HUKUM ADAT SUKU KUTAI

(1)

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM ADAT

HUKUM ADAT SUKU KUTAI

Disusun Oleh Kelompok 1. Nursiah

2. Erhansyah 3. Lia Oktaviani 4. Ledyka Oktaviani 5. Nur Rahma 6. Linda Kasmawati

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KUTAI KARTANEGARA


(2)

DAFTAR ISI COVER MAKALAH

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………... B. RUMUSAN MASALAH ………... C. TUJUAN ………...

1 3 3

BAB II PEMBAHASAN

A. TINJAUAN TEORI HUKUM ADAT ………….. 4 B. IDENTIFIKASI SUKU KUTAI ……..…………. 7 C. HUKUM ADAT KUTAI ……….. 13

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ……….

B. SARAN ……….

18 18


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan YME, karena atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kita semua pada saat ini dalam keadaan sehat hingga kita bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Studi Kasus Hukum Adat Madura : Carok dan Pernikahan di Bawah Umur.

Di dalam makalah ini terdapat tiga bab, bab pertama pendahuluan, kedua pembahasan dan terakhir penutup. Di dalamnya mencoba mengurai sejarah dan adat istiadat Kutai serta kaitannya dengan hukum adat yang masih berlaku dan dipakai masyarakat Kutai hingga saat ini.

Kami meyakini, di dalam penyusunan makalah setebal 18 halaman ini masih banyak kekurangannya sehingga memerlukan banyak kritik dan saran yang sifatnya konstruktif. Kami akan sangat terbuka untuk berdiskusi demi memperkaya khasanah dan keilmuan, khususnya di bidang hukum adat.

Demikian pengantar ini kami sampaikan dengan harapan mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan masukan, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara..

Tenggarong, 13 April 2015


(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Identitas Kutai menjadi cukup terkenal di Indonesia karena dalam buku-buku sejarah, terutama yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa orde baru, nama Kutai diperkenalkan sebagai sebuah nama kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Label tertua tersebut diberikan karena Kutai adalah satu-satunya daerah yang memiliki bukti sejarah faktual, yakni ditemukannya tujuh buah prasasti batu sejak tahun 1879 di Bukit Berubus, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.1

Namun identitas serta budaya Kutai, terutama kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura atau Martadipura, berangsur tenggelam pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945. Terlebih pada tahun 1947, status kesultanan Kutai beralih daerah swapraja Kutai yang masuk ke dalam federasi Kalimantan Timur. Bersama kesultanan Kutai, ada kesultanan Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir yang ikut berfusi membentuk Dewan Kalimantan Timur, diketuai Sultan Aji Muhammad Parikesit, Sultan Kutai ing Martapura ke-20. Pada 21 Januari 1960, identitas kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura resmi dibubarkan dan diserahkan ke pemerintah daerah melalui Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai, yang diselenggarakan di

1 Dalam perkembangannya, identitas kerajaan Kutai adalah yang kerajaan Hindu tertua di

Indonesia menjadi perdebatan, menyusul temuan-temuan hasil analisa arkeologis di daerah lain. Di antaranya di Amuntai, Kalimantan Selatan yang dahulunya pernah di bawah pengaruh Kesultanan Banjar, pada 1996, ditemukan bukti bahwa kekuasaan Hindu telah bercokol di daerah itu sejak abad ke-3 sebelum Masehi. Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.


(5)

Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong. Sejak itu Sultan Aji Muhammad Parikesit dan keluarganya hidup sebagai rakyat biasa.

Dalam perkembangannya, di era reformasi, kesultanan Kutai kembali dihidupkan. Pada tahun 1999, Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara periode 1999-2004 dan 2005-2006, menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura dengan tujuan pelestarian budaya. Setelah mendapatkan persetujuan Abdurahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4 pada pada 7 November 2000, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada 22 September 2001.

