Psychological Well-Being pada Gay yang Partial Disclosure

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA GAY YANG PARTIAL DISCLOSURE
SKRIPSI
Digunakan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
VIVIAN FELICIA 101301043
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Genap, 2013/2014
i
Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:
Psychological Well-Being Pada Gay Yang Partial Disclosure adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 28 April 2014
Vivian Felicia NIM 101301043
ii
Universitas Sumatera Utara

Psychological Well-Being Pada Gay Yang Partial Disclosure
Vivian Felicia dan Juliana Irmayanti Saragih
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi membuat seseorang bisa menjalani hidupnya secara positif meskipun menghadapi berbagai tantangan (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Individu gay yang memiliki posisi minoritas di masyarakat masih sering mendapatkan stigma dan diskriminasi. Seringkali, mereka memilih untuk tidak mengungkapkan jati diri mereka yang sebenarnya untuk menghindari diskriminasi dan anggapan negatif dari orang lain. Hal ini kemudian mengarahkan mereka pada partial disclosure atau mengungkapkan diri sebagai gay pada sebagian orang saja. Memegang identitas sebagai gay dan partial disclosure merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh mereka karena memunculkan kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Oleh karena itu, psychological well-being penting dimiliki oleh individu gay yang partial disclosure untuk bisa menjalani tantangan hidupnya secara positif.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang dilakukan pada dua orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menunjukkan psychological well-being yang tinggi, dimana tergambarkan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi cukup baik. Diawal proses perkembangan psychological well-being, penggunaan mekanisme pertahanan diri membantu kedua responden untuk bisa menerima dirinya. Selain itu, memiliki kelompok pertemanan gay juga memberikan dukungan sosial sehingga berkontribusi dalam penerimaan diri, pertumbuhan pribadi serta hubungan positif yang terjalin dengan orang lain.
Kata kunci: Psychological Well-Being, Gay, Partial Disclosure
iii
Universitas Sumatera Utara

Psychological Well-Being on Partial Disclosure Gay Vivian Felicia and Juliana Irmayanti Saragih
Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
Psychological well-being focuses on human development and its existence in living a life challenge. A high psychological well-being could make people living their life positively although facing many challenges (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Gays, which are a minority in society, are often subject to stigma and discrimination. Frequently, they choose not to reveal their true identities to avoid discrimination and negative assumption from others. This then directs them to the partial disclosure or reveals themselves as gay to some people only. Holding the identities as gay and partial disclosure is a new challenge which must be faced because it raises anxiety and uncertainty (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Thus, psychological well-being is important to be possessed by partial disclosure gays for living their life challenge positively.
This research aims for discovering the pattern of psychological well-being on partial disclosure gay. The research uses qualitative method by interviewing deeply two respondents with determined characteristics. The result shows these two respondents possess a high psychological well-being, shown by selfacceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth dimensions. Started from the development of psychological well-being process, the uses of defense mechanism helps these two respondents to accept their identity. Apart from that, having the same gays friendship also gives social support that contributed in self-acceptance, personal growth and positive relations with others.
Keywords: Psychological Well-Being, Gay, Partial Disclosure
iv
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Psychological Well-Being Pada Gay Yang Partial Disclosure”. Adapun salah satu tujuan pembuatan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi USU, Ibu Prof. Dr. Dra. Irmawati, M.Psi, psikolog.
2. Kak Juliana I. Saragih, M.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing atas bimbingannya selama proses penulisan skripsi ini. Penulis meminta maaf apabila selama ini sering menularkan kecemasan kepada kakak.

3. Kedua responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam proses wawancara yang diperlukan untuk penyelesaian skripsi ini.
4. Pihak LSM Sempurna Community dan CMR PKBI-SU yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data-data untuk menyempurnakan penelitian ini.
5. Kedua orang tua, kakak, dan saudara sepupu penulis yang telah memberikan dukungan dan masukan selama pengerjaan skripsi ini.
6. Kepada teman-teman seperjuangan penulis mulai dari pengerjaan proposal hingga penelitian, Yohanti, Decil, Irene, Vera, serta seluruh teman-teman
v
Universitas Sumatera Utara

mahasiswa/i angkatan 2010 di Fakultas Psikologi USU, atas kebersamaannya selama masa perkuliahan. 7. TEAM (Yesisca, Jessalyn, Shelly, Linda, Novia, Steven, Weillun, Dwy, Nico, Addryanus) dan teman-teman UKM KMB USU atas pengalaman berorganisasi khususnya di tahun 2013 dan membuat penulis banyak belajar selama menjadi mahasiswa. 8. Teman-teman terbaik peneliti, Vera Mai, Meryana, Winnie, Rosida, dan Melyana, yang telah bersama-sama berjuang menyelesaikan skripsi meskipun berbeda universitas dan fakultas.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, masukan dan saran yang membangun dari semua pihak sangat berarti untuk menyempurnakan skripsi ini. Seluruh skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
Medan, 28 April 2014
Peneliti
vi
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR .................................................................................. v


DAFTAR ISI ................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi

BAB I

PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang ………………....................................... 1

