bin Samiran ) beserta
6 (enam) orang anak buah kapal (ABK) yaitu
saksi Triyono, Sugandi, Edi,
Widodo, Catur dan Siong berangkat berlayar dari Kuala Penat Lampung Timur
3
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.121
4
menuju ke perairan Tulang Bawang dengan menggunakan kapal KM. Indosiar
dengan membawa garuk kerang yang terbuat dari besi yang berukuran 2 meter
untuk melakukan penangkapan kerang, dan sekira pukul 03.00 Wib sampai di
perairan Tulang Bawang dan beristirahat jangkaran, selanjutnya pada hari Jum’at
tanggal 15 Februari 2012 sekira pukul 07.00 WIB garuk kerang yang terbuat dari
besi tersebut yang berada di buritan kapal mulai diturunkan oleh terdakwa talinya
diulur sampai masuk kedasar laut.
Jaring garuk tersebut ditarik sehingga semua kerang maupun ikan yang berada di
sekitar jaring garuk tersebut bahkan lumpur dan pasirpun terangkat masuk
kedalam jaring garuk dan setelah dirasa berat atau penuh hasil tangkapannya,
jaring garuk kerang tersebut diangkat dengan menggunakan mesin dengan cara
ditarik. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan terdakwa berkali-kali dan hasil
penangkapannya mendapat kerang bulu sebanyak 60 karung dengan berat sekitar
3 ton.
Pada hari itu pula pukul 11.00 WIB saat kapal posisi koordinat 4’51 “29.25” S105’54”20/11”T ditengah-tengah perairan laut Tulang Bawang yang sedang
dikemudikan oleh terdakwa tersebut didatangi oleh Polisi C.XXV-1010 dari Dit
Pol Air Polda Air Polda Lampung yang sedang melakukan tugas patroli,
kemudian saksi M.Yunus Ritonga, saksi Briptu Indra Saputra dan saksi Briptu
Erwansyah melakukan pemeriksaan terhadap kapal KM. Indosiar dan dari
pemeriksaan tersebut didapat 1 buah jaring garuk kerang yang terbuat dari besi
yang berukuran 2 meter.
5
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pada UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 85 jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan Pasal 85 menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa,dan/atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantupenangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 45
Ayat (1) menyatakan bahwa barang bukti berupa kerang tersebut akan dilakukan
jual lelang, namun karena berdasarkan pemeriksaan berupa laporan hasil uji Dinas
Kelautan dan Perikanan bahwa kerang tersebut sudah mengalami kemunduran
mutu dan tidak layak untuk di konsumsi, sehingga kerang tersebut akhirnya
dimusnahkan dengan dibuang kelaut.
Putusan tersebut telah sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan Pasal 85 yaitu terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak
pidana dengan sengaja bersama-sama menggunakan alat penangkapan ikan yang
dilarang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 85
yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,
membawa dan atau menggunakan alat penangkap ikan dan atau alat bantu
penangkapan ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
6
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) .
Dilihat dari kasus di atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan
menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang dari sisi
penegakan hukumnya pelaku dijatuhkan hukuman 1 (satu) tahun penjara dan
denda Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Per.02/MEN/2011 bahwa diseluruh perairan WPPNRI (wilayah pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia)
jaring
garuk
kerang
tidak
dikeluarkan
perijinannya, penggunaan alat ini dilarang karena merusak sumber daya ikan,
mengakibatkan kerusakan terhadap perkembangan kerang yang diakibatkan
kerang yang tidak terangkat akan mati sehingga lama kelamaan kerang menjadi
punah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis
tentang penegakan hukum pidana dan faktor penghambat, oleh karena itu penulis
tertarik membuat penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Garuk Kerang
yang Dilarang (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)”
7
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini ada
beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah.
Beberapa masalah tersebut sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang? (Studi
Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
b. Bagaimanakah faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang? (Studi Putusan PN Nomor : 237/Pid.Sus/2013/PN.TK)
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan ini dibatasi pada kajian ilmu hukum pidana,
tentang penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penggunaan alat
penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang (Studi Putusan PN Nomor :
237/Pid.Sus/2013/PN.TK). Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Kepolisian Perairan
Bandar Lampung pada tahun 2014.