Meskipun teretorial kekuasaan kesultanan Kutai semakin menyusut hingga di masa Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sekarang ini2, namun dihidupkannya kembali budaya kesultanan, kembali memperkuat identitas Kutai di mata nasional dan dunia. Pelaksanaan pesta adat Erau di Kabupaten Kutai Kartanegara dibuat makin semarak dan belakangan melibatkan budaya kerajaan-kerajaan dari daerah dan negara lain. Yang juga menjadikan nama Kutai makin tersohor adalah karena kekayaan alam yang amat potensial, baik

renewable maupun unrenewable resources. Eksploitasinya bukan saja

melibatkan investor dari dalam negeri, tetapi juga manca negara. Itu semua membuat Kutai Kartanegara menjadi kabupaten terkaya di Indonesia, dengan

2 Dahulunya mencakup Samarinda, Balikpapan, Penajam, Bontang, Kutai Barat, Kutai

Timur dan Mahakam Ulu. Kesultanan Kutai Ing Martadipura dan Kabupaten Mahakam Ulu, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.


(6)

nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintahan daerahnya jauh di atas rata-rata.

Sekarang ini, istilah Kutai bukan saja dikenal sebagai nama kerajaan atau nama daerah saja, tetapi juga dikenal sebagai salah satu identitas etnis asli di Bumi Borneo, terutama di Provinsi Kalimantan Timur. Di samping suku Dayak yang identitasnya jauh lebih dikenal3, suku Kutai pasti juga memiliki kekayaan adat istiadat, termasuk norma-norma yang berlaku atau yang masih ditaati

urang-urang Kutai hingga sekarang.

B. Rumusan Masalah

Penulisan karya tulis ilmiah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut :

1. Bagaimanakah suku Kutai itu?

2. Bagaimanakah hukum adat suku Kutai itu?

3. Apakah hukum adat suku Kutai masih berlaku hingga saat ini dan jika masih berlaku, bagaimanakah praktiknya?

C. Tujuan

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui dan memahami identitas suku Kutai serta tentang hukum adat yang berlaku bagi masyarakat suku Kutai, terutama yang bermukim di bekas-bekas kekuasaan kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura.

3 Ini karena sejumlah artikel ahli sejarah mendefinisikan etnis Kutai sebagai subsuku

Dayak, suku asli yang mendiami Bumi Borneo. Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.


(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Tinjauan Teori Hukum Adat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat tiga makna kata adat

yang relatif dapat dipakai dalam karya tulis ilmiah ini, yakni: (1) berarti aturan

(perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu

kala; (2) cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan;

kebiasaan; (3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu

sistem4. Untuk makna terminologis hukum adat, ada banyak definisi yang

diberikan para ahli hukum dan atropologi dan banyak perselisihan. Namun, patut dikemukakan bahwa hukum adat memiliki batasan berdasarkan

unsur-unsur yang membentuknya,5 yakni :

1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat; 2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis;

3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral; 4. Adanya keputusan kepala adat atau pimpinan suku; 5. Adanya sanksi atau akibat hukum;

6. Tidak tertulis;

7. Ditaati dalam masyarakat.

4KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi diakses melalui

http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015.

5 Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial


(8)

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hukum adat diakui ketentuan-ketentuan berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya pada Pasal 18B ayat (2) Bab IV :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014), khususnya pada Bab XIII Ketentuan Khusus Desa Adat.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 (Permendagri No. 52/2014) tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

4. Khusus di Kabupaten Kutai Kartanegara, di daerah dimana kekuasan kesultanan Kutai Martapura dan Kutai Kartanegara ing Martapura berpusat, terdapat dua peraturan daerah yang masih berlaku, yakni Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Dalam Wilayah Kabupaten Kutai serta Peraturan Dearah Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Kemasyarakatan dan Lembaga Adat.

Secara eksplisit, pengaturan tentang hukum adat di Indonesia sebenarnya terdapat di dalam UU No. 6/2014 dan Permendagri No. 52/2014. Bahkan dalam Permendagri tersebut, istilah hukum adat ditetapkan dengan makna berikut :


(9)

Seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang

hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada

nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang

senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat,

dan mempunyai akibat hukum atau sanksi. (Pasal 1 poin 3)

Dalam ketentuannya, hukum adat hanya dapat diberlakukan di desa adat yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat, yakni berarti : Warga

negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara

harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan

atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan

lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata

ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah

tertentu secara turun temurun. (Pasal 1 poin 1 Permendagri No. 52/2014).

Sementara dalam penjelasan UU No. 6/2014, yang dimaksud dengan desa adat

adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis

mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar

teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

desa berdasarkan hak asal usul. Berdasarkan peraturan perundang-undangan

tersebut, sekarang ini sebuah komunitas tidak dapat serta merta menjadi masyarakat hukum adat dan sebuah wilayah tidak dapat pula secara instan mendapat status desa adat, melainkan melalui proses birokrasi yang cukup rumit. Ada syarat dan tahapan yang harus dilalui.