B. Perumusan Masalah ...................................................... 13

C. Tujuan Penelitian .......................................................... 13

D. Manfaat Penelitian ........................................................ 13

1. Manfaat Teoritis .................................................... 13


2. Manfaat Praktis ..................................................... 13

E. Sistematika Penulisan ................................................... 14

BAB II

LANDASAN TEORI ......................................................... 15

A. Psychological Well Being .............................................. 15

1. Definisi Psychological Well-Being......................... 15

2. Dimensi Psychological Well-Being......................... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-

Being ....................................................................... 21

B. Gay ................................................................................... 23


1. Pengertian Gay .......................................................... 23

2. Coming Out pada Gay ….......................................... 24

vii

Universitas Sumatera Utara

BAB III BAB IV

3. Partial Disclosure pada Gay …................................ 26 C. Psychological Well-Being pada Gay yang Partial
Disclosure….................................................................. 29 D. Paradigma Penelitian……………………………………. 31 METODE PENELITIAN ...................................................... 32 A. Pendekatan Kualitatif ....................................................... 32 B. Responden Penelitian ...................................................... 33
1. Karakteristik Responden ............................................ 33 2. Jumlah Responden ...................................................... 33 3. Prosedur Pengambilan Responden ............................. 34 4. Lokasi Penelitian ........................................................ 35 C. Metode Pengambilan Data .............................................. 36 D. Alat Bantu Pengumpulan Data ........................................ 36 E. Kredibilitas Penelitian ..................................................... 37 F. Prosedur Penelitian ........................................................... 39 1. Tahap Persiapan Penelitian ......................................... 39 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ..................................... 40 3. Tahap Pencatatan Data …………………………….. 42 4. Prosedur Analisa Data …………………………....... 43 ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ........................... 46 A. Analisa Data ..................................................................... 46 1. Responden 1 ............................................................... 46
a. Deskripsi Umum .................................................... 46

viii
Universitas Sumatera Utara

b. Data Observasi ....................................................... 47


c. Data Wawancara ..................................................... 51

2. Responden 2 ............................................................... 90

a. Deskripsi Umum .................................................... 90

b. Data Observasi ....................................................... 91

c. Data Wawancara ..................................................... 95

B. Pembahasan ........................................................................ 151

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 163

A. Kesimpulan ..................................................................... 163

B. Saran ................................................................................. 165


DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 166

Lampiran .......................................................................................................... 169

ix
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL
Hal Tabel 4.1 ......................................................................................................... 46 Tabel 4.2 ......................................................................................................... 47 Tabel 4.3 ......................................................................................................... 90 Tabel 4.4 ......................................................................................................... 90 Tabel 4.5 ......................................................................................................... 146
x
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1 Paradigma Penelitian .................................................................... 31
xi
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN Hal
Lampiran 1 Pedoman Wawancara ................................................................ 169 Lampiran 1 Inform Consent ......................................................................... 171
xii

Universitas Sumatera Utara

Psychological Well-Being Pada Gay Yang Partial Disclosure
Vivian Felicia dan Juliana Irmayanti Saragih
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi membuat seseorang bisa menjalani hidupnya secara positif meskipun menghadapi berbagai tantangan (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Individu gay yang memiliki posisi minoritas di masyarakat masih sering mendapatkan stigma dan diskriminasi. Seringkali, mereka memilih untuk tidak mengungkapkan jati diri mereka yang sebenarnya untuk menghindari diskriminasi dan anggapan negatif dari orang lain. Hal ini kemudian mengarahkan mereka pada partial disclosure atau mengungkapkan diri sebagai gay pada sebagian orang saja. Memegang identitas sebagai gay dan partial disclosure merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh mereka karena memunculkan kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Oleh karena itu, psychological well-being penting dimiliki oleh individu gay yang partial disclosure untuk bisa menjalani tantangan hidupnya secara positif.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam yang dilakukan pada dua orang responden dengan karakteristik yang telah ditentukan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menunjukkan psychological well-being yang tinggi, dimana tergambarkan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi cukup baik. Diawal proses perkembangan psychological well-being, penggunaan mekanisme pertahanan diri membantu kedua responden untuk bisa menerima dirinya. Selain itu, memiliki kelompok pertemanan gay juga memberikan dukungan sosial sehingga berkontribusi dalam penerimaan diri, pertumbuhan pribadi serta hubungan positif yang terjalin dengan orang lain.
Kata kunci: Psychological Well-Being, Gay, Partial Disclosure
iii
Universitas Sumatera Utara

