Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

SOLIHIN. Pandangan M. Amien Rais Tentang Politik Islam Indonesia Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 – 2000

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan dalam percaturan politik di kawasan Asia Tenggara memiliki peran yang sangat strategis. 1 Kondisi tersebut di atas itulah yang oleh Fazlur Rahman disinyalir sebagai “Kebangkitan Islam” dimulai dari kawasan Asia Indonesia menemui maknanya. Secara sosiologis, Muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia mustahil untuk tidak terlibat dalam proses pembangunan masyarakat, bangsa dan negara baik yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno maupun pada masa pemerintahan Soeharto. Kontribusi, partisipasi dan prilaku sosial Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara tersebut niscaya dilandaskan pada pola pemahaman keyakinan agama yang dianut. Proses pengejawantahan pemahaman agama Islam berupa ajaran-ajaran moral Islam dan etika politik yang berkaitan dengan soal-soal kenegaraan itulah yang disebut sebagai realitas politik Muslim Islam. Atau Islam sebagai realitas politik sebagaimana dimanifestasikan orang Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jadi yang dimaksud politik Islam adalah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai value reference dan basis solidaritas solidarity basic kelompok. Politik Islam merupakan penghadapan Islam dengan kekuasaan dan negara yang melahirkan sikap dan prilaku politik political behavior serta budaya politik political culture yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. 2 Sikap dan prilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Taufik Abdullah, bermula dari suatu kepribadian moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. 3 Senada dengan Din Syamsuddin, Azyumardi Azra mengemukakan pandangan antropolog Dale Eickelman dan ilmuwan politik James Piscatori yang menyimpulkan bahwa gambaran politik Islam Muslim di seluruh dunia dewasa ini adalah pertarungan terhadap “penafsiran makna-makna Islam dan penguasaan lembaga-lembaga politik formal dan informal yang mendukung pemaknaan Islam tersebut”. Pertarungan seperti ini melibatkan “objektivikasi” pengetahuan tentang Islam yang pada gilirannya memunculkan pluralisasi kekuasaan keagamaan. 4 Keinginan komunitas Muslim untuk menjadikan ajaran-ajaran Islam berupa moral Islam dan teori etika politik sebagai prilaku kenegaraan dan pemerintahan, bahkan menjadikan syari’ah Islam dasar negara, acap kali melahirkan ketegangan-ketegangan 1 Meski Islam di Asia Tenggara sering disebut sebagai Islam periferal Islam Pinggiran, dalam kenyataannya perhatian Barat terhadap dunia Islam tidak saja terfokus kepada wilayah Timur Tengah. Islam di Asia Tenggara kini menjadi perhatian Barat setelah perkembangan Islam yang luar biasa di Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Karena itu, Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja dalam percaturan politik global dewasa ini. Lihat Khamami Zada, Politik Islam Radikal Survei wacana dan Gerakan Islam di Indonesia, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, The Habibie Center, Jakarta, Vol. 3, No. 1 Januari – April 2003, hal. 38. 2 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000, Cet. 1, hal. 3 3 M. Din Syamsuddin, ibid., hal. 3 4 Azyumardi Azra, Kata Pengantar” hal. XVI dalam Idris Thaha, Demokrasi Religius, Mizan, Bandung, 2005, Cet. 1. hubungan politik antara agama Islam di satu sisi dan negara di sisi lain. Bahkan hubungan yang tegang itu bisa memuncak pada konflik antara keduanya. 5 Kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara tidak hanya dialami oleh penduduk Muslim di Indonesia saja, hal serupa pun dialami oleh negara-negara Muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia dan Aljazair. 6 Jika bukan permusuhan, maka ketegangan yang tajam adalah fenomena yang mewarnai hubungan politik antara agama Islam dengan negara sebagai konsekwensi logis dari upaya pengembangan sintesis tersebut di atas. Ada dua hal yang bersifat kontradiktif dalam konteks hubungan politik antara Islam dan negara di negara-negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Kedua hal tersebut yakni; Pertama, posisi Islam yang menonjol karena kedududukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk negara setempat. Kedua , sekalipun dominan Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik negara bersangkutan. Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting dalam politik Indonesia. Namun demikian Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik nasional. Hal ini antara lain disebabkan karena dikotomi “politik Islam” dan “non politik Islam” di kalangan umat Islam Indonesia yang telah berlangsung lama. 7 Pertentangan atau konflik antara Islam dengan birokrasi negara bukanlah suatu hal yang baru, tetapi telah mempunyai akar-akar sejarah dan kultural sejak lama. 8 Hal itu berarti bahwa konflik tersebut telah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno maupun masa pemerintahan Soeharto. Pada masa Soekarno, sebagai contoh, kekuatan-kekuatan politik yang berdasarkan Islam dipandang sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat mengancam, mengganggu, dan bahkan merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan tersebut, rezim penguasa selalu berupaya untuk melemahkan dan menjinakan kekuatan- kekuatan politik Islam saat itu karena dicurigai menentang idiologi negara, Pancasila. 9 Kecurigaan tersebut terus berlangsung sampai masa Orde Baru 1966 – 1998 sehingga pada tahun 1983, Soeharto menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara bagi semua organisasi massa dan organisasi politik. 10 Penentapan Pancasila sebagai asas tunggal tersebut mengundang perdebatan yang luas dan tajam di kalangan parpol, ormas Islam maupun pemerhati perpolitikan Islam di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendi, alasan penetapan tersebut bukan karena eksklusivisme partai-partai politik yang ada, yang dalam hal ini PPP dan PDI, namun karena pola yang dikembangkan Orde Baru sendiri yang tidak mentolelir perbedaan. 11 5 Lihat Akh. Muzakki, Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi, Lentera, Jakarta, 2004, Cet. 1, hal. 21 dan 22. 6 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, Cet. 1, hal. 2 7 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, Cet. 1, hal. 21 8 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Paramadina, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 4 9 Bahtiar Effendy, op.cit., hal. 2 – 3 10 Banyak sumber tulisan yang membicarakan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial dan politik diantaranya saja M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 9; lihat juga Moerdiono, Infrastruktur Politik Kita Masih Lemah dalam Elza Peldi Taher ed, Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Paramadina, Jakarta, 1994, Cet. 1, hal. 16. 11 Akh Muzakki, op.cit., hal. 23 Pemerintah Orde Baru yang sangat menekankan pembangunan ekonomi memandang bahwa kegagalan Orde Lama terletak pada kenyataan terlalu banyaknya partai politik, yang secara idiologis bukan hanya berbeda tetapi bahkan sering bertolak belakang satu sama lain, yang pada gilirannya menciptakan friksi-friksi dan konflik di masyarakat secara keseluruhan. 12 Strategi pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan ekonomi hanya bisa dilakukan dalam iklim politik yang stabil dan mantap. Untuk itu, tegas Azyumardi Azra, pemerintah melakukan penataan kembali restrukturisasi politik guna menciptakan format baru politik yang dapat mendukung pembangunan ekonomi. 13 Intoleransi pemerintah Orde Baru terhadap perbedaan, terbukti dari penolakannya terhadap rehabilitasi Masyumi dan pengajuan Partai Demokrasi Islam Indonesia PDII, penyederhanaan partai politik dari sembilan menjadi tiga partai, dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial dan politik sebagai puncak restrukturisasi yang juga sering diartikan sebagai proses “depolitisasi” Islam. 