(10)

B. Identifikasi Suku Kutai

Eksplorasi Terma Kutai

Asal muasal nama Kutai diperkirakan baru muncul setelah berdirinya kerajaan Kutai pada abad ke-14. Dalam naskah Salasilah Kutai, disebutkan

bahwa Kutai berasal dari cerita Putri Karang Melenu, istri Aji Batara Agung Dewa Sakti, raja Kutai Kartanegara pertama, yang sedang hamil dan ngidam makan hewab buruan dengan sumpit. Aji kemudian pergi berburu dan menemukan seekor tupai yang sedang makan buah petai dan ia disumpit lalu jatuh di tepian mampi. Tanah di tempat Aji itu berdiri menyumpit tupai itulah tanah yang diberinama Kutai, karena tanah itu tinggi sendirinya.6

Sementara Constantinus Alting Mees, peneliti Belanda dalam karya ilmiahnya bertajuk de Kroniek van Koetai (1935), meyakini bahwa nama Kutai

berasal dari kata “koti” yang berarti “ujung”. Keyakinan Mees ini didasarkan atas posisi Kutai yang terletak di ujung timur pulau Kalimantan.7 Orang-orang Belanda sebelumnya, yang telah mempelajari kerajaan Kutai, menyebutnya dengan kata Koetie.8

Muncul juga pendapat yang menyatakan bahwa nama Kutai berasal dari bahasa Cina, yakni kho-thay. Kata kho dapat dimaknai sebagai pulau atau

negeri, sedangkan thay berarti besar. Kho-tay kemudian dilafalkan Kutai,

memiliki arti kerajaan yang besar. Selain itu, istilah Kutai bisa jadi berasal dari

6 Hooykaas, C., Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara), dalam

Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen. (Jakarta, 1952). Hal. 214.

7 Anwar Soetoen, et.al., Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Pemerintah Daerah

Kabupaten Kalimantan Timur. (Tenggarong, 1975). Hal. 21.

8 Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses melalui


(11)

India, karena ada istilah quetairy dalam catatan sejarahnya. Quetairy berarti

hutan belantara.9

Asal-usul penamaan Kutai juga disinggung dalam Nagarakretagama, kitab legendaris yang dibuat pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, yakni pada abad ke-14 oleh Empu Prapañca. Dalam Negarakrtagama, disebutkan salah satu daerah yang berhasil ditaklukkan Gajah Mada adalah Tunyung Kute

atau dapat juga diterjemahkan Tunjung Kute. Mengenai penafsiran ini, T.B.C.

Brandes, sejarawan asal Belanda, menyimpulkan bahwa kata Tunyung atau

Tunjung disebut terpisah dengan kata Kute atau Kutai.10

Dalam artikel lain, disimpulkan bahwa Kutai digunakan untuk mengidentifikasi nama sebuah kerajaan, nama suatu daerah dan nama suku bangsa atau etnis di Kalimantan Timur.11 Sekarang ini, etnis Kutai dikenal dengan karakteristik berikut :

1. Banyak berdiam di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat dan Kota Samarinda.

2. Umumnya bermukim di tepi sungai Mahakam dan anak sungainya. 3. Mayoritas beragama Islam.

4. Umumnya berkarakteristik fisik dan sosiolinguistik ras Melayu.

9Drs. H.M. Asli Amin dan Drs H. Amir Hamzah Idar, Awang Long. Badan Perencanaan

Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur. (Samarinda, 1998), hal 33-34.