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang dilarang.
b. Mengetahui faktor penghambat penegakan hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam pengkajian ilmu hukum
mengenai penegakan hukum pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang
dilarang dan dapat menjadi pengetahuan awal untuk penelitian lebih lanjut.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan
pengetahuan dan bahan tambahan bagi perpustakaan atau bahan informasi
kepada seluruh pihak yang berkompeten mengenai penegakan hukum pidana
menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang.
9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.4
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai
hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan,
demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan keadilan dengan
menerapkan sanksi-sanksi.5
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundangundangan, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu
ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai
pelaksana keputusan-keputusan hakim. Pendapat yang agak sempit tersebut
mempunyai kelemahan-kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau
keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam
pergaulan hidup.6
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hlm. 25
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 226
6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 7
5
10
Penegakan hukum dalam arti luas (meliputi segi preventif dan represif), cocok
dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, oleh karena itu penanggulangannya pun beraneka
ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi.7
Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari
tiga tahap, yaitu:8
1. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan
pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi
masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundangundangn pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap
kebijakan legislasi.
2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak
hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Dalam tahap ini
aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan
pidana
yang
dibuat
oleh
badan
pembentuk
undang-undang.
Dalam
melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai
keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.
7
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 49.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, hlm 45.
8
11
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh
aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh
pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan
oleh pengadilan.
Menurut Joseph Golstein, penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian
yaitu:9
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (Total Enforcement Concept)
yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang
dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes).
Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para
penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara
pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan, selain itu mungkin
terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya
dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delikdelik aduan.
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (Full Enforcement Concept)
yaitu dalam ruang lingkup ini para penegak hukum termasuk Polri tidak bisa
diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai
keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-prasarana, kualitas sumber daya
manusia, perundang-undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan
dilakukannya discretions. Sehingga menurut Joseph Golstein , yang tersisa
adalah Actual Enforcement.
9
Ibid, hlm.55
12
3. Konsep penegakan aktual (Actual Enforcement Concept) muncul setelah
diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, karena kepastian baik yang
terkait
dengan
undangannya
sarana-prasarana,
dan
kurangnya
kualitas
partisipasi
SDM,
kualitas
masyarakat.
perundang-
Tidak
tertutup
kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum termasuk Kepolisian. Sebagai contoh misalnya
penyimpangan terhadap hak-hak tersangka dalam Undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang KUHAP.
Penegakan hukum
dalam tindak pidana perikanan ini harus diperhatikan,
khususnya tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang
yang dilarang, dikarenakan tindak pidana tersebut sangat mudah dilakukan demi
mencapai keuntungan berlebih dengan menggunakan cara-cara yang salah,
sehingga mengakibatkan kerusakan serta kepunahan ekosistem yang ada di laut.
Cukup banyak dari sebagian masyarakat yang menggunakan hal-hal yang
dilarang, ini dikarenakan penggunaan alat-alat yang dilarang sangat mudah serta
memanfaatkan alat-alat yang ada, sehingga lebih memudahkan mereka dan demi
mencapai keuntungan yang berlebih. Kesadaran dari masyarakat sangat penting
akan hal ini, jika kesadaran dari masyarakat itu muncul maka akan berkurangnya
tindak pidana pengunaan alat penangkapan ikan yang dilarang dan akan beralih
menggunakan alat-alat yang di anjurkan oleh pemerintah.
13
Adapun faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap
pelaku tindak pidana penggunaan alat penangkapan ikan jaring garuk kerang yang
dilarang, menggunakan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah sebagai berikut:10
a. Faktor Undang-undang
b. Faktor Penegak hukum
c. Faktor Sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor Masyarakat
e. Faktor Kebudayaan
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang diinginkan dan diteliti.11
Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian,
ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa. Konsep ini akan menjelaskan pengertian
pokok dari judul penelitian, sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam
penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan utuk menghindari kesalah
pahaman dalam melakukan penelitian.
Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan
proposal ini adalah sebagai berikut:
10
11
Sorejono Soekanto,Op. Cit., hlm 5
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 132
14
a. Penegakan Hukum Pidana adalah merupakan ultimum remedium atau upaya
hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan
hukuman penjara atau denda.12
b. Pelaku Tindak Pidana adalah setiap orang yang dengan seorang diri telah
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang telah ditentukan di dalam
rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa adanya ketentuan pidana yang
mengatur masalah deelneming itu, orang-orang tersebut tetap dihukum.13
c. Alat Penangkapan Ikan yang dilarang menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang dilarang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar
yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau, alat penangkapan ikan yang
dilarang.
d. Jaring Garuk adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk mengumpulkan
kerang. Alat tangkap ini dikelompokkan kedalam penggaruk atau dredge gear .
Konstruksi garuk sangat sederhana, karena hanya terdiri atas kerangka besi
berbentuk segitiga yang berfungsi sebagai mulut masuk dan kantong yang
terbuat dari jaring sebagai penampung kerang.14
12
Sukanda Husin, Op. Cit., 2009, hlm.121
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990,
hlm. 599
14
http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/download/6517/5015 (diakses tanggal 10
April 2014,Pukul 07.30 WIB).
13
15
E. Sistematika Penulisan
Agar lebih memperjelas serta mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka
dibuat suatu sistematika penulisan, yaitu sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang tentang penegakan
hukum pidana, permasalahan, perumusan masalah, tujuan, serta sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Yaitu mengenai tinjauan umum tentang penegakan hukum pidana. Bab ini
diuraikan menjadi bebrapa sub bab, yang diantaranya mengenai, tindak pidana
perikanan , tindak pidana menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang,
penegakan hukum , penegakan hukum pidana dan faktor penghambat penegakan
hukum.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunakan dalam
pendekatan masalah, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, dan
analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang hsil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan
penelitian ini dengan mendasarkan pada data primer dan data sekunder.
16
V. PENUTUP
Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari
hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian
permasalahan yang berguna dan dapat menambah wawasan tentang ilmu hukum
khususnya hukum pidana.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Perikanan
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau
kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan
kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi
norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Tindak pidana adalah suatu
kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu
kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. 15 Perikanan
adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan.16 Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan
menjadi suatu keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem
laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang yang
mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi
sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan. Contoh
15
16
Tri Andrisman, Op.Cit, hlm 70
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm. 22
18
tindak pidana perikanan adalah penangkapan ikan dengan alat yang dilarang,
pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal serta masih bnyak lagi kasus yang
lainnya. Di Indonesia, menurut Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 1985 dan
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004, kegiatan yang termasuk dalam
perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.17
Bisnis perikanan tersebut sering terjadi suatu tindak pidana perikanan, tindak
pidana perikanan mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur
tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Ada 2 (dua) kategori mengenai
tindak pidana perikanan yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan.18
Hakim yang akan mengadili pelanggaran dibidang perikanan juga khusus, yaitu
hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier.
Pemeriksaan pengadilan dapat dilakukan secara in absentia. Begitu pula
penahanan diatur secara khusus. Ada 17 buah pasal yang mengatur rumusan delik
perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. Pasal 84 Ayat (1) mengenai
penangkapan dan budi daya ikan tanpa izin dengan ancaman pidana penjara
maksimum 6 tahun dan denda maksimum 1,2 miliar rupiah. Ayat (2) pasal itu
menentukan subjek nakhoda atau pemimpin perikanan Republik Indonesia
melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya,
17
18
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan Indonesia, Sinar Grafika Offset, 2011, hlm.68
http://id.m.wikipedia.org/wiki/perikanan (diakses tanggal 11Maret2014, pukul 12.00 WIB)
19
dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu maksimum 10 tahun penjara dan
denda 1,2 miliar rupiah.
Di dalam Pasal 84 Ayat (1) itu menyebut subjek pemilik kapal perikanan, pemilik
perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau
operator kapal perikanan melakukan hal yang sama pada Ayat (2) dengan
ancaman pidana penjara 10 tahun sama dengan Ayat (2) tetapi dengan denda yang
lebih tinggi, yaitu dua miliar rupiah. Ayat (4) pasal itu menyebut subjek pemilik
perusahaan pembudidayaan ikan , kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan,
dan /atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggug
jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dengan menggunakan bahan kimia dan seterusnya sama dengan Ayat (3) dengan
ancaman pidana sama, yaitu 10 tahun dan denda juga sama Ayat (3).