Psychological Well-Being on Partial Disclosure Gay Vivian Felicia and Juliana Irmayanti Saragih
Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
Psychological well-being focuses on human development and its existence in living a life challenge. A high psychological well-being could make people living their life positively although facing many challenges (Keyes, Ryff & Shmotkin, 2002). Gays, which are a minority in society, are often subject to stigma and discrimination. Frequently, they choose not to reveal their true identities to avoid discrimination and negative assumption from others. This then directs them to the partial disclosure or reveals themselves as gay to some people only. Holding the identities as gay and partial disclosure is a new challenge which must be faced because it raises anxiety and uncertainty (Carroll, 2005; Strong et al., 2005). Thus, psychological well-being is important to be possessed by partial disclosure gays for living their life challenge positively.
This research aims for discovering the pattern of psychological well-being on partial disclosure gay. The research uses qualitative method by interviewing deeply two respondents with determined characteristics. The result shows these two respondents possess a high psychological well-being, shown by selfacceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth dimensions. Started from the development of psychological well-being process, the uses of defense mechanism helps these two respondents to accept their identity. Apart from that, having the same gays friendship also gives social support that contributed in self-acceptance, personal growth and positive relations with others.
Keywords: Psychological Well-Being, Gay, Partial Disclosure
iv
Universitas Sumatera Utara


1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne dan Nyla, 2006). Ketika seseorang merupakan bagian dari kelompok yang dominan dalam masyarakat, biasanya tindakan mereka akan dianggap normal dan apa adanya sehingga lebih dihargai. Sebaliknya, pada orang-orang dari kelompok minoritas, mereka akan dinilai secara negatif dan segala tindakan mereka akan cenderung dianggap tidak baik. Orangorang kelompok minoritas biasanya akan dianggap aneh dan berbeda dari orang-orang dari kelompok mayoritas, sehingga sering mendapatkan stereotipe negatif, prejudice, hingga diskriminasi. Hal ini sering menyebabkan munculnya perasaan negatif pada mereka, seperti timbulnya kecemasan, kesepian, hingga kemarahan (Whitley Jr. & Kite, 2010; Veenhoven, 1997). Sejalan dengan hal ini, penelitian Ed. Diener dan rekanrekannya menunjukkan bahwa orang-orang dalam kelompok minoritas akan lebih kurang mengalami kebahagiaan dibandingkan dengan kelompok yang bukan minoritas (Carr, 2004). Salah satu kelompok minoritas yang sering mendapatkan stereotipe negatif adalah homoseksual. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kelompok minoritas seperti lesbian, gay dan biseksual sering mendapatkan stigma, prejudice, dan diskriminasi sehingga menciptakan lingkungan sosial
Universitas Sumatera Utara

2
yang stressful bagi mereka. Hal ini kemudian akan mengarahkan munculnya masalah-masalah kesehatan mental pada orang-orang kelompok minoritas yang mendapatkan stigma (Friedman, 1999). Evaluasi yang negatif dari orang lain terhadap kelompok mereka, seperti stereotipe dan prejudice terhadap kelompok minoritas dimasyarakat, dapat mengarahkan pada munculnya masalah-masalah psikologis (Meyer, 2003).
Masyarakat masih sulit untuk menerima adanya kelompok homoseksual. Adanya stereotipe negatif yang dirasakan oleh suatu kelompok akan mempengaruhi pemikiran mereka. Ketika dihadapkan dengan ancamanancaman yang didasarkan pada stereotipe negatif masyarakat, suatu kelompok dapat menjadi lebih lemah dan melakukan proteksi diri yang berlebih terhadap dunia luar (Lopez dan kawan-kawan dalam Snyder, 2000). Hal ini juga didukung dengan observasi penulis pada salah komunitas gay di Kota Medan. Komunitas gay cenderung tertutup dan malu ketika ada orang dari luar komunitas yang ikut bergabung dalam kegiatan mereka. Hal ini juga diungkapkan oleh salah seorang aktivis di komunitas tersebut:
“yah.. maklum lah dek.. kalo lsl (lelaki suka lelaki) ini memang agak beda kali ya sama yang lain.. memang mereka agak tertutup gitu lah.. ga suka kalau ada orang luar yang bukan dari kelompok mereka.. biasanya kalau ada orang luar mereka jadi lebih diam..”
(komunikasi personal, 30 Mei 2013)
Homoseksual merupakan sebutan untuk orang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Ketertarikan seksual baik secara emosional, fisik, seksual dan romantik terhadap orang lain disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara

3
orientasi seksual. Ada 3 jenis orientasi seksual, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Ketertarikan terhadap lawan jenis yang sering disebut sebagai orientasi heteroseksual, merupakan orientasi seksual yang sering ditemui pada umumnya. Sebaliknya, ketertarikan terhadap sesama sesama jenis yaitu orientasi homoseksual lebih sedikit ditemukan dibandingkan dengan orientasi heteroseksual. Istilah gay ditujukan untuk homoseksual laki-laki dan istilah lesbian ditujukan untuk homoseksual perempuan (Carroll, 2005). Penelitian ini akan berfokus pada homoseksual laki-laki yang dikenal dengan istilah gay.
Orientasi seksual yang paling umum dan dianggap normal, yaitu orientasi heteroseksual merupakan orientasi yang paling banyak mendapatkan penerimaan sosial dan diakui secara legal. Sebaliknya, homoseksual tidak mendapatkan penerimaan yang sama. Homoseksual atau ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, masih merupakan hal yang kontroversial untuk dibicarakan hingga berpuluh-puluh tahun yang lalu. Penelitian mengenai homoseksual kebanyakan berfokus pada pembahasan mengenai sakit mental sebelum tahun 1980an (Carroll, 2005).
Dalam dunia psikologi sendiri, homoseksualitas hingga tahun 1973 masih termasuk sebagai kategori penyimpangan seksual dan tercantum hingga DSM-III. Namun pada edisi DSM-IVTR, homoseksualitas sudah tidak dikategorikan sebagai jenis penyimpangan seksual. Kelompok homoseksual juga beragumen bahwa ketertarikan seksual mereka merupakan hal yang terjadi secara alamiah dan mereka tidak merasa perlu untuk mengubah
Universitas Sumatera Utara