10 Soetoen, et.al., Op.Cit., 22.

11 Iswara N. Raditya, Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui


(12)

Sejarah Ringkas Kerajaan Kutai

Dalam banyak tulisan, disebutkan bahwa di daerah aliran sungai Mahakam dahulunya terdapat dua kerajaan besar, yakni kerajaan Kutai atau Kutai Martapura atau Kutai Mulawarman dan kerajaan Kutai Kartanegara atau Kutai Kartanegara ing Martapura. Sebutan Martapura sekarang berubah menjadi Martadipura, sedangkan sebutan Kartanegara, dahulunya adalah Kerta Negara. Peradaban kerajaan Kutai bermula pada abad ke-4 dan berakhir pada abad ke-14. Kerajaan Kutai berpusat di Bukit Berubus, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan kerajaan Kutai Kartanegara dahulunya berpusat di Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara. Di masa kolonialisme Belanda, pusat kerajaan sempat pindah ke Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara dan kemudian beralih ke Tangga Arung yang sekarang disebut Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sumber utama adanya kerajaan Kutai Martapura yang pusat keratonnya ada di Muara Kaman adalah peninggalan situs kerajaan di Bukit Berubus serta empat prasasti batu Yupa yang terdapat ukiran aksara Pallawa berbahasa Sanskerta. Dari terjemah prasasti Yupa, isinya sama sekali tidak menyebutkan nama Kutai, hanya memberitakan tentang kaum Brahma yang memuji-muji

keagungan Raja Mulawarman, anak dari Raja Asmawarman. Sumber lainnya adalah naskah Salasilah Koetai atau Silsilah Raja-Raja Kutai yang ditulis pada

tahun 1858 oleh Moehammad Tahir beraksara Arab dan digubah dengan bahasa aksara Melayu oleh Mohammad Tayib pada tahun 1878.


(13)

Dalam Salasilah Koetai12, disebutkan bahwa kerajaan yang berpusat di

Muara Kaman ini adalah bernama Martapura, tidak ada embel-embel nama Kutai. Disebutkan pula nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan Martapura, dimulai dari Mulawarman, Sriwarman, Marawijayawarman, Gajayanawarman, Tunggawarman, Jayanagawarman, Nalasingawarman, Nala Perana Tungga, Gadonggawarman Dewa, Indera Warmana Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warmana Dewa, Canderawarman, Mula Tungga Dewa, Nala Indera Dewa, Indera Mulia Warmana Dewa, Sri Langka Dewa, Guna Perana Tungga Dewa, Wijayawarman, Indera Mulia, Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pendita, Indra Paruta Dewa dan yang terakhir Maharaja Dharma Setia.

Antara Dayak dan Kutai

Pada artikel berjudul suku Kutai di Ensiklopedia Wikipedia13, dijelaskan

bahwa suku Kutai merupakan suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang sebagian besar beragama Islam yang menjadi bagian rumpun Suku Dayak, terutama subsuku Tunjung dan Benuaq. Semula orang Kutai ini adalah suku Tunjung dan Benuaq yang kemudian berfusi dengan Jawa, Melayu dan Banjar, akhirnya menjadi suku baru, disebut Kutai. Nama Kutai awalnya bukanlah nama suku, tetapi nama daerah atau negeri, karena perkembangan politik dan budaya, nama Kutai menjadi nama etnis. Dari artikel suku Kutai

12 Sesuai isi naskah yang diterbitkan kembali pada tahun 2002. Adham, D., Silsilah Kutai,

Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. (Tenggarong, 2002). Hal. 192-196.

13 Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia Diakses melalui


(14)

tersebut, dapat diketahui bahwa klaim asal muasal suku Kutai dari suku Tunjung dan Benuaq berdasarkan analisa bahasa dan budaya yang ada kemiripan. Sayangnya, tidak ada referensi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan atas klaim bahwa etnis Kutai merupakan subsuku Dayak.

Menurut DR Yeti Maunati,14 Istilah Dayak sebenarnya merupakan konstruksi istilah modern yang diberikan para peneliti Belanda sekitar abad ke-19. Sebutan dayak merujuk kepada orang-orang pribumi di Pulau Kalimantan yang beragama bukan Islam dan non Melayu. Ada sebanyak 450 subsuku Dayak dengan kesamaan budaya, seperti rumah panjang, mandau, sumpit, produksi keranjang rotan, manik-manik dan ritual-ritual adat pada umumnya. Dari penelitian Yeti dapat diketahui bahwa suku Dayak dan suku Kutai sangat berbeda, suku Kutai tidak termasuk dalam subsuku Dayak.

Sub Suku Kutai

Dalam KBBI, sub berarti di bawah, agak, dekat. Sedang kata suku, lebih

tepatnya dalam konteks ini adalah suku bangsa atau etnis. Dalam KBBI, bagian

dari suatu kelompok manusia yang secara fisik sama. Padanan kata suku adalah

puak.