Pasal 85 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan ikan
Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal
penangkap ikan
yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang.
Ancaman pidananya maksimum dua miliar rupiah.
20
Pasal 86 Ayat (1) mengenai pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya dengan ancaman pidana maksimum 10 tahun penjara dan
denda maksimum dua miliar rupiah. Pasal 86 Ayat (2) mengenai pembudidayaan
ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam
tahun penjara dan denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86
Ayat (3) mengenai pembudidayaan hasil ikan rekayasa gentika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia, dengan ancaman pidana maksimum enam tahun penjara dan
denda maksimum satu miliar lima ratus juta rupiah. Pasal 86 Ayat (4) mengenai
penggunaan
obatan-obatan
dalam
pembudidayaan
ikan
yang
dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau
kesehatan manusia, dengan ancaman pidana yang sama dengan Ayat (3).
Pasal 87 Ayat (1) mengenai perbuatan merusak plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan dengan ancaman pidana maksimum dua tahun penjara
denda maksimum satu miliar rupiah. Pasal 88 mengenai setiap orang yang dengan
sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau
memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan, sumber daya ikan,
dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau keluar
wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
21
Pasal 89 mengenai setiap orang yang melakukan penanganan dan pengelolaan
ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
Pasal 90 mengenai setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik
Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia
sebgaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana paing lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 91 mengenai setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku,
bahan tambahan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan
manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan
ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 92 mengenai setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia
melakukan
usaha
perikanan
di
bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemerasan ikan,
yang tidak memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 Ayat (1) (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
22
(delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 93 Ayat (1) mengenai setiap orang yng memiliki dan /atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, dan
tidak memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 93 Ayat
(2) mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pasal 94 mengenai setiap orang yang memiliki dan/atau mengoprasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memliliki
SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 96
mengenai setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan diwilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan tidak mendaftarkan kapal
perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
23
Pasal 36 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 97 Ayat (1) mengenai nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan
ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan yang selama
berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan
alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Pasal 97 Ayat (2) mengenai nahkoda yang mengoperasikan
kapal penngkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan
dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEE
yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 97 Ayat (3) mengenai nahkoda yang
mengoperasikan kapal penangkapan ikan yang berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di
wilayah pengelolaan perikana Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98 mengenai nahkoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal
perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 99 mengenai
setiap orang yang melakukan penenlitian perikanan di wilayah pengelolaan
24
perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 100 mengenai setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 101
mengenai dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 Ayat
(1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96 dilakukan oleh koorporasi, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah
1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.19
B. Tindak Pidana Menggunakan Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Perikanan alat
penangkapan ikan yang dilarang adalah alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang.
19
Andi Hamzah, Loq. Cit., hlm. 126
Tabel 1: Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Pada Jalur Penangkapan Ikan
ALAT PENANGKAPAN IKAN
NO
Pengelompokan
3.2.1
3.2.2
Pukat hela
pertengahan
berpapan (Otter
trawls)
3.2.1.1
Pukat
ikan
Pukat hela
pertengahan dua
kapal (Pair trawls)
KAPAL
PERIKANAN
S Kode
i
n
g
k
a
t
a
n
Sifat API
S
T
A
T
I
S
P
A
S
I
F
A
K
T
I
F
Ukuran
Selektifit
as dan
kapasita
s API
T s
M d
.
A
5
B
P
G
I
T
>
5
1
0
>
1
0
<
3
G 0
T
G
T
JALUR
PENANG
KAPAN
3 I I I
0 A B I
(
G ( ( 4
T 0 2 - - 1
u 2 4 2
p
m m m
i i i
l l l
) ) )
WPP-NRI
I 5 5 5 7 7 7 7 7 7 7 7
I 7 7 7 1 1 1 1 1 1 1 1
I 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8
(
1
2
m
i
l
u
p
O 03.2.1
T
M
O 03.2.1.1
T
M
P
I
P 03.2.2
T
M
√
√
Mesh
size >2
inch;
Tali ris
atas