4

orientasi seksual mereka. Selain itu, banyaknya kontroversi dari kelompok professional mengenai pola emosi, perilaku, dan penyebab dari homoseksual membuat American Psychiatric Association (APA) mengeluarkannya dari kategori gangguan psikologis (Davison, Neale dan King, 2004; NolenHoeksema, 2007).
Dengan dikeluarkannya kategori homoseksualitas dari DSM, tetap tidak menghentikan pertentangan dan anggapan-anggapan negatif mengenai homoseksualitas. Meskipun penerimaan homoseksual semakin terbuka, namun homoseksual masih mendapat citra negatif. Dalam analisis Framing citra homoseksual di beberapa media massa online di Indonesia menunjukkan bahwa ada salah satu media massa online cenderung memberitakan homoseksual secara negatif. Framing adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengetahui sudut pandang apa yang digunakan seseorang dalam menulis suatu berita. Sudut pandang tersebut akan menentukan fakta apa yang diambil dan bagian apa yang ditonjolkan dalam berita. Homoseksual diberitakan cenderung melakukan tindakan yang merugikan orang lain dan sebaiknya dijauhi karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Pemberitaan yang negatif ini dapat mengarahkan pada diskriminasi dan semakin negatifnya citra homoseksual di masyarakat (Zuhra, 2013).
Dari awal perkembangan kehidupannya, seseorang akan mengembangkan identitas heteroseksual. Hal ini dikarenakan perkembangan orientasi heteroseksual merupakan hal yang telah biasa diterima dalam masyarakat (Wilkinson & Kitzinger dalam Strong, Yalber, DeVault dan
Universitas Sumatera Utara

5
Sayad, 2005). Orang dengan orientasi homoseksual pada awalnya akan menganggap diri mereka sebagai heteroseksual sampai mereka menemukan ada yang berbeda dalam diri mereka (Savin-Williams & Cohen, 1996). Seperti halnya yang diungkapkan oleh Benny (bukan nama sebenarnya):
“Awal-awal si pas smp ya.. cuma lihat-lihat teman cowok.. trus kok kayaknya ada rasa yang bergetar-getar gitu ya.. kayaknya mulai muncul rasa-rasa itu.... mulai ada simpati gitu sama dia... suka gitu lihat dia.. trus akhirnya menyadari.. ih.. kok aku bisa suka sama dia ya.. kok beda aku sama yang lain..”
(komunikasi personal, 7 Mei 2013) Berbeda dengan kelompok heteroseksual yang bisa dengan mudah menunjukkan orientasi seksual mereka, hal yang sama tidak terjadi pada kelompok homoseksual (Whitley Jr. & Kite, 2010). Pada saat menyadari orientasi seksual mereka, ada yang bisa mengungkapkan diri mereka kepada orang lain, sedangkan ada juga yang merasa sulit untuk membicarakan orientasi seksual mereka yang sebenarnya pada orang tua ataupun orang terdekat mereka. Proses menyadari dan menerima identitas dirinya sebagai homoseksual dan memberitahukan kepada orang lain disebut sebagai coming out. Coming out merupakan proses yang sulit dihadapi kelompok gay (Carroll, 2005). Ditinjau dari pendapat Strong dkk. (2005), pilihan untuk coming out dan tidak masing-masing memiliki konsekuensi dan manfaat tertentu bagi mereka. Kebanyakan orang telah menginternalisasi bahwa perilaku seksual terhadap sesama jenis tidak pantas dilakukan (Carroll, 2005). Hal ini juga yang menghambat proses coming out seorang gay. Ketika mereka menyadari orientasi mereka adalah homoseksual, umumnya mereka akan merasa depresi,
Universitas Sumatera Utara