Jika dilihat dari kesamaan karakteristik dan perbedaan bahasa, maka di Kutai juga ada. Pada suku Kutai, dalam artikel Ensiklopedia Wikipedia berjudul

Suku Kutai, golongan yang bertalian atau berdekatan dengan Kutai, dalam hal

ini dari segi bahasa, adalah sebagai berikut :


(15)

 Kutai Muara Kaman, puak jenis ini disebut puak pantun, merupakan sub suku Kutai yang paling tua, mendiami wilayah Muara Kaman, Kutai Kartanegara sampai ke daerah Kutai Timur, mencakup Muara Wahau, Muara Ancalong, Muara Bengkal dan Kombeng.

 Kutai Keraton, oleh para peneliti sosiolinguistik disebut juga puak melani, yang berkembang di Pesisir, merupakan puak termuda di tanah Kutai, merupakan percampuran antara Dayak dengan pendatang yakni Banjar, Jawa, Bugis dan Melayu.

 Kutai Kota Bangun, disebut juga puak Tulur. Puak ini bertalian juga dengan Dayak Tunjung dan Benuaq (Ohong dan Bentian). Wilayahnya meliputi Kenohan, Kembang Janggut, Tabang, Muara Wis, sebagian Muara Muntai, hingga daerah di Kutai Barat. Dikatakan puak Tulur, karena daerah-daerah tersebut dulunya dipimpin oleh Aji Tulur Jejangkat, yang menjadi bagian dari Kesultanan Kartanegara dan Martapura. Puak ini diyakini berasal dari puak ot danum.

 Kutai Muara Pahu atau puak Pahu adalah suku yang mendiami wilayah Sungai Kedang Pahu. Suku ini tersebar di Kecamatan Muara Pahu dan sekitarnya. Puak ini merupakan keturunan Dayak Benuaq yang meninggalkan budaya nenek moyang atau haloq dan sekarang menganut

agama Islam.

 Kutai Kedang atau puak Punang adalah suku yang mendiami wilayah pedalaman. Diperkirakan suku ini adalah hasil percampuran antara puak pantun dan puak sendawar (tunjung-benuaq).


(16)

C. Hukum Adat Kutai

Pada zaman Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura masih berkuasa, terdapat peraturan-peraturan tertulis dan mengikat bagi raknyat yang mendiami wilayah-wilayah di tanah Kutai. Dua peraturan perundang-undangan tersebut adalah Panji Kelaten yang terdiri dari 39 pasal yang mengatur

persoalan kesultanan dan Beraja Niti atau peraturan Maharaja terdiri dari 164

pasal yang mengatur persoalan perdata dan pidana.15

Sekarang Panji Kelaten dan Beraja Niti tentu saja tidak berlaku lagi dan

sebagian isinya hanya berlaku sebagai peraturan adat yang tidak tertulis. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut :

Erau

Erau berasal dari bahasa Kutai, eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan. Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara

Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara. Dalam perkembangannya, upacara Erau selain sebagai upacara penobatan raja, juga untuk pemberian gelar dari raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap kerajaan.


(17)

Hingga sekarang tradisi Erau tetap terpelihara dan semakin berkembang. Di Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan sebagai sebuah tradisi yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota Tenggarong, biasanya bertepatan dengan peringatan hari jadi kota Tenggarong. Yang termasuk di dalam tradisi adatnya adalah beluluh sultan, menjamu benua, merangin, merebahkan ayu, mengulur naga dan belimbur.

Perkawinan Adat Kutai

Perkawinan adat Kutai. Sekarang ini, prosesi perkawinan adat Kutai hanya dilakukan sebagain warga Kutai, terutama keluarga kerajaan Kutai. Selain itu juga masih melekat bagi sebagian warga di daerah Kedang Ipil.16 Proses perkawinan adat ini meliputi tahapan berikut :

Pertunangan, Seperti halnya lazimnya, juga dalam adat-istiadat Kutai, sebelum terjadi perkawinan biasanya didahului oleh kesepakatan antara dua keluarga bersatu dalam ikatan resmi. Proses inilah yang biasanya disebut dengan istilah pertunangan. Dalam pertunangan adat Kutai, tidak ada upacara adat yang khusus, melainkan hanya dilakukan acara penyerahan cincin pertunangan di mana pada cincin tersebut diikat dengan tali atau benang sebagai simbol bahwa si pemakai cincin telah “diikat” oleh seseorang untuk menjadi pasangan resmi.