14 Penolakan terhadap organisasi dan partai berlabel “Islam yang kental”, seperti PDII dan Masyumi di atas, menurut Ridwan Saidi, beralasan karena dibalik itu muncul itikad politik pemerintah untuk menata kembali sistem kepartaian warisan Orde Lama. Sedangkan penyederhanaan partai-partai politik itu, seperti diamati oleh Deliar Noer “dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memudahkan sosialisasi asas tunggal Pancasila”. Senada dengannya, Amien Rais, 15 menegaskan, proses penyederhanaan kepartaian yang terjadi di masa Orde Baru sudah tentu juga dilakukan dalam rangka mencapai stabilitas politik. Berbeda dengan dekade 60-an dan 70-an, dimana pemerintah Orde Baru bertindak kooptatif dan represif terhadap gerakan politik Islam yang bersifat legal formal idiologis- politis seperti tersebut di atas, memasuki pertengahan tahun 80-an hingga pertengahan 90-an terjadi pergeseran paradigma politik pemerintah; dari kooptasi-represi ke paradigma politik akomodasi. 16 Perubahan itu seiring dengan pergeseran paradigma politik Islam dari format legalistik formal ke substansialistik-kultural. 17 Pergeseran format politik Islam itu didasarkan pada asumsi bahwa kepentingan Islam tidak mesti dibatasi pada partai-partai yang secara formal berasaskan Islam, tetapi juga partai-partai yang secara kultural memperjuangkan nilai- nilai Islam. 12 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani Gagasan, Fakta dan Tantangan, op.cit., hal. 138. 13 Azyumardi Azra, Kata Pengantar dalam Ridwan Saidi, Islam Pembangunan Politik dan Politik Pembangunan, Pustaka Panjimas, Jakarta, Cet. 1. hal. XI. 14 Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 32 dan 33. Menurut Kuntowijoyo dan M. Din Syamsuddin, “Depolitisasi” Islam bukan “Deislamisasi”. Bagi keduanya, “depolitisasi” Islam akan semakin memberikan ruang gerak kekuasa kepada Muslim untuk mengartikulasikan cita-cita Politik Islam melalui gerakan kultural. Lihat Kuntowijoyo, Strategi Baru Politik Umat Islam dalam Erlangga dlk ed, Indonesia di simpang jalan, Mizan, Bandung, 1998, Cet. II, hal. 189. Lihat Din Syamsuddin, op.cit., hal. 18. 15 M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1991, Cet. III, hal. 150. 16 “Politik Kooptasi-represi“ dan “Politik Akomodasi” adalah dua istilah yagn digunakan pemerintah Orde Baru untuk merespon format politik Islam dekade 60-an–90-an. Untuk istilah pertama, negara menggunakan kebijakan “domestikasi”. Kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Dalam konteks parpol kepakuman terjadi, dan tidak untuk dinamika pemikiran politik. Pada saat itu Soeharto menjadi sosok yang sangat dominan. Untuk istilah kedua, negara membuat sejumlah kebijakan yang dinilai menguntungkan umat Islam. Diantaranya saja; disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional 1988, Undang-Undang Peradilan Agama 1989, dukungan terhadap berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim ICMI. Untuk lebih lengkapnya, lihat M. Syafi’i Anwar, op.cit., hal. 12; Erlangga, dkk ed, op.cit., hal. 188; Idris Thoha, op.cit., hal. 190; Khumami Zada, op.cit., hal. 36; R. William Lidle, Skripturalisme Media Dakwah : Sebuah Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru dalam Mark R. Wood Ward, Jalan Baru Islam, 1999, Cet. II, hal. 308; Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, Cet. I, hal. 28. 17 Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, op.cit., hal. 31 Sekalipun di satu sisi, dengan politik “akomodasi” pemerintah Orde Baru melaksanakan kebijakan-kebijakan yang boleh jadi menguntungkan “umat Islam”, namun di sisi lain pada saat yang sama sejak pertengahan tahun 1980-an suasana Orde Baru ditandai dengan menurunnya toleransi publik secara drastis akibat adanya praktik ketidakadilan ekonomi dan politik. Gejala tersebut diperkuat oleh beberapa indikasi protes menuntut adanya perubahan politik menggema di beberapa daerah, pada akhir 1988, mahasiswa memprotes dan menuntut adanya pergantian kepemimpinan nasional, dan pada pertengahan 1989, protes datang dari berbagai lapisan masyarakat intelektual, purnawirawan maupun para buruh. 18 Berbeda dengan legitimasi pemerintah Orde Baru yang semakin menurun, justru dinamika pemikiran Muslim memberikan harapan yang optimistik, seperti disinyalir oleh R. William Lidle, 19 tidak diragukan lagi, dalam kurun waktu itu, kaum modernis Islam di Indonesia telah menunjukkan kreativitas yang besar. Hal itu ditandai oleh tampilnya kelompok pemikir substansialis yang anti kelompok skripturalis. Dalam konteks hubungan Islam dan negara, kelompok yang disebut terakhir, memiliki kecenderungan untuk menekankan aspek legal-formal idealisme politik Islam yang ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara nation state . Sedangkan kelompok pertama, lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Model ini lebih cenderung menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 20 Karenanya, model teoritis politik Islam ini menawarkan banyak kemungkinan yang menjanjikan mengenai revitalisasi umat Islam, penyelesaian atas masalah ketegangan yang berkepanjangan antara Islam dan negara dan hubungan yang lebih diwarnai oleh sikap saling menghargai dan toleransi dengan umat Kristen dan umat agama non-Islam lainnya. 