6
malu, bahkan hingga berniat untuk mengakhiri hidupnya. Pada awalnya, orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai homoseksual dilaporkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri daripada mereka yang heteroseksual (Strong dkk., 2005). Hal ini juga diungkapkan oleh seorang homoseksual dalam sebuah forum online komunitas gay:
“Yah, awalnya pernah gak nyaman, bete, mencari pembenaran, terasing, bingung, kesal, gak bisa menerima diri sendiri.. terakhir, usaha bunuh diri...” Selain itu, banyak gay yang memilih tidak mengungkapkan ketertarikan seksual mereka yang sebenarnya dikarenakan ketakutan mereka akan penolakan dari orang-orang terdekat. Herek menyatakan bahwa menunjukkan identitas mereka sebagai gay dapat membuat orang lain berasumsi perilaku dan gaya hidup mereka yang cenderung dianggap negatif (dalam Whitley Jr. & Kite, 2010). Dalam penelitian Herek (1997) mengenai sikap terhadap pria gay dan lesbian menunjukkan bahwa kebanyakan heteroseksual mengekspresikan sikap negatif terhadap pria gay. Pandangan agama yang menolak homoseksual juga menghambat kelompok gay mengungkapkan orientasi seksualnya. Salah satunya, hukum Islam menolak homoseksual dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Homoseksual dianggap memberikan dampak yang negatif, seperti mengakibatkan kelainan jiwa dan tidak dapat meneruskan fungsi reproduksi. Homoseksual dilarang keras dan dianggap melanggar nilai-nilai agama, terutama pada gay. Laki-laki mendapat tekanan yang lebih keras dikarenakan mereka seharusnya menikah dan meneruskan keturunan (Rangkuti, 2012).
Universitas Sumatera Utara

7
Khususnya dalam budaya kolektivis seperti di Indonesia, menikah dan memiliki anak merupakan hal yang lebih penting daripada keinginan individual dalam berperilaku seksual (Okun, Fried dan Okun, 1999). Bagaimanapun, manusia memiliki fungsi untuk bereproduksi dan menghasilkan keturunan, sedangkan perilaku homoseksual pada kaum gay tidak akan bisa menjalankan fungsi reproduksi dan menghasilkan keturunan (Strong dkk., 2005).
Coming out pada orang lain sering merupakan proses yang cukup berbahaya bagi mereka, seperti mendapat penolakan dari orang lain, dinilai secara negatif, hingga mendapatkan diskriminasi dan dipersulit dalam dunia kerja. Hal ini sering menjadi alasan yang masuk akal bagi mereka untuk tidak coming out (Drescher, 2007; Taylor & Raeburn, 1995). Akan tetapi, menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya juga merupakan pengalaman yang menyakitkan. Beberapa merasa tidak bisa mengungkapkan yang sebenarnya dan membuat mereka menjadi depresi.
“tentu aja aku merasa khawatir, sakit, kelainan, dan apalah.. salahsalah kalau coming out bisa-bisa aku bakalan dipermaluin jadinya..”

(komunikasi personal, 17 Juni 2013) Pada gay yang belum berani untuk coming out kepada orang lain akan cenderung merasa bersalah, cemas dan malu akan ketertarikan mereka terhadap laki-laki. Mereka cenderung mengalami masalah-masalah psikologis seperti rendahnya harga diri, depresi, dan menarik diri dari lingkungan (Savin-Williams & Cohens, 1996). Menyembunyikan dirinya yang sebenarnya akan membuatnya memiliki harga diri yang rendah sehingga
Universitas Sumatera Utara

8
berdampak pada kesulitan mengenali kemampuan dan kekuatannya sendiri (Drescher, 2007). Gay yang memilih untuk tidak terbuka akan merasa ketakutan jika identitasnya tanpa sengaja diketahui orang lain. Mereka juga akan kesulitan untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain dikarenakan ketakutan mereka akan identitasnya sebagai gay akan ketahuan (Corrigan & Matthews, 2003). Sulit membangun hubungan dengan orang lain, harga diri rendah, menarik diri dari lingkungan merupakan indikator dari psychological well-being yang rendah (Ryff, 1989).
Disisi lain, sebagian gay memilih untuk coming out dan mengungkapkan orientasi seksual mereka yang sebenarnya kepada orang lain. Pada awalnya, pengungkapkan jati diri gay pada orang lain akan membuat mereka mengalami masalah-masalah psikologis seperti kecemasan dan ketakutan akan diskriminasi. Meskipun demikian, coming out memberikan sejumlah keuntungan. Bagi yang telah bertahun-tahun menutupi orientasi seksual mereka, coming out dapat memberikan perubahan emosional. Coming out pada orang lain dapat digunakan untuk mengurangi rasa takut dan cemas serta membangun keseimbangan dalam hidup mereka (Savin-Williams & Cohens, 1996). Seiring dengan pengungkapan jati diri, individu gay akan mulai tidak menghiraukan stigma-sitgma dan kritikan-kritikan yang ditujukan pada mereka (Strong dkk., 2005). Coming out memungkinkan mereka untuk mengembangkan konsep diri dan identitas, serta hubungan dengan orang lain. Pada gay yang memiliki pengalaman coming out yang positif biasanya akan membangun konsep diri yang lebih tinggi, rendahnya tingkat depresi, serta
Universitas Sumatera Utara