Ritual Memang. Setelah semua bahan yang diperlukan telah lengkap, maka pada malam hari menjelang Hari-H perkawinan diadakan upacara Memang

16 Sri Warsono, dkk., Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat Suku Kutai


(18)

atau ritual memanjatkan doa yang bertempat di kediaman mempelai laki-laki. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengusir roh-roh jahat agar tidak mengganggu jalannya perkawinan. Peralatan yang dipersiapkan dalam pelaksanaan upacara Memang adalah alat-alat yang digunakan untuk malam hari. Semua peralatan untuk upacara malam hari itu disiapkan agar bermanfaat sesuai dengan fungsi masing-masing. Acara upacara memang dipimpin oleh orang khusus yang disebut sebagai Dukun Memang dan didampingi oleh beberapa orang sebagai pembantu. Acara ini dihadiri oleh tetua dan para tokoh adat, para sesepuh, serta keluarga, kerabat dan tetangga dekat mempelai laki-laki.

Beluluh, atau membaca doa saat pelaksanaan ritual memang. Berikut ini adalah isi dari doa Beluluh tersebut:

Tembon diang gari duki tembon dian Mari panten biar dibara jantan Jalan urang naik bapung ladang

Unggah bapuningsing jaka campur ragi cama Daka silik ragi kuar takut takandung

Disambanan urang berait tamber Berait rawang akan di banak minak Nariang baik tahu jalan urang bakum Cadang, nak bupung ningsing

Ningsing akan campur ragi camak Silir ragi kuak


(19)

Singsing akan kemata alo pajeh Esok lagi buku tunggayan Indah lagi buku samutan

Maningsing akan irap ragi nyimpi

 Perkawinan. Pagi hari pada Hari H atau hari di mana perkawinan itu dilaksanakan, setiap kelompok petugas sudah bersiap-siap untuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Kaum perempuan, yakni para gadis dan ibu-ibu, bertugas untuk menyelesaikan persiapan makanan untuk pesta yang sudah dimulai sejak dua hari sebelumnya. Dukun Memang bersama para pembantunya serta sebagian warga bertugas menyiapkan semua peralatan upacara perkawinan, di antaranya adalah memasang daun madam dan daun muru di pintu rumah sanggrahan sebagai pengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu jalannya upacara perkawinan. Selanjutnya, Dukun Memangi dan para pembantunya memandikan kedua calon mempelai di rumah mereka masing-masing. Kedua mempelai dimandikan dengan Ranam Bunga (air bunga) supaya kedua calon pengantin terlihat elok dan rupawan. Selain itu, kedua calon pengantin juga diwajibkan untuk melakukan ritual puja-puji dengan air Ranam Pemaden agar keduanya bersih dan suci dari pikiran-pikiran kotor atau hal-hal negatif lainnya dan memperoleh keselamatan. Setelah ritual memandikan pengantin selesai, kedua calon mempelai didandani dengan pakaian yang paling indah. Untuk calon pengantin laki-laki, diharuskan mengenakan songkok (kopiah) berwarna hitam. Menjelang pukul 13.00 atau jam 1 siang, pengantin


(20)

perempuan dibawa ke rumah sanggrahan terlebih dulu untuk menunggu kedatangan pengantin laki-laki. Setelah pengantin laki-laki datang dan disandingkan dengan pengantin perempuan, maka keduanya kemudian diarak mengelilingi rumah sanggrahan sebanyak tiga kali putaran sambil menyebarkan uang logam yang akan disambut dan diperebutkan dengan rasa riang gembira oleh anak-anak yang mengikuti arak-arakan pengantin tersebut. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan dan harapan agar kehidupan kedua mempelai nantinya akan mendapatkan kesejahteraan dan mampu memberikan kegembiraan kepada anak-anak mereka nantinya. Setelah acara arak-arakan dan tabur uang selesai dilaksanakan, maka kedua mempelai masuk ke dalam rumah sanggrahan dan duduk di tengah-tengah para hadirin yang sudah ada di dalam rumah. Posisi duduk kedua mempelai menghadap tetua adat dan para saksi.