21 Karenanya, rezim Orde Baru yang didukung oleh kekuatan militer secara konsisten menentang ekspresi politik skripturalisme, terutama gagasan negara Islam, dan pada saat yang sama mendukung banyak kegiatan kaum substansialis. Langkah-langkah tersebut didorong oleh berbagai alasan historis yang terekam dalam dinamika politik Indonesia masa merdeka. 22 Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ICMI pada tahun 1990 atas dukungan rezim Orde Baru merupakan bukti paling penting yang menunjukkan melunaknya sikap Soeharto terhadap politik Islam. hal ini, semakin memperkuat wacana politik akomodasi rezim Orde Baru. 23 Dukungan dan penerimaan rezim Soeharto terhadap keberadaan ICMI merupakan proses pencarian dukungan besar dan potensial dari umat Islam. 24 Sementara itu, wacana politik akomodasi rezim Orde Baru yang semakin menguat dekade 90-an akhirnya tidak mapu merobohkan gelombang demontrasi yang terjadi hampir di seluruh negeri, terutama di kota-kota besar yang dipicu oleh krisis moneter pada akhir 1997. Ketidakmampuan rezim Orde Baru dalam mengatasi keterpurukan ekonomi, nilai rupiah yang anjlok, harga BBM yang membumbung tinggi, kebutuhan pokok rakyat yang melangit dan kemiskinan kian merajarela di mana-mana, semakin mendorong gerakan 18 Lihat Akh. Muzakki, op.cit., hal. 24 19 R. William Lidle dalam Mark R. Woodward, Jalan Baru Islam, op.cit., hal. 284. 20 Bahtiar Effendi, op.cit., hal. 14 dan 15. 21 Lidle, op.cit., hal. 284 22 Salah satu sebab pemerintah mengapresiasi kalangan substansialisme adalah adanya kesamaan pandangan antara kaum substansialis dengan pemerintah, khususnya dalam hal menentang dijadikannya syari’ah sebagai hukum positif. Sedangkan keinginan kaum skipturalisme menjadikan syari’ah sebagai hukum positif negara dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan negara. Lihat Lidle, ibid., hal. 299. 23 Lihat Lidle, ibid., hal. 309. 24 Arief Budiman, Cendekiawan dan Penguasa, dalam Mukhaer Pakkanna, Embrio Cendikiawan Muhammadiyah, Yayasan Penerbit Pers Suara IMM, Jakarta, 1995, Cet. 1, hal. 34 reformasi. Amien Rais bersama komponen masyarakat mahasiswa, akademisi dan masyarakat umumnya menyuarakan pentingnya melakukan reformasi ekonomi, politik dan hukum. Puncak dari perjuangan gerakan reformasi adalah lengsernya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998. 25 Dalam konteks ini gagasan “Suksesi” yang digunakan Amien sejak 1993 menemui salah satu maknanya dalam wacana perpolitikan Islam Indonesia. Di tengah respon pemerintah Orde Baru terhadap kedua model teoritis politik islam yang bersifat kontradiktif satu sama lain dalam kaitannya dengan relasi Islam dan negara itu, tampil M. Amien Rais yang dikenal sebagai tokoh Universalis yang berpandangan bahwa Islam, adalah agama Universal yang berdasar pada tauhid. Islam sejak awal punya sifat revolusioner yang memungkinkan umat Islam ambil bagian dalam perubahan sosial. Karenanya, Amien Rais senantiasa mengaitkan pemikirannya dengan benang merah Al- Qur’an. Dan dari sinilah akar filsafat pemikirannya menghablur dalam bingkai “Tauhid Sosial”, begitu ungkap Idi Subandi Ibrahim. 26 Pemikiran-pemikiran Amien tentunya ikut mewarnai komunitas Islam yang cukup besar di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Hal tersebut diperkuat oleh posisi dan peran Amien yang dalam kurun waktu 13 tahun menduduki beberapa jabatan strategis di kepengurusan Muhammadiyah Tingkat Pusat. 