9
penyesuaian psikologis yang lebih baik (Carroll, 2005). Semua hal tersebut akan bermuara pada meningkatnya psychological well-being (Savin-Williams & Cohens, 1996).
Penelitian Legate, Ryan, dan Weinstein (2012) menyarankan bahwa coming out mungkin merupakan proses dimana individu gay berusaha untuk mengatasi stigma dengan mengungkapkan jati diri atau menutupinya. Penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang telah coming out dan didukung oleh lingkungan yang suportif mengalami tingkat depresi yang lebih rendah, self-esteem (harga diri) yang lebih tinggi, serta tingkat kemarahan yang lebih rendah. Berbagai hal tersebut merupakan indikator dari psychological well-being yang tinggi. Sebaliknya, pada lingkungan yang kurang mendukung, tidak coming out akan berhubungan positif dengan psychological well-being.
Psychological well-being melibatkan perkembangan yang dirasakan dalam menjalani tantangan yang muncul dalam hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Setiap orang selalu menginginkan kehidupan yang baik dan kesejahteraan (well-being). Setiap orang terlahir dengan kebutuhan mendasar yang mengarahkan diri pada pertumbuhan, perkembangan, dan aktualisasi diri (Schultz & Schultz, 1994). Pengungkapan jati diri sebagai gay memainkan peranan penting dalam perkembangan identitas dan penyesuaian psikologis mereka (Carroll, 2005; Savin-Williams & Cohens, 1996).
Pada gay yang memilih tertutup akan identitasnya akan mengalami masalah-masalah psikologis sehingga menghambat mereka untuk berfungsi
Universitas Sumatera Utara

10
secara positif dan mengembangkan potensi dalam dirinya. Pada gay yang mulai berani terbuka akan identitasnya, secara perlahan mereka akan mengembangkan identitas diri yang positif. Dengan mulai membuka identitas gay kepada orang lain merupakan strategi untuk meningkatkan kesejahteraan diri seorang gay. Mereka mulai merasa positif akan identitas seksualnya dan mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui coming out. Dengan mulai coming out, seorang gay akan merasa dirinya authentic serta mampu berfungsi psikologis yang positif (Herek,1996).
Coming out pada orang lain bisa terjadi pada tingkatan yang berbedabeda. Coming out tidak terjadi dalam waktu yang singkat, dimana seorang gay akan mengungkapkan informasi yang berbeda-beda mengenai identitasnya pada orang yang berbeda-beda pula (Beals dan Peplau, 2006; Carroll, 2005). Partial disclosure atau mengungkapkan identitas dirinya hanya kepada sebagian orang saja sering menjadi pilihan bagi gay. Mereka akan membagi dunia mereka dalam dua kelompok pertemanan, yaitu kelompok yang mengetahui mereka gay dan kelompok yang tidak mengetahui mereka gay (Savin-Williams & Cohen, 1996).
D’Augelli (2006) melaporkan bahwa hanya sekitar 23% kelompok Lesbian, Gay dan Biseksual (LGB) yang benar-benar melakukan coming out kepada pada semua orang, sedangkan sisanya memilih untuk partial disclosure. Menurut Legate dkk. (2012), seseorang akan merasakan wellbeing yang lebih baik ketika mereka mengungkapkan identitas mereka pada lingkungan yang bisa mendukung mereka. Akan tetapi, pada lingkungan yang
Universitas Sumatera Utara

11
tidak bisa mendukung, kurangnya disclosure atau pengungkapan identitas mereka pada orang lain berhubungan secara positif dengan well-being. Maka, hal yang sering terjadi adalah kelompok gay akan memilih untuk mengungkapkan diri mereka atau disclosure pada orang yang tertentu saja. Mereka akan memilih untuk mengungkapkan identitas mereka pada orangorang atau lingkungan yang menurut mereka bisa menerima identitas mereka sebagai gay.
“...Karena kan orang ada dapat perlakuan kurang enak dari masyarakat atau apa karena mereka kurang bisa menempatkan diri gitu.. Maunya bebas-bebas orang itu aja... Mereka lupa kan masyarakat kita belum tentu semua bisa nerima.. itulah.. kalau kita bisa bijak bagus menempatkan diri.. orang pun gak akan...”
(Komunikasi Personal, 21 Januari 2014) Pada gay yang partial disclosure, mereka telah memiliki sebagian teman-teman yang mendukung mereka. Mereka juga telah mampu berfungsi psikologis yang positif sebagaimana mereka mulai membuka identitas sebagai gay kepada orang lain meskipun tidak pada semua orang. Namun, gay dengan partial disclosure masih tidak bisa mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya dihadapan kelompok yang belum mengetahui identitas mereka. Mereka harus berperan berbeda dalam kehidupan ganda. Hal ini akan berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain, menciptakan beberapa masalah praktis, dan fungsi psikologis (Herek, 1996; Corrigan & Matthews, 2003). Usaha menutup identitas diri sebagai gay kepada sebagian orang membuat gay yang partial disclosure masih sulit menjalin hubungan yang positif dengan semua orang. Identitas mereka sebagai gay juga dapat
Universitas Sumatera Utara