(21)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal, yakni :

1. Bahwa suku Kutai adalah salah satu suku yang mendiami beberapa daerah di Kalimantan Timur, berpusat di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Suku Kutai berhubungan dengan Dayak, sehingga ada yang menyebut Kutai merupakan ‘perkembangan’ dari Dayak, terutama Tunjung Benuaq. Dikaji berdasarkan sosilolinguistiknya, di dalam suku Kutai terdapat beberapa sub suku, yakni Pantun, Kedang, Tulur , Melani dan Pahu. 2. Dahulunya peraturan yang berlaku di tanah Kutai, terutama dalam masa kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, dituangkan dalam Panji Kelaten dan Braja Niti. Meskipun tidak berlaku lagi seiring meleburnya kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura dalam kesatuan negara Indonesia, namun beberapa tradisi di dalamnya masih dijalankan.

3. Hukum adat yang masih dijalankan dalam suku Kutai adalah pada saat pelaksanaan erau dan perkawinan adat.

B. Rekomendasi

Sumber-sumber utama adat Kutai di Tenggarong sangat minim. Seharusnya, di pusat peradaban Kutai yang dikenal memiliki peradaban tua di masa dahulu, seharusnya memiliki banyak referensi terkait. Selain itu, entitas budaya Kutai saat ini sudah mulai pudar, untuk menarik wisatawan, entitas dan identitas Kutai harus dibangkitkan dan dilestarikan.


(22)

DAFTAR RUJUKAN

---, KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi

diakses melalui http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015.

---, Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses

melalui https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.

---, Bahasa Melayu Kutai Kota Bangun, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Bahasa Melayu Kutai Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui

http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Erau, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui

http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Gajah Mada, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Hukum Adat, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kabupaten Kutai Kartanegara, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kabupaten Mahakam Ulu, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kakawin Nagarakretagama, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa


(23)

---, Kerajaan Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia.

Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Ensiklopedia

Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Majapahit, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Sejarah Kalimantan Timur, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa

Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Suku Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses

melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

Adham, D. 2002. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan

Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Amin, Drs. H.M. Asli, dan Drs H. Amir Hamzah Idar. 1998. Awang Long.

Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.


(24)

Haj, Ahmad Al-. 2002. Sejarah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan

Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Hooykaas, C. 1952. Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara).

Jakarta: Dalam Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen. Manuati, DR Yekti. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS.

Raditya, Iswara N. Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui

http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.

Ragawino, Bewa. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.

Soetoen, Anwar, et.al. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong:

Pemerintah Daerah Kabupaten Kalimantan Timur.

Warsono, Sri, dkk. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat


(1)

Singsing akan kemata alo pajeh Esok lagi buku tunggayan Indah lagi buku samutan

Maningsing akan irap ragi nyimpi

 Perkawinan. Pagi hari pada Hari H atau hari di mana perkawinan itu dilaksanakan, setiap kelompok petugas sudah bersiap-siap untuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Kaum perempuan, yakni para gadis dan ibu-ibu, bertugas untuk menyelesaikan persiapan makanan untuk pesta yang sudah dimulai sejak dua hari sebelumnya. Dukun Memang bersama para pembantunya serta sebagian warga bertugas menyiapkan semua peralatan upacara perkawinan, di antaranya adalah memasang daun madam dan daun muru di pintu rumah sanggrahan sebagai pengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu jalannya upacara perkawinan. Selanjutnya, Dukun Memangi dan para pembantunya memandikan kedua calon mempelai di rumah mereka masing-masing. Kedua mempelai dimandikan dengan Ranam Bunga (air bunga) supaya kedua calon pengantin terlihat elok dan rupawan. Selain itu, kedua calon pengantin juga diwajibkan untuk melakukan ritual puja-puji dengan air Ranam Pemaden agar keduanya bersih dan suci dari pikiran-pikiran kotor atau hal-hal negatif lainnya dan memperoleh keselamatan. Setelah ritual memandikan pengantin selesai, kedua calon mempelai didandani dengan pakaian yang paling indah. Untuk calon pengantin laki-laki, diharuskan mengenakan songkok (kopiah) berwarna hitam. Menjelang pukul 13.00 atau jam 1 siang, pengantin