27 Atas pertimbangan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi masa Islam terbesar setelah NU di Indonesia, dengan sebagian besar pengikutnya berada di perkotaan yang memiliki akses informasi lebih baik ketimbang masyarakat pedesaan, posisi dan daya tawar Amien semakin diperhitungkan. Selain itu, kapasitas intelektualnya yang dianggap sebagai “lokomotif” organisasi Muhammadiyah menjadi saksi atas kebijakan politik akomodasi pemerintah Orde Baru terhadap format politik Islam. Dalam konteks ini, dan dalam kaitannya dengan persoalan relasi Islam dengan negara dalam pengertian model bangunan politik negara Indonesia, pemikiran dan aksi Amien menjadi sangat menarik untuk diteliti secara mendalam. Ditetapkannya Amien Rais sebagai subjek penelitian, disamping didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, juga atas alasan-alasan sebagai berikut : langkah dan aksi politik Amien Rais tampak berani, terbuka, blak-blakan, vokal, tegas dan mendobrak; Amien adalah intelektual Sunni yang kritis; beberapa posisi dan peran yagn diemban dalam kontelasi politik nasional; Ketua Umum PAN dan MPR Periode 1999 – 2004; Pembentukan Poros Tengah yang berhasil merangkul partai-partai berbasis massa Islam, hingga melahirkan manuver yang bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI 1999; dan langkah Amien Rais mengikuti bursa pencalonan Presiden Indonesia pada Pemilu 1999 dan 2004 mendapatkan respon dan reaksi berbagai kalangan masyarakat. Mengingat bahwa karakter suatu pemikiran tidak tetap atau dapat berubah, karena bagaimana pun ia merupakan hasil olah akal-budi manusia atas pemahaman suatu “realitas” yang terikat oleh ruang dan waktu, dan karena tokoh yang diteliti masih hidup, maka penelitian yang dilakukan dibatasi dalam kurun waktu 1985 – 2000. Hal ini dilakukan supaya pembahasan tidak bias sehingga suatu pemikiran yang utuh tentang “Politik Islam Indonesia dari seorang tokoh M. Amien Rais dapat ditemukan. 25 Lihat Kholid O. Santoso D. Chaerul Salam, Menuju Presiden RI 2004, Pertarungan Strategi, Koalisi dan Kompromi , Sega Arsy, Bandung, 2004, Cet. I, hal. 38; Abd. Rohim Ghazali ed, M. Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muhammadiyah , Mizan, Bandung, 1998, Cet. I, hal. 77; Kholid Novianto dan Acehaidar, Era Baru Indonesia Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Matori Abdul Djalil, Nurmahmud, Yusril Ihza Mahendra, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, Cet. I, hal. 34. 26 Idi Subandy Ibrahim, Sekapur Sirih Editor, dalam M. Amien Rais Membangun Politik Adiluhung Membumikan Tauhid Sosial Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998, Cet. 1, hal. 23. 27 Lihat Idris Thaha, op.cit., hal. 136 Atas dasar beberapa alasan tersebut di atas, penulis mencoba meneliti pemikiran politik Amien Rais dalam konteks keIndonesiaan yang diformulasikan ke dalam sebuah judul “PANDANGAN M. AMIEN RAIS TENTANG POLITIK ISLAM INDONESIA PERIODE 1985 – 2000”. B. Identifikasi Masalah Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia memiliki makna yang strategis dalam konstelasi politik Indonesia. Hal ini, menunjukkan pentingnya posisi agama dalam kehidupan negara, sosial, ekonomi, maupun politik. Karenanya hampir- hampir tidak mungkin untuk memisahkan antara kehidupan agama dan kehidupan negara. Ungkapan tersebut mengisyaratkan betapa sulitnya kegiatan keduniawian sepenuhnya terbebaskan dari pengaruh nilai-nilai agama. Atas dasar itu, politik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Islam. Sebaliknya komunitas Islam sendiri tidak mungkin melepaskan kegiatan mereka dari pengaruh agama yang dianutnya. Hal di atas menunjukkan betapa politik memiliki posisi tersendiri dalam ajaran Islam. Karena itu, politik merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam hingga dapat dipahami bahwa perjuangan politik seakan-akan perjuangan agama itu sendiri. Sejarah mencatat sejak awal mulanya dalam Islam, politik dan agama sedemikian erat jalin menjalin sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, tidak berarti bahwa perjalanan hubungan antara Islam dan politik dalam realisasi kehidupan masyarakat Islam steriil dari problematika. Bagaimana menata posisi agama dan negara merupakan salah satu persoalan yagn tergolong krusial dan menimbulkan kontroversi dalam wacana politik Islam, berkenaan dengan pemikiran agama dan politik negara. Hal itu lebih terasa pada masa modern dimana antara Islam dan negara merupakan salah satu buyek penting yang –meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini—tetap belum terselesaikan secara tuntas.

C. Perumusan Masalah