12
diketahui oleh orang lain dari pihak ketiga, bukan dari mereka secara langsung. Mereka masih mengalami ketakutan identitasnya diketahui oleh semua orang. Adanya beberapa kesulitan yang masih dialami oleh gay yang partial disclosure juga dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka yang berdampak pada kesejahteraan dan fungsi psikologis mereka sebagai manusia (Corrigan & Matthews, 2003; Ryff, 1989).
Berdasarkan pemaparan penulis diatas, kelompok gay sering mendapatkan penilaian dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari masyarakat sehingga memunculkan emosi negatif seperti depresi, kecemasan, dan ketakutan. Hal ini membuat mereka tidak berani untuk melakukan coming out. Gay yang tidak berani coming out akan mengalami masalahmasalah psikologis yang mengarahkan pada psychological well-being yang rendah. Sebaliknya, gay yang memilih untuk coming out dan didukung oleh lingkungannya, masalah-masalah psikologis tersebut cenderung berkurang yang mengarahkan pada indikator psychological well-being yang lebih tinggi. Akan tetapi, seringkali gay memilih untuk melakukan partial disclosure atau coming out hanya pada sebagian orang saja. Dengan partial disclosure, mereka memperoleh sebagian keuntungan yang telah dimiliki oleh gay yang coming out dan juga masih mengalami beberapa masalah yang dimiliki oleh gay yang belum coming out. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang memilih partial disclosure.
Universitas Sumatera Utara

13
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure ?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Adapun dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa informasi dan kajian teoritis dalam bidang psikologi Klinis terkait dengan psychological well-being dan gay yang partial disclosure. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah: a) Bagi kelompok gay, informasi dari penelitian ini dapat memberikan gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure, sehingga menjadi acuan bagi mereka untuk melakukan coming out. b) Bagi keluarga dan orang terdekat kelompok gay, dengan informasi dari penelitian ini diharapkan mereka dapat mengerti pentingnya proses disclosure terhadap psychological well-being pada gay. c) Memberikan ilmu dan informasi kepada masyarakat luas untuk lebih memahami kelompok gay dan psychological well-being mereka.
Universitas Sumatera Utara

14
Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih konstruktif bagi kelompok gay. E. SISTEMATIKA PENELITIAN Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tentang tinjaun teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian. BAB III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian. Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan, baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara

15
BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya banyak yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana perubahan sosial pada level makro (perubahan level pendidikan, pola pekerjaan, urbanisasi atau masalah politik) mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang, yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn kemudian merujuk pada pernyataan Aristotles bahwa pencapaian tertinggi semua umat manusia adalah kebahagiaan atau disebut sebagai eudaimonia. Pandangan Aristotle mengenai eudaimonia kemudian diterjemahkan sebagai realisasi dari potensi sebenarnya umat manusia daripada hanya kebahagiaan saja. Kemudian, psychological well-being dan kebahagiaan merupakan indikator dari positive psychological functioning. Penelitian-penelitian Bradburn tidaklah berfokus pada mendefinisikan struktur dasar dari psychological well-being, melainkan lebih menjadi standar untuk mendefinisikan positive functioning. Psychological well-being berfokus pada formulasi dari perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Dalam mendefinisikan psychological well-being dan dimensi-dimensinya, Ryff (1989)
Universitas Sumatera Utara

16
mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization dari Maslow, individuation dari Jung, dan maturity dari Allport yang merupakan bagian dari positive psychological functioning; serta teori perkembangan kehidupan manusia. Menurut Ryff dan Keyes (1995), individu dengan psychological well-being telah terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental yang negatif (seperti cemas atau depresi) dan juga menyadari potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Mereka memberikan gambaran bahwa psychological well-being memerlukan seseorang untuk menggali perasaan apakah hidup mereka memiliki tujuan, apakah mereka menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, bagaimana kualitas hubungan mereka dengan orang lain, dan apakah mereka merasa bertanggung jawab akan kehidupan mereka sendiri.
Berdasarkan dari pandangan-pandangan diatas, tidak ada definisi yang pasti mengenai psychological well-being, maka peneliti menyimpulkan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, serta bertanggung jawab dan menguasai kehidupannya sendiri sehingga seorang individu bisa berfungsi secara positif dalam menjalani tantangan hidupnya. 2. Dimensi Psychological Well-Being
Setiap dimensi dalam psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda yang harus dihadapi oleh seseorang dalam usahanya untuk
Universitas Sumatera Utara

17
berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989) dan Ryff & Keyes (1995), ada 6 dimensi dari psychological well-being, yaitu: a. Penerimaan Diri
Penerimaan Diri merupakan evaluasi positif seseorang akan dirinya dan masa lalunya. Seseorang akan berusaha untuk merasa dirinya baik meskipun dia menyadari dirinya memiliki keterbatasan tersendiri. Penting bagi seseorang untuk menerima dirinya sendiri dan kehidupan masa lalunya. Dengan demikian, memegang sikap positif terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik utama dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif. Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya terlepas apakah itu baik atau buruk, dan merasa positif akan kehidupan masa lalunya. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain Hubungan positif dengan orang lain dapat dimaksud memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Seseorang akan mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Orang dengan aktualisasi diri digambarkan memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat untuk seluruh umat manusia dikarenakan telah memiliki perasaan cinta yang lebih baik, menjalin persahabatan
Universitas Sumatera Utara