(2)

perempuan dibawa ke rumah sanggrahan terlebih dulu untuk menunggu kedatangan pengantin laki-laki. Setelah pengantin laki-laki datang dan disandingkan dengan pengantin perempuan, maka keduanya kemudian diarak mengelilingi rumah sanggrahan sebanyak tiga kali putaran sambil menyebarkan uang logam yang akan disambut dan diperebutkan dengan rasa riang gembira oleh anak-anak yang mengikuti arak-arakan pengantin tersebut. Prosesi ini dilakukan dengan tujuan dan harapan agar kehidupan kedua mempelai nantinya akan mendapatkan kesejahteraan dan mampu memberikan kegembiraan kepada anak-anak mereka nantinya. Setelah acara arak-arakan dan tabur uang selesai dilaksanakan, maka kedua mempelai masuk ke dalam rumah sanggrahan dan duduk di tengah-tengah para hadirin yang sudah ada di dalam rumah. Posisi duduk kedua mempelai menghadap tetua adat dan para saksi.


(3)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan beberapa hal, yakni :

1. Bahwa suku Kutai adalah salah satu suku yang mendiami beberapa daerah di Kalimantan Timur, berpusat di Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Suku Kutai berhubungan dengan Dayak, sehingga ada yang menyebut Kutai merupakan ‘perkembangan’ dari Dayak, terutama Tunjung Benuaq. Dikaji berdasarkan sosilolinguistiknya, di dalam suku Kutai terdapat beberapa sub suku, yakni Pantun, Kedang, Tulur , Melani dan Pahu. 2. Dahulunya peraturan yang berlaku di tanah Kutai, terutama dalam masa kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura, dituangkan dalam Panji Kelaten dan Braja Niti. Meskipun tidak berlaku lagi seiring meleburnya kerajaan Kutai Kartanegara ing Martapura dalam kesatuan negara Indonesia, namun beberapa tradisi di dalamnya masih dijalankan.

3. Hukum adat yang masih dijalankan dalam suku Kutai adalah pada saat pelaksanaan erau dan perkawinan adat.

B. Rekomendasi

Sumber-sumber utama adat Kutai di Tenggarong sangat minim. Seharusnya, di pusat peradaban Kutai yang dikenal memiliki peradaban tua di masa dahulu, seharusnya memiliki banyak referensi terkait. Selain itu, entitas budaya Kutai saat ini sudah mulai pudar, untuk menarik wisatawan, entitas dan identitas Kutai harus dibangkitkan dan dilestarikan.


(4)

DAFTAR RUJUKAN

---, KBBI Offline, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Aplikasi diakses melalui http://kbbi.web.id pada 13 Mei 2015.

---, Staatsblad van Nederlandsch Indie [van de jaren 1816-1845]. Diakses melalui https://books.google.co.id pada 13 Mei 2015.

---, Bahasa Melayu Kutai Kota Bangun, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Bahasa Melayu Kutai Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Erau, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Gajah Mada, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Hukum Adat, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kabupaten Kutai Kartanegara, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kabupaten Mahakam Ulu, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kakawin Nagarakretagama, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.


(5)

---, Kerajaan Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kesultanan Banjar, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Majapahit, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Sejarah Kalimantan Timur, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Suku Dayak, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Suku Kutai, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

---, Tenggarong, Ensiklopedia Wikipedia berbahasa Indonesia. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 13 Mei 2015.

Adham, D. 2002. Silsilah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Amin, Drs. H.M. Asli, dan Drs H. Amir Hamzah Idar. 1998. Awang Long. Samarinda: Badan Perencanaan Pembangunan Dearah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.


(6)

Haj, Ahmad Al-. 2002. Sejarah Kutai. Tenggarong: Bagian Kehumasan dan Keprotokoleran Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Hooykaas, C. 1952. Silsilah Raja-Raja Kutai (Dalam Negeri) Kutai (Kertanegara). Jakarta: Dalam Penyedar Sastra, J.B. Wolters-Groningen.

Manuati, DR Yekti. 2006. Identitas Dayak. Yogyakarta: LKIS.

Raditya, Iswara N. Kerajaan Kutai Martapura. Diakses melalui http://m.melayuonline.com pada 13 Mei 2015.

Ragawino, Bewa. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran. Diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id pada 13 Mei 2015.

Soetoen, Anwar, et.al. 1975. Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kalimantan Timur.

Warsono, Sri, dkk. 1998. Perubahan Nilai Upacara Tradisional pada Masyarakat Suku Kutai di Desa Kedang Ipil. Samarinda: Depdikbud Kaltim.