18
yang lebih dalam, dan lebih mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Hubungan yang hangat dengan orang lain diajukan sebagai kriteria dari maturity. Teori tahap perkembangan orang dewasa juga menekankan pentingnya tercapai hubungan yang dekat dengan orang lain (intimacy) dan bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity). Dengan demikian, pentingnya hubungan positif dengan orang lain berulang kali ditekankan dalam konsep psychological wellbeing. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini akan memiliki hubungan yang hangat, puas dan kepercayaan dengan orang lain; berfokus pada kesejahteraan orang lain; memiliki empati, afeksi dan intimacy yang kuat; serta mengerti hubungan timbal baik antar umat manusia. c. Otonomi Otonomi adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (selfdetermination), tidak tergantung pada orang lain (independence), dan mengatur perilaku dari dalam diri sendiri. Orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) juga digambarkan memiliki internal locus of control. Artinya, dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, seseorang tidak tergantung kepada orang lain, tetapi mengevaluasi menggunakan standar pribadi. Individuasi (individuation) adalah keadaan dimana seseorang tidak lagi tergantung pada ketakutan, keyakinan kolektif, dan hukum dari masyarakat. Proses perubahan kata hati sepanjang masa kehidupan juga
Universitas Sumatera Utara

19
memberikan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini independen dan menentukan nasibnya sendiri, mampu menghadapi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri, aturan berperilaku dari dirinya sendiri, serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadinya. d. Penguasaan Lingkungan Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memanajemen secara efektif akan kehidupannya dan dunia disekitarnya. Seorang individu harus bisa mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan di lingkungan. Seseorang akan menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan personalnya. Partisipasi dalam lingkungan yang signifikan dari aktivitas di luar diri akan mengarah pada kematangan seseorang. Sebagai individu yang terus berkembang, seseorang harus memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk menghadapi dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas-aktivitas fisik atau mental. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan resep penting untuk membangun suatu kerangka terpadu dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiliki rasa penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, mengontrol aktivitas
Universitas Sumatera Utara

20
eksternal, memanfaatkan kesempatan yang ada disekitar, mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai personalnya. e. Tujuan dalam Hidup Tujuan dalam hidup adalah kepercayaan yang memberikan seseorang perasaan adanya tujuan dan makna dalam hidup. Seseorang akan menemukan makna dari usaha dan tantangan yang dihadapinya dalam hidup. Sepanjang perkembangan hidupnya, seorang individu akan memiliki tujuan hidup yang bervariasi, seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosi. Dengan demikian, seseorang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan rasa keterarahan yang berkontribusi pada perasaan bahwa hidupnya bermakna. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiki tujuan hidup dan rasa keterarahan, merasa kehidupan masa lalu dan masa sekarang bermakna, memegang kepercayaan bahwa hidup selalu bermakna, serta memiliki tujuan dan objektif untuk hidup. f. Pertumbuhan Pribadi Pertumbuhan pribadi adalah adanya rasa pertumbuhan yang terus menerus dan berkembang sebagai seorang manusia. Fungsi psikologi yang optimal tidak hanya memerlukan seseorang mencapai karakteristik yang sebelumnya, tetapi juga seseorang terus berkembang untuk mengembangkan potensinya, bertumbuh dan
Universitas Sumatera Utara

21
expand sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi diri merupakan inti dari pertumbuhan pribadi. Terbuka akan pengalaman baru merupakan karakteristik dari orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), sebagaimana individu terus berkembang, daripada hanya mencapai suatu keadaan tertentu dimana semua masalah terselesaikan. Seseorang akan terus berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-tugas baru pada periode kehidupannya yang berbeda-beda. Orang yang tinggi pada dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi dirinya, melihat kesempatan untuk mengembangkan diri dan perilaku setiap saat, dan berubah untuk menjadi lebih efektif dan mengenal dirinya. 3. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi psychological well-being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being disini adalah berdasarkan beberapa penelitian dari Ryff dan koleganya. a. Usia Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dimensi-dimensi psychological well-being pada usia yang berbeda-beda. Dimensi penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Sebaliknya, dimensi tujuan
Universitas Sumatera Utara

22
dalam hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Pada dimensi penerimaan diri, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari dewasa awal hingga dewasa akhir. b. Jenis Kelamin Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. c. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki psychological wellbeing yang lebih tinggi juga. Pendidikan yang lebih dan pekerjaan yang lebih baik meningkatkan psychological well-being, khususnya pada dimensi penerimaan diri dan tujuan dalam hidup. d. Budaya Penelitian Ryff dan Singer (1996) di negara Amerika dan Korea Selatan menunjukkan adanya perbedaan psychological well-being dalam hal budaya. Korea Selatan yang cenderung memiliki budaya kolektif lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan rendah
Universitas Sumatera Utara

23
dalam dimensi penerimaan diri dibandingkan dengan Amerika yang cenderung memiliki budaya individualis. B. GAY 1. Pengertian Gay
Gay merupakan istilah ditujukan untuk laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Ketertarikan seksual secara emosional, fisik, seksual dan romantik terhadap suatu jenis